NovelToon NovelToon

Ternyata Itu Cinta

Duka

Suara berisik riuh rendah menghiasi suasana dalam kelas 12C pagi ini.

"Gung, sudah selesai tugasnya Pak Parto?"

"Jiiaahh, tugas mana pula?"

"Syaaa, kantin yukk masih lama belnya."

"Meeell, tuh cowok lewat tadi .. duuhh ganteng bangeettt."

Suasana ramai di dalam kelas, sama sekali tidak mengusik dua anak lelaki yang sedang duduk di sudut kelas dekat jendela.

Bima Setya, salah satu idola di SMU Persada dan kapten basket SMU juga ketua OSIS.

Tapi sekarang statusnya hanyalah mantan dari dua jabatan itu, karena sebentar lagi ia akan mengikuti ujian akhir dan jabatan itu sudah berpindah pada adik kelasnya Teddy Aliando.

Di samping Bima, duduk sahabatnya sejak dari sekolah dasar.

Langit Angkasa, seorang pemuda yang tidak terlalu menonjol karena cukup pendiam.

Tidak banyak yang tahu, jika Langit adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan berstandart Internasional. 

Pembawaannya yang sederhana, cuek, tidak suka dengan kemewahan membuat dirinya tidak terlalu diperhitungkan para gadis di sekolah.

"Lang, janji ya begitu lulus kita bareng kuliah di Bandung," Bima menepuk punggung Langit yang merebahkan kepalanya di atas meja.

"Emang kamu ambil jurusan apa nanti?" tanya Langit sambil tetap memejamkan mata.

"Teknik Informatika." Senyum Bima terkembang sempurna. Dalam angannya sudah terbayang dengan suasana kampus, dan mata kuliah yang memang menjadi andalannya.

"Kamu?" tanya Bima balik. Langit membuka matanya lalu meluruskan badannya.

"Hhhh … entahlah, kalau ditanya mau ajalah sama seperti kamu. Tapi … tau sendirilah." Langit tersenyum samar.

Langit membuang pandangannya ke luar jendela, di mana sekelompok anak laki bermain basket. 

Menjadi anak tunggal seorang pimpinan perusahaan besar, tidaklah seindah bayangan orang.

Hidupnya sudah di rancang sedemikian rupa, tidak bisa memilih.

Sekolah hanyalah batu pijakan, gelar kelulusan hanyalah untuk mengisi kolom kosong di daftar riwayat hidup.

Jangan mengira kedua orang tuanya kejam seperti yang ada di novel ataupun sinetron.

Mereka orang tua yang sangat baik dan pengertian, tidak pernah memaksakan Langit untuk mengikuti jejak sang Papa.

Justru karena kebaikan Papanya, Langit rela melakukan apa saja untuk membahagiakan orangtuanya.

Walaupun tidak pernah terucap dari mulut orangtuanya, Langit berusaha memenuhi keinginan Papanya dengan mengambil bidang studi yang sesuai dengan usaha Papa dan berniat meneruskan usahanya jika sudah lulus nanti.

Tapi jika melihat keceriaan teman-teman sebayanya seperti saat ini, tidak bisa dipungkiri ada rasa iri yang menyelinap dalam hati.

Namun ia takut jika ia merasa nyaman akan kebebasan, ia akan lupa akan tujuan utamanya.

"Ga masalah kalau beda jurusan, yang penting kan satu kampus." Bima menepuk punggung Langit merasa tidak enak hati. Ia sangat tahu betul siapa dan bagaimana keluarga temannya itu.

"Sudah mau bel, aku ke depan dulu." Bima menuju tempatnya yang sudah di tentukan untuk mengikuti try out.

Bersamaan dengan itu bel tanda masuk berbunyi keras, semua murid berebut masuk ke dalam kelas masing-masing.

Saat guru pengajar membagi kertas ujian, wali kelas 12C Pak Nando masuk dan berbisik pada guru pengajar.

"Langit, ikut saya … bawa tasmu sekalian." Langit yang sudah berjalan, kembali lagi ke bangkunya dan membereskan semua alat tulisnya.

Bima memandang Langit dengan tatapan seakan minta penjelasan, Langit hanya mengangkat bahu tanda ia juga tidak mengerti.

Saat agak jauh dari kelas, Pak Nando menghentikan langkah dan membalikan badannya. 

"Langit, ibumu ada di ruang kepala sekolah segera kamu temui." Pak Nando menepuk bahunya dengan wajah cemas.

