PAGI itu, menjelang dhuha. Lila sudah berdiri di atas halaman panggung SD Swasta Telukgedung setelah sempat hampir terjatuh karena saat hendak mendarat jarak antara lompatan dan perahu yang ditumpanginya masih cukup jauh dan dia terlalu bersemangat mengangkat kaki sebelah kanan. Kepala perahu yang belum benar-benar menyandar bergeser terbawa arus hingga kedua kakinya merentang makin lebar dan ia gagal mengentak. Cik Usin, ayahnya yang melihat ketidakseimbangan gadis kecil itu cepat-cepat mendekatkan ujung perahu untuk memberi pijakan penyelamat lalu mendorong pantat Lila sampai bocah berambut sebahu yang bagian ujungnya bercabang seperti sarang tupai itu benar-benar mencapai papan halaman dalam entakan sekali lagi.
“Bapak tidak turun?” tanya dia setelah yakin lututnya tak lagi gemetar.
“Tidak,” jawab Cik Usin. “Dua puluh kilometer di hulu ada sebuah dusun yang sedang menantiku; seekor buaya menelan anak kerbau.”
“Orang dusun itu tak bisa menanganinya sendiri?”
“Tentu saja tidak.”
“Tapi seharusnya Bapak berada di sini.”
“Tentu saja.”
“Lalu mengapa Bapak tidak berada di sini?”
“Orang-orang itu harus ditolong, Nak. Buaya itu harus ditaklukan.”
“Tidakkah Bapak bisa melakukannya di lain waktu?”
“Aku juga akan melakukannya di lain waktu.”
“Lalu mengapa Bapak tidak melakukannya?”
Cik Usin menautkan alis. “Aku akan melakukannya setelah ini dan kapanpun bila orang-orang itu menginginkannya.”
Lila mencoba mengangguk pelan sebagai pesan kalau ia sama sekali tak bisa mengerti namun ingin sekali memahaminya. Pandangannya jatuh ke aliran sungai yang mulai berminyak akibat limbah yang terus menyerang dari di hulu. “Jadi, Bapak tidak akan menjemput ku?”
“Di sana ada yang harus kutaklukan Nak.” Lelaki paruh baya itu mulai mendorong ujung dayung pada tiang penyangga halaman kemudian menghidupkan mesin perahu dalam sekali entakan lalu melakukannya sekali lagi. “Kau pulang saja sendiri. Kau harus membiasakannya.”
Suara perahu motor menderu.
“Jadi, Bapak benar-benar tak bisa?”
Sekali lagi, Cik Usin menoleh. “Aku tak mungkin meninggalkan dusun itu sebelum benar-benar aman, Nak. Aku harus memastikannya.”
Kemudian ia memutar posisi tubuh dan ombak kecil membuat perahunya bergoyang-goyang. Lila kembali menarik napas; sudah biasa lelaki usia 50 ini tidak pulang dan ucapan semacam itu sebenarnya sudah ia duga sebelumnya.
“Aku sungguh berharap Bapak pulang,” bisiknya dengan perasaan tak peduli dan dia terus berpikir, apa pun yang terjadi, hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari penuh keberkahan sebab sebentar lagi buku-buku dari kota segera akan menelanjangi kebodohan dusun di atas air setelah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka dan orang-orang Telukgedung menempati muara ini lebih dari satu abad. Namun Cik Usin benar-benar tak menjawab lagi dan segera berlalu dan anak perempuan kecil itu, sekali lagi, hanya bisa menghela napas berat.
