Ternyata Itu Cinta
Suara berisik riuh rendah menghiasi suasana dalam kelas 12C pagi ini.
"Gung, sudah selesai tugasnya Pak Parto?"
"Jiiaahh, tugas mana pula?"
"Syaaa, kantin yukk masih lama belnya."
"Meeell, tuh cowok lewat tadi .. duuhh ganteng bangeettt."
Suasana ramai di dalam kelas, sama sekali tidak mengusik dua anak lelaki yang sedang duduk di sudut kelas dekat jendela.
Bima Setya, salah satu idola di SMU Persada dan kapten basket SMU juga ketua OSIS.
Tapi sekarang statusnya hanyalah mantan dari dua jabatan itu, karena sebentar lagi ia akan mengikuti ujian akhir dan jabatan itu sudah berpindah pada adik kelasnya Teddy Aliando.
Di samping Bima, duduk sahabatnya sejak dari sekolah dasar.
Langit Angkasa, seorang pemuda yang tidak terlalu menonjol karena cukup pendiam.
Tidak banyak yang tahu, jika Langit adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan berstandart Internasional.
Pembawaannya yang sederhana, cuek, tidak suka dengan kemewahan membuat dirinya tidak terlalu diperhitungkan para gadis di sekolah.
"Lang, janji ya begitu lulus kita bareng kuliah di Bandung," Bima menepuk punggung Langit yang merebahkan kepalanya di atas meja.
"Emang kamu ambil jurusan apa nanti?" tanya Langit sambil tetap memejamkan mata.
"Teknik Informatika." Senyum Bima terkembang sempurna. Dalam angannya sudah terbayang dengan suasana kampus, dan mata kuliah yang memang menjadi andalannya.
"Kamu?" tanya Bima balik. Langit membuka matanya lalu meluruskan badannya.
"Hhhh … entahlah, kalau ditanya mau ajalah sama seperti kamu. Tapi … tau sendirilah." Langit tersenyum samar.
Langit membuang pandangannya ke luar jendela, di mana sekelompok anak laki bermain basket.
Menjadi anak tunggal seorang pimpinan perusahaan besar, tidaklah seindah bayangan orang.
Hidupnya sudah di rancang sedemikian rupa, tidak bisa memilih.
Sekolah hanyalah batu pijakan, gelar kelulusan hanyalah untuk mengisi kolom kosong di daftar riwayat hidup.
Jangan mengira kedua orang tuanya kejam seperti yang ada di novel ataupun sinetron.
Mereka orang tua yang sangat baik dan pengertian, tidak pernah memaksakan Langit untuk mengikuti jejak sang Papa.
Justru karena kebaikan Papanya, Langit rela melakukan apa saja untuk membahagiakan orangtuanya.
Walaupun tidak pernah terucap dari mulut orangtuanya, Langit berusaha memenuhi keinginan Papanya dengan mengambil bidang studi yang sesuai dengan usaha Papa dan berniat meneruskan usahanya jika sudah lulus nanti.
Tapi jika melihat keceriaan teman-teman sebayanya seperti saat ini, tidak bisa dipungkiri ada rasa iri yang menyelinap dalam hati.
Namun ia takut jika ia merasa nyaman akan kebebasan, ia akan lupa akan tujuan utamanya.
"Ga masalah kalau beda jurusan, yang penting kan satu kampus." Bima menepuk punggung Langit merasa tidak enak hati. Ia sangat tahu betul siapa dan bagaimana keluarga temannya itu.
"Sudah mau bel, aku ke depan dulu." Bima menuju tempatnya yang sudah di tentukan untuk mengikuti try out.
Bersamaan dengan itu bel tanda masuk berbunyi keras, semua murid berebut masuk ke dalam kelas masing-masing.
Saat guru pengajar membagi kertas ujian, wali kelas 12C Pak Nando masuk dan berbisik pada guru pengajar.
"Langit, ikut saya … bawa tasmu sekalian." Langit yang sudah berjalan, kembali lagi ke bangkunya dan membereskan semua alat tulisnya.
