Menyisir Jejak Ombak

PAK Ilyas, Kepala Dusun Telukgedung yang tahun ini genap berusia 65 dan berbadan agak kurus, harus menyampaikan kegagalan pernikahan itu pada semua orang berikut Pak Sardan yang segera menunduk di hadapannya.

“Apa boleh buat,” ucap Pak Ilyas. Ia mengatakan bahwa, tanpa keberadaan Ombak, janji Tuhan atas impian Mala benar-benar menguap. Seberkas sinar yang hampir menyatu dalam hari-hari terang Mak Ning dengan sangat cepat menjadi sirna saat para tetangga dan Penghulu yang tiba sejak pagi harus mengucapkan kata selamat tinggal pada papan halaman yang kusam. Mereka semua, para pengunjung pengantin itu, harus pulang dengan pikiran yang bukan saja tak bisa dimengerti tapi mulai hampa. Ketidakpulangan Ombak sungguh terasa ganjil dan setiap orang mulai menduga-duga hal paling buruk yang sudah menimpanya.

Maka menjelang senja saat semua kemungkinan semakin jauh, Mak Ning datang menemui Pak Ilyas yang dengan segenap kegusaran segera memanggil Cik Usin, Saragih dan Pak Sardan untuk memusyawarahkan tindakan selanjutnya.

“Yak ada jalan lain," kata Pak Sardan setelah duduk besila. "Kita harus melakukan pencarian."

“Ya,” Jawab Pak Ilyas.

“Dan kita harus menyiapkan armada.”

“Kau benar. Aku ingin mengumpulkan semua warga yang memiliki perahu.”

“Di sini?”

“Di muara. Kita tak menginginkan kemungkinan buruk menimpa Ombak tapi ketidakpulangan yang sudah hampir seminggu sungguh bukan hal yang mudah untuk dijelaskan. Kita akan menerjang laut dan kita sudah lama tidak melakukannya. Karena itu perahu-perahu yang disiapkan harus yang betul-betul sehat.”

“Kita memang harus melakukannya.”

Menjejalkan rokok kretek ke apitan bibir, Saragih menyahut. “Dua speedboat awak bisanya di bawa, Pak Ilyas. Sehat semuanya barang itu.”

“Saya sendiri yang akan membawa perahu saya,” Cik Usin berkata.

“Bagaimana dengan yang lain?” tanya Pak Ilyas.

“Sa.. sa.. saya si..si..ap.. pe.. pegang sen.. senter sam.. sam.. sampai pa.. pa.. pagi!” Walau sengsara, Picing menyampaikan sikap dan langsung berkeringat sesudah itu. Dia bujang tua yang setia pada laut. Usianya masuk 49 tahun ini dan menempati rumah paling ujung, dekat lautan. Dia selalu aktif dalam beragam kegiatan tapi penakut bukan main pada perempuan.

Pak Ilyas lalu menatap Pak Sardan yang bersandar di tiang teras. “Kalau begitu, coba kau koordinir perahu-perahu di Dusun Telukgedung dan pastikan jumlahnya, milik siapa saja. Jika sudah siap, segera meluncur ke ujung muara dan tunggu aku di sana. Pastikan juga yang di Dusun Kuala dan setelah semuanya jelas aku akan segera menyusul. Ingat pesanku, bawa perahu yang benar-benar waras!”

“Apakah aku harus mencatatnya?” tanya Pak Sardan.

“Kukira sebaiknya kau tidak berpikir kalau kita akan mengadakan lomba dayung.”

“Tentu saja tidak.”

“Apakah itu artinya kau sudah mengerti?”

“Ya. Aku mengerti.”

“Dan tak ada yang akan mempersoalkanmu. Kau bisa berangkat sekarang!”

Pak Sardan menghalau perahu diikuti beberapa orang dan segera terdengar suara gemuruh antara ombak dan mesin yang mengibaskan tuas.

“Siapa yang bisa ke Minakjebi?” tanya Pak Ilyas kemudian.

“Sa.. sa.. ya!”

“Oh, ya, Picing. Kau temui Soleh dan katakan dia harus memberitahu warga untuk segera bergabung di ujung muara. Bawa perahu yang sehat, pastikan dulu sebelum berangkat. Jangan belum apa-apa sudah rontok. Pening kepala kita nanti.”

“Sii..sii..apppp!”

Tapi beberapa saat setelah menuju bibir halaman, Picing berbalik lagi. “Ma.. ma.. maaf, Pak Il. Il.. yas...”

“Ya?”

“Sa.. sa.. saya.. per...per...pergi .. naik apa? Sa..sa.. ya.. tak pu.. pu..punya pe.. perahu.. so..soalnya.”

