Perempuan Muara

SEPERTI halnya anak-anak muara yang lain, Mala adalah gadis Telukgedung yang bersekolah melalui takdir ajaib Tuhan. Kisah likunya bermula dari sebuah Poskesdes Gedung Karya Jitu saat mengantar seorang tetangga hamil yang mengerang kesakitan.

Tak ada Puskesmas di Telukgedung, apalagi bidan atau perawat. Kadang begitu sulit memahami arti pemerataan ketika membedakan antara ada dan tiada bahkan jauh lebih mudah dari menduga kehadiran limbah dan abrasi. Orang-orang sering bertanya mengapa fasilitas kesehatan tak dibangun di pemukiman atas air ini dan sepanjang pertanyaan itu tak ada jawaban yang lebih mengecewakan kecuali menunggu.

Mala lalu membawa perempuan itu keluar dari muara. Menuju jalan tanah serupa jebakan meski tukang ojek tak pernah menjadi gila sebab transportasi adalah persoalan serius kedua setelah pelayanan publik yang lain.

Gadis itu sempat marah besar ketika permintaan dan tawaran ongkosnya tak bersepakat hingga tak satu pun tukang ojek sudi mengantar setiba ia di daratan. Tapi Mala terus mendesak. Kepala Pangkalan berbadan ceking dangan tato naga di kedua lengan memperlakukannya dengan sangat garang.

“Kau perempuan kampang! Kami tak ada waktu!”

Mala melemparkan tatapan agak nanar untuk menyampaikan antara permintaan maaf dan keinginan agar dipahami. Tapi tak ada yang menganggap tatapan itu layak dipertimbangkan atau sekadar dimengerti hingga suasana tetap tak berubah.

“Saya tak paham mengapa Abang sanggup membentak?” kata Mala.

"Aku tak peduli dengan pahammu!" Kepala Pangkalan mulai memperkenalkan siapa dirinya.

"Tapi semestinya kita tidak saling melakukannya, Bang."

“Ya. Dan sebaiknya kau urus saja dirimu sebab itu tak ada urusan denganku!” Si ceking memandang tajam sambil mengangkat dagu dan dia tak ingin meyakini apa pun kecuali menunjukan bahwa, di tempat ini, dia adalah penguasa yang sebenarnya. “Kau dengar! Kami tak memiliki urusan denganmu!”

“Tolong kami, Bang!” pinta Mala.

“Kau yakin aku mengenalmu?”

“Tidak.” Mala menggeleng.

“Lalu mengapa kami harus menganggap permintaanmu sebagai hal penting?”

"Bang..."

"Enyah!"

Sesungguhnya, Mala benci sekali pada sikap arogansi dan keangkuhan. Sangat membencinya. Saat seorang lelaki tolol menghardik begitu keras hanya karena merasa menguasai pangkalan ojek yang sama sekali bukan milik neneknya, tak ada sebutan yang pantas atas manusia semacam itu kecuali pengecut. Orang-orang seperti itu, atau yang lebih parlente lagi, tidak pernah mengerti kalau manusia-manusia muara sudah biasa terhimpit di atas perut kekayaan bumi dan itulah jawaban atas mengapa taring dan kuku penguasa yang tertancap di Telukgedung adalah sebuah ironi atas kesejahteraan rakyat yang mendiaminya. Orang-orang banyak bicara itu hanya pandai mengembuskan angin segar tapi harus berpikir panjang saat hendak mengucapkan kalimat harapan. Orang-orang seperti itu, selalu melihat orang lain lebih rendah serendah cara ia memahami keberanian dan kekuasaannya dengan cara sama rendahnya.

“Pergi!” hardik si ceking.

“Tidak, Bang.”

“Enyah dari sini!”

“Tidak!”

“Tak ada yang menginginkan kehadiranmu di sini!"

“Saya ingin Abang memastikan siapa yang akan membawa kami. Kita harus membicarakannyai!"

"Oh ya?"

"Tolong bantu saya, Bang."

"Kau pikir siapa dirimu sehingga bisa memerintahku?"

"Abang harus menolong kami."

“Monyet!” Suara kali ini disertai dengan tatapan terang dan tangan mengepal meski lelaki itu masih berpikir ulang untuk sekadar bertindak memalukan. “Minta tolonglah pada monyet!”

“Dia hamil, Bang.”

"Memohonlah pada monyet!"

"Dia butuh pertolongan.'

“Aku bukan suaminya!”

“Memang bukan, tapi Abang harus menolongnya.”

