Penantian di Ujung Waktu

MAKA sejak hari itu segala kemungkinan segera menjadi jendela yang membawa anak-anak Telukgedung melupakan kawanan burung yang salah arah terbang. Mereka mulai mengatur waktu seolah sedang diawasi dalam jarak sangat dekat dan demikianlah cara baru sekumpulan bocah muara mengabarkan makna kegembiraan yang ketika mereka melakukannya, seolah mereka sedang bermain dengan iringankabut pagi di atas permukaan air.

Namun di luar semua perubahan itu, kegelisahan yang lain sesungguhnya sedang menyandera Mala dan ini tentang Ombak; lelaki atletis berkulit cokelat yang akan segera menjadi suaminya beberapa hari lagi. Kepergian pemuda itu yang tak kunjung kembali, sungguh sudah mengkhawatirkan seorang gadis dengan tubuh semampai yang tahun ini tepat berusia dua puluh empat.

Ketika mengingat orang-orang mulai membicarakan ketidakpulangan itu, Mala segera menjatuhkan diri dengan menekan kedua lutut hingga alisnya yang tebal bergerak merangkup. Lama ia tak bisa memikirkan apa pun dan mulai menghakimi dirinya sendiri dengan berpikir mungkin dia keliru; tapi pada saat yang sama ia mendengar suara samar-samar yang menerobos rumpun gelam dan seorang pemuda seolah datang untuk mengajaknya pergi ke suatu tempat di sebelah Utara. Mala mencoba memastikan seberapa jauh tempat itu sampai kemudian ia sadar kalau yang sedang terjadi hanyalah khayalan. Dia lalu memutuskan untuk tidak meneruskan agar tidak terbawa dalam suasana yang dia sendiri tidak ingin merasakannya.

Mala mendekati dinding menuju sebuah celah agak lebar di antara tiang kosen jendela untuk meneroboskan pandangan dengan harapan akan melihat sesuatu yang mengejutkan. Saat itu, tak ada angin yang membuat daun-daun nipah gemeresak atau patahnya sebilah ranting, atau akar pohon yang rungkat. Mala sudah benar-benar terdiam dalam segala kemungkinan hingga ia akhirnya menangis; kemudian bertekad akan duduk di muka pintu untuk menunggu semua kabar baik tentang kepulangan kekasihnya itu meski sebelum ia benar-benar melakukannya, ia kembali merasa ragu. Ia sebenarnya hampir bisa melihat acara pernikahan yang akan segera terjadi di mana dia dan para wanita dusun akan berada di dalam kamar belakang sedang para lelaki duduk di halaman panggung bersama anak-anak.

Rumah ini berada di atas sungai yang sama sekali tak ada bagian daratan dan semua orang cukup mengerti tentang kemungkinan air sungai menjadi pasang namun tak lagi merasa perlu untuk mempermasalahkannya.

Sudah terlalu banyak persoalan di dunia ini yang gadis itu tidak mengetahuinya dan itu menjadi semacam pikiran yang mengingatkan Mala pada satu kisah silam saat berseminya cinta Ombak dalam usia keduanya yang masih cukup muda. Kisah itu berawal sebelum limbah pabrik mulai mengaliri sungai pada suatu hari dan terus ia jadikan waktu paling istimewa dalam hidupnya; saat seorang pemuda penangkap ikan melihatnya dalam kegusaran di ujung muara atas jaring tebar yang tersangkut di perut sungai. Pemuda itu tiba-tiba menghampiri untuk menolong dan menurut dia, Mala sedang menarik-narik bagian yang ujungnya terkait pada sebuah benda berat. Mala bahkan melakukannya dengan wajah agak putus asa hingga Ombak, dengan ketidaksangajaan melewati tempat itu, serta merta melompat untuk menelusuri jaring lalu melepaskannya dari kaitan. Ombak tak banyak mengucapkan kata-kata kecuali melemparkan dua ekor udang besar ke dalam perahu setelah ia naik kembali. Kemudian mengatakan kalau hari itu dia tak memperoleh apa-apa kecuali dua udang itu. Kailnya harus diperbaiki akibat terkait pohon besar dan itu saja sudah membuat wajahnya tampak cukup kecewa. Ombak juga berpesan agar Mala tidak memasang jaring di tempat itu lagi sebab besi yang mengaitnya di dasar sungai itu adalah bangkai kapal VOC yang sudah menjadi sarang buaya.

Mendengar itu, wajah Mala menjadi pucat dan mulai merasakan kalau dia memerlukan kehadiran seseorang untuk menemaninya. Namun bagaimanapun, ia kemudian melihat ke arah Ombak untuk mengucapkan terimakasih dengan sedikit mengingatkan kalau pemuda itu adalah seorang teman kecil yang baik.

