DULU, sekelompok tim penyelam dari kota pernah menyambangi bangkai kapal di perut muara itu namun upaya mereka berakhir sangat tragis. Itulah yang membuat Cik Usin langsung melarang ketika Lila menyatakan niatnya namun anak itu terus berkeras dengan mengatakan kalau dia hanya ingin mengamati saja.
“Kau akan menemukan masalah. Kau perempuan bukan lelaki,” kata Cik Usin.
“Kemarin aku bertemu Puang Lengkese. Dia bercerita banyak tentang perjuangan orang-orang Bugis di sini dan salah satunya tentang kapal yang menyimpan cerita perlawanan hebat itu.”
“Tidaklah Puang menceritakan kecuali hanya sedikit.”
“Mungkin Bapak benar. Tapi bagiku itu sudah cukup.”
“Tidak sama sekali. Kau belum memahami apa pun. Rencanamu untuk menyelami bangkai kapal itu sama sekali tidak salah tapi keadaan bisa menjadi sangat buruk.”
“Seburuk apa?”
“Sangat buruk. Sudah hilang puluhan nyawa akibat kapal itu, Nak. Kau harus mendengarkan Kisah ini.”
Maka berkisahlah Cik Usin...
Masih segar dalam ingatannya ketika orang-orang kota itu datang dengan membawa peralatan modern berikut tiga tongkang pengangkut peralatan dan benda-benda berharga dari dasar sungai. Meski sempat menyamarkan misi sebagai penyelamat terumbu karang, tujuan utama mereka tercium oleh Kepala Dusun dan perdebatan pun terjadi.
“Apa yang salah?” tanya ketua tim.
“Tak ada. Kecuali kalian sedang mendatangi sarang bahaya,” jawab Pak Ilyas.
“Saya Sean Alfrido, Pak. Pemimpin ekspedisi luar biasa ini dan satu dari sedikit penyelam yang pernah menyusuri dasar laut atlantik. Bapak bisa panggil saya Sean atau Frido tapi sebaiknya kita sepakati dulu satu hal.”
“Mengapa aku harus bersepakat denganmu?”
“Jangan ragukan kami.”
“Aku Ilyasudin bin Akbar Firdani, Kepala Dusun Dusun Telukgedung dan masih aktif. Tak ada yang meragukan kalian. Aku hanya mengingatkan sebab kegiatan ini sangat berbahaya!“
Sean menanggapi jawaban itu dengan senyuman tipis dan mendapati kesan bahwa sebelumnya orang-orang muara sudah membicarakan hal ini dan Pak Ilyas menyampaikannya supaya dia tahu.
“Apakah sudah pernah ada yang melakukan seperti kami?” tanya Sean.
“Banyak, Nak. Sangat banyak. Bahkan masyarakat nelayan di dusun ini hampir setiap waktu melakukannya sebelum kejadian tragis menewaskan salah satu dari kami.”
“Oh, ya?”
“Seekor ekor buaya menyerang saat beberapa orang sedang menyelam. Semua yang melihat berteriak histeris dan aliran sungai berubah menjadi gelembung serupa golakan. Sobekan pakaian yang hancur mengapung bersama arus yang segera mengalirkan darah dan mayat itu tak pernah ditemukan lagi sampai detik ini.”
“Oke,” Sean menyahut ringan. “Lalu bagaimana dengan yang melakukannya secara profesional? Seperti kami, maksud saya?”
Kepala Dusun diam sejenak.
“Sebuah tim, Pak Tua. Maksud saya, pernahkah ada sebuah tim yang sangat berpengalaman dengan peralatan dan fasilitas sesuai standar melakukan penyelaman? Yeah! Seperti yang Bapak lihat kami memilikinya. Tidakkah ini bukan hal yang bisa dianggap main-main?”
“Memang belum ada, dan aku tak pernah menganggap kalian main-main. Tapi tempat itu adalah sarang buaya dan aku tidak sedang mengada-ada.”
Muka Sean berubah agak masam. “Kalau begitu saya bisa mengerti. Tapi tentu Bapak juga sepakat bahwa, kami bukanlah orang-orang tanpa perhitungan yang datang untuk menyerahkan nyawa pada kawanan buaya atau hiu. Sejujurnya kami juga memahami risiko-risiko semacam itu dan sudah mempersiapkan segala kemungkinan jauh-jauh hari. Kami profesional, Pak. Itu penting dicatat.”