Di belakang halaman tempat Lila berdiri, ada sebuah sekolah terapung dengan dua ruang kelas yang dinding papannya sudah berongga dimakan anai-anai. Lantai ruangan itu, pada beberapa sudutnya, menganga menyerupai mulut harimau yang siap menelan anak buaya. Tapakan menuju kedua pintu dua ruang kelas itu berada di samping kiri mengikuti posisinya yang melajur ke belakang berupa susunan papan ibarat jalan setapak dengan tameng pagar kayu Gelam yang dipaku agak rapat sebagai penanda kalau tapakan itu sama sekali bukan pelataran jumping. Pada bagian kanan halaman panggung itu juga terdapat sebuah jembatan dari tiga batang Gelam; terikat tali sabut kelapa yang sudah diserut kulitnya dan diperkokoh sebatang bambu melajur. Itulah jalan penghubung antar rumah bagi sebuah dusun di atas muara sungai yang tak pernah terlacak oleh peta.
Bagian kanan sekolah itu bersentuhan langsung dengan rumah Duma, lelaki kecil kawan sekelas Lila yang paling banyak lagak tapi mudah bahagia bila dipuji. Seperti nalarnya yang pendek, tubuh anak berambut bagai tebasan ilalang itu adalah perpadanan antara tiang tambatan perahu dan induk buaya; bogel, kejal, agak meliuk tapi tidak cacingan. Terdapat puluhan rumah yang berbaris sambung-menyambung di bagian kanan rumah itu yang melarik hingga ke ujung muara dan hampir di setiap bagian depannya diapungi sebuah perahu yang bila air sungai bergerak sedikit saja akan mengangguk-angguk layaknya kuda kehausan.
Berjarak dua lompatan di sebelah kiri, berdiri rumah Agam yang mulai miring ke kanan meski tetap tegak seolah sedang menantang laut. Rumah itu beratap nipah dengan separuh dinding bagian depan dilapisi terpal tambak kaku yang sengaja dipasang sebagai penghalang sebab dinding itu pernah diterobos buaya besar ketika air sungai mengalami pasang tinggi dan seperempat badan rumah hilang terendam. Sejak itulah ayah Agam berpikir keras untuk membuat semacam pertahanan agar tidak dihantam stroke akibat berulangnya peristiwa menakutkan itu.
Sepeninggal Cik Usin dengan bergelombang nya permukaan sungai oleh kibasan baling-baling perahu, Lila hanya bisa tersenyum getir kemudian berbalik dan kembali tersenyum lebih getir untuk menyadarkan dirinya bahwa, sebuah hari yang pantas dibanggakan sebentar lagi akan menjamah dusunnya. Sejak berita tentang kedatangan buku itu masuk ke telinganya, nalar dan harapan gadis kecil itu itu segera menyatu dalam kepala orang-orang pintar yang seolah akan mengajarinya cara menegaskan sisa hidup lewat halaman demi halaman buku yang akan segera bisa dibaca. Ia begitu senang membayangkan suasana semacam itu dan terus membanggakannya seolah hari-hari setelah hari ini, manusia Telukgedung tak lagi akan ditakutkan oleh virus Corona. Dia bahkan tak mengambil bagian untuk khawatir dan terus mengupayakan kemampuan agar tetap bergembira meski dengan senyum yang sangat dibuat-buat.
Jumlah orang yang datang makin lama kian bertambah dan matahari yang mulai menyengat membiaskan pada air sungai yang berkilau bagai fatamorgana. Setiap wajah orang tua yang mendarat bersama anaknya membawa segenap keceriaan yang aneh walau mereka sendiri tidak mengerti mengapa melakukannya. Mereka, para orang tua yang tak mengenal ponsel dan media sosial itu, sesekali, hanya ingin menyatakan keyakinan besar bahwa suatu hari nanti mereka akan membalik tatapan rendah para tengkulak terasi yang terus menghancurkan harga dengan mengandalkan tipu daya meski sebagai besar rakyat miskin di dusun atas sungai ini, terlanjur menganggap pendidikan sebagai deret kengerian yang tidaklah diyakini sebagai jalan keluar kecuali oleh sebagian kecil nelayan saja.