“Berijelah die!”

"Bang..."

Dan Mala tak mungkin membawa perempuan yang terus merintih itu menyusuri jalanan yang masih puluhan kilometer jauhnya dengan hanya berjalan kaki. Ia membuka mata lebar-lebar namun kali ini tak ingin menatap lelaki di hadapannya yang begitu sulit dipahamkan.

Wanita berperut besar yang duduk tak jauh kembali merintih dengan wajah pucat dan seluruh sendi terasa lemas. Sementara penguasa pangkalan ini sama sekali tak bergeming dan itu membuat Mala mundur beberapa langkah untuk menyiapkan pertarungan sebenarnya. Kesabarannya sebagai seorang gadis muara, habis sudah.

“Anjing!” Kepala pangkalan mengepalkan tinju dan mulai menggulung lengan baju. "Kau kira aku takut?"

"Maaf, Bang. Saya tak punya pilihan."

"Kupecahkan kepalamu!”

“Mati saja kalau saya mundur, Bang”

“Kampang!”

Beberapa tukang ojek yang menyaksikan keadaan makin buruk segera menyadari hal yang akan makin memalukan. Mereka sebenarnya tak menyepakati pertengkaran itu namun tak memiliki keberanian melerai sejak awal hingga seorang tukang ojek berpostur agak tua akhirnya memberanikan diri.

“Sabar, Bang!” Dia memegang bahu lelaki ceking.

“Lantaklah die! Biar kuinjak-injak!"

“Malu dilihat orang, Bang.”

“Tutup mata kalau kau malu!”

“Bukan begitu, Bang. Dia benar. Kita harus menolongnya.”

Kepala pangkalan menyambar kerah baju lelaki cokelat tua bertubuh kejal pendek yang seketika berubah menjadi pucat. “Apa kau mau menggendongnya sampai ke rumah Bidan?”

“Bukan begitu, Bang.”

"Kau menyalahkanku?"

"Tidak, Bang. Bukan begitu."

“Kalau begitu diamlah!”

Lelaki cokelat tua itu mencoba mengarahkan wajah ke sebuah loket dalam jarak beberapa puluh meter dan segera mendapati jalan keluar yang harus ia katakan. “Avivi itu mungkin bisa mengantar,” katanya.

Dengan refleks Kepala Pangkalan melepaskan tangannya lalu menoleh dan terdiam selama beberapa menit. Kedua matanya mengamati jasad Mala dari ujung kaki hingga kepala lalu membuang wajah dan berkata: “Panggil!” dengan sebelah tangan mendorong kening pria cokelat tua yang segera berlari menuju loket. Di sana ia lalu berbicara dengan seseorang berperawakan sedang dengan topi merah yang beberapa kali menatap ke arah Mala kemudian mengangkat kedua tangan lalu bersedekap. Lawan bicara itu, tak lama berselang, kemudian memasuki mobil dan menghidupkannya

“Dia siap, Bang!” kata tukang ojek tua yang sudah kembali setengah berlari dan lelaki lampai menatapnya dengan kedua tangan terjuntai lalu menyalakan rokok kretek.

"Kau antar mereka ke rumah bidan!” katanya pada sopir Avivi yang berhenti tepat di sebelah Mala. Dia berumur 50 tahun dengan sebagian kumis berwarna agak kekuningan dan kulit cokelat tua. Mengenakan topi dan kaus yang sama-sama merah, agak kurus tapi tidak cacingan.

“Siap, Bang!”

“Aku yang bertanggungjawab!”

“Siap, Bang!”

“Bulu hidungmu lebat?”

“Lebat, Bang.”

“Kalau begitu jangan macam-macam atau aku akan mencabutinya satu -satu!”

“Siap, Bang!”

Mala segera membantu memasukan perempuan makin tak berdaya itu ke dalam mobil dan menidurkannya di jok belakang. Kepala pangkalan menyesakan beberapa tas jinjing dan termos air lalu berdiri di sisi sopir. Mala mendekat untuk mengucapkan terima kasih tapi suaranya sama sekali tak didengar. “Saya salah menduga,” kata Mala namun lelaki lampai itu sudah membuang muka begitu saja.