“Aku hanya mengingatkan, Nak Sean. Sebab aku sudah tinggal di muara ini bahkan jauh sebelum generasi seusiamu dilahirkan. Kukira kau bisa memahami hal yang kumaksudkan.”
Dan orang-orang kota itu sama sekali tak menganggap ucapan Kepala Dusun sebagai hal yang penting. Kalaupun tampak sedikit melunak, itu tak lebih karena mereka mencoba menghormati sebab Pak Ilyas bukan sekadar tua tapi juga dituakan.
“Baiklah,” Sean berucap rendah. “Anggaplah saya percaya meski saya kira itu tidak penting. Tapi perlu saya ulangi bahwa, kami adalah orang-orang profesional dan hal semacam ini sama sekali bukan pekerjaan baru. Di beberapa belahan samudera kami pernah melakukan penyelaman yang jauh lebih ekstrim dan seperti yang Bapak lihat, kami baik-baik saja. Jadi, saya kira apa yang Bapak sampaikan, meski mungkin niat Bapak baik, saya harus katakan bahwa, itu agak berlebihan. Karena itu saya pikir sebaiknya Bapak doakan saja agar kami tidak mengalami hal buruk dan saya harap Bapak bisa menyakinkan diri Bapak bahwa, mengkhawatirkan kemampuan kami sungguh bukan hal bijak.”
Kepala Dusun akhirnya mengalah dan Sean yang kelelahan mulai memilih menjauh meski upaya penyelaman tetap berlangsung sehari setelah perdebatan itu. Bermacam barang antik berhasil diangkat dari dasar sungai dan itu semakin memompa semangat orang-orang kota untuk terus melakukannya.
Selama seminggu penyelaman, mereka berhasil membawa pulang guci motif naga berbahan batu giok, piring makan dari China abad XVI berbentuk perak, uang logam bergambar Ratu Inggris, tongkat komando dari logam kuningan, gelas porselin, mangkuk kaca, asbak berbahan tembikar dan entah apa lagi. Semuanya bertulis tahun pembuatan 1510, 1618, dan 1698.
Masyarakat muara yang melihatnya sungguh terkagum-kagum meski sebagian mulai merasa was-was terhadap sesuatu yang mungkin akan menimpa dan mereka terkena imbasnya. Akan tetapi sampai dengan penyelaman berakhir dan orang-orang kota itu pulang, segala kecemasan menguap bagai embun dan sama sekali tak terbukti.
Benda-benda berharga itu selanjutnya dibawa untuk dijual di pasar gelap dan segera tersiar kabar kalau mereka memperoleh banyak keuntungan yang sebagiannya digunakan untuk ekplorasi di lokasi berbeda. Sebulan kemudian orang-orang itu kembali datang dengan peralatan yang lebih komplit berikut empat excavator yang diangkut empat ponton besar. Rencana penyelaman kali ini menitik beratkan pada upaya mengangkat bangkai kapal dan mendengar hal itu, Kepala Dusun kembali datang.
“Apa lagi yang akan kalian lakukan?” tanya dia gusar.
“Wow! Pak Kepala Dusun. Masih ingat saya? Sean, Pak! Ketua tim yang pernah datang sebulan lalu.”
Lelaki itu mengulurkan tangan dan Pak Ilyas menyambutnya.
“Aku bertanya: Apa lagi yang akan kalian lakukan?”
“Bapak lihat!” Wajah Sean melongok ke arah excavator jumbo di atas ponton yang baru tiba dan sengaja dibiarkan mengapung di tengah muara. “Kalau Bapak merasa kali ini kami lebih serius, itu benar. Sebab persoalannya sekarang adalah bisnis. Ya, bisnis!”
“Bisnis?”
“Tepat sekali. Kami sudah menandatangani kesepakatan dengan Kapten Michael Joule dari Belanda dalam sebuah MoU yang saling menguntungkan. Dia adalah pimpinan ekspedisi pemburu harta karun yang pernah menemukan bangkai kapal De Gelder yang tenggelam di selat Malaka pada tahun 1751. Dia berhasil mengangkat 112 batang emas lantakan dan 10.000 benda keramik masa dinasti Ming di bangkai kapal itu. Pak Kepala tahu, dia sangat tertarik dengan proyek ini dan sudah menanamkan investasi puluhan ribu euro di tahap pertama. Bila ini berhasil, kami sudah sepakat sepuluh persen profit akan didonasikan bagi pembangunan pemukiman masyarakat di sini. Ya. Saya pikir ini adalah sebuah bentuk kepedulian yang baik dan adil.”
