Sepotong Mimpi Mala

SUARA mengejutkan di keheningan malam membangkitkan tidur Mak Ning yang singkat dan dia segera mendapati wajah Mala yang basah di sebelahnya. Mak Ning menatap tajam. Tanpa berusaha mengucapkan sesuatu yang penting sebagai tanda keterkejutan kecuali mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Malam melangkah di separuh waktu yang sepi dan perempuan nyaris tua itu menjadi agak kebingungan ketika suara anak gadisnya itu terdengar lagi bahkan lebih keras.

“Tidak! Tidak!” Kedua tangan Mala menggapai-gapai.

Mak Ning menggerak-gerakan tubuh itu dengan tatapan mulai gelisah.

“Bang Ombak!”

“Nak ...”

“Abang!”

“Nak...” sebelah tangan yang mulai berkerut terus menggerakan bahu gadis muara yang masih terbungkus selimut belang hitam putih. Napas gadis itu tak beraturan. Keringat dingin keluar sangat deras dari keningnya dan menjadi agak berkilau akibat pantulan cahaya lampu minyak. “Ada apa denganmu, Nak?”

Beberapa bagian kening dan pipi Mala yang digerak-gerakan tak segera membuat gadis itu tersadar hingga Mak Ning mulai mengkhawatirkan banyak hal meski dia tak meyakini ingin melakukannya di malam segelap itu. Sampai kemudian kedua pandangan Mala perlahan terbuka dengan napas memburu seolah baru kembali dari perjalanan jauh. Ia menatap berkeliling dengan sepasang bibir yang sempat begitu berat untuk digerakkan tapi pelan-pelan mulai terbuka. “Mak...”

“Kau baik-baik saja?”

“Bang Ombak, Mak...” Mala menerkam bahu ibunya yang dengan cepat balik membalas dengan membelai punggung dan mengusap rambut yang tergerai untuk menenangkan.

“Kau bermimpi buruk,” kata Mak Ning.

“Bang Ombak dalam masalah, Mak..."

Mak Ning tak segera menjawab. Malam kian dingin dan hening. Untuk beberapa saat keduanya tetap saling peluk dalam iringan banyak hal yang melintasi kepala dan itu menegaskan keduanya kalau diam adalah jalan yang benar untuk beberapa waktu.

“Semua akan baik-baik saja,” bisik Mak Ning seakan hanya pada dirinya.

Dalam senyap yang gelap, mereka kemudian mencoba merangkai berbagai kemungkinan sebagai cara membuang ketakutan sekaligus saling menahan diri untuk tidak menyampaikan apapun dalam beberapa jeda waktu. Seolah semua yang ditakutkan Mala benar-benar hanya sepotong mimpi yang tidak perlu benar-benar diyakini tapi mereka tak bisa melakukannya hingga Mak Ning mulai merenggangkan pelukan sambil memiringkan kepala. Ia membiarkan waktu beberapa menit berlalu begitu saja sebelum beranjak menuju teko untuk menuangkan segelas air dan kembali mendekati Mala sambil berkata: “Minumlah!” Tapi Mala tidak segera meraih gelas itu hingga Mak Ning kembali berucap: “Biar kau tenang,” lalu menyodorkannya lebih dekat.

Mala mengalirkan air jernih yang segar ke selusur tenggorokannya sambil beberapa kali menggosok ujung mata. Beberapa perasaan lain mulai menghinggapi dan lebih menyerupai ketakutan lain dan dia sama sekali tak berdaya untuk mencegah. Lebih dari itu, kini di hadapannya telah hadir seraut wajah tua dengan beberapa butir keringat di kerutan kening yang meski dia tak banyak berkata-kata, tetap saja kegelisahan yang dia rasakan jauh lebih berat dari apa yang dibayangkan Mala.

“Saya memimpikan Bang Ombak, Mak,” kata Mala

“Kau melihat sesuatu?”

“Bang Ombak dalam bahaya...”

Mak Ning menarik napas sekali lagi lalu memegangi bahu gadis itu dan berusaha mengerti banyak hal untuk menenangkan keadaan. Diam-diam, hatinya terus berdoa dengan sepenuh harapan bahwa, seorang calon pengantin tidak boleh ditenggelamkan dalam kecamuk keresahan bagaimanapun keadaannya. “Emak tidak akan meragukan ceritamu,” katanya.

“Saya melihatnya dengan jelas, Mak...”

“Ya. Tentu saja.”

“Saya benar-benar melihatnya.”

“Apakah menurutmu sesuatu telah terjadi?”

“Bang Ombak digulung badai, Mak. Saya melihat seraut wajah yang penuh harap namun tak seorang pun datang menolong. Bang Ombak dalam masalah besar!”