Mala tak lagi berkata-kata. Mobil Avivi mulai bergerak meninggalkan pangkalan ojek yang sempat membuatnya tertahan di bawah tatapan puluhan motor mati pajak. Mobil yang kepalanya agak mengangguk-angguk itu meniti jalan penuh lubang dan sesekali oleng ke kanan atau kiri hingga terdengar suara bergemuruh dari lubang-lubang jalan penuh air. Sopir berwajah agak lengas usia paruh baya yang terus mengendalikan stir sama sekali tak banyak berkata-kata kecuali memberi aba-aba saat mulai melihat lubang dengan tanpa merasa perlu mematikan mesin. “Pegangan yang kuat!” serunya berulang kali dan Mala cepat-cepat menggenggam tangan perempuan hamil di sampingnya yang sesekali terdengar mengerang. Hal seperti itu terus berulang hingga mereka tiba di Poskesdes dan seorang bidan muda dengan senyum lebar datang menyambut dengan agak tergopoh.

"Pelan-pelan saja," ujar Bidan muda pada perempuan hamil yang terus memegang perutnya dan sesekali mengerang. "Apakah semua baik-baik saja?" tanya Bidan itu dan kali ini ditujukan pada sopir bertopi merah yang segera menjawab dengan mengatakan jalan menuju ke tempat itu agak sedikit buruk sebab semalam hujan turun sangat deras.

Perempuan hamil itu lalu direbahkan untuk diperiksa sedangkan sang sopir hanya diam diujung pintu sebab merasa harus membatasi banyak hal. Ia perlahan mundur dan memilih berteduh di bawah sebatang akasia yang mulai kering saat bidan itu mulai melakukan tugasnya sebagai petugas persalinan. Saat ia kembali akan menghidupkan mobil, lelaki lampai penjaga pangkalan tiba-tiba muncul dan langsung menerobos masuk. Mala sempat panik.

“Apakah dia baik-baik saja?” tanya dia dengan tubuh penuh keringat.

Bidan muda yang sedang menangani perempuan hamil itu tak segera menjawab melainkan mempersilakannya duduk namun ditolak.

"Aku hanya perlu tahu keadaannya," ujar lelaki bertato.

“Kelahiran bayinya tinggal menunggu waktu, Bang."

"Sudah mau beranak?"

"Secara medis belum dan semua baik-baik saja tapi tidak jika di bawa terlalu banyak bergerak.”

"Masih lama?"

"Relatif, Bang. Mungkin butuh waktu beberapa hari lagi."

"Berapa hari?"

"Apanya?"

"Beberapa hari itu. Maksudnya berapa hari?"

"Satu atau dua hari lagi, Bang."

“Oh, begitu?”

“Ya, Bang.”

“Yang lain?"

"Kandungannya?"

"Ya. Bayi dalam perutnya itu?"

“Sehat, Bang. Tak ada gangguan yang mengkhawatirkan.”

“Perempuan ini apa tak ada lakinya?”

Pertanyaan itu ditujukan pada Mala namun perempuan yang terbaring itu kemudian menjawab dengan sebuah cerita prihal suaminya yang masih melaut. Dia juga mengatakan kalau Mala hanyalah membantu dan dia merasa sudah banyak berhutang budi pada hampir semua orang.

Lelaki penuh tato lalu mengangguk-angguk sambil memegang ujung dagu. “Ya sudah,” katanya. “Semua biaya tanggung jawabku. Bilang pada suamimu, jangan mau enaknya saja. Bini mau beranak malah pergi entah ke mana. Lelaki monyet!” Lalu ia beralih pada Mala yang masih menunduk di ujung zal dan tak lagi ingin mengatakan apa pun kecuali menarik napas.

Lelaki lampai menghardik. “Hei! Beruk perempuan!”

Mala mengangkat wajah. “Ya, Bang.”

“Urusanku selesai, ya!”

“Ya, Bang. Terimakasih.”

“Kau jangan banyak omong lagi.”

“Ya, Bang. Maaf.”

“Beruk kau!”

Mala berusaha tersenyum lalu kembali menundukkan kepala. Sebagai gadis muara, ia sangat benci dipermalukan, tapi untuk pertama kali dalam hidupnya ia bersyukur ada lelaki ini. Sedikit kelegaan dan keraguan mencengkeramnya di beberapa waktu dan si lelaki penuh tato itu, dengan tanpa kata-kata lanjutan, segera melesat pergi.

Sesudah Bu Bidan selesai memeriksa, Mala mendapat kesempatan bertanya tentang Kepala Pangkalan itu.

“Orang-orang di sini mengenalnya sebagai Bang Jack,” jawab Bidan.

“Dia baik sekali,” sahut Mala.

“Ya.”

