Laut Tak Berombak

Laut Tak Berombak

Menanti Aksara Tiba

PAGI  itu,  menjelang dhuha. Lila  sudah berdiri di atas halaman panggung SD Swasta  Telukgedung setelah sempat hampir terjatuh karena saat hendak mendarat    jarak antara lompatan  dan perahu yang ditumpanginya masih cukup jauh dan dia terlalu bersemangat mengangkat kaki sebelah  kanan. Kepala perahu yang belum benar-benar  menyandar  bergeser terbawa arus hingga kedua kakinya merentang makin lebar dan ia gagal mengentak.  Cik Usin, ayahnya yang melihat ketidakseimbangan gadis kecil itu cepat-cepat  mendekatkan ujung perahu untuk memberi pijakan penyelamat lalu mendorong pantat Lila sampai bocah berambut sebahu yang bagian ujungnya  bercabang seperti sarang tupai  itu benar-benar mencapai papan halaman dalam entakan sekali lagi.  

“Bapak tidak turun?” tanya dia setelah yakin lututnya tak lagi gemetar.

“Tidak,” jawab Cik Usin. “Dua puluh kilometer di hulu ada sebuah dusun yang sedang menantiku; seekor  buaya menelan anak kerbau.”

“Orang dusun itu tak bisa menanganinya sendiri?”

“Tentu saja tidak.”

“Tapi seharusnya Bapak berada di sini.”

“Tentu saja.”

“Lalu mengapa Bapak tidak berada di sini?”

“Orang-orang itu harus ditolong, Nak. Buaya itu harus ditaklukan.”

“Tidakkah Bapak bisa melakukannya di lain waktu?”

“Aku juga akan melakukannya di lain waktu.”

“Lalu mengapa Bapak tidak melakukannya?”

Cik Usin menautkan alis. “Aku akan melakukannya setelah ini dan kapanpun bila orang-orang itu menginginkannya.”

Lila mencoba mengangguk pelan sebagai pesan kalau  ia sama sekali tak bisa mengerti namun  ingin sekali memahaminya. Pandangannya jatuh ke aliran sungai yang mulai berminyak akibat limbah yang terus menyerang dari di hulu. “Jadi, Bapak tidak akan menjemput ku?” 

“Di sana ada yang harus kutaklukan Nak.”  Lelaki paruh baya itu mulai mendorong ujung dayung pada tiang penyangga  halaman kemudian  menghidupkan mesin perahu dalam sekali entakan lalu melakukannya sekali lagi. “Kau  pulang saja sendiri. Kau harus membiasakannya.” 

Suara perahu motor menderu.

“Jadi, Bapak benar-benar tak bisa?”

Sekali lagi, Cik Usin menoleh. “Aku tak mungkin meninggalkan dusun itu sebelum benar-benar aman, Nak. Aku harus memastikannya.”  

Kemudian ia  memutar posisi tubuh dan ombak kecil membuat perahunya bergoyang-goyang. Lila kembali menarik napas; sudah biasa lelaki usia 50  ini tidak pulang dan ucapan semacam itu sebenarnya sudah ia duga sebelumnya.

“Aku sungguh  berharap Bapak pulang,” bisiknya dengan perasaan tak peduli dan dia terus berpikir,  apa pun yang terjadi,  hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari penuh keberkahan sebab sebentar lagi buku-buku dari kota segera akan menelanjangi kebodohan dusun di atas air setelah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka dan orang-orang Telukgedung  menempati muara ini lebih dari satu abad. Namun Cik Usin  benar-benar tak menjawab lagi dan segera berlalu dan anak perempuan kecil itu, sekali lagi, hanya bisa menghela napas berat.

Di belakang  halaman tempat  Lila  berdiri, ada sebuah sekolah terapung dengan dua ruang kelas yang dinding papannya sudah berongga dimakan anai-anai. Lantai ruangan itu, pada beberapa sudutnya,  menganga menyerupai mulut harimau yang siap menelan anak buaya. Tapakan menuju kedua pintu dua ruang kelas itu berada di samping kiri mengikuti posisinya yang melajur  ke belakang  berupa susunan papan ibarat  jalan setapak dengan tameng pagar kayu Gelam yang dipaku agak rapat sebagai  penanda kalau  tapakan itu sama sekali bukan pelataran  jumping.  Pada bagian  kanan halaman panggung itu juga terdapat sebuah jembatan dari tiga batang Gelam; terikat tali sabut kelapa yang sudah diserut kulitnya dan  diperkokoh sebatang  bambu melajur. Itulah jalan penghubung antar rumah bagi  sebuah dusun di atas muara  sungai yang tak pernah terlacak oleh peta. 

