SETELAH semalam penuh menunggu ayahnya yang tak kunjung tiba, Lila akhirnya berangkat bersama Agam, Arpan dan Duma yang sudah menjemput sejak jam enam pagi. Ketiga kawannya itu berpendapat Cik Usin mungkin sedang berada diperjalanan dan pasti akan datang setelah air surut. Semua keterlambatan, apa pun bentuknya, memang bisa dimaklumi dalam keadaan cuaca yang tak menentu di bulan penghujung tahun.
“Apa tidak terlalu pagi?” Duma bertanya dan berpikir akan menjadi seperti anak ayam kehilangan induk di muka sekolah itu. Tapi Lila tak menjawab sebab sedang memikirkan mengapa pertanyaan bodoh seperti itu harus menjadi bagian dari kesejukan pagi. Ditambah lagi, mereka memang harus menyiapkan banyak hal tentang posisi Drone agar dapat melesat dengan baik. Selama sepuluh menit, mereka tak mendengar pembicaraan lagi kecuali suara air yang memercik dan Duma tampak sedikit kesal dengan suasana buruk seperti itu. Agam hanya diam kemudian termenung. Tapi, lalu ia mengatakan bahwa, tidak ada orang Telukgedung yang akan tinggal di dalam rumah pagi ini.
Ketiganya berhenti di muka sekolah saat cuaca masih dingin. Air sungai mengalir jernih akibat hujan di hulu dan belum terlihat orang lain yang datang atau melihat kehadiran itu. Agam menyerahkan laptop, remote, Drone dan alat-alat lain kepada Lila yang bergegas melompat ke atas halaman terlebih dulu. Duma mengencangkan tali tambatan di tiang paling kanan dibantu Arpan yang kemudian ikut melompat. Ketika dia membuka pintu kelas dan Agam membantunya mengeluarkan sebuah meja, Arpan sudah mengangkat meja yang lain saat Lila membuka layar laptop dan mulai mengarahkan kamera ke posisi laut lepas. Anak itu duduk di atas kursi yang pada saat yang sama, Duma menatap agak tertegun melihat Lila melakukan hal demikian mengagumkan tetapi tidak berani berbicara.
“Sudah di-charge?” tanya Agam.
Lila menjawab dengan anggukan kecil.
Selanjutnya Agam meminta Duma untuk menyatukan beberapa gulung kabel tatkala Arpan mulai menghidupkan tombol on di bawah lambung Drone.
“Sepertinya cuaca cukup baik,” ujar Agam seraya memeriksa baterai remote dari dalam kardus kecil. Dia meletakan Drone di atas landasan salah satu meja terlebih dahulu sebelum mendekat.
“Laptopmu,” ucap Lila. “Kita lakukan uji coba ringan untuk Drone T-20.”
“Telukgedung 2020!” seru Duma dari jarak beberapa meter dengan sebelah tangan terkepal.
“Ke arah mana?” tanya Agam.
“Mengitari sekolah.”
“Hanya sekali saja?”
“Kukira itu sudah cukup.”
“Baiklah. Sejauh kau sudah yakin.”
Keberuntungan datang pada Butet dan ayahnya, juga Gita, Bunga dan Berta yang sempat melihat saat Drone itu melesat dari landasan. Mereka datang di waktu yang membuat Saragih terlupa untuk menanyakan keberadaan Cik Usin dan Lila juga terlupa untuk lebih dulu menanyakannya.
Beberapa menit setelah Drone kembali mendarat, Saragih berteriak kegirangan dengan kedua tangan melambai hingga perahu bergerak-gerak dan tubuhnya nyaris tercebur. Gita, Bunga dan Berta berpegangan kuat-kuat dan sempat khawatir kalau mereka juga akan terjatuh.