“Tapi agak menakutkan.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Tadi kami sempat bertemu.”

“Di pangkalan?”

“Ya.”

“Biar kutebak, kalian pasti ribut.”

Mala tersenyum kecil.

“Aku sudah menduganya.”

“Dia sempat marah tapi mengurungkannya.”

“Aku mengerti maksudmu. Tapi pada dasarnya dia tak seburuk dugaan siapa saja. Dalam beberapa kasus, orang-orang yang baru mengenalnya sering salah tentang hal ini.” Bu Bidan melap tangan dengan handuk kecil kemudian melipat dan meletakannya di atas meja. “Namaku Sarah,” katanya. “Kau bisa memanggilku Kakak atau sebut saja nama.”

“Saya Mala,” jawab Mala. “Lengkapnya Malahayati.”

Bidan Sarah tersenyum dan itu terlihat sangat jelas. “Aku suka namamu!”

“Saya juga suka nama Kakak.”

“Oh, ya?”

“Mengingatkan pada sekuntum bunga.”

“Kau serius?”

“Ya.”

“Penuh dengan cinta.”

Mala terkekeh dan Bidan Sarah tersenyum. Beberapa waktu berikutnya mereka sudah mengobrol dan mulai saling memahami meski sangat terbatas.

“Kalian hanya tetangga?” tanya Bidan Sarah.

“Kadang itu hanya bahasa, Kak. Di Telukgedung, kami sudah terlatih untuk menganggap semua orang adalah saudara.”

“Bagus sekali.”

“Kak Sarah bidan yang baik.”

Sarah tersenyum lagi lalu menyeret hordeng yang kelebatannya sempat terhalang oleh termos panas di atas meja. “Kau tidak sekolah?” tanya dia.

“Dulu pernah,” jawab Mala.

“Dulu?” Sarah menyeret kursi dan kini mereka duduk saling berhadapan.

“Setahun yang lalu saya lulus di SMP Sidang Muara Jaya tapi Ayah yang biasa mengantar tak bisa lagi melakukannya.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Tidak apa-apa.”

“Ayahmu masih hidup?”

Mala mengangguk.

“Apa dia sakit?”

Mala menggeleng.

“Agak bingung aku memahamimu,” Bidan Sarah menghantikan pertanyaan dan segera menyadari kalau ia terlalu agresif. “Tapi sudahlah. Maafkan aku.”

Obrolan itu kemudian bergeser dan kini keduanya membahas kondisi perempuan hamil itu. “Tinggal mengunggu hari,” kata Bidan Sarah. “Kukira kalian bisa tinggal di sini sampai dia melahirkan,” dan Mala, setelah bertanya pada perempuan yang di bawanya, akhinya menyetujui.

Selepas itu keduanya saling berdiam dan mulai mencari kata terbaru untuk pembicaraan yang lain. Bidan Sarah berkata: “Menurutku, sebaiknya kau kembali sekolah."

Dan Mala menjawab dengan mengatakan ucapan itu memang benar.

"Meski ijazah sama sekali bukan jaminan kecerdasan, tapi kau harus tahu, kita hidup di abad yang meletakkan izajah di atas segala keahlian dan karenanya kau harus sekolah.”

Di sela-sela itu pula, Bidan Sarah terus melakukan beberapa pekerjaan lain seperti membuatkan Mala teh hangat dan menyuguhkannya hingga mereka benar-benar menjadi sangat akrab. “Aku bisa membiayaimu jika kau mau,” katanya lagi. “Tentang bersekolah itu, maksudku. Kukira itu bukan masalah. Tapi tentu kau harus tinggal di sini sebab aku butuh teman.”

Kini kedua mata mereka saling berbicara dan Mala berpikir agak mendalam meski Bidan Sarah tahu dia harus mengalihkan pembicaraan kembali. “Kukira masih banyak waktu untuk menjawab. Kau bisa melakukannya kapan saja,” katanya.

* * *

Sepuluh hari kemudian saat Bidan Sarah bermaksud menemui Mala, Jack bertanya tentang keadaan pasien bawaan Mala pasca melahirkan dan dia berharap akan mendapatkan jawaban yang penting bagi seorang lelaki.

“Dia baik-baik saja,” kata Bidan Sarah.

“Bayinya?”

“Juga bayinya.”

“Bagaimana dengan suaminya?”

“Entahlah. Saya bellum ada kontak lagi setelah itu.”

“Harusnya lakinya tidak begitu.”

“Abang benar.”

“Beruk suaminya itu.”

