BUTET yang sesekali dijuluki si Bogel karena bentuk tubuhnya yang pendek dan selalu akan menyambar jika disuguhi makanan, berseru dengan kening berkerut setelah Lila dengan semua keyakinannya menyatakan mereka harus melakukan sesuatu.
"Melakukan apakah rupanya?”
“Merakit Drone,” jawab Lila.
“Drone?”
“Ya.”
“Barang apakah itu rupanya?”
“Pesawat pengintai yang digerakkan dari jauh. Mencari Bang Ombak dengan benda itu kurasa jauh lebih masuk akal daripada mempercayakannya pada alam ghaib. Sulit aku mengerti bagaimana Bu Mala bisa menyakini apa yang disampaikan Uwak Kadirun dengan mimik wajah seperti kemarin.”
“Bukannya drum adalah tempat air?” bertanya Duma.
Lila memandangi penanya kesiangan itu dengan sedikit pesan kemarahan. “Coba kau korek telingamu. Mana bisa drum dipakai untuk mengintai!”
“Bodoh kali kau ini,” seru Butet.
Lila melanjutkan. “Dalam buku Sistem Drone, Peta Laut dan Navigasi, ada penjelasan tentang Drone dan aku rasa benda ini bisa kita rakit. Beberapa peralatan untuk membuatnya bahkan sudah kucatat dan akan kutanyakan pada Koh Alai di Pasar Unit Dua.”
“Aku akan membantumu sekuat tenaga,” Duma berkata lagi. “Gunung akan kulalui, lautan aku seberangi.”
Sayangnya, tak ada yang benar-benar ingin mendengar pernyataan itu kecuali Gita: “Tahi kucing!”
* * *
Koh Alai mengamati wajah Lila dan catatan yang baru saja ia terima. Kacamatanya turun hingga ke ujung hidung dan dia masih belum sepenuhnya mengerti. “Ini balang-balang semua mahal,” katanya dengan pikiran agak melayang-layang.
“Sudah seminggu Bang Ombak hilang di laut, Koh. Kepala Dusun dan orang banyak tak sanggup lagi mencari. Bu Mala dan Mak Ning sengat sedih tapi tak bisa berbuat apa-apa.”
“Astaga!” Koh Alai tersentak.
“Lila tidak bohong, Koh,” sambar Gita.
“Kasihan sekali.”
“Tapi saya yakin Bang Ombak masih hidup. Dia mungkin terdampar di suatu tempat. Saya dan kawan-kawan bermaksud ingin mencari,” tambah Lila.
“Owe ikut sedih.”
“Apalagi kami, Koh. Tak enak tidur, tak enak makan rasanya.”
“Lalu colet-colet ini apa?”
“Sekarang di sekolah sudah banyak buku sumbangan orang kota, Koh. Saya belajar tentang pesawat dan mesin robot dari buku-buku Ilmu Pengetahuan.”
Koh Ahok merasa pertanyaannya sama sekali belum terjawab. “Ini balang-balang semua mahal.”
“Untuk membuat Drone, Koh.”
“Apa?”
“Drone.”
“Dlone?”
“Ai! Yang pesawat tanpa awak itu, nah?”
“Haiya! Untuk apa?”
“Mencari Bang Ombak.”
Menarik napas panjang, Koh Alai melepas kacamata dan menatap Lila dan Gita bergantian. Ia berusaha mengerti mengapa anak-anak ini begitu berkeras ingin melakukan sesuatu yang akan terasa mustahil bagi sebagian penghuni muara.
Di Telukgedung, hampir semua orang akan disatukan oleh kebersamaan seperti itu dan seperti ungkapan tak ada agama bagi kemanusiaan, orang-orang di sana menjalani kebersamaan layaknya menikmati sinar matahari dalam hidup yang penuh warna.
“Kamu anak baik,” ujar Koh Alai. “Tapi itu teknologi tinggi dan tidak mudah.”
“Kami akan mencobanya, Koh.”