“Anak Muda,” Kepala Dusun maju selangkah. “Aku bukan iri dengan apa yang akan kalian dapat atau menginginkan bagian atas keuntungan yang mungkin sudah kalian hitung. Aku hanya khawatir, jika buaya-buaya di sekitar kapal itu mengamuk, kalian bisa celaka. Tidakkah terpikir olehmu tentang hal ini?”
“No..no..no! Tidak ada Buaya. Kita sudah membuktikannya pada penyelaman pertama dan kekhawatiran itu hanya isapan jempol. Alat selam kami dilengkapi sensor laser yang bisa mendeteksi segala bentuk serangan di dalam air dari jarak lebih dari lima ratus meter, Pak Tua. Para penyelam juga di dampingi beberapa ahli penakluk buaya dan hiu yang profesional. Crew kami berjumlah puluhan dan mereka adalah ahli di bidangnya. Semula kami tidak ingin percaya akan hal-hal mistik yang menjadi keyakinan masyarakat sini. Ya, saya harus katakan itu. Tapi saya pikir, mungkin Bapak benar dan karena itu bersiap-siaga adalah hal yang bisa dimengerti. Perlu saya tegaskan, kami sebenarnya bukan tidak paham tentang hal-hal yang Bapak sampaikan kalau Bapak meragukannya. Hanya memang, kegagalan sebuah misi acap terjadi karena kepercayaan keliru semacam itu.”
Pak Ilyas memang harus dilunakan meski itu sama sekali bukan hal mudah. Sambil memintal senar ukuran 100 milimeter pada sebuah benda logam yang melingkar sepanjang lengan, dua tiga kali bibir Sean terlihat tersenyum. “Oh, ya. Beberapa warga juga akan kami dilibatkan untuk membantu eksplorasi sebagai tenaga angkut, kebutuhan konsumsi, juga biaya sewa rumah selama kami menginap. Saya pikir, bisalah ini dijadikan semacam bukti awal kalau kami berkomitmen membuka peluang kerja yang saling menguntungkan. Angka investasi ini tidak main-main, Pak Kepala. Dan kami mempertaruhkan banyak hal. Jadi, please. Kami adalah ahlinya. Tidak akan terjadi apa-apa!”
Pak Ilyas kembali mengalah untuk kedua kali. Beberapa warga yang mulai terpengaruh juga meminta agar dia tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Alhasil, Kepala Dusun tetap mengizinkan dengan hati gelisah.
Para penjelajah itu mengadakan rapat serius pada malam harinya. Membahas banyak hal terkait persiapan dan mereka berkumpul di halaman Sekolah Telukgedung setelah Bu Aisyah dan Kepala Dusun menyetujui sebab menolak pun tiada gunanya. Menjelang isya’ para crew sudah memasang proyektor dan layar di dinding depan yang menghadap ke semua anggota dan masyarakat muara yang ikut menyaksikan. Slide pertama segera dibuka dengan tampilan beberapa sudut kapal yang sudah terendam lumpur, Sean mulai menjelaskan.
“Foto ini didapat dari penyelaman pertama dan kita akan memulai dari sini: Geladak. Coba perhatikan! Kondisinya sudah terlepas dari dinding lambung dengan posisi sedikit miring ke kanan meski masih dapat dijumpai besi-besi gading penyangga serta lempengan lantai yang sebagian sudah tertutup karang dan lumpur. Bagian buritan tampaknya telah terjadi kerusakan paling parah dengan ceceran batu bara dalam jumlah tidak terlalu banyak. Tampaknya, kapal ini menggunakan batu bara sebagai bahan bakar dan kita bisa lebih memastikannya besok pagi. Pada dasarnya, bagian ini harus diangkat lebih dulu agar mempermudah gerakan ke titik-titik yang lain. Oke, next!”
Layar berganti.