Lila sangat mengenal wajah anak-anak seusianya yang terus berdatangan bersama orang tua mereka itu dan rata-rata mereka memiliki ujung rambut berwarna merah akibat dipanggang sinar matahari. Gita misalnya, meski cepat-cepat melepaskan pegangan tangan emak setelah membentur tatapan Lila yang penuh hinaan, adalah pemilik sketsa tangan berkuku panjang dan hitam yang sejak dimasukan ke sekolah ini dan tak akan pernah selesai bila diminta menyanyikan lagu Garuda Pancasila sebab sama sekali tak hafal. Dia juga masih belum bisa melepas kebiasaan mengenakan rok ibunya yang kedodoran yang ujung bawahnya menjuntai menjijikan hanya agar kentutnya bisa memiliki sirkulasi untuk mencegah masuk angin – dan entah bagaimana dia bisa memiliki pendapat tolol sekejam itu tapi bagi siapa saja yang menantangnya, anak itu siap bertarung sampai mati.
Berta, Iriana juga Arpan pun tiada bedanya. Mereka adalah kawan-kawan bengal yang kadang membuat senang tapi lebih banyak mendatangkan pening kepala walaupun mereka adalah teman-teman baik bagi Lila. Teman-teman yang mau tidak mau harus terkurung dalam sebuah sekolah di atas muara akibat empat alasan besar.
Pertama, orang tua mereka adalah para tetangga dari sekumpulan orang muara yang hampir tak memiliki cita-cita kecuali agar anaknya menjadi Kuda Terbang –sebuah sebutan untuk mereka yang tak surut menerjang laut demi mendapatkan ikan sebesar perahu. Kedua, SDS Telukgedung adalah satu-satunya sekolah yang harus dibanggakan untuk melepaskan diri dari mati keras akibat memikirkan biaya transportasi yang bisa mengundang penyakit baru yang lebih kejam dari wabah Corona. Ketiga, demi melepas pepatah: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tapian dan menguji apakah pepatah itu sudah waktunya di ganti dengan, ‘buah duku buah rambutan’; kalau tak kuasa menyeberang ke hulu, jangan bermimpi menang di daratan. Terakhir, karena tak ada pilihan.
Kian lama halaman panggung itu benar-benar menjadi sesak oleh umat muara yang sebagian besar gemar meracau. Semua orang tua membawa anaknya dan semua anak tiba bersama ibu atau bapaknya. Bu Aisyah dan Mala yang tiba agak tergesa-gesa langsung membuka salah satu ruang kelas untuk menetralkan suhu udara sebab matahari di luar mulai mengigit dan itu makin meyakinkan semua orang kalau hari makin siang.
Dua guru perempuan yang sederhana ini sesungguhnya sedang berada dalam situasi di puncak bahagia sebab keinginan mereka untuk memiliki perpustakaan dengan buku-buku yang ajaib, dalam waktu tinggal hitungan jari, segera akan terwujud. Kegembiraan ini menjadi alasan yang terang bagi keduanya untuk sedikit tersenyum sebab dengan buku-buku itu, mereka bisa mengurangi perenungan tengah malam saat bulan, bintang dan mendung berkibar di langit sedang mereka harus menyusun apa yang layak dan tidak layak untuk disampaikan pada anak-anak esok paginya.
Bu Aisyah sungguh memahami kondisi para orang tua siswa yang tidak hanya sekadar membutuhkan status sosial bahwa anak-anak mereka butuh sekolah. Lebih dari itu, mereka juga mulai meyakini kalau sekolah adalah musabab seorang manusia bisa memiliki sejumlah kapal penangkap ikan dan karena itu ketika menerima kabar buku-buku itu akan datang dua hari yang lalu, dia sengaja meminta para orang tua hadir sebagai saksi atas bekilaunya sebuah harapan. Bahwa, setelah hari ini, anak-anak muara tak perlu lagi menghabiskan waktu bermain dengan hanya berenang atau mendayung perahu sepanjang hari. Buku-buku itu akan membuat mereka memulai hal baru yang mengejutkan.