Pak Ilyas mendesah lalu mengusap wajah. Saragih bangkit dengan sebatang rokok di selipan bibir sambil membenahi celana yang melorot ke bawah perut. Dengan kulit hitam dan badan gendut, dia sungguh sedap untuk dipandang terutama saat mulai berjalan dengan perut yang bergoyang-goyang sehingga sebagian orang dengan kejam menjulukinya beruang kutub kekenyangan. “Puji Tuhan!” ia berseru. “Ayo pigi dengan awaknya kau!”

Picing menyeringai lalu mendahului langkah Saragih. Sesekali melanggak-lenggok kecil dengan penuh keyakinan dan dia, dengan tubuh macam orang kurang kalsium itu, sungguh menikmati julukan kancil itu atas dirinya.

Sebelum benar-benar bertolak, Pak Ilyas masih sempat berpesan agar Cik Usin juga membantu mengondisikan perahu di Dusun Kuala dan lelaki pawang buaya itu terus mengingat pesan tersebut sebagai sesuatu yang akan berimbas jika dilupakan.

Di dalam rumah, Mak Ning duduk bersimpuh ditemani istri Pak Ilyas yang sesekali memijit tengkuknya. Mala terpekur di samping kanan dan tak lagi bersuara dengan pikiran melayang tak menentu. Bagaimanapun Ombak adalah pemuda semata wayang yang tanpa kerabat meski semua orang tahu, dia adalah wayang yang baik dan tangguh. Karena itu pikiran Mala benar-benar menabrak sisi kosong atas ketidakpulangan pemuda itu di hari yang semestinya semua warna, atas hidup mereka, adalah hamparan sinar terang.

“Kalian tidur di sini sampai kami kembali,” Pak Ilyas mendekat “Tunggu sampai ada kabar dariku.”

Dengan wajah sembab, Mala menatap lelaki paruh baya itu untuk menyampaikan hal sangat penting atas hatinya yang mulai kehilangan keyakinan. “Apakah akan segera ada berita baik?” tanya dia.

Kepala Dusun memiringkan wajah. “Kita sama-sama berdoa.”

“Saya berharap besar, Pak.”

“Tentu saja. Aku mengerti perasaanmu.”

“Dan kalau Bapak tak keberatan, saya ingin menyampaikan sesuatu.”

Mendesah, Pak Ilyas mencoba menahan langkah. “Tapi jagan terlalu lama. Orang-orang sedang menungguku di muara.”

Mala terpejam. Tangannya mengepal untuk menahan air mata yang ingin segera keluar. “Saya berharap Bang Ombak segera ditemukan bagaimanapun keadaanya, Pak,” ia berucap dengan suara tegas tapi dengan intonasi agak tertahan. “Dan saya akan menunggu dengan segenap harapan besar. Tapi kalau dibolehkan, sebenarnya saya ingin meminta satu hal lagi.”

“Kau ingin aku melakukan sesuatu?”

“Bukan Bapak tapi saya.”

“Apa maksudmu?”

“Jika diizinkan saya ingin ikut mencari.”

Pak Ilyas meraih senter yang disodorkan istrinya lalu membuka bagian ujungnya kemudian mengalungkan ke leher dan menghidupkan beberapa ulang untuk memastikan. “Nak Mala,” katanya dengan suara agak berat. “Kalau yang kau maksud adalah ikut dalam pencarian ini, atau pencarian-pencarian yang lain setelah ini, maka dengan berat hati kukatakan: Aku menolak. Aku sungguh mengerti apa yang sedang berkecamuk dalam hatimu tapi kau harus tahu bahwa, dalam hal mengarungi lautan, kau sama sekali bukan ahlinya dan itu bukan pilihan yang tepat.”

“Saya cukup di perahu saja,” tegas Mala.

“Aku paham maksudmu, Nak. Paham sekali. Tapi ini tak semudah yang kau bayangkan sebab badai bisa muncul sewaktu-waktu bahkan sebelum kita menyadarinya. Ini tidak main-main.”

“Saya bisa menjaga diri.”

“Aku sama sekali tak meragukan hal itu.”

“Saya bisa berenang.”

“Aku bahkan sering melihat kau melakukannya.”

Mak Ning menyadari pembicaraan itu semakin mengarah pada debat kusir dan karena itu perlahan ia mendekat. Sebagai seorang ibu, dia cukup mengerti kalau Mala sesungguhnya sedang mengatakan hal yang tidak sepenuhnya ia mengerti. Dan jika hal itu dibiarkan, keadaan justeru akan menjadi makin buruk. “Yang dikatakan Pak Ilyas ada benarnya,” katanya setelah menepuk bahu Mala. “Cuaca sedang tak berpihak dan itu akan sangat berbahaya bagi orang-orang seperti kita. Emak pikir, keberadaanmu juga belum tentu akan membantu meski semua kemungkinan bisa saja terjadi. Jadi, menurut Emak, kita percayakan saja semuanya pada Pak Ilyas.”

