DENGAN tubuh basah kuyup Mala masuk ke dalam rumah di antara guyuran hujan lebat yang datang setelah dua lembar kilat menyambar ujung muara hingga semua orang dicekam ketakutan. Mak Ning cepat-cepat memberikan selembar handuk lalu terpancang menatap anak gadisnya mengeringkan kepala dan sekujur badan, tanpa kata-kata.
Gubuk tua yang mereka tempati mulai bergoyang-goyang seperti hendak terbang dan angin yang menyertai hujan terus bertiup untuk memainkan segala benda terapung. Meski angin seperti itu kerap tiba di setiap bulan September hingga Januari, tetap saja kedatangannya akan membawa sederet ketakutan bagi tiang-tiang rumah yang sebagian besar sudah tua dan lapuk. Musibah terbangnya atap terkadang datang pada saat-saat seperti itu dan selalu menjadi ingatan yang tak mudah dilupakan bagi sebagian besar orang kecuali bagi mereka yang benar-benar mulai putus asa. Saat hujan mulai berhenti dengan rintik-rintik kecil, Mala sudah berada dalam selimut dan merasa tubuhnya akan terserang demam.
“Cepat kau minum paracetamol,” kata Mak Ning. “Badanmu panas sekali.”
Mala bangkit menuju pelastik obat kemudian menenggak sebutir paracetamol dengan dorongan segelas air dari Mak Ning. Suara hujan dan badai sudah tak terdengar lagi dan angin kencang mulai mengurangi keinginan untuk menggerakan benda-benda ringan. Dari pintu depan lamat-lamat terdengar suara ketukan dan Mala segera membukanya.
“Lila?”
“Maaf mengganggu, Bu. Kami ingin bicara.” Lila datang ditemani seorang bocah seusia yang melipat kedua tangan ke dada dan dia adalah Agam.
“Denganku?” tanya Mala.
Keduanya mengangguk.
“Ada apa?” Mala memandang ke sekeliling dan alam Telukgedung yang mulai gelap tak memperlihatkan tanda apa pun meski adzan magrib hampir terdengar. “Masuklah,” katanya.
Mak Ning yang agak terkejut dengan kedatangan tak biasa itu sempat bertanya tentang siapa tamu yang datang sebelum kemudian menutup jendela dan duduk di sebelah Mala.
“Kami bermaksud menerbangkan Drone besok pagi, Bu,” kata Agam.
“Sudah jadi?”
“Sebenarnya sejak kemarin.”
“Dan bisa terbang?”
Lila mengangguk dan merasa sedikit bangga. Kedua anak itu kemudian menyandarkan punggung ke dinding yang lembap dengan sebagian rambut masih basah kuyup karena terpaan hujan sepanjang jalan.
“Aku benar-benar tak tau apa yang akan kalian lakukan tapi kalian sungguh membanggakanku,” kata Mala.
“Kami berharap Drone itu bisa menemukan Bang Ombak, Bu.”
Seketika itulah Mala terkejut dan air matanya langsung mengalir. Mak Ning agak terperangah sebab benar-benar tak paham dengan topik yang sedang ia dengar. Tapi meskipun demikian, dadanya segera berdebar saat mendengar nama Ombak disebutkan dan karena itu ia segera mengigit bibir.
“Adakah sesuatu yang kalian ketahui tentang dia?” tanya Mala.
“Tidak ada, Bu. Tapi kami tahu semua upaya harus dilakukan,” terdengar sekali suara Agam berubah berat dan kedua tangannya menggenggam sangat erat. “Setidaknya mencoba sekali lagi.”
“Lalu kapan kalian akan melakukannya? Maksudku, besok jam berapa?”
“Sepagi mungkin, Bu,” jawab Lila.
“Bukankah besok hari Minggu?”
“Karena itu kita akan melakukannya di halaman sekolah.”
“Oh. Lalu bagaimana dengan Bu Aisyah?”