Akan tetapi sebanyak itu rencana yang sudah disusun Bu Aisyah, sebagaimana pohon tua yang liukan daunnya selalu akan memburu arah mata angin, penantian adalah hal paling ajaib melebihi arah mata angin itu. Buku yang ditunggu-tunggu itu, bahkan hingga matahari bergeser di sudut 45 derajat ke arah Barat, ternyata tak juga kunjung tiba sampai hari menginjak redup. Semua wajah mulai berubah gelisah. Tatapan demi tatapan saling beradu dalam kekecewaan yang coba diriang-riangkan tapi itu tidak bertahan lama. Setelah waktu makin mendekati malam dan semua orang yang gelisah itu tak mungkin terus-menerus menipu dirinya, satu persatu mereka akhirnya beranjak pulang dengan sebagian besar merasa tak perlu menoleh lagi.
Lila sudah tak lagi menyadari banyak hal dan mulai merasa apatis sebab lebih dari itu, ayahnya benar-benar tak tampak kembali. Dengan kemauan ingin membaca yang besar dan kerinduan atas buku-buku yang tak terbedung, dia akhirnya memutuskan untuk bermalam di halaman sekolah itu setalah Bu Aisyah dan Mala berpamitan di penghujung waktu yang muram.
DARI sudut manapun pandangan di lempar, sekolah terapung itu adalah miniatur ketangguhan manusia muara di Dusun Telukgedung dan mereka sudah tinggal di sana selama ratusan tahun. Tuhan memelihara mereka di pertemuan antara Sungai Mesuji dan Laut Jawa dengan segenap rencana yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dan begitu juga halnya dengan para pendiri sekolah reot itu, ketika pertama kali memutuskan untuk memancangkan tonggak dan memakunya; sesungguhnya, mereka sedang membela pemukiman nelayan yang selalu tertekan oleh sulitnya akses pendidikan dalam wilayah tapal batas antara Kabupaten Mesuji dan Tulangbawang yang terus berdebat. Karena itulah, sejak sekolah itu berdiri, orang-orang di pemukiman nelayan itu mulai bermimpi tentang harapan yang berbeda kemudian mencoba meyakininya. Mereka yang tidur dan bangun secara tepat waktu dan tak lagi merasa ragu untuk menjawab sendiri pertanyaan tentang pentingkah menyandingkan antara hidup dan harapan.
Dan kali ini anak-anak di sekolah itu kembali menghimpun diri di bawah matahari yang hangat tapi tanpa kehadiran para orang tua seperti kemarin. Sungai mengalirkan kekeruhan, harapan terus dipancangkan, namun limbah dari hulu sama sekali tak mau menyusut hingga para nelayan harus memikirkan cara lain untuk tetap bertahan hidup tanpa ikan.
“Tuhan mengabulkan doa kita!”
Suara mengejutkan itu datang secara tiba-tiba dari seorang gadis kecil yang tadi malam benar-benar tidur di halaman sekolah tanpa memikirkan apakah matahari siang masih penting untuk ditunggu. Dia memekik dengan leher dan kepala tegak dan wajah menatap ke satu titik hingga anak-anak yang lain segera mengikuti layaknya sekawanan anak angsa. Mereka lalu terperangah dengan mulut membentuk rongga dan mata terbelalak. Sebagian yang lain ada yang langsung menangis namun terus menahan jatuhnya air mata sementara sebagian yang lain lagi sudah melompat-lompat atau memukul-mukulkan tangannya ke dinding hingga papan dan tiang sekolah bergoyang-goyang. Sedikit sekali yang saling berbicara tapi sangat banyak yang memilih diam sebab sudah tak bisa lagi berkata-kata.