Tanpa perlu mempertimbangkan untuk berkata-kata lagi, Kepala Dusun kemudian beranjak menuju halaman. “Aku mengerti perasaanmu,” katanya. “Tapi seperti yang tadi kusampaikan, pencarian dengan kondisi alam yang tak menentu begini sangatlah berbahaya tidak saja untukmu tapi untuk semua orang. Aku mohon maaf tidak bisa melibatkanmu dan harus mengatakan semua ini di saat kau sama sekali tak ingin mendengarnya.”

Kini lelaki itu bena-benar bergerak menuju perahu motor dan melepas tali kekang. Suara mesin segera mengaum dan lelaki paruh baya itu segera melesat tanpa menoleh lagi. Setiba di ujung muara, puluhan perahu sudah berjejal memenuhi sungai dan sebagian cahaya terus bergerak-gerak mengikuti arah kepala sebab hampir semua senter ditambatkan di kening. Beberapa orang terus berdatangan dan setiap orang mulai menduga-duga tentang nasib Ombak.

“Yang dari Minak Jebi sudah tiba?” pekik Pak Ilyas.

“Sudah, Pak!” Soleh, Ketua RT Minakjebi menjawab saat beberapa orang saling menoleh.

“Kapan awak tiba di sana, mereka sudah bersiaga rupanya! Sudah taunya kalau awak membawa kabar penting. Betul begitunya ‘kan, Abang Soleh?” Saragih mengalungkan sarung dengan cara merendahkan kepala kemudian berdiri di ujung perahu, membelakangi Picing yang tak lagi melepas stang kendali dengan mata berkedip-kedip.

“Sudah sejak sore kami bersiaga!” jawab Soleh.

“Oh, begitu.”

“Ya. Pak.”

“Adanya kalau lima perahu. Iya ‘kan Abang?” Saragih kembali menoleh dan beberapa orang segera mengiyakan.

Pak Ilyas mengangguk-angguk.

Dari sudut paling kiri, Pak Sardan menyalak. “Enam perahu masing-masing berisi dua orang, Pak Ilyas!”

“Oh, ya?”

“Ya, Pak.”

“Siapa yang bicara itu?”

“Sardan, Pak. Bersama kawan-kawan dari Telukgedung.”

“Oh, Sardan. Baiklah.”

“Kami hanya membawa perahu yang benar-benar sehat sesuai perintah, Pak.”

“Bagus kalau begitu. Ada hal lain?”

“Tidak, Pak. Hanya melaporkan itu saja.”

“Jika demikian, sepertinya kita tinggal berbagi tim. Oh, ya, ada berapa yang dari Dusun Kuala? Mana Cik Usin?”

“Hampir sama dengan Telukgedung, Pak!”

Kepala Dusun mencari-cari sumber suara. “Di mana orangnya?”

“Paling kanan, Pak. Perahu nomor dua dari ujung kanan.” Cik Usin menggerak-gerakan senter. Memberi tahu posisi.

“Oh, ya. Enam perahu?”

“Benar, Pak.”

“Apakah masih ada yang akan menyusul?”

“Macamnya tak ada lagi, Pak. Kalaupun ada, kita tunggu sambil berbagi tim saja.” Cik Usin mencoba meyakinkan.

“Baiklah,” Pak Ilyas membenahi posisi senter di kepalanya dan hampir saja jatuh terpeleset. “Jadi begini,” sebelah tangannya menongkatkan sebilah dayung yang baru saja disodorkan Soleh. “Sekarang tepat pukul sepuluh malam. Yang membawa jam tangan coba samakan dulu: jam sepuluh tepat tak kurang tak lebih.”

Beberapa orang mengarahkan senter ke pergelangan tangan. Mencocokan waktu lalu memakainnya kembali dengan benar.

“Kita berpencar menjadi tiga tim dan nanti akan mengarah ke titik berbeda. Tim satu dari Dusun Telukgedung ikut denganku ke arah Selatan. Menyisir semua tepian laut hingga batas kanal perusahaan tambak PT. Wahyu Mandiri. Kalau tak menemukan hasil, kita berbalik dan menyisir ulang di arah yang sama. Yang tim satu langsung ambil posisi di sebelah kanan!”

Beberapa perahu motor membentuk formasi menghadap ke Timur. Suasana menjadi agak gaduh namun hanya berlangsung sebentar.

“Saragih memimpin Tim dari Dusun Minakjebi, ya!” Pak Ilyas berkata lagi.

“Siap, Pak!”