Bima memandang Langit dengan tatapan seakan minta penjelasan, Langit hanya mengangkat bahu tanda ia juga tidak mengerti.
Saat agak jauh dari kelas, Pak Nando menghentikan langkah dan membalikan badannya.
"Langit, ibumu ada di ruang kepala sekolah segera kamu temui." Pak Nando menepuk bahunya dengan wajah cemas.
Langit mendapati mamanya, duduk berhadapan dengan Pak Setyo Kepala Sekolah mereka.
"Duduk Langit," perintah Pak Setyo, "Ibumu datang untuk menjemput kamu." Langit memandang mamanya bingung.
Mamanya yang biasanya tampak selalu cantik meski di usianya yang akan menginjak lima puluh tahun, pagi ini terlihat sedikit kacau.
"Saya mewakili sekolah mengucapkan … turut berduka cita." Saat mengatakan kalimat terakhir itu, Pak Setyo menarik nafas seakan berat untuk menyampaikan.
"Maksudnya? … Ma?, siapa yang meninggal?" Langit mulai merasa panik.
"Papa … kita pulang sekarang ya." Suara mama tercekat di tenggorokan.
Langit terdiam, dunianya seakan berhenti tepat saat mamanya mengatakan papa sudah tidak ada.
Selanjutnya yang dia ingat hanyalah, ia sedang terbaring di kamar dengan linangan air mata. Mama dibantu oleh Mbok Sri mengemas seluruh pakaiannya.
Malam ini mereka harus segera berangkat ke Inggris, di mana perusahaan Papa berkembang.
Sudah dua minggu Papa ada di negara pemilik jam Big Ben tersebut. Tanpa ada firasat apapun Papa menutup usianya, sendiri jauh dari keluarga.
"Langit?" Mama mengusap rambutnya, "Mandi dulu lalu makan, sebentar lagi kita berangkat."
Langit memandang mamanya yang semakin terlihat rapuh. Dalam waktu satu malam mamanya terlihat semakin tua.
Langit sadar tidak hanya dia yang sedih saat ini. Mamanya jauh lebih menderita kehilangan pasangan hidup, tapi beliau tetap berusaha terlihat tegar demi dirinya.
"Ma …" Langit memeluk mamanya erat. Pelukan pertama bagi mereka, setelah menerima kenyataan bahwa orang yang mereka sayangi sudah tidak ada lagi.
"Maaf, aku harusnya tidak egois. Mama pasti lebih sedih." Mama tidak berkata apapun, hanya isakan yang semakin keras.
Langit memeluk mamanya semakin erat, ia paham yang dibutuhkan mamanya saat ini hanyalah pelukan.
Sekarang hanya ada dia, mamanya membutuhkan dia saat ini.
"Kita harus segera bersiap, kasihan papa sendiri." Mama menyusut air matanya cepat dan segera berlalu ke luar kamar.
Lebih dari lima belas jam penerbangan menuju Negara Greenwich, Langit hampir tidak tertidur.
Semua perkataan dan harapan papa padanya semasa hidup, bergantian memenuhi ingatannya.
Tanpa sempat beristirahat, Langit dan Mama langsung ditemani petinggi perusahaan untuk mengurus jenazah Papa agar segera bisa di bawa pulang ke tanah air.
"Langit, Om minta waktu sebentar bisa?" pinta Om Wahyu, orang kepercayaan yang sudah ikut membesarkan perusahaan sejak Papa belum menikah.
"Ada apa Om?"
"Om minta kamu jangan pulang dulu ke Indonesia, biar Mama yang antar Papamu ke tempat peristirahatannya yang terakhir." Langit menatap Om Wahyu tidak mengerti.
"Harus ada orang disini, Lang,' jelas Om Wahyu.
"Om kan ada di sini?, kenapa harus aku?" tanya Langit tidak mengerti.
"Om bukan siapa-siapa. Di sini ketat, harus pihak keluarga sedarah yang akan mereka dengar."
"Tapi aku----"
"Jangan khawatir, Om akan mendampingi kamu. Toh, nantinya semua ini kamu yang pegang tidak selamanya Om bisa ada di sisimu." Langit menggelengkan kepala tidak mengerti.