Bu Aisyah yang sedang menilai tugas siswa kelas 5 dan sama sekali tak berniat menggerakan kepala ke arah dinding, secara refleks menghentikan gerak jarinya lalu tertegun beberapa lama. Jika kemarin ia sangat menunggu kedatangan buku-buku itu bahkan hampir memutuskan untuk menginap bersama Lila, hari ini dia sengaja tidak terlalu memikirkan tapi tetap mengharapkanya. Dia memilih sikap itu dan meyakini sebaiknya dia memang memilihnya.
Di ruang kantor enam meter persegi itu Bu Aisyah juga baru selesai mengakhiri percakapan penting dengan Mala hingga teriakan anak-anak yang gaduh membuat kedua bahunya hampir lepas karena terkejut. Mala kemudian mengajaknya bergabung dalam kerumunan anak-anak yang sudah tertumpah di halaman panggung dan mengatakan kalau anak-anak itu memang harus melakukannya sebagai bagian dari ucapan selamat datang.
Perahu motor yang sudah mengejutkan seisi sekolah itu bergerak makin dekat dan mulai mengurangi kecepatan lalu membelokan kepala ke arah sekolah. Seseorang yang memegang kendali segera mematikan mesin untuk menggantinya dengan kayuhan dayung dan perahu motor itu bergerak makin dekat. Selain pengemudi, ada dua lelaki lain yang duduk di bagian tengah dan tangan mereka melambai ke arah anak-anak yang lantas menciar macam anak burung. Mereka berteriak-teriak seolah sedang mengusir kawanan burung lain yang salah arah terbang dan Raya, seorang perempuan muda di atas perahu itu, samar-samar mengulas senyum dengan terus saja ikut melambai. Ia tampak tenang dengan duduk di atas tumpukan kardus dan tak jauh darinya, di belakang sebelah kanan, suaminya, Laz, sudah tersenyum lebar dengan tangan bersedekap untuk membiarkan begitu saja wajahnya dikibas angin. Laz adalah seorang jurnalis tv yang tampan dan berkulit sawo matang dengan wajah bersih tanpa kumis dan bertubuh tegap macam Jamie Dornan ketika memerankan komandan tentara PBB dalam film Siege At Jadotville. Beberapa tahun lalu ia menikahi Raya setelah bertemu tanpa sengaja dan ketika itu ia menjelaskan pada Raya bahwa, dia tidak bisa tidak menikahi perempuan itu sebab gadis muara itu sudah ditakdirkan untuk merawatnya hingga tua. Seperti kisah roman, cinta yang ajaib benar-benar menambat ujung siku keduanya lalu Laz menikahi Raya kemudian mereka meninggalkan muara itu untuk memburu segala kemungkinan di jantung kota raya.
Selain Laz, ada pula Samuel Ethar atau Sam yang bertubuh sedang, usianya 35 tahun, aktivis Non Govermen Organization (NGO) khusus anak. Kedatangannya selain diajak Laz, pada mulanya juga atas dorongan keinginan yang aneh pasca membaca artikel tentang sekolah di atas muara itu melalui media sosial. Dia terus memikirkan bagaimana sebuah zaman yang melaju kencang ternyata adalah ruang berbeda bagi sebagian orang tapi tidak untuk yang lain; milenial tak lebih dari suku kata asing yang bukan saja sulit diucapkan namun sukar dilihat wujudnya di kampung terapung ini. Karena itu, ketika pada suatu hari Laz bertanya, “kau mau ikut?” Sam segera menjawab: “Ya!” Tanpa merasa perlu untuk memikirkannya.
Maka berangkatlah mereka di hari yang sudah dijanjikan dengan hanya sedikit kesepakatan tentang waktu kembali meski Laz ternyata salah tentang itu; dengan gagah berani Sam mengatakan kalau dia adalah anak sungai Ciliwung yang sanggup menyelam labih dari 30 menit dan dia sudah biasa melakukannya. Dan hari ini, sebuah perahu akhirnya benar-benar membawa mereka dengan semua harapan yang terus disimpan anak-anak Telugedung layaknya sebatang tiang di sisi kanan sekolah yang terus menanti kaki camar untuk hinggap.