Langit mendapati mamanya, duduk berhadapan dengan Pak Setyo Kepala Sekolah mereka.

"Duduk Langit," perintah Pak Setyo, "Ibumu datang untuk menjemput kamu." Langit memandang mamanya bingung.

Mamanya yang biasanya tampak selalu cantik meski di usianya yang akan menginjak lima puluh tahun, pagi ini terlihat sedikit kacau.

"Saya mewakili sekolah mengucapkan … turut berduka cita." Saat mengatakan kalimat terakhir itu, Pak Setyo menarik nafas seakan berat untuk menyampaikan.

"Maksudnya? … Ma?, siapa yang meninggal?" Langit mulai merasa panik.

"Papa … kita pulang sekarang ya." Suara mama tercekat di tenggorokan.

Langit terdiam, dunianya seakan berhenti tepat saat mamanya mengatakan papa sudah tidak ada.

Selanjutnya yang dia ingat hanyalah, ia sedang terbaring di kamar dengan linangan air mata. Mama dibantu oleh Mbok Sri mengemas seluruh pakaiannya.

Malam ini mereka harus segera berangkat ke Inggris, di mana perusahaan Papa berkembang.

Sudah dua minggu Papa ada di negara pemilik jam Big Ben tersebut. Tanpa ada firasat apapun Papa menutup usianya, sendiri jauh dari keluarga.

"Langit?" Mama mengusap rambutnya, "Mandi dulu lalu makan, sebentar lagi kita berangkat."

Langit memandang mamanya yang semakin terlihat rapuh. Dalam waktu satu malam mamanya terlihat semakin tua.

Langit sadar tidak hanya dia yang sedih saat ini. Mamanya jauh lebih menderita kehilangan pasangan hidup, tapi beliau tetap berusaha terlihat tegar demi dirinya.

"Ma …" Langit memeluk mamanya erat. Pelukan pertama bagi mereka, setelah menerima kenyataan bahwa orang yang mereka sayangi sudah tidak ada lagi.

"Maaf, aku harusnya tidak egois. Mama pasti lebih sedih." Mama tidak berkata apapun, hanya isakan yang semakin keras.

Langit memeluk mamanya semakin erat, ia paham yang dibutuhkan mamanya saat ini hanyalah pelukan.

Sekarang hanya ada dia, mamanya membutuhkan dia saat ini.

"Kita harus segera bersiap, kasihan papa sendiri." Mama menyusut air matanya cepat dan segera berlalu ke luar kamar.

Lebih dari lima belas jam penerbangan menuju Negara Greenwich, Langit hampir tidak tertidur.

Semua perkataan dan harapan papa padanya semasa hidup, bergantian memenuhi ingatannya. 

Tanpa sempat beristirahat, Langit dan Mama langsung ditemani petinggi perusahaan untuk mengurus jenazah Papa agar segera bisa di bawa pulang ke tanah air.

"Langit, Om minta waktu sebentar bisa?" pinta Om Wahyu, orang kepercayaan yang sudah ikut membesarkan perusahaan sejak Papa belum menikah.

"Ada apa Om?"

"Om minta kamu jangan pulang dulu ke Indonesia, biar Mama yang antar Papamu ke tempat peristirahatannya yang terakhir." Langit menatap Om Wahyu tidak mengerti.

"Harus ada orang disini, Lang,' jelas Om Wahyu.

"Om kan ada di sini?, kenapa harus aku?" tanya Langit tidak mengerti.

"Om bukan siapa-siapa. Di sini ketat, harus pihak keluarga sedarah yang akan mereka dengar."

"Tapi aku----"

"Jangan khawatir, Om akan mendampingi kamu. Toh, nantinya semua ini kamu yang pegang tidak selamanya Om bisa ada di sisimu."  Langit menggelengkan kepala tidak mengerti.

Ia masih merasa berat jika tidak bisa ikut pulang bersama Mama, dan tidak bisa mengantarkan Papa hingga ke liang lahat.

"Tidak lama Lang, kita akan bersama-sama mengurus perpindahan kepemimpinan kembali ada di Indonesia. Tidak akan lebih dari satu tahun."

"Hah?!, berapa lama??" Langit membesarkan matanya.

"Hanya satu tahun Lang, tidak lebih Om janji." Om Wahyu terus meyakinkan Langit.

