SEJAK ditinggalkan pemiliknya, hampir setiap senja Mala selalu berada di rumah Ombak; termenung memandangi laut, terus membayangkan kepulangan pemuda itu. Senja yang jingga tak lagi memancarkan cahaya yang riang sebab rimbunan daun Rasau telah menghalangi semua pendarnya. Debit air mengalir tanpa suara dan arus yang tenang mulai mendekatkan buih ke bagian tepi.
Mak Ning sangat mengerti kecemasan seorang calon istri yang karena Tuhan memiliki rencana melebihi mimpi maka ia harus menunda pernikahan yang sudah matang direncanakan. Karena itu ia hanya mendiamkan ketika Mala diam-diam bergerak menuju rumah apung dalam jarak beberapa ratus meter itu untuk menyendiri. Benar-benar menyendiri.
“Ibu baik-baik saja ‘kan?”
Mewakili kawan-kawannya, Lila menanyakan sebuah kemungkinan yang sebagiannya mulai diduga-duga. Sementara, Agam, Arpan, Berta, Sampan, Duma, Gita dan Bunga saling membuang pandangan ke beberapa arah dengan perasaan sama sekali tak mengerti mengapa mereka melakukannya. Kegelisahan dan sejumlah ketakutan terus menguras rasa sakit di hati anak-anak itu meski mereka berupaya menyimpannya.
“Ibu pernah melewati hal yang lebih rumit dari kehilangan ini,” jawab Mala.
“Apakah orang-orang tidak akan melakukan pencarian lagi?” tanya Agam.
Mala mengalihkan pandangan ke air mengalir namun dengan tatapan hampa. “Entahlah,” katanya. “Ibu tak tahu. Tapi keajaiban bisa saja datang dan Ibu menyakininya.”
“Bagaimana kalau Bang Ombak benar-benar tak pulang?” Arpan yang hampir tak sadar menanyakan hal itu bergegas menutup mulut dan segera merasa menyesal. Tapi Mala sama sekali tak menjawab kecuali mengikuti ujung rumpun nipah yang hanyut dan terus menjauh.
“Tiga hari lalu Uwak Kadirun datang dan mengatakan Bang Ombak disembunyikan Mak Sumai,” jawab Mala.
“Mak Sumai?” Berta mengerutkan kening.
“Ya.Semacam hantu air.”
“Hantu air berambut panjang. Dia akan menarik kaki anak-anak nakal ke dalam sungai dengan rambutnya,” Duma menjelaskan dengan bulu tengkuk yang mulai berdiri.
“Mengerikan sekali,” hanya itu yang terucap dari Bunga, gadis kecil berambut poni dan selalu mengenakan baju panjang. Setelahnya, dia segera membayangkan hal lain.
“Uwak Kadirun kawan Pak Cik Usin.” Agam berkata.
Orang-orang Telukgedung mengenal Uwak Kadirun Angin Badai sebagai sosok sakti berjanggut putih, berbadan serupa pohon enau, usianya hampir 100 tahun namun belum memiliki keturunan. Rumahnya berada tepat di tengah muara layaknya sebuah perahu yang tak pernah menepi. Ke mana-mana selalu mengenakan ikat kepala putih dengan ujung menjuntai macam Pangeran Diponegoro dan ia akan terus memakainya sepanjang hari.
Suatu hari orang-orang berkata: “Jangan percaya pada jampi-jampi orang di atas air sebab itu ajaran setan!” Hanya selang beberapa Minggu setelah kata-kata itu menyebar, banjir besar melanda muara disertai angin badai. Rumah-rumah lenyap tersapu air bah, pohon enau rungkat, rimbunan serdang tenggelam, akar nipah terbalik ke atas.
Orang-orang lalu menganggap kejadian itu sebagai hukuman akibat menggunjing lalu mereka merasa menyesal. Ternyata pula, rumah Uwak Kadirun yang berada di atas sungai itu sama sekali tak mengalami cidera walaupun limpahan air mengamuk sedemikian hebat. Orang-orang lalu saling bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri sebelum tersadar bagai terbangun dari mimpi. Mereka kemudian menangis dan berjanji tak akan mengulangi hal serupa itu dan sejak saat itu, julukan Uwak Kadirun mendapat tambahan Angin Badai sebagai pengingat kalau badai telah memberi teguran keras atas mereka yang suka menggunjing!