“Lakukan pencarian mulai dari ujung muara ke arah Utara sepanjang perbatasan sungai Tulangbawang. Ingat, arah Utara! Jangan nganar-nganar ke arah lain. Tersesat pula nanti. Silakan berkumpul di sebelah kiri!”

Arus sungai kembali bergelombang dan beberapa perahu yang berada agak jauh saling merapat membuat formasi. Saragih berteriak-teriak untuk memastikan anggota timnya terhimpun hingga rokok di apitan bibir terjatuh dan mati.

“Tim ketiga dipimpin Cik Usin dan Pak Sardan. Tugasnya menyisir wilayah Timur hingga lima mil laut. Tim ini agak rawan sebab ombak dan arus pasang sering berubah tak terduga. Karenanya jangan lupa awasi tanda-tanda alam dan perhatikan dengan seksama. Kalau angin badai mulai terasa, cepat-cepat kembali tapi jangan langsung pulang, tunggu di sini hingga yang lain tiba!”

Perahu-perahu itu terus bergerak dan air sungai yang keruh makin beriak. Kepala Dusun membenahi posisi berdirinya dan kembali mengarahkan. “Jangan lupa selalu jaga jarak agar dapat saling pantau. Pastikan komando hanya datang dari satu orang yakni ketua tim dan jangan menjauh dari rombongan atau berpisah atau terpisah. Siapa yang mendapatkan titik terang lebih dulu cepat utus perwakilan untuk kembali ke tempat ini sedang yang lain langsung menuju ke rumahku. Kalau ternyata nihil, maka kita akan bertemu menjelang subuh, pukul empat pagi. Pencarian berikutnya akan kita musyawarahkan lagi setelah semua tim kembali. Ada pertanyaan?”

Pak Sardan mengangkat tangan.

“Ya. Silakan!”

“Apa perlu antar perahu dihubungkan dengan tali tambang agar tak saling terpisah?”

“Untuk apa? Kurang amat kerjaan?”

“Namanya bertanya, Pak. Neman amat laju mau marah.”

“Bukan marah. Arah pertanyaanmu tak jelas. Ada lagi?”

Tak ada yang menyahut dan Pak Ilyas lantas berkata:

“Menurutku itu tidak perlu sebab justeru akan mempersulit gerakan. Cukup menjaga jarak dan saling pantau saja. Yang penting jangan berpisah terlalu jauh.”

“Macam mana kalau nanti turun hujan? Apa pulangnya kita?” Saragih menyela.

“Belum apa-apa sudah mau pulang kau ini?” sahut Pak Sardan.

“Biar jelasnya, Pak.”

“Jadi begini,” Pak Ilyas menjawab. “Karena tak semua perahu memiliki atap, maka hujan adalah pertanda pencarian dihentikan sementara. Kalau itu terjadi di bawah jam empat pagi maka kita akan langsung berkumpul di masjid apung depan rumah Puang Lengkese, sambil menanti hujan reda. Tapi bila hujan turun di atas jam itu, saya kira kita bisa langsung pulang saja, sebab....”

“Pencarian selanjutnya bagaimana, Pak?”

Kepala Dusun menatap Pak Sardan. “Kau dengarkan dulu aku bicara.”

“Sekadar bertanya, Pak.”

“Dari tadi buat masalah terus kau ini. Sabarlah dikit. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar!”

Pak Sardan menggaruk kepala. “Namanya khilaf, Pak. Neman amat laju berdakwah.”

“Apa kau bilang?”

“Allah bersama orang-orang yang sabar.”

Pak Ilyas agak menyeringai. “Baiklah saya lanjutkan. Sampai di mana tadi?”

“Masing-masing kemudian, Pak,” sahut Cik Usin.

“Masing-masing kemudian bagaimana?”

“Kalau tak salahnya awak dengar memang begitunya Bapak bilang tadi. Iya kan, Bang?” Saragih mengarah ke wajah Soleh.

“Ai, entah! Tadi aku sedang membenarkan tali celana.” Soleh menjawab tanpa beban dan wajah Saragih berubah masam.

“Jadi begini, kita lihat hasilnya malam ini. Kalau pencarian tak menemukan titik terang, maka akan kita lanjutkan besok jam sembilan pagi. Tetap bertolak dari titik dengan tim yang sama. Masih ada lagi?”

“Cukup!” Mendengar beberapa orang mulai bergumam tentang cuaca yang gelap Soleh mengambil kesimpulan.

“Ya. Cukup,” sela Cik Usin.

“Baiklah,” Pak Ilyas menarik napas. “Bila semua sudah jelas, kita berangkat!”