Bidan Sarah segera mengalihkan pembicaraan dengan bercerita tentang kesepakatannya dengan Mala mengenai rencana sekolah dan hari ini semua keputusan akan ditentukan. Jack terdiam sebentar lalu bertanya:

“Boleh saya ikut?”

Sebelum menjawab, Bidan Sarah menatap lelaki itu lekat-lekat kemudian mengangguk tapi itu saja ternyata tidak cukup sebab Jack terus menegaskan sikapnya. “Hanya jika Bu Bidan tak keberatan,” katanya.

“Tentu saja tidak, Bang," jawab Bidan Sarah

“Gadis itu benar saat ia berbicara tentang sosok perempuan dan Ibu. Akhirnya aku meyadarinya.”

“Saya rasa dia mengerti apa yang dia ucapkan, Bang.”

“Ya. Dia pasti mengerti.” Jack berkata dengan suara riang sebelum tangannya mengurai tali tambatan perahu motor lalu menghidupkannya. Sungai bergolak. Permukaan air makin terlihat cokelat. Perahu itu perlahan meninggalkan dermaga yang ramai oleh para penjual ikan dan tengkulak dan angin berbalut cahaya hangat menyibak rambut Bidan Sarah yang duduk di tengah perahu dengan kedua kaki terangkup. Pandangannya menatap ke depan. Kerudungnya terkibas. Dia hanya menoleh sesekali saat hendak menanyakan sesuatu atau menjawab pertanyaan dan itu tak lebih dari dua kali.

Manakala speedboat lain melintas dalam perjalanan, Jack dengan cekatan dan tubuh agak membungkuk segera mengurangi kecepatan mereka lalu berbelok menyilang. Bidan Sarah berpegangan makin erat dan berupaya menyeimbangkan posisi badan selama beberapa menit hingga Jack kembali menormalkan gas dan perahu yang menguam meliuk pada alur semula.

Rumpun rasau membentang di sepanjang tepi sungai. Sepasang burung laut hinggap di cabang pohon gelam yang dilalui untuk berdiam diri selama beberapa saat di atas ranting terjauh. Sekelompok burung yang lain tiba-tiba menghampirinya dan burung cantik itu segera memutuskan untuk berpidah.

“Itu dia!” Bidan Sarah tiba-tiba berseru saat mereka mulai memasuki sebuah dusun di tengah muara dan Jack segera menurunkan kecepatan sambil menoleh.

“Rumah kecil itu?” Jack mengerutkan kening.

“Rumah di tepi sungai pertama. Raya yang mengatakan begitu.”

Jack terus mengamati rumah itu dan menurunkan kecepatan pada posisi terendah. Di muka gubuk beratap daun nipah yang beberapa bagian sudutnya sudah ditunjang batang gelam karena doyong, dua orang perempuan mendarat dari sungai dan masih berbalut pakaian panjang, tanpa alas kaki. Yang mengejutkan, keduanya saling bersuara keras lalu berkejaran.

“Ada apa dengan mereka?” tanya Jack dengan kening berkerut. Bidan Sarah tak menjawab tapi perahu terus merapat. “Apa mungkin mereka sedang mandi?” Jack mengamati lekat-lekat.

“Mungkin...” jawab Bidan Sarah.

“Menyenangkan sekali!”

“Ya. Menyenangkan sekali.”

“Apakah itu Ibunya?”

“Mungkin...”

“Bu Bidan belum pernah ke sini?”

“Pernah tapi bukan ke rumah ini.”

Namun sesudah itu penilaian keduanya segera berubah dan Jack yang tersentak segera mengurungkan niat untuk menepi. Gas perahumotor kembali dinaikan. Formasi perahu berubah 180 derajat. Perempuan setengah baya yang mengejar Mala itu tiba-tiba berbalik dengan tatapan tajam kemudian memekik seperti manusia kesetanan, bermaksud menyerang perahu.

“Bang Jack awas!” Bidan Sarah memekik.

“Tuhanku!” Jack tersentak.

Mala mencoba menahan perempuan paruh baya yang bermaksud menghalau kedua tamu di atas perahu dengan menarik ujung baju bagian belakang hingga nyaris koyak. Pada saat yang sama, Jack sudah membelokkan perahu secara refleks dan mulai berputar-putar di tengah sungai. Di daratan, Mala sudah memeluk pinggang perempuan yang ia panggil ibu hingga tubuhnya terseret. Perempuan acak-acakan itu makin beringas. Tubuhnya meronta dan mulutnya meraung hingga belitan Mala terlepas lalu ia berbalik. Di tangannya yang basah, sebilah kayu gelam sebesar lengan orang dewasa diputar bagai baling-baling, terus kibaskan.