"Om!, satu tahun?? itu lama sekali dan aku harus di sini meninggalkan mama sendirian?" Langit menggeleng keras.

"Tidak ada pilihan, Lang. Maaf." Om Wahyu menatap Langit penuh harap.

...🔹️...

Di tanah air, Bima merasa bingung karena Langit yang tiba-tiba pergi saat menjelang ujian.

Sudah dua hari tidak ada kabar dari Langit, sepulang sekolah Bima memutuskan pergi ke rumah sahabatnya itu.

Namun ia hanya menemukan penjaga rumah yang mengatakan, Langit dan mamanya ada di Inggris untuk menjemput jenazah papanya.

"Om Hendrik … meninggal?" tanya Bima memastikan pada pekerja paruh baya di hadapannya.

"Kapan mereka kembali Mbok?"

"Maaf, Mbok kurang tau den." Bima mengangguk lemah.

Bima meninggalkan nomer ponselnya pada pekerja di rumah Langit, ia meminta agar segera di hubungi saat keluarga datang membawa jenazah Om Hendrik.

Kurang dari seminggu, berita yang ditunggu Bima akhirnya datang. Namun Bima harus menelan kekecewaan saat tidak menemukan sahabatnya dalam rombongan keluarga besarnya.

"Bim, terima kasih sudah datang." Tante Laras, mama Langit yang seperti mama kedua baginya memeluk dengan erat saat ia menghampiri untuk mengucapkan duka cita.

"Ini nomer Langit selama dia di Inggris, dia minta untuk tante sampaikan ke kamu."

"Dia kenap----."

"Kamu hubungi sendiri ya, biar dia yang cerita sendiri." Tante Laras meninggalkannya seorang diri.

Bima segera memasukan nomer baru Langit, dan menghubungi temannya itu.

"Halo, Langit?"

"Hai," Suara riang Langit terdengar.

"Ngapain ga balik? mau cari bule?" seru Bima kesal.

"Gantiin Papa aku, Bim. Cuman setahun, ini lagi proses pindahin kepemimpinan balik lagi ke Indonesia."

"Setahun??, kita kan mau ujian Bim. Gimana sih?"

"Mau gimana lagi hhheehh … aku minta tolong Bim, sering-sering nengokin mama aku ya," pinta Langit sedih.

"Haahhh kamuuu …." Bima tidak melanjutkan kalimatnya, hanya ada rasa kecewa tapi sadar tidak ada yang bisa dia lakukan.

"Cepatlah pulang Lang, ga ada yang bisa aku bully di sini," gurau Bima. Langit tertawa di sana.

Bima merasa senang walaupun jarak memisahkan mereka, tapi ia masih ada dan bisa menghibur temannya itu, "Ikut berduka ya Lang, maaf aku baru tau."

"Thanks Bim, aku baik-baik aja. Titip Mamaku ya."

Waktu berjalan begitu cepat, Bima yang fokus mengejar kelulusan dan ujian masuk perguruan tinggi idamannya, sedangkan Langit berusaha untuk segera menyelesaikan segala proses dokumen perusahaan agar segera bisa di monitor dari Indonesia.

...❤❤...

Gita Gempita

"Ting."

Bunyi pesan singkat masuk di ponsel Langit.

Sedetik kemudian senyumnya terkembang melihat foto yang di kirimkan Bima.

Tampak foto wisuda kelulusan SMU Persada, Bima tampil sebagai lulusan terbaik seprovinsi, sudah tidak diragukan lagi.

Bima tampak tersenyum bahagia di dampingi Tante Silvi, Mama Bima dan Mamanya sendiri pun juga ikut mengantar sahabatnya itu.

Mamanya benar-benar menganggap Bima seperti anak kandungnya. Ada rasa sedih di hati Langit, pasti Mamanya merasa kesepian selama ia tidak ada di rumah.

Di foto selanjutnya yang di kirim Bima, tampak seorang gadis remaja yang sangat cantik.

Langit mengusap wajah pada foto itu dengan jempolnya, "Si cerewet itu sudah besar rupanya."

Langit teringat saat ia ada di rumah Bima, adiknya itu selalu ingin ikut berada di antara mereka.

Mendengarkan dan ikut menimpali apapun yang mereka bicarakan.

Hanya terkadang sangat menjengkelkan jika gadis itu marah karena keinginannya tidak dipenuhi, ia akan meraung atau membocorkan semua rahasia Bima dan Langit pada mamanya.