Bagian kanan sekolah itu bersentuhan langsung dengan rumah Duma, lelaki kecil kawan sekelas Lila  yang paling banyak lagak tapi mudah bahagia bila dipuji. Seperti nalarnya yang  pendek,  tubuh anak berambut bagai tebasan ilalang itu adalah perpadanan antara tiang tambatan perahu dan induk buaya; bogel, kejal, agak meliuk tapi tidak cacingan. Terdapat  puluhan rumah yang berbaris sambung-menyambung di bagian kanan rumah itu yang melarik  hingga ke ujung muara dan hampir di setiap bagian depannya diapungi sebuah perahu yang bila air sungai bergerak sedikit saja akan mengangguk-angguk layaknya kuda kehausan.   

Berjarak dua lompatan di sebelah kiri,  berdiri rumah Agam yang mulai miring ke kanan meski  tetap tegak seolah sedang menantang laut. Rumah itu beratap nipah dengan separuh dinding bagian depan dilapisi terpal tambak kaku yang sengaja dipasang sebagai penghalang sebab  dinding itu pernah diterobos buaya besar ketika air sungai mengalami pasang tinggi dan seperempat badan rumah hilang terendam.  Sejak itulah  ayah Agam berpikir keras untuk membuat semacam pertahanan agar tidak dihantam  stroke akibat berulangnya  peristiwa menakutkan itu.

Sepeninggal Cik Usin dengan bergelombang nya permukaan sungai oleh kibasan baling-baling perahu, Lila hanya bisa tersenyum getir kemudian  berbalik dan kembali tersenyum lebih getir   untuk menyadarkan dirinya bahwa,  sebuah hari yang pantas dibanggakan sebentar lagi akan menjamah dusunnya. Sejak berita tentang kedatangan buku itu masuk ke telinganya, nalar dan harapan gadis kecil itu  itu segera menyatu  dalam kepala orang-orang pintar  yang  seolah akan mengajarinya cara menegaskan sisa hidup lewat halaman demi halaman buku yang akan segera bisa dibaca. Ia begitu senang membayangkan  suasana semacam itu dan terus  membanggakannya seolah hari-hari setelah hari ini,  manusia Telukgedung tak lagi akan ditakutkan oleh virus Corona. Dia bahkan tak mengambil bagian untuk khawatir dan terus mengupayakan kemampuan agar   tetap bergembira meski dengan senyum yang sangat dibuat-buat.

Jumlah orang yang datang makin lama kian bertambah dan matahari yang mulai menyengat  membiaskan pada  air sungai yang berkilau bagai fatamorgana. Setiap wajah orang tua yang mendarat bersama anaknya membawa  segenap keceriaan  yang aneh walau mereka sendiri tidak mengerti mengapa melakukannya. Mereka, para orang  tua  yang tak mengenal  ponsel dan media sosial itu, sesekali, hanya ingin menyatakan keyakinan  besar bahwa suatu hari nanti mereka akan membalik  tatapan rendah para tengkulak terasi yang terus menghancurkan harga dengan  mengandalkan tipu daya meski sebagai besar rakyat miskin di dusun atas sungai ini,  terlanjur menganggap pendidikan sebagai deret kengerian yang tidaklah diyakini sebagai jalan keluar kecuali oleh sebagian kecil nelayan saja.

Lila sangat mengenal wajah anak-anak seusianya yang terus berdatangan bersama orang tua mereka itu dan rata-rata mereka memiliki ujung rambut berwarna merah akibat dipanggang sinar matahari.  Gita misalnya, meski cepat-cepat  melepaskan pegangan tangan emak setelah membentur tatapan Lila yang penuh hinaan,  adalah pemilik sketsa tangan berkuku panjang dan hitam yang sejak dimasukan ke sekolah ini dan tak akan pernah selesai bila diminta menyanyikan lagu Garuda Pancasila sebab sama sekali tak hafal. Dia juga masih belum bisa melepas kebiasaan mengenakan rok ibunya yang  kedodoran yang  ujung bawahnya menjuntai menjijikan  hanya  agar kentutnya bisa memiliki sirkulasi untuk mencegah masuk angin – dan entah bagaimana dia bisa memiliki pendapat  tolol sekejam itu tapi bagi siapa saja yang menantangnya, anak itu siap bertarung sampai mati.

Berta, Iriana juga  Arpan  pun tiada bedanya. Mereka adalah kawan-kawan bengal yang kadang membuat senang tapi lebih banyak mendatangkan pening kepala walaupun mereka adalah teman-teman baik bagi Lila. Teman-teman yang mau tidak mau harus terkurung dalam sebuah sekolah di atas muara akibat empat alasan besar. 