Pukul 10. 10 menit puluhan perahu motor segera meraung di tiga arah pencarian. Mereka seolah menyepakati satu hal bahwa, sesuatu harus dilakukan meski tak banyak yang meyakini apakah upaya ini akan membuahkan hasil.

Nasip malang menimpa rombongan Pak Ilyas. Setelah mengarungi pesisir lebih dari dua jam, mereka dikejar Satpam perusahaan layaknya kawanan pencuri. Ketegangan tak terelak. Kepala Satpam menghardik di atas speedboat dengan pistol terbidik bersama empat anak buahnya. Merangsek ke arah Kepala Dusun yang segera mengangkat sebelah tangan lalu meminta anggota tim mengarahkan senter ke badannya sebagai penegasan kalau mereka tanpa senjata. “Jangan salah paham, Pak. Kami sedang mencari warga Telukgedung yang hilang!” tegas Pak Ilyas.

“Kalian memasuki zona terlarang!” suara orang di atas perahu motor menjawab lebih tegas. “Ikut kami ke pos!”

“Saya Ilyasudin, Pak. Kepala Dusun Telukgedung,” kata Pak Ilyas.

“Kami tak kenal nama itu!”

“Ini salah paham, Pak.”

“Ikut ke pos!”

“Maaf. Sepertinya tidak perlu harus sampai ke pos, Pak.”

“Mungkin menurutmu, tapi tidak bagiku!”

“Kami bukan pencuri.”

“Jelaskan semuanya di pos!”

“Ini salah paham, Pak. Percayalah!”

“Sekali lagi saya katakan: ikut kami ke pos!”

Bukan kali ini saja para pekerja perusahaan berulah melebihi kompeni. Beberapa waktu lalu seorang nelayan Telukgedung juga sempat diintrogasi karena mencari ikan di sekitar lokasi pabrik atas tuduhan yang sama, dianggap pencuri. Pak Ilyas pelan-pelan mulai geram tapi masih berusaha memahami keadaan.

"Maaf, Pak. Ini benar-benar salah paham. Saya siap menjelaskannya.”

“Ikut ke Pos! Tidak ada yang perlu dijelaskan!”

“Nanti dulu.”

“SOP melarang kami bernegosiasi dengan penjahat, Pak Tua.”

“Saya mengerti. Tapi Bapak harus mendengarkan penjelasan saya dulu.”

“Tidak ada yang bisa memerintah kecuali kami!”

“Saya bukan sedang memerintah. Hanya ingin menjelaskan.”

“Tada ada yang perlu dijelaskan!”

Gigi Pak Ilyas mulai gemeretak. Tatapannya terpancang ke arah para Satpam yang kalau saja tak berpikir panjang ingin sekali dia menghantam kepala mereka dengan dayung. Akan tetapi tangan lelaki itu tetap saja bersedekap. Menunggu hingga ujung kepala Speedboat benar-benar bersentuhan.

“Kami tidak bernegosiasi dengan para penjarah. Kalian ikut ke pos atau urusan akan panjang!”

Beberapa orang di belakang Pak Ilyas terdengar mulai gundah.

“Sepanjang apa, Pak Satpam?” Wajah Pak Ilyas sudah berlipat. “Pos apa?”

“Jangan banyak tanya!”

“Kau harus menjelaskannya!”

“Saya bilang, jangan banyak tanya!”

“Baiklah. Tapi tolong turunkan senjatamu dan kita bicara.”

“Kau tak bisa mengaturku, Pak Tua.”

Pak Ilyas menarik napas. “Bukan ingin mengatur, aku meminta kau menurunkan senjata.”

“Kau tak berhak bicara!”

“Hei, Beruk!” Tiba-tiba suara Pak Ilyas meledak. Darahnya mendidih dan tatapannya berubah menyala. “Bukan ke dada rakyat jelata macam kami pistol itu seharusnya kau arahkan!”

Ujung perahu motor sudah bersentuhan. Kepala Satpam tak bergeming dan tetap mengarahkan pistol. Segera tangan Pak Ilyas melambai pada empat perahu motor di belakangnya untuk membentuk formasi mengepung dan Kepala Satpam yang menyadari hal itu kembali membentak.

“Apa yang akan kalian lakukan?”

Wajah keras Kepala Dusun Telukgedung terangkat. Tatapannya memperlihatkan penolakan dengan gigi saling tekan. Rasanya tak ada lagi yang ingin ia negosiasikan kecuali menenggelamkan Speedboat itu berikut orang-orang di dalamnya. “Aku hanya bertanya ke pos apa dan meminta kau menurunkan pistol tapi kau tak mau memahaminya. Bagaimana kita bisa bicara kalau kau sudah berprasangka sedemikian buruk?”

“Saya polisi.”