“Diperkirakan panjang kapal adalah 134,05 meter dengan lebar maksimum 20 meter. Tinggi keseluruhan dari dasar lunas ke puncak anjungan tak kurang dari 16 meter dengan bobot 13.154 ton daftar bruto dan memiliki dua geladak penumpang di luar kantor perwira bagian atas. Selebihnya, ada hamparan gladak lost seluas 1.000 meter persegi yang kemungkinan besar digunakan untuk menampung rempah-rempah dan berbagai barang berharga lainnya. Sejumlah persenjataan juga menjadi bagian dari standar pengamanan kapal dan di letakan di posisi ini.”
Para crew mengangguk-angguk. Slide berganti lagi.
“Apakah kapal ini sebesar Titanic?”
Seseorang yang sedang mengisap cerutu di pojok kanan mengangkat telunjuk. Usianya masih muda, mirip seorang mahasiswa teknik yang sedang menyelesaikan tesis dengan kacamatanya minus 200, Rendy namanya.
“Coba perhatikan,” jawab Sean. “Ini adalah dek tingkat terendah yang sejajar dengan garis air. Geladak ini digunakan sebagai ruang kargo dan bersebelahan dengan ruang tempat ketel, turbin, dan generator listik. Artinya, dia tidak sebesar Titanic yang ruang kargo dan generatornya berada di dek berbeda. Saya memperkirakan mungkin kurang dari separuhnya,” Sean menatap ke arah Rendy yang sudah mengangguk-angguk. “Jadi, bisa dibilang, bagian ini adalah tempat yang tidak biasa dilihat oleh crew lain kecuali bagian generator. Ruangnya terhubung dengan tingkat di atas melalui serangkaian tangga spiral yang memberi akses ke dek utama. Tampaknya, kapal ini juga dilengkapi dua mesin uap dengan tiga ekspansi empat silinder bolak-balik dan satu turbin parsons bertekanan rendah yang masing-masing mendorong satu baling-baling. Lanjut slide berikutnya!”
Gambar sebuah mesin penuh karat muncul agak riap-riap akibat terendam lumpur. Hasil foto beresolusi tinggi benar-benar memperlihatkan kalau pekerjaan orang-orang kota ini sangat serius.
“Apa yang sedang diangkut kapal ini?” Seorang gadis yang duduk berseberangan dengan Rendy menambah daftar penanya.
Sean menoleh. “Hai, Lina. Kau tampak sangat cantik malam ini. Pertanyaanmu sepertinya mewakili benak semua orang dan aku menyukainya. Tapi sepertinya aku tidak dapat memastikan jawaban dengan tepat, sebab kalau dilihat dari apa yang kita dapatkan pada penyelaman pertama, mau tidak mau aku harus berkata bahwa, kapal ini tidak sedang membawa rempah-rempah sebab sama sekali tidak terlihat tanda-tanda tentang hal itu.”
“Oh, ya?”
“Ya. Kita tidak menemukan indikasinya kecuali bahwa, ini adalah kapal pengangkut benda-benda antik dari negara Tiongkok yang bertolak dari Pulau Onsurt. Mungkin akan di bawa ke pasar lelang di Nederland.”
“Wow!!”
“Harta karun!” Rendy mengguncang-guncang kedua tangannya.
“Aneh sekali. Bagaimana mungkin kapal sebesar dan sepenting ini bisa mengalami hal yang begitu tragis?” Denhaz, kordinator opererator 4 exavator yang di kirim perusahaannya memegang ujung dagu dengan tatapan sangat serius. Beberapa hal terkait teknis, lelaki berbadan jangkung itu diperbolehkan mengambil keputusan untuk dan atas nama perusahaan.
“Kemunginan besar, musuh yang menghadang kapal ini memang paham akan fungsi teknologi radio. Mereka melumpuhkan sistemnya dalam jarak berbeda sebelum melakukan penyerangan. Dugaanku, kapal ini sedang meneruskan perjalanan dalam segenap kecemasan sebelum mendapatkan serangan secara tak terduga. Ada pertanyaan lagi?” Sean menunggu beberapa waktu dan akhirnya menyudahi pemaparan dengan berkata. “Oke. Kukira gambaran kapal yang akan kita daratkan sudah cukup jelas.”
“Satu lagi!” Rendy mengangkat telunjuk dan Sean termangu sejenak. “Agak bergeser dari topik tapi masih berhubungan dengan ekspedisi; tentang Kepala Dusun. Apakah sudah tak ada masalah?”