Pundak Koh Alai mundur ke belakang seakan-akan baru saja dihantam benda keras. Sekali lagi, ditatapnya kedua anak itu dengan perasaan antara takjub dan kagum. Lalu ia mengambil kertas dan mulai menuliskan daftar harga kemudian memberikannya pada Lila. “Ini yang paling mulah.”
Lila mengamati satu persatu. "Frame, FBC, Motor, Propeller, Baterai, Charger, Remote, ESC. Kabel, solder, timah, kawat perekat panas, bahan Fiber Glass. Kok ada ini, Koh?”
“Apa?”
“Bahan Fiber Glass?”
“Itu selatkaca. Tadi kamu tulis di sini.”
“Oh, seratkaca,” Lila agak mengangguk tapi tetap memikirkan kosa kata itu.
Koh Alai meraih kalkulator untuk menjumlahkan harga. “Enam juta tujuh latus lima puluh libu,” katanya.
Lila segera terdiam.
“Tadi owe sudah bilang, ini kelja liset negala punya. Kamu yakin bisa buat?”
“Biayanya mengerikan, ya, Koh?”
Pria keturunan itu mengangguk kecil tapi tidak sepenuhnya. Sebagian datang atas kekagumam yang sedang ia rasakan juga sebuah keraguan besar sebab Lila sedang merencanakan sesuatu yang hampir mustahil bagi anak-anak muara. “Kamu halus cali banyak uang bial bisa dapat itu balang. Coba bilang sama Pak Ilyas. Mungkin bisa kasih bantu. Nanti kalau ada kulang sikit-sikit, owe juga bisa kasih bantu.”
Pada saat itu Lila segera termenung dan mulai berpikir kalau ia akan segera memberikan penjelasan pada kawan-kawannya yang kebanyakan adalah anak banyak bicara.
* * *
“Tujuh juta?” Mata Agam terbelalak. Butet, Berta, Gita dan Duma terpekur seperti ayam sakit, memeluk lutut.
“Ini catatan dari Koh Alai,” Lila memastikan.
“Apa tidak ada cara lain?” tanya Agam.
“Kurasa ada. Tapi tetap saja perlu biaya. Kecuali FCB.”
“FBC, apa itu?”
“Singkatan berbahasa Inggris, aku lupa. Sebentar, kulihat dulu.” Lila mengambil tiga buah buku dari dalam kamar kemudian membuka salah satunya. Dua buku yang lain diletakan di atas lantai dalam keadaan tertutup. “Ini dia,” katanya. “Feligehet Control Boared.”
“Ada pelegehetnya,” celetuk Gita.
“Pelegehet alias pologohot.” Butet mencolok lubang hidung.
Lila menutup kembali buku itu setelah membukanya. Tapi salah satu jari masih diselipkan sebagai pembatas bacaan. “Ini adalah otak Drone,” ucapnya.
“Kau bisa merangkainya ‘kan?” tanya Agam.
“Lebih sulit membuat perahu.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Lalu bagaimana dengan bahan-bahan lain?” kejar Berta.
Kembali membuka buku, Lila mengentakan napas agak keras. “Sejak kupinjam sampai tadi malam aku sudah membacanya lebih dari sepuluh kali,” dan jari telunjuknya kini mengarah pada selembar halaman. “Yang pertama: Frame atau rangka, salah satu bagian yang sangat penting untuk membuat robot bersayap atau quadcopter. Ai, dah, bahasa Inggris lagi. Pening palak mengucapkannya.”
“Coba kau baca lagi siapa tahu maksudnya copet!” Gita tertawa.
Lila meneliti dan segera ikut tertawa. Tak seorang pun akan mengatupkan mulutnya ketika datang masa untuk tertawa. Salah seorang bisa saja mengucapkan kata-kata yang sengaja dipelesetkan, lalu ucapan itu diulangi lagi kemudian suasana menjadi semakin hingar. Tapi pada dasarnya, anak-anak ini sedang bermimpi menjadi peneliti NASA dan mungkin itulah hal terlucu yang layak ditertawakan.