Mesin perahu tak lagi bersuara. Pengemudi telah melemparkan tali kekang ke arah Mala yang lalu menambatkannya. Raya melompat lebih dulu diikuti Laz lalu Sam dan puluhan kardus berisi buku dan alat tulis. Sepasang mata Bu Aisyah tampak sekali berbinar hampir menangis setelah mendengar Raya menjelaskan muasal buku-buku itu yang tak perlu waktu lama untuk mengumpulkannya. “Semua dari para donatur literasi,” kata Raya dan untuk pertama kali Bu Aisyah seolah kehilangan semua kata untuk diucapkan.
Usai menguasai diri, guru tengah baya itu lalu menanyakan apakah Raya ingin memeluk seorang gadis yang selalu menjadikan rasa malu sebagai perisai dan sudah lama menyimpan rindu. Raya memiringkan wajah: “Tentu saja,” katanya dengan kedua tangan mengembang lalu memeluk Mala erat-erat sambil terpejam menikmatinya. “Aku juga sangat merindukanmu,” bisiknya.
“Aku tak bisa lagi mengatakan apa-apa,” jawab Mala."Aku sangat bahagia."
Untuk beberapa saat waktu menjadi agak hening.
“Keteguhan Mala menggantikanmu di sekolah ini lebih tragis dari cerita roman,” Bu Aisyah kembali bersabda dengan tanpa merasa perlu untuk menyampaikan hal-hal kecil dan rahasia tentang Mala.
Raya melepas pelukan namun dengan pandangan yang tetap menghujam. "Kukira kau adalah gadis yang agung,” katanya dengan rasa bangga dan Mala agak menunduk untuk meyakinkan diri kalau dia tidak sedang mendengar pujian itu.
“Kau sangat cantik,” jawab Mala.
“Oh, ya?”
“Aku serius.”
“Kau meminta aku percaya padamu?”
“Aku meminta kau mengakuinya.”
Mereka lalu tertawa dan Laz yang agak tersipu kembali membiarkan sisa angin meniup ujung rambutnya. Sesekali bibir Raya juga menyebutkan namanya untuk menegaskan kalau dia adalah sosok suami yang sangat menyenangkan meski pada saat yang sama, Mala sama sekali tak merasa terpengaruh dengan keadaan itu sebab kegundahan atas kepergian Ombak, calon suaminya yang tadi pagi nekat melaut, kini mulai menguras pikiran dan waktunya sehingga dia seolah sedang berada di sebuah tempat yang sama dengan benak yang jauh berbeda: Asing.
LANGIT di atas Telukgedung mulai diliputi awan hitam saat angin bertiup kencang dan udara yang hangat turun menjadi lembap. Ombak memiringkan caping nipah di kepalanya dan mendapati gerakan angin yang menekan makin tinggi sebelum gerimis sebesar ujung lidi tertuang bagai ribuan jarum. Dia lelaki muda dengan tubuh gempal dan otot di kedua lengan mengurat tapi tidak berambut tebal. Tatapan matanya yang tajam cukup sepadan dengan kulit coklat tuanya yang selalu berlawanan dengan sinar matahari dan angin laut.
Di sebelah Barat Daya, gugusan awan yang semula berwarna biru keputih-putihan perlahan menjadi biru tua dan semua suara yang gaduh dengan pasti segera berganti menjadi kesunyian menakutkan. Matahari menghilang. Bumi semakin gelap. Awan yang mengapung kian rendah mulai membawa curah hujan agak deras setelah menggantikan gerimis dan angin kuat yang mulai pembawa kecemasan.
