Maka Demikianlah Cinta

PADA hari Minggu, tanpa mandi pagi, anak-anak Telukgedung mulai berdatangan ke rumah Lila untuk membahas upaya pembelian bahan motor Drone termasuk laptop. Sehari sebelumnya mereka sudah menyepakati akan akan melakukan ojek perahu untuk menggali dana dan Lila menyampaikan, seharusnya perahu ayahnya bisa menjadi langkah alternatif.

“Siapa yang akan melakukannya?” tanya Cik Usin dengan wajah mulai dipenuhi garis-garis tanda tua.

“Kami,” jawab Agam.

“Rencananya bergantian,” tambah Lila.

Cik Usin memang sudah memutuskan untuk selalu pulang setiap hari sejak beberapa minggu terakhir. Banyak hal mengejutkan yang belakangan ini sangat membanggakan hatinya sebagai seorang ayah dan ia tak ingin melewatkan semua itu dengan berbagai alasan. “Seberapa besar kalian perlu dana itu?” tanya dia lagi.

“Hitung-hitungan Koh Alai tujuh juta,” jawab Lila.

Pawang buaya itu terkejut lalu diam. Kemudian membayangkan sebuah gunung batu yang menghadang di perjalanan. Niat untuk menyulut rokok kretek dia urungkan sebab matanya tak lagi beringsut menatap bocah-bocah di depannya. “Kalian akan butuh waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan uang sebanyak itu,” desisnya.

Anak-anak yang mendengar kalimat serupa keluhan itu kemudian tertunduk. Dan yang nyaris tak terpikirkan adalah, Cik Usin tak pernah tahu kalau tak banyak yang dapat mereka lakukan bila rencana kali ini gagal. Niat membuat Drone mungkin harus mewujud dengan cara yang lain tapi entah bagaimana dan kapan.

“Mengapa kalian berpikir aku akan mengizinkan?” tanya Cik Usin. “Perahu itu ibarat kaki dan badan bagiku.”

Lila menjawab: “Kami menyayangi Bu Mala.”

Cik Usin mengangkat bahu dan mencoba meyakinkan diri kalua dia tidak sedang mendengar suara kecil yang putus asa. “Kita semua menyimpan perasaan yang sama tentang Bu Mala, Nak,” ujarnya. “Tapi aku belum bisa melihat hubungan antara rasa cinta dengan perahu yang kalian maksudkan ini. Lagi pula, kenapa harus perahu kita?”

Mendengar jawaban itu, Lila mulai merasa putus asa lalu mencoba diam. Dia lantas berpikir, tampaknya rencana mereka benar-benar tak akan terwujud hinga akhirnya ia berkata: “Tak apa kalau Bapak tak bisa,” dengan segenap kesadaran bahwa, setelah ini, mereka benar-benar harus merencanakan hal lain.

Di sini lain, sebenarnya jika dengan mengizinkan saja semua akan selesai, Cik Usin ingin sekali melakukannya. Tapi lelaki paruh baya itu berpikir lain. Ada hal yang lebih tepat dan dia harus segera mengambil sikap. Kecuali itu, dia juga perlu waktu untuk berpikir. Maka akhirnya Lila tak membantah lagi dan mengangguk dengan berat. Setelah kesepakatan buntu itu berlalu, Cik Usin lekas meninggalkan mereka dan anak-anak itu melepasnya dengan berdiri di tepi halaman. Hati Lila penuh sesal tapi ayahnya dan perahu yang ditumpangi segera lenyap entah ke mana.

Hingga tengah hari dan kawan-kawan Lila masih berkumpul, Cik Usin belum juga tampak pulang. Matahari semakin panas dan atap seng yang menggelatar tak kuasa menahan sengatan yang terik. Tapi anak-anak itu masih saja termenung di teras bertiang hampir lapuk dan mengamati hulu sungai sepanjang hari. Setelah senja tiba dan langit mulai meredup, satu persatu mereka akhirnya berpamitan dan Lila hanya bisa menarik napas tanpa kata-kata.

* * *

Ketika terjaga, pada mulanya Lila merasa sedang hidup di dunia asing. Udara lengas belum lagi memijar manakala ia dikejutkan oleh sebuah laptop baru di atas meja. Cepat-cepat anak itu memeriksa dengan wajah yang heran sekaligus gembira. Sempat diliriknya tas cangklong bertulis merk sebuah produk eletronik dan tangannya lalu mengusap-usap. Baru saja membuka jendela, suara Saragih segera mengejutkannya.

“Sudah bangunnya kau, Butet?”

“Sudah, Paman. Pagi sekali mau ke mana?” jawab Lila.

“Bapak sengajanya datang kemari,” jawab Butet. “Mau menyampaikan pesan Bapakmu.”

“Ada apa? Dia tak ada sejak aku bangun.”

“Tak ada apa-apanya,” Saragih mendekatkan ujung parahu untuk memudahkan Butet melompat. “Dia cuma minta awak menjemput di dermaga.”

“Dermaga?” Kening Lila mengombak.

“Ya.”

Saragih memutar perahu motor. Butet hinggap di halaman dan tampak sudah berwajah segar. “Perahumu dijual!” katanya.

“Betulkah?”

“Benar. Sumpah.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Tak mungkinnya Bapakku bohong.”

Lila termenung sesaat dan semuanya menjadi hening seperti waktu yang menunggu untuk terus ditelusuri. “Sungguh ini cara yang berat untuk membahagiakan orang yang dia sayangi,” gumamnya. “Aku seperti melihat sesuatu yang lebih besar daripada aliran sungai ini.”

“Apa pula itu?” tanya Butet.

“Cinta Bapakku.”

“Kenapa rupanya?”

“Aku tak pernah menduganya.”

“Puitis kali kau hari ini.”

Lila tak menjawab.

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

👌👍 sip

2021-07-07

1

Asmauna

Asmauna

Kasih sayang seorang Ayah 😍😍

2021-01-02

1

Netty Wirawati

Netty Wirawati

cinta yg luar biasa,,dan pengorbanan orang tua untuk mimpi anaknya...😭😭😭💓💓💓

2020-12-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!