Maka ketika Ombak meminta agar Mala berhati-hati dengan apa yang akan dia lakukan di ujung muara itu, mulai hari itu ia juga selalu menyempatkan singgah setiap pulang melaut untuk membagi hasil tangkapan dengan mengatakan kalau ia sengaja menyisihkannya. Sejak saat itu pula, Mala segera sadar kalau sebuah kisah cinta sebenarnya mulai tumbuh dan Mak Ning, setelah mengetahui hal itu, dengan cepat menyepakatinya.

Ombak adalah seorang manusia yang terbuat dari tanah dan air. Seseorang yang baru melihatnya akan mendapati kesan bahwa, dia bisa menyelam sangat lama menuju ke dasar sungai layaknya seekor ikan atau gurita dan rasanya bagaimana mungkin seorang manusia dapat melakukan hal seperti itu. Tapi dia juga lelaki pendiam yang sudah menaburkan tatapan mata pada semua sudut muara hingga saat seseorang bertemu dengannya, dia akan tampak sangat berbeda dengan pemuda seusianya.

Pada suatu senja dia kembali menyinggahi Mala dengan perahu yang bersuara agak pecah untuk menggantungkan serenteng cumi-cumi basah ke ujung halaman. Mala kemudian mendekati tempat itu lalu berkata: “Di mana ada kebaikan, di situ akan ada penantian,” dengan wajah dan senyum agak berbeda.

Ombak menjawab: “Aku membawakan cumi-cumi untukmu dan Emak.” Dan Mala segera mengucapkan kata terimakasih dengan wajah terang dan merah. “Kami akan menerimanya dengan senang,” katanya.

“Apakah kau pernah merasa tak ingin menerimanya?”

“Tidak,” kata Mala. “Aku menyukainya tapi aku tak mau membiarkan Abang melakukannya seumur hidup.”

“Aku menyukai untuk terus melakukannya.”

“Tapi Abang perlu berpikir ulang untuk membatasinya sebab aku dan Emak tak ingin selalu merepotkan Abang.”

“Tentang cumi-cumi?”

“Juga tentang kita.”

“Kurasa aku tak merasa direpotkan oleh siapa pun.”

“Mungkin Abang benar, tapi tidak untuk semua.”

“Aku mengatakan yang kurasakan.”

“Baiklah. Tapi kali ini yang kumaksud adalah tentang kita.”

Kata ‘kita’ adalah sebuah ungkapan ajaib yang sejak hari itu mulai memberi Ombak sebuah kekuatan dan keberanian. Kekuatan untuk meyakini kalau dia mencintai Mala dengan caranya, juga keberanian untuk menyampaikan rasa cinta itu di sebuah pagi di hari Minggu dengan embun-embun dingin seperti biasanya.

“Ada sepasang tangan,” Ombak berkata. “Yang ingin sekali memastikan seseorang hidup dalam sebuah kepastian kemudian mereka melakukannya bersama-sama. Apakah menurutmu pemilik tangan itu layak dicurigai?”

“Kalau itu tangan Abang, kurasa tidak.”

“Oh, ya?”

“Ya.”

“Ada apa dengan tanganku?”

“Mungkin seseorang itu memang menyukainya.”

“Apakah kau yakin?”

“Tentu saja. Sebab seseorang itu sebenarnya juga mengharapkannya: Mengharapkan ada sepasang tangan yang akan menjadi bagian dari hidup dan hari-harinya yang berat dan dengan tangan itu ia juga akan menjadi lebih yakin untuk melalui sebanyak mungkin jumlah hari.”

Lalu Ombak terdiam dan duduk di belakang perahu di mana Mala baru saja mengikatkan tali jaring pada ujung tiang gelam yang ditancapkan di tepi halaman rumah. Gadis itu sempat melirik rahang Ombak yang terkatup pada saat pemuda itu menyipitkan sebelah mata kemudian keduanya saling bertatap lalu tertunduk.

Ombak sebenarnya bukan seseorang yang suka memperlihatkan emosi. Sebagaimana perasaan yang ia rasakan, dia sangat menyukai Mala dan salah satu alasannya karena gadis itu tak pernah terdengar mengeluh. Ombak suka khawatir, terutama saat badai mulai datang ketika ia sedang berada di tengah laut tapi ia tak pernah mengerti waktu yang tepat untuk mengeluh. Maka akhirnya dia berkata: “Apakah aku salah?”

Mala mengangkat bahu dan balik bertanya: “Tentang apa?”

“Jika aku menginginkan suatu hari nanti kau menjadi isteriku?”