“Sekali lagi kuminta, tolong turunkan senjatamu dan kita bicara. Aku tak peduli kau polisi atau setan sebab keadaan ini sama sekali tidak seperti yang kau lihat!”

Lima orang Satpam bergeming. Pak Ilyas berucap kembali. “Apakah kau tuli?”

Para Satpam itu bahkan sama sekali tak berreaksi.

“Baiklah,” akhirnya Pak Ilyas mengambil sikap “Kukira kau tak perlu menurunkan senjatamu sebab kau sepertinya tak memiliki itikad baik,” kemudian dia menoleh ke belakang dan merentangkan kedua tangan lalu merangkupkannya kembali hampir bersamaan. “Rapatkan perahu!” pekiknya. “Arahkan cahaya ke wajah beruk-beruk ini. Kita hadapi!”

Lima perahu motor yang meraung lekas merangsek ke tengah. Dua dari arah belakang, tiga lainnya dari sisi kanan dan kiri. Perahu yang ditumpangi Pak Ilyas menjepit di bagian depan dan sudah saling beradu kepala dengan kendaraan para Satpam. Sementara itu, bias cahaya senter memendar ke wajah para Satpam itu hingga tak bisa melihat apa pun sebab silau.

“Jika mendengar suara tembakan; hantam!” seru Pak Ilyas.

“Jangan coba-coba melawan!”

“Merapat!”

“Saya ingatkan jangan coba-coba melawan!”

“Merapat!”

Raungan perahu motor makin keras. Beberapa di antaranya sudah mengentak-entak seperti kepala kerbau. Lamat-lamat suara takbir terdengar dan lambung perahu terus dihujami ujung sepatu boat yang sesekali dientakan. Satpam-satpam itu tetap diam namun kini dalam posisi siaga.

“Bersiap!” Pak Ilyas kembali meraung.

“Tahan!” ucap Kepala Satpam.

“Satu!”

“Tunggu! Jangan gegabah!”

“Dua!”

“Tahan dulu!”

“Jangan dengarkan!”

“Tahan!”

“Tiga!”

“Tahan!”

“Serang!”

“Tahan!” kedua tangan Kepala Satpam terangkat ke atas. “Kita bicara!”

“Hantam!”

“Tahan. Tahan dulu! Kita bicara!”

“Lanjakkan apa, Pak Ilyas?” salah seorang tiba-tiba menjadi ragu sebab Kepala Satpam itu sudah mengangkat kedua tangannya.

“Tahan. Kumohon tahan dulu!” Kepala Satpam mengulangi kata-katanya.

Pak Ilyas tak bersuara. Semua anggota sudah siaga dan suasana terasa makin tegang. Rombongan Satpam itu terus mengangkat tangan dengan mata yang sesekali terpejam.

“Tahan!” Pak Ilyas akhirnya mengalah. “Beruk ini bisa bicara rupanya.”

“Kalau kira-kira tidak bisa diajak bicara lagi, dayung inilah lawannya!” Seseorang kembali berseru dengan gigi gemeretak.

“Ya. Kita bicara.” Kata Kepala Satpam.

“Turunkan dulu senjatamu!” seru Pak Ilyas.

“Sudah, Pak.”

“Kau salah orang jika bermaksud menggertak, Nak!”

“Maafkan saya.”

“Cermati senjatanya!” Pak Ilyas berkata pada para anggota. “Kalau terlihat hal yang mencurigakan, tak perlu menunggu komando; langsung bhantam! Pening amat palak!”

“Oke. Saya sepakat hal ini diselesaikan secara baik-baik. Saya harus bicara dengan siapa?” Beberapa waktu setelah keadaan mulai tenang, Kepala Satpam menyimpan pistolnya.

“Aku ketua tim ini. Bisa denganku,” jawab Pak Ilyas sambil melipatkan sarung ke pinggang.

“Kalau begitu silakan Bapak jelaskan apa yang terjadi!”

Mesin perahu motor satu persatu mulai direndahkan dan itu membuat suasana menjadi agak tenang. “Namaku Ilyasudin bin Jamal Akbar Firdani, Kepala Dusun Dusun Telukgedung Mesuji dan masih aktif. Kami sedang mencari seorang warga Telukgedung yang hampir seminggu melaut tapi sampai kini belum kembali. Sama sekali bukan pencuri dan mohon maaf kalau ternyata kami berada di tempat yang salah.”

“Apa yang bisa meyakinkan saya kalau kalian bukan pencuri?”

“Apa jabatanku sebagai Kepala Dusun tidak cukup?”

“Kami perlu yang lebih meyakinkan, Pak Tua.”

“Yang macam apa?”

“Apa saja!”

“Apa saja bagaimana?”

“Semacam hal lain.”

“Hal lain apa?”