“Kurang ajar!”

“Ibu...”

Kibasan pertama lolos dan Mala nyaris hilang keseimbangan. Namun tidak untuk yang kedua. Potongan kayu hitam kecokelatan itu menghantam punggung hingga gadis itu terjungkal tapi segera bangkit dan kembali memeluk.

“Sakit, Bu. Jangan pukul lagi!”

“Kau orang asing!”

“Ini Mala, Bu. Mala!”

“Pergi!”

“Ibu...”

Berjibaku dengan hati luka, Mala berhasil merebut potongan kayu dari tangan sang ibu lalu membuangnya. Namun belum sempat bertindak lebih, hantaman tinju yang cepat sudah mendarat bertubi-tubi di sekujur kepalanya. Rambut Mala dijambak, kepalanya dientak, tubuh gadis itu kembali tersungkur ke tanah gambut.

“Rasakan!”

“Ibu...”

Pukulan itu terus mendarat di kepala Mala sebelum gadis itu ditinggalkan begitu saja menuju kolong rumah panggung. Mala melenguh. Kepalanya sedikit pusing. Sementara itu ibunya mulai menari-nari lalu duduk dan tertawa dengan suara kencang. Kepalanya menggeleng-geleng dan dalam waktu yang sangat cepat, ekspresi wajahnya berubah menjadi sedih, terisak, meraung-raung lalu tertawa kembali.

Diikuti Jack, Bidan Sarah mendekati Mala yang masih terduduk di atas bangkai perahu yang berjarak beberapa meter dan terus mengusap air mata sambil berusaha tersenyum. Sesekali ia mengawasi perempuan compang-camping di bawah rumah panggung itu seraya terus menguatkan hatinya namun tetap dengan menahan sejumlah rasa sakit.

“Dia siapa?” bisik Bidan Sarah setelah turun dari perahumotor.

“Ibu...” tangan Mala bergerak membersihkan wajah dari lumpur, juga ujung siku. Isak kembali datang dan di sela-sela pelupuk matanya masih tampak bagian yang basah.

“Ibumu?” Bidan Sarah agak terhenyak.

Mala mengangguk. “Dia memaksa ingin berenang tanpa menyadari kalau itu sangat berbahaya,” lalu menelan ludah yang terasa pahit dengan mata agak terpejam. Kepalanya masih terasa pusing dan sebagian lututnya agak sedikit perih di beberapa bagian.

“Ada apa dengan beliau?” kejar Bidan Sarah.

“Dia sakit, Kak.”

“Sakit?”

“Ingatannya terganggu.”

“Oh,” Bidan Sarah mendekap mulut. “Maafkan aku.”

Mala tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Kak. Keadaan ini sudah berlangsung sejak lama.”

“Apakah dia bisa berenang?” Jack yang berdiri di ujung bangkai perahu masih mengawasi perempuan di bawah rumah panggung dan sukar ia memahami keadaan itu sebab benar-benar tak pernah menduganya.

“Bisa, Bang. Tapi tidak untuk mengarungi sungai sederas ini. Ibu pernah terhanyut sampai ke ujung muara hingga kami semua panik. Dia tidak pernah mengerti hal-hal berbahaya.”

“Apa yang dia inginkan?” Kedua tangan Jack bergerak-gerak untuk memperagakan gaya berenang. Mala menggeleng dua kali. Tatapannya meretas jarak pandang dan sebuah beban berat sudah menawan hampir seluruh benak gadis tangguh yang terus dibesarkan ombak.

p

“Tidak ada, Bang. Ibu hanya ingin melihat burung-burung yang terbang di ujung muara. Mungkin dia merasa bosan dan perlu suasana berbeda. Biasanya saya akan membawanya dengan perahu saat Ayah sedang pergi dan kami kemudian menyusuri sungai ini hingga ke tepi laut. Ibu akan sangat senang melihat burung-burung yang melintas di sana dan dia lantas bertepuk tangan sambil tertawa. Tapi saat senja tiba dan kami harus pulang, dia menjadi marah dan mulai memukuli saya.”

“Seperti tadi?”

Mala mengangguk. “Kira-kira seperti itu.”

“Kasihan sekali,” Jack mendesis.