Hampir saja Mala terjatuh dari atas perahu karena tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia yakin ada alasan bahwa seseorang tidak perlu merasa menang saat ia dicintai, tapi ia tak bisa begitu saja mengerti bagaimana Tuhan bisa berdiri di belakang semua ini. Air yang mengalir tiba-tiba menjadi lebih dalam dan sungai mulai menjadi pasang.

Ombak berkata: “Air semakin meluap,” dengan nada agak kalah sebab Mala tidak benar-benar menjawab pertanyaannya.

“Pasang,” Mala menyahut lalu mengulanginya sekali lagi. “Seperti perasaan kita saat ini.”

“Apakah aku salah dengan mengatakannya?”

“Tidak,” jawab Mala.

“Kau yakin?”

“Seharusnya Abang sudah mengucapkannya dari kemarin.”

“Kau ingin mengatakan aku terlambat?”

“Aku ingin mengatakan aku sudah menunggu sejak lama dan aku merasa bahagia karena akhirnya Abang mengatakannya.”

Mereka akhirnya benar-benar menyaksikan sungai yang makin pasang.

Sepanjang hidupnya yang tidak lagi belia, Mala sudah sering mendengar kisah tentang air sungai yang tak terkendali hingga rumah-rumah di atas muara itu tenggelam. Tak ada yang mampu menahan air yang akan mengalir ke mana saja meski banyak orang terus meyakini bahwa, di balik sebuah aliran sungai yang mengerikan, selalu akan ada pelangi yang akan membawa semcam janji untuk tidak mengirimkan bencana kecuali manusia mengundangnya.

“Artinya mulai detik aku bisa menyusun hari yang tepat kapan kita akan menikah?” tanya Ombak.

“Ya. Dan aku akan menunggu masa itu dengan senang.”

“Kurasa aku juga merasakan hal yang sama.”

“Lalu kapan semua itu akan Abang mulai?”

“Kukira secepatnya.”

Mala sebenarnya ingin menanyakan kapan penantiannya akan berakhir, tapi ia sudah tahu jawabannya. Dan Mala juga tahu, sejak hari itu dia akan melihat hal yang berbeda saat sungai mulai pasang dan itu adalah tentang cinta yang membawanya pada harapan bahwa, Ombak adalah calon suami yang sudah ia miliki. Lebih dari itu, akan ada hal-hal yang lebih penting untuk dipikirkan selama musim limbah di bulan Nopember hingga April, yakni Ombak akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengawetkan ikan-ikan dari laut --berikut cumi-cumi dan udang. Pada minggu-minggu itu, halaman rumahnya akan dipenuhi jemuran ikan untuk persediaan musim limbah dan sudah barang tentu, Ombak juga akan mengasinkan ikan cukup banyak hingga Mala meyakini kalau ia dan ibunya akan sering menerima kiriman ikan-ikan kering karena sekarang mereka bukan lagi orang lain bagi pemuda itu. Lalu untuk keperluan itu, salah satunya, Ombak kembali berpamitan melaut meski hari pernikahan sudah begitu dekat dan Mala sama sekali tak kuasa mencegahnya hingga kejadian yang ditakutkan pun terjadi; lelaki kekar itu benar-benar tak kembali.

Ketika penantian terus meneguhkan kecemasan dengan tanpa kemungkinan mengejutkan, malam itu Mala mendekatkan lampu minyak ke depan wajah dan mulai menuliskan semua kegelisahan dengan kedua mata terbuka:

Bang Ombak.

Malam ini hujan kembali turun. Kecil rinainya, tapi tak sudah-sudah. Aku tak tahu apakah ia juga menghampirimu dan kau merasakan gigil dinginnya sebagaimana aku juga tak pernah menemukan cara yang benar untuk menjadi bagian atasmu yang tak ada rasa lain yang bisa menggantikannya.

Tapi sejak kau pergi hingga kini, malam terus membawaku pada luka lalu meringkuk dalam sepi. Di cakrawala, aku meninggalkan hati kita dan derai hujan selalu punya cara berbeda untuk memulai semua cerita sebelum menghidupkan rindu sebagai luka.'

Hujan ditumpahkan. Airnya meniti cucuran atap. Mala terus tenggelam dalam wajah Ombak dan tak kuasa lagi menghilangkannya.

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

ok like 👍

2021-07-07

1

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

bagai 2 pujangga cinta yg sdg saling mengungkapkn rasa...brkirim pesan & harapan lewat suara alam...menyentuh nurani...membawa anganku seolah hadir di antara mrk... merasakan gejolak cinta yg meluap2.. hingga perihnya rasa kehilanganpun ikut kurasa...🐚🐙🐋🐠🍥⛅☁🌴

2020-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!