“Pokoknya hal lain.”

“Allahu Akbar!” Pak Ilyas mengentakan sebelah tangan. “Mengapa begitu sulit meyakinkan manusia ini?”

“Hati-hati Pak Tua!” suara Kepala Satpam kembali mengeras. “Kau sedang berbicara dengan petugas perusahaan. Semua orang tahu kalau Telukgedung adalah wilayah sengketa dan sarang bajak laut!”

Seketika Pak Ilyas mengguratkan kening dan marah. Dalam kegelapan kedua sorot matanya kembali berubah terang sedangkan napasnya memburu macam pompa air. “Jaga mulutmu, Nak! Kau sama sekali tak tahu sedang berhadapan dengan siapa!”

“Bangsat!” menyahut suara dari belakang.

“Kampang orang ini!” yang lain ikut menyambar.

“Dengar olehmu, Anak Muda! Aku sudah hidup di sini bahkan jauh sebelum kau dilahirkan. Kami sama sekali bukan perusak alam seperti perusahaan yang sudah membuatmu jadi penjilat. Kakek buyutku adalah kerabat jawara Banten yang hingga akhir hayatnya tak pernah berhenti menghantam pasukan Belanda dari titik ini. Kau tahu apa? Kalian orang-orang muda sama sekali tak mengerti tentang pendahulu yang sudah menyabungkan nyawa hanya agar kalian dapat berseragam segagah sekarang meski dengan isi kepala tolol tiada guna. Tolong kau jawab: apakah kau Satpam perusahaan?”

“Penanggung jawab keamanan tepatnya.”

“Apakah kalian juga polisi?”

“Hanya saya. Tapi itu bukan urusan Bapak.”

“Bagaimana kami bisa yakin kalau kalian benar-benar petugas?”

“Jangan menekan kami, Pak Tua!”

“Aku harus melakukannya dan jangan kau kira kami takut denganmu.”

“Kalian berada di lokasi perusahaan yang sepenuhnya berada di wilayah kewenangan kami.”

“Kau pikir aku tak tahu?”

“Untuk melindungi perusahaan, apa pun yang kami lakukan adalah legal. Kami bisa berbuat apa saja.”

“Dan kau kira kami akan gemetar mendengarnya?”

“Kami menjaga hak perusahaan, Pak Tua!”

“Hak?”

“Ya! Hak yang dilidungi negara.”

“Lalu mengapa kau tidak mengatakan kalau di balik hak perusahaanmu itu, negara juga menitipkan hak kami dan kalian tak pernah mau menunaikannya?”

Satpam itu diam.

“Mengapa hanya kalian saja yang boleh memiliki hak sedang kami tidak? Mengapa perusahaan tempatmu bekerja bebas mengirimkan limbah beracun pada anak-anak kami dan kalian diam saja? Mengapa kau tak melihat kami sudah kehilangan penghidupan dan tak ada yang membicarakan hak untuk itu? Mengapa orang-orang macam kau bisa begitu garang pada rakyat jelata tapi sangat menghamba pada pengeruk kekayaan negeri ini? Kalian selalu melindungi perampok negara dengan segenap pengkhianatan dan merasa itu adalah tugas paling benar!”

“Pak Tua...”

“Bagiku, orang-orang macam kalian jauh lebih mengerikan dari perampok sebenarnya. Kalian salah tempat kalau mengira kami adalah orang-orang lapar yang takut mati. Bair kau tahu, manusia Telukgedung bahkan sudah mempersiapkan kematiannya jauh sebelum perusahaanmu mengirimkan limbah ke jantung anak-anak kami!”

“Maaf, Pak Ilyus...”

“Ilyas. Ilyus kepalamu!”

“Oh, ya. Maaf.”

“Binatang kau!” pekik salah seorang dari samping kanan.

“Saya kira yang Bapak sampaikan dan yang kami maksudkan adalah dua hal yang berbeda.”

“Untuk urusan malam ini, iya. Tapi tidak untuk persoalan limbah yang terus kalian kirimkan hanya agar perusahaan kalian semakin kaya raya!”

Kini Kepala Satpam itu terdiam. Matanya berkedip-kedip mengawasi pantulan cahaya senter yang terbuyar di permukaan air. Dia mulai merasakan sebuah kebenaran meski hanya lamat-lamat dan itu sama sekali bukan retorika sekelas maling ayam. “Baiklah,” dia akhirnya mengalah. Suasana hening beberapa saat. “Maafkan kami.”

“Kau yakin dengan ucapanmu?”

“Percayalah kami tidak bermaksud buruk, Pak. Semoga pencarian kalian cepat membuahkan hasil dan saya kira saya tidak melihat kalian berada di sini malam ini.”