Dengan tubuh mulai ragu, di atas perahu yang hilang tujuan itu Ombak tak lagi terlihat sebagai lelaki berwajah boros meski dua puluh lima tahun umurnya kini. Dan dia adalah seorang lelaki yang bebas sebelum pernikahannya dengan Mala seminggu lagi. Untuk keinginan menjaga perasaan semua orang pada hari paling ajaib itu, ia kemudian memilih berada di tengah lautan meski orang-orang mengatakan, saat ini, dia semestinya sedang berada dalam posisi ‘menunggu’ dalan arti yang sesungguhnya. Akan tetapi Ombak menegaskan kalau hal penting harus ditempuh dan dia memilih untuk melakukannya. Bahwa, limbah beracun yang dikirimkan oleh pabrik dari hulu itu sudah mengusir ikan-ikan ke lautan dan ia harus menaklukan laut itu untuk membawa pulang ikan-ikan itu.
Dia berangkat dari muara sebelum matahari menghilang dan sebagian cahaya masih terhalang daun nipah: Mengenakan celana dasar hitam, tanpa sarung, berbalut kaus putih tipis bergambar wajah lelaki gemuk sedang mengangkat sebelah tangan – itu adalah gambar seorang calon anggota legislatif yang sudah kalah tapi tetap saja tersenyum seolah sedang menertawakan kekalahannya.
Melihat wajah Ombak, orang-orang akan memiliki kesan bahwa, dia adalah pemuda kuat yang selalu berada di bawah sinar matahari. Perawakannya kekar dan rambut kering hampir menyerupai sapu ijuk. Orang-orang percaya kalau potongan badan seperti itu sama sekali bukan milik seorang lelaki lemah sebagaimana gadis-gadis Telukgedung yang juga meyakini bahwa, Ombak adalah contoh makhluk hidup yang akan bertahan bahkan dalam keadaan paling mustahil. Saat ia mengayuhkan dayung, otot-otot di tangannya akan membesar dan menjadi kencang hingga semua perhatian akan tertuju pada tubuhnya yang padat serta tatapan mata yang agak besar dan bersinar.
Selama beberapa waktu berada di atas perahu itu dia sebenarnya sudah bulat untuk meneruskan memburu cumi-cumi, atau menangkap ikan dan akan membawanya ke pasar Rawajitu tanpa harus mengolahnya menjadi ikan asin sebelum disetorkan pada pengepul untuk membantu persiapan pernikahannya di rumah Mala. Namun badai kali ini benar-benar menjadi kisah penghalang yang terlalu ganas. Tak mengenal kasta dan waktu, juga rasa iba dan sakit. Ombak dipaksa memikirkan kembali keinginannya dengan wajah dan pikiran yang mengembara sebab sebagian keyakinannya perlahan mulai runtuh bersamaan dengan bayangan Mala yang tiba-tiba hadir: Berkerudung putih. Berdiri di atas laut, menerangi gulita. Tubuh berwajah oval itu terlihat ramping bagai kijang rimba dengan kedua mata menatap jernih dan mulai menggarakan bibir untuk mengucapkan sesuatu namun Ombak tak bisa mendengarnya. Kemudian ia merentangkan kedua tangan dan menjulurkan salah satunya ke depan Ombak yang sudah tak mampu lagi bergerak.
Hujan deras turun disertai gelombang. Endapan kabut yang menyertainya sejak tadi bergulung makin tebal hingga mengakibatkan jarak pandang di permukaan laut menjadi sangat terbatas. Halilintar menggelegar. Langit kehilangan cahaya. Badai melapisi kabut yang turun dengan suara bergemuruh hingga semua benda yang kasat menjadi hilang keseimbangan. Ketika segulung badai menghantam perahu yang oleng itu, Ombak tiba-tiba tersadar dan bergegas menggenggam dayung untuk menahan hantaman lalu meneguhkan kedua pegangan di sisi kanan dan kiri hingga sekujur tubuhnya gemetar sebelum kemudian terlempar lalu bangkit, lalu terlempar lagi dan bangkit lagi. Ujung kilat menyambar begitu cepat. Membawa medan listrik yang mencakar sekujur kulit. Pemuda itu terseret menuju detik-detik kepunahan hingga medan listrik itu, kemudian terpecah memenuhi gemuruh yang bergolak. Pada saat itu, Ombak mulai menyadari kalau sesuatu paling buruk akan segera menimpanya.