Orang-orang mulai berdatangan tak lama kemudian. Pak Ilyas membawa Mak Ning, Mala dan isterinya, lalu Picing muncul bersama beberapa orang tua siswa tetangganya. Dari kejauhan, saat halaman mulai sesak hingga sebagian orang harus duduk di atas perahu, Uwak Kadirun Angin Badai muncul dari hulu dengan sorban berkibar dan orang-orang segera memberinya jalan setelah lelaku berjanggut itu tiba.
“Apakah aku terlambat?” tanya dia
“Tidak,” jawab Pak Ilyas. “Uwak datang tepat waktu.”
“Syukurlah kalau begitu,” kemudian lelaki bersorban itu mengambil tempat di sebelah Kepala Dusun dengan wajah berlumur senyum dan sangat gembira.
Pada saat itu sebagian orang terus saja mengobrol dan mengemukakan pendapat mereka tentang Drone yang baru pertama kali dilihat. Sebagian yang lain saling berbisik kemudian tersenyum atau tertawa kecil. Di atas halaman panggung tak ada anak-anak lain kecuali Lila dan Agam. Para anak-anak sudah duduk di perahu masing-masing bersama ayah dan ibu mereka.
Tapi Lila masih terlihat gelisah dan sempat menanyakan pada Saragih atas ketidakhadiran ayahnya setelah menemui Jack dan Bidan Sarah tadi malam. Namun jawaban yang diperoleh hanya mengatakan kalau mereka sudah tiba menjelang subuh.
Bu Aisyah mendekati Pak Ilyas dan menanyakan apakah acara sudah bisa dimulai.
“Sebentar,” bisik Pak Ilyas. “Aku belum melihat Cik Usin.”
Bu Aisyah menutup mulutnya dan menoleh sekeliling sambil bergumam. “Kenapa dia sama sekali tak tampak?”
“Saya juga menunggu sejak semalam, Bu,” kata Lila.
“Mana Saragih?” Bu Aisyah mencari-cari orang yang ia maksud dan menemukannya duduk bersila di ujung perahu. “Bukankah semalam Cik Usin bersamamu?”
Saragih agak kebingungan tapi kemudian segera menjelaskan kalau dia sudah mengantar Cik Usin sejak subuh.
Saat kegelisahan kian meluas, Pak Ilyas memanggil Lila dan menanyakan kesiapannya untuk memulai acara. Dan Lila mengiyakan meski sebagian wajahnya terus tersapu kekhawatiran. Lebih dari itu, tak ada yang lebih dia impikan sebenarnya kecuali kehadiran sang ayah.
“Baiklah,” kata Pak Ilyas.
“Mudah-mudahan Bapak lekas datang,” gumam Lila.
Pak Ilyas mengangguk dan berbalik ke arah Bu Aisyah dan perempuan paruh baya itu segera bangkit untuk membuka acara. Semua hadirin menatap ke arahnya, sedang sebagian lagi mulai menahan napas dan sedikit menduga-duga tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Bapak dan Ibu sekalian,” keheningan terbelah. Angin kecil melintas di beberapa bagian halaman dan beberapa ekor ikan melompat di sisi perahu saat suara Bu Aisyah mulai terdengar. “Hari ini, Telukgedung dan kita akhirnya menemukan kembali identitas diri yang sejak lama tenggelam dalam perut sungai. Saya hampir habis kata saat melihat anak-anak ini terus saja bergerak sementara kita tetap dalam keterasingan. Tapi baiklah. Kata demi kata agaknya memang harus terurai mulai detik ini. Telukgedung tidak mungkin akan mengecil atau menjadi hancur jika orang-orang yang ada di dalamnya terus berjuang dan berkembang: Terus menjadikan semangat sebagai sebaik-baik penolong, sebab tanpa itu, mungkin kita sudah mati terapung seperti bangkai ikan,” Bu Aisyah berhenti sejenak dan menarik napas. “Oleh karenanya, kita memang harus mengambil keputusan demi anak-anak ini dan nasib yang sedang mengintai mereka mulai hari ini. Mengambil dan memasukan mereka ke dalam catatan sejarah untuk membuang rasa takut atas segala keterbatasan yang ada. Kiranya ini saja sekadar sambutan dari saya atas nama Kepala Sekolah yang terus berbangga hati sebab kita, tanpa menyadarinya, sudah memiliki cikal-cikal pembela dinding dan atap rumah orang-orang muara yang sedang menunggu runtuh. Nanti, sambutan pertama akan disampaikan oleh Pak Ilyas, kemudian langsung ditutup dengan doa oleh beliau juga. Selepas itu, kita akan segera menjadi saksi atas bagaimana tangan-tangan kecil Telukgedung mulai menorehkan ceritanya yang lain. Dan itu adalah tentang Drone T-20; sebuah benda ajaib yang sedang mendorong kita untuk melupakan semua rasa takut!”