“Saya pernah didorong hingga jatuh ke sungai dan harus berendam selama berjam-jam sebab Ibu menuduh saya mengusir burung-burung itu. Dia marah besar,” air mata Mala kembali mengalir. “Tapi saya tak akan pernah melakukan perlawanan. Saya harus menjaga Ibu sebelum Ayah kembali dari hutan. Bukan itu saja, saya juga terus membujuknya agar membolehkan saya kembali ke perahu untuk membawanya pulang meski dia tetap menolak dan membuang dayung. Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa saya lakukan kecuali berdoa semoga Ibu segera tertidur dan saya akan mendarat pelan-pelan untuk membawanya kembali.”

Mala mengusap air mata dengan punggung tangan. Rasanya, menceritakan prihal ibunya bukan sesuatu yang dia inginkan tapi kali ini dia harus melakukannya.

“Kau membuat saya malu,” kata Jack sambil menerawang hamparan sungai. Dia membiarkan angin muara menampar wajahnya kemudian kembali memandang Mala. “Maafkan saya.”

“Tak ada yang salah dengan Abang.”

“Sejak kecil saya tak pernah bertemu Ibu dan hanya hidup sendiri di lorong pasar. Kata-katamu tentang Ibu membuat saya terkenang akan masa-masa sulit itu dan saya pikir, Ibu saya pasti sosok perempuan hebat sepertimu di masa mudanya.”

“Abang orang baik,” ujar Mala.

Jack menundukkan kepala, “Terima kasih,” ucapnya pelan lalu menoleh ke kanan kiri dan mulai menanyakan keberadaan Ayah Mala. Bidan Sarah ikut mengitarkan pandangan ke sekeliling lalu berhenti pada sosok perempuan yang masih duduk di bawah kolong rumah; terus saja memukul-mukulkan sebilah bambu pada sebuah tiang.

“Ayah sedang mencari rotan,” jawab Mala. “Dan baru akan kembali menjelang senja nanti. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari sungai ini sebab ikan, udang dan kerang sudah berpindah ke laut akibat limbah pabrik dari hulu. Jika tidak mencari rotan, Ayah akan pergi ke pasar Rawajitu sebagai kuli angkut, tapi itu hanya dilakukannya seminggu sekali saat obat Ibu habis. Obat Ibu harus dibeli di Klinik Unit Dua Tulangbawang dengan waktu perjalanan travel sehari pulang-pergi. Ayah akan berangkat pagi-pagi sekali saat pasar mulai ramai dan setelah siang, barulah beliau bertolak ke klinik.”

Ada banyak hal yang perlu dijelaskan dan Mala merasa kedua tamu ini harus mengetahuinya. Dia berpikir untuk menceritakan semuanya agar tidak lagi dicecar hal yang mengganjal di waktu berbeda. Mala juga mengatakan: belasan tahun lalu saat ia masih duduk di bangku SD, ayahnya adalah seorang mengepul kayu gelam yang sukses. Tapi sebuah kecelakaan terjadi saat ia sedang berada di hutan; sebatang kayu yang rongkat menimpa bagian kepala hingga lelaki itu harus dirawat. Tak disangka, saat dinyatakan sembuh, peristiwa itu berdampak besar terhadap syaraf otak. “Ayah tak bisa lagi berpikir normal, menjadi sangat pelupa dan tak mampu membaca atau berhitung. Orang-orang menyebut dia idiot tapi kami tak peduli.”

Mala berhenti sejenak lalu meraih sebilah bambu dan menusuk-nusukkannya ke tanah gambut. Dia melakukannya sebagai upaya membuang segala kecemasan sebelum kemudian bangkit karena melihat ibunya beranjak menuju tangga. “Ibu sepertinya lapar,” serunya.

Gadis itu mendekat setengah berlari dan kali ini sama sekali tanpa perlawanan. Jack dan Bidan Sarah mengikuti dari belakang dan melihat Mala mulai membasuh rambut ibunya dengan air dari tampungan drum pelastik. Dia melap dan membersihkan wajah dan kepala dari lumpur yang membuat rambut ibunya mengeras kemudian mulai melapkan handuk kering. Ibunya sama sekali tak berkata-kata kecuali hanya memainkan kancing baju lalu Mala membawanya berganti pakaian dan keluar lagi untuk menyuapi. Sesekali terdengar ia membujuk saat mulut perempuan paruh baya itu tak lekas terbuka lalu berubah tersenyum setelah ia mulai mengunyah. Mala terus menyuapkan nasi serupa bubur itu hingga benar-benar habis dan beberapa waktu kemudian mulai merebahkan tubuh ibunya di lantai papan untuk dipijat. Terdengar kembali suara meracau dan memaki-maki lalu tertawa dan menangis tapi Mala terus saja memijat dan meminumkan obat hingga wanita itu akhirnya tertidur.