Termasuk saat mereka ingin mencoba merasakan rokok, dan menonton video dewasa dalam kamar terkunci.

Saat itu Tante Silvi, Mama Bima sangat marah lalu mengejar Bima dan Langit dengan sapu mengelilingi rumah.

Gita yang melihat itu tertawa terbahak-bahak, dan berakhir menangis karena Bima tidak mau bicara sampai ia meminta maaf.

Langit tersenyum sendu mengingat kehangatan keluarga sahabatnya itu. Sekarang mereka berdua sama-sama yatim, tidak lagi punya ayah.

Mereka sebagai pria paling dewasa di rumah, saat ini menjelma menjadi pemimpin keluarga.

"Akhir bulan aku balik ke Indonesia, kita harus merayakan kelulusanmu … traktir aku maksudnya." Langit membalas pesannya pada Bima.

"Maaf saya hanyalah calon mahasiswa kakak, yang bos kan situ. Anda dong yang harus beri saya hadiah spesial." Balas Bima. Langit terbahak, rindu rasanya ingin cepat pulang ke negara asalnya. 

...🔹️...

"Surpriseeeee ...." Langit terpaku melihat sebagian keluarga dan teman-temannya sudah berkumpul di halaman belakang rumahnya.

"Selamat datang sayang," Mama Langit mendekat, lalu memeluk putranya dengan sangat hangat.

"Mama rindu sekali," Mama mengusap pipi Langit dengan sedikit terisak. Hidup terpisah dengan putranya selama satu tahun membuat batinnya sebagai seorang ibu tersiksa.

"Haaiii, bagaimana kabarnya. Sudah dapat bule belum?" seloroh Bima setelah mereka berpelukan melepas rindu.

"Masih cinta produk lokal," sahut Langit singkat.

"Aku kira kamu ga bakal balik ke tanah air, kecantol cewek rambut pirang di sana." Langit hanya terkekeh sambil menyalami dan memeluk semua orang di sana bergantian.

"Kak, welcomeeee …." seru bocah cilik yang dulu rusuh, sekarang sudah berubah wujud menjadi seorang gadis.

"Iiihhh … ini hadiahnya. Bukannya diterima malah bengong." Bibir yang semula tersenyum lebar berubah mengkerucut.

"Iyaa, thank you empi," sahut Langit sambil menarik hidung Gita.

"Gita, namaku GITA," sungut Gita kesal.

"Kan nama kamu Gita Gempita, lebih enak di mulut aku Empiii," goda Langit dengan memberikan penekanan pada nama kecil Gita.

"Kirain pulang dari luar negeri lebih keren, ternyata sama aja. Pokoknya di sekolah nanti ga boleh panggil aku Empi, aku ga mau noleh kalo kakak panggil nama aku ga bener!" cetus Gita.

"Sekolah?" tanya Langit heran.

"Iya, kamu kan belum ada ijazah SMU jadi mau ga mau harus ngulang lagi kelas tiga," jelas mama sambil menaruh beberapa macam kue di atas meja.

Langit menarik nafas panjang, satu tahun tidak memegang buku pelajaran, membuatnya malas untuk kembali duduk di bangku sekolah.

Terlebih sahabatnya, Bima tidak lagi ada bersamanya tapi sebagai ganti ada si … bawel Empi ini di sekolah.

Langit melirik sekilas pada cewek berambut panjang yang bersender manja pada Bima.

Senyuman kecil muncul pada sudut bibir Langit.

"Kenapa senyum-senyum, Kak?, Iiihh, Kak Langit ketempelan vampire Inggris kali tante." Gita memandang Langit ngeri.

...🔹️...

"Lang, aku titip Gita ya," kata Bima saat mereka duduk di teras depan berdua.

"Kayak barang aja main titip."

"Ya maksudnya, bantu awasin. Tau sendiri dia itu anaknya gimana, orang ke selatan dia ikut, orang nyebur laut ngikut juga."

"Yaaa, itu juga kalo dia nurut Bim sama aku," sahut Langit sambil melirik ke dalam rumah di mana Gita sedang berbincang dengan sepupunya.

"Kamu juga yang tegas dong jangan di becandain mulu, kalau perlu marahin. Pergaulan anak SMU jaman sekarang ngeri Lang," keluh Bima.

"Apa nanti aku bawa pecut aja ke sekolah." Langit tertawa terbahak.

...🔹️...