Pertama, orang tua mereka adalah para tetangga dari sekumpulan orang muara  yang hampir tak memiliki  cita-cita kecuali agar anaknya  menjadi Kuda Terbang –sebuah sebutan untuk mereka yang tak surut menerjang laut demi mendapatkan ikan sebesar perahu. Kedua, SDS Telukgedung adalah satu-satunya sekolah yang harus dibanggakan untuk melepaskan diri dari mati keras akibat memikirkan biaya transportasi yang  bisa mengundang penyakit baru yang lebih kejam dari wabah  Corona. Ketiga, demi  melepas pepatah: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tapian dan menguji apakah pepatah itu sudah waktunya di ganti dengan,  ‘buah duku buah rambutan’; kalau tak kuasa menyeberang ke hulu, jangan bermimpi  menang di  daratan. Terakhir, karena tak ada pilihan.

Kian lama halaman panggung itu benar-benar menjadi sesak oleh umat muara yang sebagian besar gemar meracau. Semua orang tua membawa anaknya dan semua anak tiba bersama ibu atau bapaknya. Bu Aisyah dan Mala yang tiba agak tergesa-gesa langsung membuka salah satu ruang kelas untuk menetralkan suhu udara sebab matahari di luar mulai mengigit dan itu  makin meyakinkan semua orang kalau hari makin siang. 

Dua guru perempuan yang sederhana ini sesungguhnya  sedang berada dalam situasi di puncak bahagia sebab keinginan mereka untuk memiliki perpustakaan dengan buku-buku yang ajaib, dalam waktu tinggal hitungan jari, segera akan terwujud. Kegembiraan ini menjadi alasan yang terang bagi keduanya untuk sedikit tersenyum sebab dengan buku-buku itu, mereka bisa mengurangi perenungan tengah malam saat bulan, bintang dan mendung berkibar di langit sedang mereka harus menyusun apa yang layak dan tidak layak untuk disampaikan pada anak-anak esok paginya. 

Bu Aisyah  sungguh memahami kondisi para orang tua siswa yang tidak hanya sekadar membutuhkan status sosial bahwa anak-anak  mereka butuh sekolah. Lebih dari itu, mereka juga mulai meyakini kalau sekolah adalah musabab seorang manusia bisa memiliki sejumlah kapal  penangkap ikan dan karena itu ketika  menerima kabar buku-buku itu akan datang dua hari yang lalu,  dia sengaja meminta para orang tua hadir sebagai saksi atas bekilaunya sebuah harapan. Bahwa, setelah hari ini,  anak-anak muara tak perlu lagi menghabiskan waktu bermain dengan hanya berenang atau  mendayung perahu sepanjang hari. Buku-buku itu akan membuat mereka memulai hal  baru yang mengejutkan.

Akan tetapi sebanyak  itu rencana yang sudah disusun Bu Aisyah,  sebagaimana pohon tua yang liukan daunnya  selalu akan memburu arah mata angin, penantian adalah hal paling ajaib melebihi arah  mata angin itu. Buku yang ditunggu-tunggu itu,  bahkan hingga matahari bergeser di sudut 45 derajat ke arah Barat, ternyata  tak  juga kunjung tiba sampai hari menginjak redup.  Semua wajah mulai berubah gelisah. Tatapan demi tatapan saling beradu dalam  kekecewaan  yang coba diriang-riangkan tapi itu tidak bertahan  lama. Setelah waktu makin  mendekati malam dan  semua orang  yang  gelisah itu tak mungkin terus-menerus menipu dirinya,  satu persatu mereka akhirnya beranjak pulang dengan sebagian besar merasa tak perlu menoleh lagi.

Lila  sudah tak lagi menyadari banyak hal dan mulai merasa apatis sebab lebih dari itu,  ayahnya benar-benar tak tampak kembali. Dengan kemauan ingin membaca yang besar dan kerinduan atas buku-buku  yang tak terbedung, dia akhirnya  memutuskan untuk bermalam  di halaman  sekolah itu setalah Bu Aisyah dan Mala berpamitan di penghujung waktu yang muram.  

Terpopuler

Comments

𝔸𝕝𝕖𝕖𝕟𝕒 𝕄𝕒𝕣𝕊

𝔸𝕝𝕖𝕖𝕟𝕒 𝕄𝕒𝕣𝕊

aleena mampir😍😍

2021-07-24

0

mamayot

mamayot

5 jempol sudah mwndarat thor,mampir di novel ku juga ya

2021-07-09

1

mamayot

mamayot

sudah mampir ya thor,dsn sudah meninggalkan jejak jempol untuk author,,semoga berkenan mampir di novel ku ya thor

2021-07-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!