Tepuk tangan bergemuruh. Agam serta merta mendekat dan membisikan sesuatu ke telinga Bu Aisyah yang lantas berseru: “Baiklah, Bapak dan Ibu. Sepertinya Agam sudah menyiapkan sebuah puisi dan saya kira ini adalah kabar baik yang sangat menarik,” dia lalu mengangguk-agguk sebentar. “Mari kita dengarkan!”
Napas Agam terhela. Tangannya menggenggam selembar kertas lusuh yang sudah lembab oleh keringat. Kedua mata berkitar menatap orang-orang di atas perahu dan berhenti pada sepasang tatapan milik Pak Sardan, sesosok lelaki tengah baya yang sedang merasakan makna sebuah kebanggaan yang ajaib.
“Seberangi Aku Cinta...”
Suara anak itu membelah separuh hari yang bercahaya tak pucat. Orang-orang mulai menahan segala hal yang bergemuruh di dalam dada dan beberapa ekor burung kembali melintas dengan gepakan sayap sebebas suara Agam yang menggema kembali:
jika telah sampai di bibir air itu,
seberangi aku menuju anak-anak
terapung. cinta yang berombak
di Telukgedung yang tak kutahu tandanya
kecuali gumam dan malam
seberangi aku, cinta. ingin kutandai
Telukgedung tak bernama itu dengan
tanganku yang berdarah. atau lembar
kain merah putih dan nyanyian “bagimu negeri...”
tapi apakah anak-anak itu mengerti
bangku sekolah, tak kenal papan
tulis, dan buku berhitung dan huruf?
seberangi aku, cinta. akan kuajari
anak-anak Telukgedung bukan mengeja
maupun berhitung. tapi kepalkan
tangan di udara dan satu tangan lagi
menyelam; udara dan air milik
bersama, ajak kami ikut menikmati
kenapa hidup kami di tapal batas?
Ketika Agam mengakhiri dengan, kenapa hidup kami di tapal batas? orang-orang mulai menjatuhkan pandangan lebih tegas, kemudian diam-diam menarik napas dengan tanpa mengucapkan apa-apa. Lama mereka merasa seolah tak mendengar suara apa pun kecuali deburan ombak. Lalu anak itu berpikir, mungkin ada kalimat yang telah salah baca tapi kemudian dia kembali yakin kalau kediaman itu adalah bentuk rasa takjub yang sama sekali tak berhubungan dengan kata-kata.
Semua perasaan itu baru hilang setelah suara tepuk tangan tiba-tiba menggema hingga jagat raya seakan bergetar dan ombak-ombak saling berkejaran. Langit membersihkan asap dan awan Cumulus menyibak kelancangan hujan. Tepuk tangan itu bergema sangat panjang hingga membuat beberapa perahu menjadi oleng.
Lalu sesudah itu, sesudah semua orang merasakan satu kebahagian yang tak pernah mereka temukan, alam kembali sepi dan Pak Ilyas memilih untuk langsung berdoa, tanpa kata sambutan. Dia beralasan, doa adalah senjata paling ampuh bagi seseorang yang meyakini kehadiran cinta Tuhan, selain juga sebaik-baik kata pengantar. Maka berdoalah dia dengan getar suara serupa rintihan yang segera menciptakan keheningan di ambang muara.