Mak Ning diam sekali lagi. Lalu menarik napas lagi dan kali ini lebih dari dua kali. Dia mencoba membiarkan kesunyian kembali tiba sebelum mulai menerka hal lain yang ada di benak Mala. Dia berpikir tentang sebuah kejadian luar biasa yang telah terjadi dalam mimpi itu lalu meyakinkan dirinya kalau sesuatu itu sama sekali bukan hal yang mudah untuk tidak diyakini oleh seorang gadis yang gelisah. Mak Ning lalu menanyakan apakah Mala yakin ingin berada dalam ruangan itu atau sebaiknya mereka bepindah di antar aliran sungai dan merasakan angin malam sambil sedikit berharap tentang sesuatu yang tak biasa untuk menenangkan kegundahan.

“Ke luar?” tanya Mala.

“Ya,” jawab Mak Ning. “Agar langit juga merasakan kegelisahanmu. Juga aliran sungai dan hamparan rumpun rasau. Mungkin mereka bisa memberi kita sedikit ketenangan.”

Mala tak segera menjawab. Kedua matanya menatapi liukan api kecil dari lampu minyak yang menempel di tiang dinding. Mak Ning kembali memandanginya kemudian keduanya saling tatap sampai akhirnya Mala mengiyakan setelah Mak Ning mengulangi ajakan sekali lagi.

Mereka lalu beranjak menuju halaman dan membiarkan kelip bintang menjilati ujung kepala. Semilir angin yang tiba setelahnya tak lagi menghadirkan apapun kecuali kesenyapan.

Genap enam puluh tahun usia Mak Ning kini dan dalam waktu sepanjang itu dia sudah menghabiskan hampir semua waktu sebagai perempuan nelayan yang kuat. Dia lahir di atas muara ini dengan tepi daratan yang terus dilanda abrasi namun tetap saja memilih untuk berada di sana. Hingga usia tuanya itu, Mak Ning sama sekali tak bisa menulis dan membaca namun cukup mengerti cara menghitung uang. Tak banyak hal yang sudah berubah darinya beberapa waktu terakhir kecuali bahwa, dia adalah seorang perempuan pendek bertubuh sedang namun sangat terlatih menghadapi segala jenis persoalan hidup. Kadang ia menjelaskan hal itu pada Mala untuk menguatkan gadis itu sebab sudah lima tahun dia tak lagi melaut dan dia melakukannya semata-mata untuk memenuhi permintaan anak gadis yang ingin terus menjaganya. Di sela-sela itu, dia lebih banyak menjadi pekerja pembuat terasi dan ikan asin dengan upah tak seberapa tapi selalu dirasa lebih dari cukup.

Mala sendiri dibesarkan di atas muara itu dan menjadi anak kesayangan satu-satunya. Sejak lahir, ia tak pernah bersentuhan dengan teknologi mutakhir kecuali hanya radio dengan dua siaran paling jernih: BBC London dan RRI Jakarta. Mak Ning cukup mengerti mengapa anak-anak seusia Ombak dan Mala, di atas muara itu, pasti memiliki nama-nama yang indah bahkan kebarat-baratan seperti Kenedy, Van De Rest, Wasingthon, Dekky, Jhon, Alender, Devita atau Fidel. Semua karena para orang tua mendengarnya dari radio lalu menyimpannya untuk nama setiap anak yang akan dilahirkan.

“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Mala dengan tatapan menembus ujung muara yang sunyi dan perempuan tua di sampingnya sama sekali tak menjawab kecuali memandang ke beberapa arah dalam kegelapan lalu meraih jemari seorang gadis yang dingin.

“Mimpi itu benar-benar seperti nyata,” ucap Mala dengan suara hampir mendesis.

“Tentu saja kau benar,” jawab Mak Ning. “Tapi bukankah semua mimpi memang selalu akan begitu?”

“Tapi kali ini sungguh berbeda, Mak. Saya tahu seharusnya saya tidak tenggelam tapi saya tidak bisa. Saya menyesal telah mengizinkan Bang Ombak pergi.”

Usai Mala mengakhiri ucapannya, kepala Mak Ning mulai berpikir untuk menjauhkan gadis itu dari apa saja yang sekiranya itu dibiarkan, akan membuat kesedihan menjadi bangunan penghalang. Baginya, bagaimanapun, setiap peristiwa adalah bagian atas datangnya perasaan-perasaan tak biasa dan ia merasa perlu untuk mengalihkan perasaan itu dengan menanyakan kembali prihal mimpi tadi. Tapi Mala menjawab dengan kegusaran yang makin jelas hingga Mak Ning berkata:

“Nak Ombak sedang mengejar harapan semua calon suami di muka bumi dan tak ada yang salah dengan itu.”

Mala menggeleng-geleng. Tak berucap sedikit pun. Sebagian karena menyesali sikapnya, sedang sebagian lain tentang perasaan yang melingkupi ketakutan seorang perempuan atas hari pernikahan yang kian dekat. Mak Ning lalu mengalihkan topik pembicaraan dan mulai meyakinkan agar Mala segera melepaskan semua bayangan buruk dengan membuka kembali sebuah kisah lama tentang kepergian ayahnya beberapa tahun lalu dan saat ini, Ombak seolah sedang berlatih untuk menggantikannya.