Ia masih merasa berat jika tidak bisa ikut pulang bersama Mama, dan tidak bisa mengantarkan Papa hingga ke liang lahat.
"Tidak lama Lang, kita akan bersama-sama mengurus perpindahan kepemimpinan kembali ada di Indonesia. Tidak akan lebih dari satu tahun."
"Hah?!, berapa lama??" Langit membesarkan matanya.
"Hanya satu tahun Lang, tidak lebih Om janji." Om Wahyu terus meyakinkan Langit.
"Om!, satu tahun?? itu lama sekali dan aku harus di sini meninggalkan mama sendirian?" Langit menggeleng keras.
"Tidak ada pilihan, Lang. Maaf." Om Wahyu menatap Langit penuh harap.
...🔹️...
Di tanah air, Bima merasa bingung karena Langit yang tiba-tiba pergi saat menjelang ujian.
Sudah dua hari tidak ada kabar dari Langit, sepulang sekolah Bima memutuskan pergi ke rumah sahabatnya itu.
Namun ia hanya menemukan penjaga rumah yang mengatakan, Langit dan mamanya ada di Inggris untuk menjemput jenazah papanya.
"Om Hendrik … meninggal?" tanya Bima memastikan pada pekerja paruh baya di hadapannya.
"Kapan mereka kembali Mbok?"
"Maaf, Mbok kurang tau den." Bima mengangguk lemah.
Bima meninggalkan nomer ponselnya pada pekerja di rumah Langit, ia meminta agar segera di hubungi saat keluarga datang membawa jenazah Om Hendrik.
Kurang dari seminggu, berita yang ditunggu Bima akhirnya datang. Namun Bima harus menelan kekecewaan saat tidak menemukan sahabatnya dalam rombongan keluarga besarnya.
"Bim, terima kasih sudah datang." Tante Laras, mama Langit yang seperti mama kedua baginya memeluk dengan erat saat ia menghampiri untuk mengucapkan duka cita.
"Ini nomer Langit selama dia di Inggris, dia minta untuk tante sampaikan ke kamu."
"Dia kenap----."
"Kamu hubungi sendiri ya, biar dia yang cerita sendiri." Tante Laras meninggalkannya seorang diri.
Bima segera memasukan nomer baru Langit, dan menghubungi temannya itu.
"Halo, Langit?"
"Hai," Suara riang Langit terdengar.
"Ngapain ga balik? mau cari bule?" seru Bima kesal.
"Gantiin Papa aku, Bim. Cuman setahun, ini lagi proses pindahin kepemimpinan balik lagi ke Indonesia."
"Setahun??, kita kan mau ujian Bim. Gimana sih?"
"Mau gimana lagi hhheehh … aku minta tolong Bim, sering-sering nengokin mama aku ya," pinta Langit sedih.
"Haahhh kamuuu …." Bima tidak melanjutkan kalimatnya, hanya ada rasa kecewa tapi sadar tidak ada yang bisa dia lakukan.
"Cepatlah pulang Lang, ga ada yang bisa aku bully di sini," gurau Bima. Langit tertawa di sana.
Bima merasa senang walaupun jarak memisahkan mereka, tapi ia masih ada dan bisa menghibur temannya itu, "Ikut berduka ya Lang, maaf aku baru tau."
"Thanks Bim, aku baik-baik aja. Titip Mamaku ya."
Waktu berjalan begitu cepat, Bima yang fokus mengejar kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi idamannya, sedangkan Langit berusaha untuk segera menyelesaikan segala proses dokumen perusahaan agar segera bisa di monitor dari Indonesia.
...❤❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Red Velvet
Apakah Langit jadinya tetap kelas 12 nih nanti setelah balik ke Indonesia🤔🤔🤔
2023-03-06
1
Teteh Neng(IG: teteh_neng2020)
ku penuhi janjiku, nyimak dulu aahhh
2022-05-24
0
Santi Haryanti
aku mampir kak
2022-04-05
0