"Kelas sepuluh B?" tanya Gita pada beberapa anak yang berdiri di depan pintu.

"Ho oh, masuk dah." Cewek berambut panjang lurus dan cantik itu menggeser tubuhnya sedikit mempersilahkan Gita untuk masuk.

"Duduk sini aja sama aku," lanjut cewek itu. Ternyata ia mengikuti langkah Gita masuk dalam kelas.

"Aku Anggita, kamu?" Cewek itu mengulurkan tangannya, wajahnya tidak lepas dari senyum cantiknya.

"Gita Gempita," Gita menyambut tangan Anggita. Dalam sekejap mereka sudah terlihat akrab.

Gita memperhatikan penampilan Anggita dari atas hingga ke bawah, rambutnya yang panjang lurus hingga ke punggung jelas terlihat sentuhan dari salon bukan alami.

Baju seragamnya pas membentuk tubuh sempurnanya, wajahnya terlihat memakai make up namun samar.

"Eeh, nggit pakai itu di sekolah apa boleh?" Gita menunjuk wajah Anggita.

"Kalau ga boleh ya tinggal hapus … cuci muka … beres," sahut Anggita cuek sambil menambahkan sapuan bedak di wajahnya.

Gita semakin tampak kagum dengan teman barunya ini, ia mengedarkan pandangannya pada suasana kelas barunya.

Semua tampak bersemangat, tampak dewasa. Gita melihat tampilannya sendiri, hhhh … culun bin polos banget ga beda sama waktu di SMP.

"Heeiii, awas!. Jangan macam-macam loe!" Seorang cewek membuat suasana ribut di depan pintu masuk kelas.

Cewek itu sedang menuding beberapa cowok yang terpojok di sudut ruangan.

"Gue ga ngapa-ngapin kok, sumpahhh." Salah satu cowok itu mengangkat dua jarinya.

"Dia kalii." Si cowok rambut keriting menunjuk teman sebelahnya.

"Eh gila loe main tuduh sembarangan." Cowok terakhir terlihat ketakutan.

"Jaga tangan loe, sekali lagi gue lihat ato denger loe kegatelan di kelas ini … hilang jari loe." Ancam gadis berambut pendek itu.

Suasana kelas mendadak hening setelah kedatangan cewek bar-bar itu.

Braaakk …

"Kosong?" tanya cewek itu, sambil sedikit melempar tasnya di atas meja depan Gita.

"Eehhh … iyaa kosong. Kosong kan nggit??" tanya Gita ragu pada Anggita di sebelahnya. Anggita hanya mengangguk dengan tatapan ngeri pada cewek yang berdiri menjulang di depan mereka.

"Kenapa loe ngeliatin seperti itu?" Cewek itu sedikit terkekeh geli.

"Nindy." Cewek itu mengulurkan tangannya.

"Gita, ini Anggita. Mirip ya nama kita hehehe …." Gita tertawa sumbang sambil mengulurkan tangannya.

Ia menyikut Anggita saat melihat gadis itu masih saja terpaku. 

"Ah, iya namaku Anggita. Panggil aja Anggi, karena Gitanya sudah diambil dia."

"Mereka itu tadi kurang ajar, masak p*ant*t gue dicolek pas mau masuk kelas" jelas Nindy kesal sambil melirik ke arah tiga cowok yang masih berdiri di pojok ruangan.

"Masak??" sahut Anggita tak percaya, "Ga sengaja kali kesenggol."

"Peduli amat, yang penting mereka dan para pria di kelas sini tau jangan macam-macam dengan para cewek di sini selama ada gue."

"Woohhoooaa, keren sekali." Gita bertepuk tangan heboh.

"Kita perempuan jangan sampai kelihatan lemah, bisa jadi objek s*ksual mereka kalo hanya pasrah." Gita memandang kagum pada dua teman barunya ini, dua karakter yang unik dan menarik.

Ia sudah membayangkan betapa serunya masa SMA-nya nanti.

...❤❤...

Anak SMU baru

"Kaakk Langiiiittt ….." Suara cempreng Gita membelah lapangan.

Langit menahan nafas saat semua mata teman dan barisan guru tertuju padanya.

Ia melihat Gita berjinjit sambil melambai-lambaikan tangan dengan heboh.

Perlahan namun pasti Langit mendekati Gita, "Apaaaa, ini tuh lagi mau upacaraaa. Kamu anak baru jaga sikap kek," bisik Langit dengan penekanan.