Pada Mala ketika ia datang beberapa waktu lalu Uwak Kadirun berkata tentang Ombak yang sedang dipingit hantu air yang ingin menikahinya. Alam tempat memingit itu, masih kata dia, berada puluhan mil dan tak akan bisa di tempuh kecuali dengan kekuatan batin yang jernih. Maka meraung-raunglah Mala dan Mak Ning mendengar berita itu dan mereka kemudian memohon seperti kawanan anak kecil yang minta dibelikan gula-gula.
“Apakah tak bisa digagalkan?” tanya Mala dengan perasaan seolah-olah mengetahui kalau keadaan Ombak benar-benar buruk.
Uwak Kadirun mengangkat sebelah tangan seperti polisi yang sedang menghentikan truk pembawa barang kemudian menurunkannya setelah tiga kali menarik napas. “Aku akan upayakan,” katanya.
“Saya akan melakukan semua syaratnya,” ujar Mala.
Dan syarat yang harus dilakukan itu adalah; Mala harus menatap lautan setiap senja dengan sebelah mata memicing selama satu jam, setiap hari tanpa terputus.
“Mudah-mudahan Tuhan akan mempertemukan tatapanmu dengan pandangan mata Mak Sumai hingga ia melepaskan pingitan Nak Ombak. Akan kubantu kau dengan doa-doa agar ia tak menyerang.”
Selama beberapa hari terakhir Mala telah melakukan perintah itu. Setiap pulang sekolah ia akan bergegas menuju rumah Ombak lalu menatapi lautan dengan sebelah mata selama lebih dari satu jam. Dan hari ini, Mala sudah melakukan pekerjaan serupa kedunguan itu lebih dari separuh tenggang waktu yang diberikan padanya.
“Apakah Uwak Kadirun menunjukkan di laut bagian mana?” tanya Lila yang merasa perintah memicingkan mata setiap senja itu benar-benar tak bisa ditaja nalar. Kalau memang Uwak Kadirun tahu, semestinya dia bisa menjemput dan melepaskan atau membawa semua orang muara untuk melepaskannya. Tak perlu meminta Mala melakukan pekerjaan yang lebih menyerupai orang gila!
“Tidak secara tepat,” jawab Mala. “Kata Uwak, alam ghaib adalah sebuah ruang yang berbeda sebab Tuhan sudah menciptakannya begitu. Bang Ombak tertawan di sebuah daratan tak berair dan lautan tak berdarat. Dalam balutan cahaya tak bergelap dan gelap tak bercahaya. Terikat oleh tali tak bersimpul yang menjulur tak terurai.”
“Tuhanku!” Arpan merasakan keningnya hangat. “Alangkah susahnya mencari tempat itu!”
Pelan-pelan, Sampan memegang kepalanya yang terasa akan membeku sedangkan Arpan menggelambirkan bibir seperti bujang idiot.
“Tapi Uwak Kadirun tidak mungkin berbohong,” teguh Mala.
“Mungkin tidak, Bu. Tapi sulit sekali memercayainya,” sela Gita.
“Ini bukan tentang percaya atau tidak, Nak. Tapi sebuah upaya. Tentu Ibu akan melakukan apa pun andai bisa.” Mala kembali memejamkan mata. Semua kemungkinan ingin ia sandingkan tapi siapa yang tahu. Selebar Dusun Telukgedung yang membentang ini bahkan sama sekali tak bisa memberi jawaban tentang ketidakpulangan calon suaminya.
“Semoga Bang Ombak cepat kembali,” bisik Bunga sambil menghapus air mata lalu memeluk Mala erat-erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Asmauna
suka aku thor ceritanya beda dari lainnya😇😇
2021-01-02
1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
dan akupun ikut mengaminkan🙏🙏
2020-12-12
0