Sean tersenyum. Sebelah tangannya terjulur dengan jari tengah dan ibujari membentuk huruf O. “Besok, ekspedisi akan kita mulai. Selamat malam!”
* * *
Masih terlalu pagi ketika ponton pengangkut empat excavator mulai mengitari lokasi. Udara dingin mengendapkan embun namun butiran-butirannya masih mengapung di atas air. Sean berdiri di atas speedboat bersama beberapa penyelam dan para pawang predator berada di jarak sepuluh meter dalam posisi siaga.
Sejak tadi, dari teras rumahnya, Pak Ilyas sudah duduk menghadap arah itu dengan wajah tegang dan pandangan hampa. Tak ada decak suara atau desahan napas kecuali kedua tangan yang bersedekap. Segelas kopi menguapkan asap putih di atas meja dan baru saja disuguhkan sang istri lima menit lalu. Tadi, waktu meletakkan gelas itu, istrinya sempat menanyakan perasaan Pak Ilyas termasuk apakah Kepala Dusun itu sedang tidak enak badan. Tapi setelah beberapa menit tak ada jawaban, perempuan itu segera memutuskan untuk berbalik ke dapur.
Di seberang sana, beberapa orang mulai menjulurkan jangkar yang sudah terhubung dengan pengait di ujung skop excavator. Sean bangkit dan merentangkan kedua tangan untuk memberi aba-aba agar ponton merapat.
“Jatuhkah!”
Seketika terdengar suara berdebam disertai air yang bergolak. Dua penyelam meluncur untuk menyangkutkan jangkar pada salah satu dek di dalam muara. Tak berkedip Sean mengamati setiap detik peristiwa itu seraya sesekali memberi komando tentang arah dan posisi kepala beco. “Excavator sebelah kiri, bersiap. Jatuhkan pada hitungan ke tiga!”
Operator di atas alat berat mengacungkan jempol kiri. Kemudian tangannya mengerak-gerakan tuas kendali dan pada saat yang sama, beco excavator mulai bergerak-gerak.
“Satu.. dua.. tiga!”
“Blam!”
Dua penyelam melompat dengan tubuh meliuk-liuk dan sesekali mengangguk-anggukkan kepala. Di titik yang berdebam tadi, keduanya membenamkan badan untuk mengaitkan ujung jangkar ke salah satu bagian dek yang lain lalu muncul kembali dan segera menepi. Begitupun dengan penyelam ketiga dan keempat sehingga semua penjuru kapal benar-benar terkait oleh pintalan kawat besar yang terpancang di ujung skop excavator. Sean terus mengendalikan keadaan meski sempat berpikir kalau apa yang mereka lakukan mungkin akan sedikit menyulitkan. Kehadiran arus pasang surut sama sekali tak bisa diduga dan sedikit banyak, hal seperti itu, jika tidak ditangani secara tepat dan cepat, justeru bisa menimbulkan persoalan yang serius di luar dugaan. Rentang jangkau kawat yang dijulurkan dan daya entak excavator adalah dua hal yang sangat berpengaruh dengan kondisi seperti itu.
“Dalam hitungan ketiga, tarik kawat pelan-pelan sampai posisinya mengencang!” perintah Sean. “Lakukan secara bersamaan seperti simulasi yang pernah kita coba. Oke. Kita mulai. Satu.. dua.. ti...ga!”
Suara berderak-derak menerjang gendang telinga. Kawat empat penjuru mengencang. Ujung beco excavator tercongak. Sementara kawat yang semula lunglai menjuntai kini berangsur mengeras serupa tiang.
“Stop! Tahan!” sebelah tangan Sean merentang lagi. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. “Yang lain tolong mundur!”
Beberapa speedboat berputar haluan untuk mengambil posisi aman agar tak tersambar kawat jika terputus. Mereka sudah memiliki pengalaman tentang hal yang pernah membuat cidera salah satu crew hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
“Tarik ke atas! Satu.. dua.. tiga!” Dari tempatnya bersandar, dengan keyakinan kalau semua crew sudah menepi, Sean kembali berseru. Raungan excavator mengguruh layaknya ribuan lebah dan para penyelam mengamati dengan napas tertahan. Beberapa nelayan muara juga sudah terpancang tanpa berkedip dan sama sekali tak menyempatkan diri untuk sekadar bertanya atau saling berbisik.
“Angkat!” pekik Sean.
