AKHIRNYA Pak Ilyas tak tahu lagi harus melakukan apa. Pencarian atas hilangnya Ombak berlangsung dengan sangat buruk dan menjelang minggu ini, upaya itu segera berakhir. Inilah batas dari sebuah kepanikan yang sudah menginjak usia seminggu.
Perahu-perahu di dusun terapung itu akhirnya terdiam dalam kelelahan dan dalam bulan ini pula, tidak akan ada lagi pekerjaan yang melelahkan. Pak Ilyas berkata, dia tidak akan memimpin pencarian lagi dan orang-orang Telukgedung segera memahami keputusan itu.
Pada gilirannya, kesedihan ini juga merambat ke benak siswa SD Telukgedung yang seketika menjadi muram.
Lila masih berdiri di depan pintu saat dengan tergesa-gesa Duma yang gempal dan berambut serupa ijuk mempertanyakan ekspresi wajah seorang anak yang hendak meminjam buku dongeng. Semua pembicaraan, kapan pun waktunya, selalu akan bermuara pada Mala seperti halnya hari ini.
“Bu Mala menangis,” kata Lila dan suaranya tidak terlalu menyalak dengan sepasang mata melirik sekeliling.
“Kenapa?” Arpan yang sangat membenci perdebatan mendekat. Tubuhnya bulat, pendek dan agak kecil macam ayam hutan.
“Bang Ombak,” Jawab Lila.
“Bang Ombak pulang?”
“Jangan keras-keras!”
Jarak ruang kelas dengan kantor itu hanya di batasi selembar tripleks kusam yang beberapa bagian ujungnya sudah bergerigi karena lapuk. Bercak serupa gambar pulau menyempurnakan bekas tetesan air pada bocoran atap yang masih akan terjadi kalau hujan kembali turun. Sampan, Berta dan Agam yang menangkap pembicaraan itu ikut mendekat untuk menambah jumlah orang penasaran. Ketiganya berbadan sedang dan nyaris tanpa pembeda kecuali wajah dan intonasi suara.
“Ada apa?” tanya Berta sebelum Duma mencubit lengannya.
“Rapatkan bibirmu. Jangan banyak tanya!” Gita yang berambut ikal dan paling sering telat tapi selalu ingin tahu banyak hal menjawab pertanyaan Berta yang menurutnya sama sekali tak bermutu.
Tanpa menoleh, Lila, Berta dan Gita mengendap setengah membungkuk dan hal menyerupai kebodohan itu diikuti oleh Agam, Duma dan Arpan. Di bawah satu-satunya jendela kantor yang kacanya adalah potongan terpal biru kusam, anak-anak itu duduk dengan kaki terjulur dan wajah diliputi kekhawatiran.
Segera terdengar suara Bu Aisyah. “Apakah kau baik-baik saja?”
“Tidak jika Ibu bertanya apakah saya sedang bahagia,” jawab Mala.
“Maafkan aku.”
“Mereka mengatakan Bang Ombak mungkin tak akan ditemukan,” suara Mala persis seperti seseorang yang sedang menahan linangan air mata tapi terus menahannya. “Saya tahu pada akhirnya mereka akan menghentikan pencarian dan mengatakan hal itu. Saya tahu mereka akan menghentikannya.”
“Semua orang sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, Mala.”
“Ibu benar. Dan saya tak ingin menyalahkan siapa pun. Tadi malam saya sudah memutuskan untuk menyimpan semua kesakitan ini dan mulai sekarang saya tak ingin lagi mendengar apa pun kecuali kisah yang menguatkan seperti saat Telukgedung membesarkan kita,” pelan dan agak terbata, Mala menumpahkan perasaan dengan air mata yang terus ditekan.
“Dan kita akan selalu mengingatnya.” Bu Aisyah kemudian berdiri sambil menunduk tapi bukan sedang menatap sesuatu sebab pandangannya kosong. Dia mengatakan; andai Ombak tidak pergi, dia selalu berpikir Mala akan menemukan pasangan serasi yang menjadi mimpi semua orang. Gadis itu akan hidup dengan lelaki perkasa dan menjalani perputaran waktu dengan kehadiran putra dan putri yang saling menyayangi. “Lalu, pada saatnya kematian pun tiba dan anak-anak kalian akan melanjutkan kehidupan dengan takdir yang berbeda. Kau tahu, pada saat itu orang-orang akan segera melupakan kalau kalian memang pernah ada.”
Mala ikut berdiri dengan kedua tangan masih menyentuh meja, sama sekali tak membantah.
“Tapi dengan kepergian Ombak kali ini, sungguh dia sedang menorehkan kemuliaan meski itu bukan hal mudah bagimu. Aku melihat, selama ribuan tahun orang-orang akan menuliskan nama kalian sebagaimana Telukgedung yang juga akan terus mengingatnya.”
“Ini adalah hal terberat yang pernah saya alami, Bu.”
“Aku tahu, Nak,” kata Bu Aisyah. “Aku juga merasakannya. Kepergiaan Ombak tak akan pernah bisa dilupakan sebab kita harus menanggung sebuah kehilangan yang demikian menyakitkan.”
“Dia pergi tanpa mengetahui kalau itu adalah waktu terakhir untuk kami saling bertemu. Saya tidak pernah menghendakinya tapi harus menerimanya.”
“Sekali lagi, aku bisa merasakan semuanya, Mala. Aku tahu ini saja tidak cukup tapi kita tak mungkin menolak takdir.” Bu Aisyah menggeleng-geleng dan anting-anting dari kulit kerang bergoyang-goyang di ujung telinganya.
Di luar, Lila yang berada pada barisan paling belakang tiba-tiba beringsut. Kawan-kawannya sempat berbisik-bisik dan saling tatap sebelum akhirnya membuntuti menuju ruang kelas yang dindingnya sudah dipasang rak sebagai perpustakaan.
“Apa yang kau cari?” tanya Agam.
“Sistem Drone, Peta Laut dan Navigasi. Aku pernah melihatnya,” jawab Lila.
“Ilmu Pengetahuan Umum,” timpal Duma.
“Sebelah mana?” kejar Lila.
Duma terlihat lebih ramah terutama saat ia beranjak ke pojok kelas untuk memilah beberapa buku. “Inikah?”
Lila mendekat. Tangannya meraba sampul buku itu dan mengamati agak tajam.
“Berapa hari?” tanya Duma.
“Apanya?”
“Buku ini akan kau pinjam berapa hari?”
“Lebih dari tiga hari kurasa.”
“Apakah ada hal lain yang harus kita sepakati?”
“Mungkin aku harus mencari beberapa material setelah itu.”
“Kau akan membuat sesuatu?”
“Ya.”
“Dan akan melakukannya bersamaku?”
“Entahlah. Rasanya aku tak yakin.”
“Ya. Aku sudah menduganya.”
“Aku ingin menyelami bangkai kapal di ujung muara itu.”
“Hei!” Wajah Duma berubah kencang. “Apakah kau tahu tempat apa yang sedang kau sebutkan itu?”
“Aku tahu. Tapi itu bukan alasan untuk mengurungkannya.”
“Itu adalah sarang buaya, Kawan. Jangan main-main!”
“Aku hanya ingin menyelaminya.”
“Untuk apa?”
“Memahami bagaimana sebuah kapal bisa dibuat begitu hebat.”
“Sekali lagi kuingat kan, sebaiknya urungkan!”
Lila tak menjawab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Isma Aji
semangat 🤗
2021-07-09
2
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
tetap menyimak...menyandarkn sdikit harapan🙏🙏🙏🙏🙏
2020-12-12
0