"Kenapa sih?, ga boleh aku manggil-manggil Kak Langit di sekolah gitu?" protes Gita.

"Bukan gitu, ini lagi persiapan mau upacara dan kamu tuh anak baru, belum genap satu hari jadi anak SMU jangan cari masalah lah!" sergah Langit sambil berjalan kembali ke barisannya.

"Siapa tuh, cakep bener." Anggita menyikut Gita yang cemberut karena merasa diabaikan.

"Monyet," sahut Gita ketus.

"Ganteng juga monyet-monyet di sini." Anggita terbahak.

"Norak banget!" Seorang cewek lewat di barisan kelas Gita, dan dengan sengaja menyenggol tubuh Gita hingga hampir terjungkal.

"Heeeii!!, hati-hati ga punya mata loe!" hardik Nindy.

Cewek itu tidak peduli dan terus berlalu sambil tersenyum sinis ke arah Gita dan teman-temannya.

"Siapa sih itu, belagu banget. Kamu ga apa-apa Git?" tanya Anggita khawatir. Gita hanya menggeleng pelan.

"Ssttttt jangan ribut!" Seorang guru berkumis tebal tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.

Hari pertama Gita di SMU, sungguh nano-nano rasanya. Pagi tadi dia sungguh bahagia bertemu dengan dua teman barunya, eh siangan dikit sepertinya ia baru saja bertemu dengan calon musuhnya.

Upacara pembukaan tahun ajaran baru, hanya di hadiri oleh anak baru di kelas sepuluh dan sebagian dari anak kelas sebelas serta kelas dua belas sebagai anggota OSIS.

Mereka akan mendampingi adik-adik kelas mereka, yang baru masuk untuk mengikuti masa pengenalan sekolah selama tiga hari.

Setelah selesai upacara, mereka dibagi berdasarkan kelas masing-masing di dampingi oleh empat kakak kelas dan satu guru pembina.

"Selamat siang kelas 10B, perkenalkan saya Bapak Agus, Guru Fisika di sekolah ini. Selama tiga hari saya akan mendampingi kalian dalam masa perkenalan lingkungan sekolah."

Rupanya guru berkumis tebal tadi menjadi guru pendamping kelasku … bagusss lengkap sudah. Batin Gita lemas.

"Selamat siang adik-adik, kenalkan saya Teddy Aliando kelas 12A. Saya di sini di bantu dengan Anita, Melinda dan Cakra akan mendampingi adik-adik di kelas 10B ini selama tiga hari. Jadi jika adik-adik semua ada kesulitan bisa sampaikan pada kami."

Gita sudah tidak peduli dengan barisan kalimat yang diucapkan Teddy, yang sempat mampir di pendengarannya hanya sampai kata Teddy Aliando, titik itu saja selanjutnya hanya seperti dengungan gerak lambat.

Sekejap mata Gita sudah terpesona dengan kesempurnaan sosok Teddy Aliando.

Wajahnya yang bersih, rambut yang cepak tapi terkesan modis. Postur tubuhnya yang atletis hhhmmm ….  memanggil untuk disentuh.

Suaranya oohhh … berat nan seksi.

"Git … Gita!" Anggita menepuk bahunya dengan keras.

"Apaan!" Gita menoleh kesal pada Anggita yang berada di belakangnya.

"Giliranmu perkenalan," bisik Anggita kesal.

Ternyata semua mata sedang tertuju padanya, termasuk Teddy yang memandangnya dengan senyum manisnya.

Perlahan Gita maju dengan fokus hanya pada Teddy, senyuman Teddy seakan memanggilnya.

"Siapa yang suruh kamu maju?!, perkenalan cukup di tempatmu aja ... Kepedean!" Bagai adegan menuju klim*ks yang diiringi lagu romantis tiba-tiba rusak terpotong dengan suara bebek mau bertelur.

Begitulah suara Melinda menginterupsi lamunan Gita, dengan dongkol dan malu Gita kembali ke tempatnya.

"Nama saya Gita Gempita, usia enam belas tahun baru bulan kemarin. Saya tinggal di daerah adem sari. Kalau ada yang mau anter kado, nanti saya kasih alamat lengkapnya," papar Gita sambil terus tersenyum memandang Teddy.

"Kamu adiknya Bima?" tanya Teddy.

"Kakak kenal?" Gita melebarkan matanya antusias.