Usai menyelimuti, gadis itu mendekati Jack dan Bidan Sarah dengan wajah kelelahan lalu berkata: “Kalau hari ini Tuhan memberi saya satu permintaan, rasanya saya hanya ingin Ibu segera sembuh,” ucapnya lirih.

“Aku mengerti perasaanmu,” sambut Bidan Sarah.

“Kadang terlintas juga keinginan untuk merasakan masakan Ibu sebab setiap Ibu pasti akan melakukan hal itu untuk anaknya.” Mala lalu bergerak dan sebelah tangannya mulai merendam beberapa pakaian kotor ke dalam ember pelastik. Sesudah itu ketiganya bergerak ke bawah kolong rumah dan sempat melupakan segala kedukaan yang hadir hari ini. Jack menyandarkan bahu pada tiang penyangga sedangkan Mala dan Sarah duduk di atas batang enau kering yang permukaannya sudah halus dan licin.

“Aku ingin membicarakan rencana kita beberapa waktu lalu,” kata Bidan Sarah agak hati-hati.

Seperti matahari senja yang merayap di kitaran waktu, Mala tak tau mengapa ia harus melakukannya tapi dia sadar, beberapa hal memang harus disampaikan. “Saya sudah membicarakannya pada Ayah,” katanya.

“Apakah beliau keberatan?”

Mala menggeleng lalu menyandarkan punggung ke salah satu tiang. Pinggangnya melorot perlahan dan menjadi lemas setelah menyadari bahwa dia tidak mungkin meninggalkan ibunya. Kalau dia menyatakan bahwa ayahnya yang akan menjaga, maka semua orang pasti akan mempercayai hal itu. Dan bila ditanya apakah ayahnya mendukung, maka tak ada orang tua yang tak ingin melihat anaknya menjadi lebih baik. Persoalannya, ayahnya sama sekali tak mengerti dan ibunya tak mungkin ditinggalkan.

Lalu Jack menyela. “Jika sekolah umum tak memungkinkan, bagaimana dengan Paket C?”

Untuk beberapa saat, Mala dan Bidan Sarah saling berpandang.

* * *

Atas bantuan Jack dan Bidan Sarah, Mala akhirnya didaftarkan ke sekolah penyetaraan Paket C di Unit Belajar Rawajitu Utara. Rentang pertemuan yang hanya seminggu sekali membuat gadis ini masih bisa menjaga ibunya dan sesekali ikut mengajar di SD Telukgedung bersama sahabat kecilnya, Raya. Jack dan Sarah sesekali juga ikut mengantar-jemput secara bergantian dan hal semacam itu berlangsung selama dua tahun.

Ketika Laz dan crew televisi nasional melakukan peliputan ke dusun terapung itu, Bidan Sarah mengenalkannya pada Mala dan itulah awal Tuhan memberikan jalan kesembuhan bagi Mak Ning, ibunya.

Setamat Mala dari Paket C, di suatu pagi yang terang Laz berkata: “Kami ingin membawa Ibundamu ke tempat rehabiliasi,” dan Mala menjawab: “Aku sangat menginginkannya tapi aku tahu itu tak mudah.”

“Aku paham,” jawab Laz. “Tapi akui memiliki alasan yang kuat untuk memberinya kesembuhan dan aku akan melakukannya.”

Mala makin tersentak saat Laz dan NGO-nya benar-benar memenuhi janji untuk menyatukan kehidupan Mak Ning dengan nalarnya setahun kemudian. Pada saat itu, Mala juga baru tahu kalau Laz sudah terjerat oleh cinta Raya hingga mereka memutuskan menikah setelah Mak Ning sembuh.

Ayah Mala meninggal tak lama setelah kesembuhan itu dengan butiran kening di dahi dan senyum mengembang yang menentramkan. Dia menjemput maut yang bagi sebagian orang adalah hal paling menakutkan tapi tidak bagi dirinya.

Terpopuler

Comments

mamayot

mamayot

5 jempol sudah mendarat thor,mampir di novel ku ya...

2021-07-09

1

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

sungguh pilu...gk kbayang gmn sulitnya khidupan Mala...🌴🌴🌴

2020-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!