“Rabbi. Allah Yang Maha Habat. Asal Engkau tak marah pada kami dan kami tidak menjadi durhaka padaMu karenanya. Ingin sekali kami melihat Engkau mewujudkan jerit tanpa suara Telukgedung sebagai satu kebaikan bagi mereka yang tak pernah mengerti sayatan luka atas sikap orang-orang kuat yang tak menggunakan tangan mereka untuk menegaskan nasib kami sejelas matahari. Kuatkanlah kami dari suratan dan jalan keteguhan atas namaMu, Ya Rabb. Sungguh Engkau maha mengetahui getaran setiap hati yang berdetak di antara kami hambaMu, Wahai Dzat Pemilik Semua Rencana. Mohon maafkanlah kami karena terus meminta agar anak-anak kami tumbuh menjadi ombak laut yang terus menjaga rasa asinnya. Menjaga empasan badai sebagai tanda cinta yang juga sama. Betapa tidaklah kami menjadi bagian dari anak-anak ini kecuali karena rasa cinta yang datang dariMu, wahai Allah. Sebagaimana tidaklah Engkau membiarkan tangan-tangan kami terus mengayukan dayung meski gemetar kecuali atas nama cinta yang juga sama. Kadang kami bertanya, apakah kami terus akan hidup di sini; apakah kami tak boleh mati?”
Jantung Telukgedung benar-benar berubah hening oleh kepasrahan itu. Kepasrahan yang menjadi senjata yang bersamayam di hati anak-anak dan orang dewasa dan sesekali merambah ke darat untuk menemui pembeli ikan asin di pasar Rawajitu. Kepasrahan itu sungguh sangat kuat, tangguh, berserah dan penuh pancaran Ilahi. Hujamannya adalah cerita tentang tekad serupa badai yang tak pernah berhenti menahan hantaman ombak. Kalau melihat kepasrahan seperti itu, setiap orang akan memaknainya sebagai kekuatan, atau keteguhan, atau kecintaan. Dan mereka yang memilikinya bukanlah kawanan perompak seperti yang dituduh-tuduhkan, tapi bagian dari anak bangsa di negeri yang menjadikan lautan sebagai sebaik-baik guru pengajar.
Setelah Pak Ilyas kembali ke tempat duduknya lalu Bu Aisyah mengucapkan sesuatu dengan lebih keras, tapi pada saat yang sama semua pembicaraan yang dia sampaikan penuh dengan kepasrahan. Lalu Agam dan Lila bergegas bangkit dan membuka laptop. Lila mengarahkan Drone ke hamparan laut dan Agam bersiap dengan sebuah remote dua antena di tangannya. Suara mendesis segera terdengar. Drone melesat. Gemuruh tepuk tangan membahana. Setiap mata kini mengikuti gerakan Drone itu hingga melaju begitu jauh hingga hanya menyerupai seekor anak burung kemudian hilang. Maka ketika Drone itu kembali dengan desingan suara yang sama, orang-orang berteriak histris seperti sedang melihat kerumunan buaya mengamuk. Beberapa di antara mereka langsung memeluk anak-anak, sedang sebagian yang lain terus berdecak-decak dalam kebinaran.
Hari itu benar-benar hari yang membahagiakan kecuali bagi Lila yang tiba-tiba merasa semuanya menjadi sunyi sebab Cik Usin benar-benar tak muncul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
haru skaligus bhgia...aku yg seumur hidupku tinggal di daratan...seolah pandanganku terbuka luas...aku yg cnderung takut air & tak bs brenang...tak bs mmbayangkn btapa hidup mrk brdampingan dg air yg bgitu luas... dihempas ombak stiap saat...kpnpun badai sllu siap mmporakporanda...tp Tuhan tak mgkn mncipta tanpa prhitungan...smua psti sdh tepat pd tempatnya🌴🌴🌴⛅⛅⛅⚡⚡⚡
2020-12-14
1
Alensa
terus semangat
perempuan muara sampai drone t-20
2020-06-05
1