“Pak Kepala Dusun dan Bapak sedang ke sana untuk memberi tahu. Kawan-kawan yang lain sedang menghubungi semua orang tua murid SD Telukgedung,” jawab Lila lagi.
“Semua?”
“Betul, Bu. Semua.”
“Tidakkah halaman sekolah kita begitu sempit?”
“Kata Pak Ilyas, sebagian orang bisa tetap berada di atas perahu. Begitu yang saya dengar.”
Mala mengangguk-angguk. Wajahnya bersemu merah antara bahagia dan sedih. Tapi kemudian ia berusaha menguasai diri dan mulai berharap akan datangnya sebuah keajaiban. “Baiklah,” katanya. “Lalu apa saranmu mengenai hal ini? Maksudku, tentang acara besok. Adakah yang harus kulakukan?” Mungkin karena dorongan paracetamol atau karena baru saja mendengar berita menggembirakan, Mala merasa tubuhnya menjadi ringan dan segera melupakan pertanda kedatangan deman yang tadi melanda.
“Acara besok hanya peluncuran, Bu. Itu pun atas usul Pak Ilyas.”
“Aku sangat bahagia mendengarnya, Nak,” air mata Mala kembali berderai. “Bagaimanapun ini adalah tentang kemungkinan kabar baik Bang Ombak dan rasanya aku tak bisa berucap lagi dan ingin sekali waktu cepat berlalu.”
“Bu,” suara Agam agak bergetar.
Mala menatapnya.
“Seandainya tidak ada sesuatu yang harus dilakukan, dan andai Telukgedung memiliki kapal hebat yang bisa mengarungi lautan untuk menangkap ikan dengan mudah, kita tentu tidak akan semenderita ini dan apa yang dilakukan Lila tentang Drone itu tentu bukanlah apa-apa. Tapi kita berada di tempat yang tidak selalu memberikan pilihan, Bu. Itulah masalahnya.”
“Entahlah. Tapi bagiku kalian adalah anak-anak yang hebat,” seru Mala.
“Apakah Nenek boleh hadir?” Mak Ning yang sudah menggigil menahan sedih akhirnya ikut bersuara. Meski tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dibicarakan, insting keibuannya tak bisa dibohongi kalau semua pembicaraan itu muaranya adalah hal yang sangat penting. “Apa yang harus Nenek lakukan agar kalian mengizinkan?” Baginya yang tak berpikir Ombak benar-benar sudah tiada, merasa hanya ingin berkata: “Aku ingin datang,” sebab tak ada alasan untuk tidak berada di tempat itu apa pun yang terjadi. Di dua minggu terakhir, sudah sangat jelas Ombak tak berada dalam gubuknya dan tempat hunian pemuda itu kini menjadi sarang baru bagi burung-burung laut. Hal ini semakin terasa menyakitkan terutama saat ia melihat kesedihan Mala.
Lila menjawab, “besok adalah waktu yang baik untuk menghirup udara segar, Nek. Kita semua memang harus berada di sana.”
“Nenek dan Bu Mala akan menanti di halaman sekolah jika datang lebih dulu,” sahut Agam.
“Terima kasih, Jang,” suara Mak Ning berubah agak tenang dan itu menandakan sebuah keharuan. “Aku akan memanjatkan doa untuk kalian mulai malam ini, meski aku sama sekali tak paham tentang apa yang sedang kalian buat yang bagiku begitu rumit. Tapi apa pun itu, apa pun yang sedang kalian rencanakan itu, kalian sesungguhnya sedang berbuat baik pada kami.”
Mak Ning berupaya tersenyum dan Lila cukup mengerti kalau kedatangannya bersama Agam senja ini sama sekali tidak sedang menyakiti dua perempuan tangguh yang sedang dirundung duka teramat panjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Fajar Mesaz
terimakasih terus mengikuti sampai di baba inj
2021-06-27
1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
bathinku berbisik penuh harap😔😔😔
2020-12-14
1