Suara berderak-derak terdengar ngilu.
“Angkat lagi!”
Permukaan air mulai bergolak.
“Angkaaat!”
Cuitan keempat alat berat memekik tajam. Sean terus memberi komando dan beberapa penyelam di sekitarnya terus mengamati dan hampir berseru: “Ayo!” Sementara di ujung sana, orang-orang muara yang semula hanya berjumlah sedikit kini menjadi sesak di tiap-tiap halaman. Anak-anak bertepuk tangan, para perempuan meletakkan pisau pencacah ikan dan bersorak-sorai laksana pendukung kesebelasan dan keadaan itu semakin menyemangati para operator menjejak gas.
Saat ketegangan makin memuncak, tiba-tiba aliran sungai bergolak bagai mendidih. Dari permukaannya muncul suara berdebam-debam dan itu membuat satu dari keempat alat berat hilang keseimbangan. Namun para operator tetap saja melakukan tugas mereka bahkan sesekali melambaikan tangan. Mereka menduga suara-suara tersebut adalah sebuah pertanda terangkatnya bangkai kapal dan itu artinya, misi akan segera berakhir.
Namun dalam detik yang tak pernah diduga, ponton yang semula tenang itu perlahan mengalami hal mengkhawatirkan. Tuasnya kehilangan kendali dan seluruh badannya terguncang-guncang. Operator excavator yang sempat tak menyadari mulai merasakan ketakutan yang merayap. Hal yang menjadi sempurna dengan pekik histris orang-orang muara yang menyaksikan di ujung sana. Pak Ilyas tiba-tiba berdiri.
“Jangan panik! Tenang... tenang!” Sean berusaha menetralkan tapi itu hanya berlangsung beberapa saat saja sebab pada detik berikutnya seseorang sudah melompat ke sungai sambil berteriak:
“Buaya!”
Wajah Sean mengeras. “Jangan terjun!’
“Tolong!”
“Naik. Naik!”
“Tolonggg!”
“Cepat naik!”
Ekor puluhan buaya berkelebat mengelilingi empat excavator. Kepalanya menyembul, mulutnya mengangga dan tampaklah barisan gigi-gigi runcing di antara percikan arus. Dalam murka yang menyala, hewan penguasa muara itu tak lagi menaati waktu. Seseorang yang tadi nekat terjun segera mendapat serangan mengerikan dan lolongan kesakitan kontan menyalak. Puluhan buaya lain maju mendekat untuk mencabik-cabik tubuh itu, lalu menyeratnya ke dasar sungai dengan kibasan ekor yang kuat mengeras. Seketika air sungai berubah merah oleh darah. Semua orang menjerit dan berlarian menyelamatkan diri tapi buaya-buaya itu terus mengejar dengan ganas, tak terpikir lagi untuk menyudahi kemarahan.
Lidah Sean terasa pahit dan sesuatu yang menyesak terasa menyembelih pangkal lehernya. Dalam jarak yang cukup aman, matanya menatap puluhan buaya mengamuk dan melahap benda apa saja yang jatuh menyentuh air. Tak terkecuali dua exavator dan para operatornya!
Hari itu, kawanan buaya muara benar-benar menumpahkan angkara di bawah terik matahari. Menggulingkan 4 ponton pengangkut excavator dan menewaskan seluruh manusia penggeraknya. Amis darah melingkupi aliran sungai yang menentang ketamakan sebagai kekayaan yang semestinya menjadi harta karun paling bernilai. Bukan hanya tewas, jasad para operator itu bahkan tak pernah ditemukan lagi kecuali kisah tentang keserakahan yang mendapatkan imbalan mematikan!
Sampai di sini, Lila tak dapat lagi berkata-kata. Napasnya agak sesak dan niat untuk menyelami kapal itu tanggal sudah. Cik Usin kemudian mendekat untuk mengusap kepalanya lalu berkata. “Aku akan melakukan apa saja asal kau mengurungkan niatmu."
Lila menarik napas. “Mungkin aku akan membuat Drone.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Asmauna
Wauuu keren thor, banyak pengetahuannya 👍👍👍
2021-01-02
1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
sangat mengerikan ... sungguh tragis... bs jd pelajaran utk kita...bhw keserakahan akan berakhir pd celaka...😩😩😩😩😩😭😭😭😭😭😭
2020-12-12
0