“Aku sungguh merasa bahagia dengan kehadiran Nak Ombak dalam hidup kita akhir-akhir ini,” kata Mak Ning. “Dan kukira itulah sebabnya kau harus percaya padaku. Percaya bahwa, tak akan ada hal buruk yang akan menimpa dia sebab setelah kepergian ayahmu, hampir setiap hari aku selalu memohon agar Allah menghadirkan sosok lain yang akan membawa kebahagiaan berbeda di rumah ini.”

Wajah teduh dengan sehimpun rasa sayang di dalam kepala itu memang sudah menjadi sketsa yang menyita banyak waktu Mala selama ini. Wajah yang terus menemaninya baik di kala susah atau senang hingga ia menjadi bagian dari orang-orang yang harus bertahan ketika badai kembali menggulung gubuk reot warisan ayahnya.

“Tentu bukan tanpa alasan Allah mempertemukan Ombak denganmu,” lanjut Mak Ning. “Serta menyatukan makna cinta kalian layaknya sepasang kupu-kupu di ujung duan nipah.”

Mala diam dan benar-benar hanya ingin menjadi pendengar.

“Kau tahu kenapa?”

Mala menggeleng.

“Sebab Dialah yang sudah menganugerahkan semua perasaan itu sejak awal dan karena itu, sejak kau mengatakan Ombak ingin menikahimu, Emak sudah berjanji akan merestui kapan pun kalian ingin melangsungkannya. Kau tahu, beberapa waktu terakhir Emak seolah melihat semua itu seolah semakin terasa dekat.”

Tiba-tiba Mala menjatuhkan kepala ke bahu renta yang kembali mengusap helai-helai rambutnya. Gadis itu juga menelikungkan tangannya untuk memeluk pinggang sang ibu sedangkan sepasang mata tua dalam kegelapan yang terus menguat dirinya terus saja meyakinkan ia untuk menjadi pelindung yang lain selain saat malam yang dingin mulai menyelimutkan titik-titik embun.

“Kekhawatiranmu mungkin benar,” kata Mak Ning. “Tapi Emak tak ingin memercayainya.”

“Saya mencintai Bang Ombak.”

“Ya. Tentu saja.”

Tangan Mala makin menyatu. Seluruh persendian dan tulangnya terasa saling himpit dan semakin dalam ia menjatuhkan kepala dalam dekapan Mak Ning yang terus berpikir tentang kecamuk perasaan yang terus disembunyikannya bahwa, sudah tiba waktunya ia harus meluruskan pemahaman seorang gadis periang atas apa yang sedang ia yakini dan rasakan. Mak Ning pernah mengalami hal serupa ini saat suaminya meregang nyawa beberapa tahun lalu dan meski tak sepenuhnya meyakini kalau dia tak ingin melupakannya, dia mulai merasakan kalau pengulangan sejarah memang sedang terjadi.

Ketika Mala bertanya apakah Ombak akan selamat sebagaimana dia melihat kemungkinan itu amatlah kecil dalam mimpinya, Mak Ning, dengan suara yang terus dikuatkan menjawab dengan tenang:

“Bagaimanapun, kita akan semakin terlindungi dengan kehadiran seorang laki-laki perkasa dalam gubuk yang terus bertahan dari hantaman badai ini, Nak. Kau tahu, dulu, ketika masih seusiamu, Emak adalah perempuan nelayan yang tak terlalu yakin akan masa depan. Lalu kau lahir dan Emak hanya berpikir sederhana agar kelak kau tumbuh dengan sehat, bertanggung jawab dan bahagia. Emak selalu mengira akan mampu mewujudkan semua itu seorang diri sampai akhinya Emak sadar itu salah; Emak tak pernah bisa. Dan karena itu Emak mulai berharap ada orang lain yang akan melakukannya untuk kita.”

Terus mencium rambut Mala di bawah cahaya bintang yang tidak begitu jelas, Mak Ning menumpahkan semua kasih sayangnya dengan tanpa keraguan. Ia ingin terus menguatkan anak gadisnya dan dia akan melakukan apa saja untuk mewujudkannya. “Karena itu, kalau nanti dia pulang, Emak harus menyampaikan ucapan terimakasih padanya sebab ia akan segera menjadi penjaga kita setalah ini. Emak tahu, seharusnya Emak tak membebanimu dengan hal semacam ini tapi Emak terlanjur melihat dengan jelas kebahagiaan Ombak atas kehadiran kita dalam hidupnya.”

“Tapi mimpi itu benar-benar terasa nyata,” pelukan Mala mengerat kembali.

“Tentu saja. Tapi aku yakin semua akan baik-baik saja. Karena itu jangan biarkan kekhawatiran terus menyiksamu hanya karena kau sengaja memeliharanya. Tuhan bergantung pada apa yang kita prasangkakan, Nak. Percayalah padaku."

“Mak...”

Terpopuler

Comments

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

smoga sj Ombak slmt...& bs kmbali scptny💕💕💕💕💕

2020-12-11

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!