Pak Ilyas menghela napas. “Apakah ada lagi yang ingin kau katakan?”

“Satu hal, Pak.”

“Ya. Silakan!”

“Bapak juga harus percaya bahwa, kami tidak bertemu siapa pun malam ini.”

Kepala Dusun tiba-tiba menundukan kepala dan merangkupkan tangan ke dada. Kepala Satpam membalas dengan sikap serupa kemudian berucap:

“Saya harap Bapak juga tidak menilai kami serendah tadi dan kami bisa mengerti mengapa Bapak mengatakannya. Nama saya Dirwan, Pak. Istri saya seorang PNS guru dan kami memiliki dua anak. Mungkin kami salah sudah berada di sini dan untuk itu, atas nama kawan-kawan saya mohon maaf. Kami hanya menjalankan tugas sebab untuk itulah kami digaji. Ini hanya tentang tanggung jawab, Pak. Tak lebih dari itu!”

Pak Ilyas menghela napas untuk yang kesekian kali. “Aku juga minta maaf, Nak,” katanya dengan suara melemah. “Telanjur Dusun Telukgedung mengajari kami untuk besikap keras terhadap semua ancaman sebab hanya itu kekayaan yang kami punya. Mungkin sebagian orang akan menilai ini salah, tapi sudahlah. Sekali lagi aku mohon maaf.”

“Saya juga mohon maaf, pak.”

“Kalau kau pulang nanti, sampaikan salamku pada keluargamu. Pada istri dan anak-anakmu yang lucu. Jika sempat, singgahlah ke Telukgedung dan kita bisa menikmati teh hangat di senja yang terang. Demi Allah seharusnya aku tidak bersikap seperti tadi namun kadang keadaan membuat kami harus melakukannya.” Kemudian tangan Pak Ilyas merentang dan memerintahkan timnya mundur. “Aku paham kau hanya menjalankan tugas, Nak. Dan jika kau dipersalahkan atas kejadian ini, aku siap menjelaskannya pada atasanmu.”

Kepala Satpam tersenyum dan peraturan segera berganti. Tak ada lagi suara saling hardik atau memancing amarah. Bagi seorang polisi, betapapun gusarnya, dia tidak bisa dengan serta-merta menodongkan pistol ke arah siapa saja yang tidak melakukan perlawanan bersenjata sebab itu memalukan. Lalu terdengar perintah agar seseorang di antara mereka menghidupkan speedboat dan itu hampir bersamaan dengan Pak Ilyas yang kembali berseru. "Beri saudara kita jalan!”

Perahumotor yang tadi menjepit perlahan bergeser membelah air yang tenang, bergerak memutar lalu menjauh. Tatatapan Kepala Dusun dan timnya kini tertuju ke satu titik dengan napas sedikit lega. Sementara itu, speedboat para Satpam itu benar-benar bergerak makin menjauh dengan iringan lambaian tangan sebelum kemudian hilang di telan gelap.

Suasana laut hening kembali.

“Kita pulang!” kata Pak Ilyas.

Enam perahu motor segera menerjang angin laut di malam yang sempat mengesalkan wajah-wajah letih yang terus terjaga. Dengan kecepatan 60 kilometer per jam, rombongan tiba di tempat berkumpul pada 128 menit 23 detik dan meraka lalu bergabung dengan Saragih yang sudah duduk bersandar di dinding perahu dalam raut kelelahan. Sudah 20 menit dia dan timnya tiba dan tim Pak Ilyas menjadi pendatang kedua.

“Apakah ada tanda-tanda ?” tanya Pak Ilyas.

Saragih menggeleng. “Tak adanya, Pak. Bapak sendiri macam mana?”

Pak Ilyas menggeleng. “Mudah-mudahan rombongan Cik Usin menemukan titik terang. Setidaknya sebuah berita yang baik.”

“Lama kalinya mereka?”

“Sebentar lagi masuk waktu subuh. Sebaiknya kita tunggu di masjid Telukgedung. Jika sampai matahari terbit belum juga tiba, kita musyawarahkan siapa yang akan menyusul.”

Pagi itu, jamaah subuh masjid Telukgedung lebih ramai dari biasanya. Tapi saat akan memulai takbir pertama, rombongan yang dinanti tiba-tiba muncul dan langsung merapat.

“Kami di kejar bajak laut!” bisik Cik Usin pada Saragih yang masih menunggu di atas perahu. Sebagai seorang katolik taat, dia memilih tetap berada di atas perahu saat yang lain mulai menunaikan salat subuh.

Terpopuler

Comments

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻

smoga...hanya itu kata2 yg kunafaskan mewakili harapanku utk kebaikan warga Telukgedung & skitarnys..🙏🙏🙏🙏🙏🙏

2020-12-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!