"Siapa yang ga kenal dengan kakakmu, dia legenda di sekolah ini," sahut Teddy masih terus tersenyum.

Hidung Gita mengembang dan mengempis bangga. Ternyata idolanya ini mengenal kakaknya, satu langkah yang baik. Gita bersorak dalam hati.

"Sudah cukup!, selanjutnya," cetus Melinda sinis.

...🔹️...

"Hhhhh … capek bangettt," keluh Nindy.

Kelas mereka baru saja mendapat tugas menata taman di sisi barat gedung sekolah.

"Kita cari di mana nih tiga macam tanaman, besok sudah harus bawa kalo enggak mulut bebek itu nyerepet lagi." cetus Gita kesal.

"Tempat jual tanaman lah, ayo buruan nanti hujan. Kalian naik apa?" tanya Nindy, ia sudah berdiri mendahului.

"Angkot." ucap Gita.

"Ojek online." ucap Anggita.

"Hadalaahh, gua bawa motor ga cukuplah gonceng bertiga."

Tiba-tiba mata Gita menangkap sosok Langit yang berjalan dengan cepat.

"Kak Langiiittt," Gita berlari ke arah Langit yang sedang berjalan ke arah parkiran.

"Apa lagi, bisa ga sih kamu manggil ga usah pake jerat jerit?" Langit menoleh kanan kiri menahan malu.

"Kalo tadi aku manggilnya pelan Kak Langit pasti dah ngilang, jalannya cepet banget," sungut Gita.

"Anterin dong Kak," rayu Gita manja.

"Jangan pegang-pegang gitu ah," Langit melepaskan tangan Gita yang sudah bergelayut di lengannya.

"Emang mau kemana?" lanjut Langit.

"Beli tanaman untuk tugas besok, temen aku bawa motor, dia udah goncengan sama temen aku yang lain. Aku yang belom ada barengan." Gita memandang Langit like a puppy eyes.

"Buruan!," Langit berjalan cepat ke arah parkiran motor.

Gita mengikuti dengan gembira sambil memberi kode pada kedua temannya untuk segera berangkat.

"Aku ga bawa helm, pake ini." Langit memberikan hoddie-nya (sweater yang memiliki penutup kepala)

"Eeh, kamu duduknya gimana sih?!" seru Langit panik.

"Kenapa?" Gita yang sudah mengangkat kakinya bermaksud akan duduk seperti anak lelaki, urung karena melihat Langit yang melotot melihat tindakannya.

"Kamu tuh pake rok, duduknya nyamping aja!"

"Tarik roknya lebih kebawah, punya paha dipamer-pamerin kayak mulus aja." gerutu Langit.

"Cerewet banget sih!" sungut Gita kesal.

"Mau dianterin ga?!, ga mau turun jalan aja sendiri," tantang Langit.

"Buruaaan Kak, aku ditinggal tuh," rengek Gita sambil menunjuk kedua temannya yang sudah keluar dari area parkir.

"Makanya jangan cerewet!," sahut Langit sambil menyalakan motornya.

"Ku bilangin Kak Bima tau rasa,"

"Bilang aja sana, Bima sendiri yang minta aku awasin kamu. Kalau perlu di pecut aja katanya biar mau nurut." Langit tertawa keras.

"Aauchhhh, sakiiiitt." Gita pura-pura tidak peduli setelah mencubit pinggang Langit. Ia yakin Langit tidak akan bisa membalasnya karena sedang berada di jalan.

"Kak temen aku cantik ya," bisik Gita sambil menunjuk dua temannya di depan.

"Cantik," sahut Langit singkat.

"Kalau mau ku kenalin." Langit melirik sedikit ke arah belakang.

"Ga usah, kalau mau aku bisa kenalan sendiri," cetus Langit ketus.

"Beeuhh, sombong." Gita mencebik.

"Kak, kenal dekat ga sama yang namanya Teddy Aliando." Langit hanya menjawab dengan anggukan kecil.

"Kenaliiin dong," rengek Gita sambil menggoyang-goyangkan pundak Langit.

"Aaaaahh, Kaaakkk pelan-pelan!!" Gita memukul pundak Langit dengan keras.

Ia hampir saja terjatuh saat Langit menarik gas tiba-tiba, membuat tubuhnya sedikit terjengkang ke arah belakang.

"Makanya pegangan, baru sehari jadi anak SMA sudah genit ngomongin cowok mulu," gerutu Langit.

...❤❤...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!