Maka dengan kesadaran yang makin hilang, lamat-lamat ia mulai menertawakan perjalanan hidupnya dan membayangkan bagaimana orang-orang Telukgedung telah menyelamatkan masa kecilnya dari kebodohan tapi tidak dengan kemiskinan. Setelah tawa itu menghilang, ia mulai merasa tak yakin lagi kalau hidupnya masih akan sampai ke bibir pantai meski ia sempat memandangi langit yang bergerak ke Utara sebelum merasa seolah sedang melihat wajah Tuhan yang sama sekali berbeda dengan bentuk apa pun. Wajah itu meminta Ombak memandangi hamparan laut sebagai tempat dia akan mengakhiri hidup dan pemuda itu tahu, semua itu sama sekali tidak mengungkapkan apa pun kecuali kabar tentang kemungkinan kematiannya.
Namun pada saat semua makin mendekati kenyataan, tiba-tiba dari ujung Utara terjadi perubahan radikal. Tekanan udara perlahan menurun meski langit masih saja gelap dan tiupan angin makin lama kian mendekati posisi normal. Badai yang sempat membawa sejumlah kengerian itu, perlahan bergeser menuju Selatan lalu berbelok meninggalkan seorang pemuda yang mulai berani memikirkan bagaimana rasanya bernapas untuk hidup.
Bagai sepotong kapas, Ombak dan perahunya terombang-ambing di pesisir sebuah pulau yang tak pernah ia kenal. Tanpa suara burung, tiada desis ular atau pekik siamang dan kera-kera yang marah. Namun langit yang menaunginya masih terlihat pekat dan buram dan cahaya matahari yang agak tertahan menjadi penanda kalau ancaman hujan badai itu belum benar-benar menjauh.
Dengan sisa tenaga Ombak berupaya mengayuh dayung untuk mendekati ujung daratan yang tinggal beberapa meter. Ia menguatkan sendi dan otot-totot tangan dan rasanya, ingin sekali berkata: Pikirkanlah Telukgedung Wahai penentu keajaiban! Pikirkanlah dusun-dusun dan rumah terapung juga orang-orang yang siang malam hidup di sana. Pikirkanlah para gadis dan lelaki tua yang selalu menghadap matahari dengan segelas kopi hangat. Pikirkanlah makian panjang pekerja pabrik di hulu sungai yang begitu menjijikan, buruh-buruh yang menjadi tolol, juga kebingungan yang datang di setiap bulan April hingga Nopember akibat kebiadaban limbah!
Kemudian, bersamaan dengan daratan yang semakin dekat, masih pada dirinya sendiri Ombak kembali berkata: Pergilah pada seorang gadis muara untuk mengambil sebagian waktu dan tinggalah bersamanya. Di dalam dirimu dan dirinya, kini dan nanti, atas nama cinta, temukanlah sungai-sungai penuh keajaiban yang bisa mengubah banyak hal menjadi kekuatan orang muara. Singkapkan semua tirai yang menutupi setiap jengkal kenyataan bahwa, gadis-gadis di sana akan membutuhkan cara hidup yang berbeda, sebagai sebuah puisi; dan tak seorang pun boleh menggunakan kekerasan untuk membunuh kaum nelayan di hilir kecuali para korporat dengan hanya meluruskan jari telunjuk.
Namun setelah itu tiba-tiba serangkum badai kembali menerjang dari arah berlawanan. Mengantam begitu kuat hingga pemuda itu cepat-cepat memutuskan untuk mendarat namun terlambat. Perahu sudah terseret dan arus besar membawanya melesat seolah dihisap kekuatan seribu kuda. Ombak meronta!
“Mala!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!