“Kulanjutkan,” sambung Lila. “Diperlukan empat lengan sebagai tempat motor dan propeller atau baling-baling agar dapat menghasilkan gaya dorong pada sebuah Drone. Baling-baling itu akan berputar pada poros yang digerakkan oleh mesin. Dua berputar searah jarum jam, dan dua lainnya ke arah berlawanan. Bentuk dan ukuran propeller harus dibuat seefektif mungkin agar Drone dapat terbang dengan mulus dan sudah terkoneksi dangan FCB. Bahan balling-balling atau propeller frame bisa dari fiber, kayu atau aluminium. Kecuali jika ingin membeli langsung,” Lila kembali melongok ke sungai. “Coba kau lihat, kalau beli berapa harganya?”
Agam membuka coretan yang sejak tadi sudah berpindah dalam genggamannya.
“FBC; Lima ratus ribu!”
Duma meneguk air liur. “Alangkah mahalnya!”
“Iya, mahal sekali,” Berta makin terpekur.
“Apa lagi?” kejar Agam.
Lila kembali ke buku: “Motor. Sebuah Drone memerlukan empat buah motor penggerak yang ukurannya menggunakan kilovolt. Semakin besar ukuran motor, maka akan semakin tinggi pula kecepatannya,” lalu anak itu mendesah kecil. “Ini seperti perahu mesin tapi sedikit berbeda. Aku yakin bisa menggunakan kuparan stavolt yang dihubungkan dengan beberapa kabel tembaga,” katanya lalu selama beberapa waktu menancapkan pandangan ke arah bangkai stavolt di pojok ruangan yang bergeletakan. Butet, Duma, Arpan, Berta, Gita dan Agam ikut menatap ke arah yang sama meski tetap tak mengerti apa yang sudah mereka temukan.
“Lalu baterai dan charger jenis Li-Po alias, apa ini, bahasa Inggris lagi; Lithium Polymer. Ya, Lithium Polymer. Satu sell baterai Li-Po biasanya memiliki ukuran 3,7 volt dan semakin banyak sell, maka akan semakin besar kekuatan dan daya tahan Drone.”
“Ini menyulitkan?” tanya Agam yang selalu ingin mengetahui semua benda yang disebutkan.
“Sulit jika tidak dicoba. Tapi ini bisa dirangkai sendiri. Hanya menggeser model bateri dan charger HP,” Lila lalu melanjutkan dengan membaca penjelasan lain. “Yang terakhir adalah Remote. Paling tidak, remote memiliki empat channel dan ini bisa dibuat dengan menggunakan remot tv dengan sedikit perubahan.”
“Oh Tuhan!” Gita berdoa lagi. “Sungguh berat pekerjaan ini.”
Menarik napas agak panjangn, tiba-tiba wajah Lila berubah agak muram. “Kita juga butuh laptop untuk mengarahkan lintasan,” katanya.
Maka berteriaklah Arpan. “Kalaupun bisa membelinya, menggunakannya bahkan kita tak ada yang mampu. Sulit sekali pekerjaan ini.”
“Masih ada lagi?” kejar Agam.
“Resin, Mat Fiber, Katalis dan Talk. Fungsinya untuk membuat seratkaca yang akan dirangkai menjadi badan Drone tapi aku sudah mendapatkannya dari Koh Alai. Kebetulan tokonya menyediakan.”
Kening Berta berkerut. “Tidakkah itu cukup mahal?”
“Tentu saja. Tapi Koh Alai menyumbangkannya untuk kita.”
Setelah kawan-kawannya pergi dengan wajah menanggung derita, Lila mengacak-acak isi rumah dan menemukan selembar terpal tambak untuk memulai langkah pertama; merangkai lengan Drone.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Asmauna
Anak - anak yang cerdas 👍👍👍
2021-01-02
1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
kegigihan anak2 nelayan Telukgedung 👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2020-12-12
0