Aku berada dalam kegelapan yang belum pernah aku rasakan seumur hidup. Mungkin inilah yang disebut orang-orang dengan kematian. Hening, gelap, hanya ada aku seorang dan tidak merasakan apa-apa. Jika memang ini yang disebut kematian, sungguh beruntung orang-orang yang masih hidup karena masih merasakan sedih, sakit, dan kehilangan. Sedangkan aku di sini hanya bisa terbujur kaku tidak bisa merasakan itu semuanya.
Cukup lama aku seperti itu hingga akhirnya sayup-sayup aku mendengar suara tangis ibu memanggil namaku
"Im .... Jangan tinggalkan ibu, Nak!"
[Deg]
Mendadak jantungku seperti diiris sembilu mendengar ibu meraung-raung memanggil namaku. Benar kata orang kalau kita tidak boleh menangis meratap di dekat jenazah karena itu akan membebani jenazahnya. Lamat-lamat aku juga mendengar lantunan ayat suci sedang dibacakan di dekatku. Mendengar bacaan ayat suci tersebut ketentraman dan kedamaian menyelimuti hatiku. Beberapa waktu kemudian aku bisa merasakan kembali suhu tubuhku sendiri dan akupun menarik nafas panjang.
"Im ... Im .... Bangun, Le!" suara seseorang terdengar dekat sekali sambil menepuk-nepuk pipiku. Aroma minyak kayu putih tercium di hidungku, agak perih. Akupun membuka mata, ada ibu, bapak, Mbah Nur, dan Parto di sana.
"Alhamdulillah, Nak kamu selamat." Ibu memelukku erat sekali hingga aku kesulitan nernafas.
"Eh .... Maaf ya, Nak. Ibu terlalu kencang memelukmu." Kata ibuku sambil menyeka air matanya.
"Minum air ini dulu, Im!" ujar Mbah Nur sambil memberikan segelas air yang langsung aku habiskan karena aku benar-benar kehausan.
"Pusing ...," ucapku pelan. Aku masih sangat bingung dengan peristiwa yang baru saja aku alami.
"Rebahkan dirimu dulu, Im." Kata Mbah Nur lagi.
Bapak membantuku merebahkan diri kembali.
Aku memandangi mereka berempat dengan tubuh yang masih lemas. Syukurlah aku belum mati, aku hanya pingsan. Mereka berempat memperhatikanku dengan wajah penuh kebahagiaan seolah-olah aku baru saja pulang dari bepergian jauh.
"Bagaimana kita bisa selamat, To? Lastri kemana?" tanyaku kepada Parto.
"Jangan ngomong itu dulu, Nak. Kamu masih lemas?" sela ibuku.
"Nggak apa-apa, Bu aku sudah mendingan. Ayo To jelaskan!" ujarku.
"Waktu Lastri menerkammu aku menerjang Lastri berkali-kali tapi Lastri tak bergeming sedikitpun, aku berteriak sekuat tenaga juga tidak keluar suara. Aku tidak punya pilihan, aku harus meminta pertolongan bapak dan ibumu makanya aku berlari ke kamar bapak ibumu. Aku menggedor-gedor pintu tetapi mereka tidak mendengar. Aku sendiri juga tidak bisa mendengar apa-apa, hening sekali hanya ada dengungan di telingaku."
Aku mendengarkan Parto bercerita dengan seksama. Ia melanjutkan bercerita
"Kemudian aku melihat ada cermin rias di meja tamu, aku mengambilnya.. Aku gedor-gedorkan ke pintu kamar bapak dan ibumu lagi, anehnya kali ini aku bisa mendengar suara gedoran cermin di pintu. Tak lama kemudian ibu dan bapakmu keluar dari kamar dengan panik, aku menarik mereka ke tempat kamu diserang Lastri. Begitu melihat Lastri menerkammu, Bapakmu langsung kalap menghajar Lastri, tapi setiap benda yang ia pukulkan ke Lastri, tembus tidak mengenai tubuh Lastri. Bahkan bola kasti yang ia lemparkan justru mengenai kepalamu."
Aku memegang kepalaku, ada benjolan di sana. Pantas aku agak pusing.
"Aku teringat dengan cermin ajaib yang masih aku pegang, aku pukulkan ke kepala Lastri, ternyata kena. Kepala Lastri mengucur darah hitam, tapi ia tetap menyerangmu dan cermin itu sudah hancur tidak bisa digunakan untuk menyerang Lastri lagi." Tambah Parto.
"Kemudian ibu ingat sesuatu, cermin yang digunakan Parto untuk memukul Lastri, adalah pemberian Rosid. Ibu ingat selain cermin itu Rosid memberikannya secara bersamaan dengan sebuah tusuk konde. Ibu lari ke kamar mengambil tusuk konde dan kembali ke kamarmu. Bapakmu sudah memporakporandakan kasurmu dan Lastri masih merangkak di atasmu. Bismillahirrohmanirrohim .... Ibu menancapkan tusuk konde itu tepat ke ubun-ubun Lastri." Sambung ibu dengan keras.
"Lastri tiba-tiba lenyap menyisakan asap yang lama-lama menipis dan hilang." Tambah Bapak.
"Alhamdulillah..... Insyaallah Jin Qorin Lastri sudah tidak akan menganggu penduduk kampung lagi," ujar Mbah Nur.
"Kenapa Mbah Nur bisa ada di sini. Semalam siapa yang menjemput beliau?"
"Beliau bukan dijemput semalam, Im. Beliau sudah tiga kali ke sini. Esok paginya aku yang menjemput ke rumahnya, kemaren pagi beliau ke sini lagi, dan pagi ini. Kamu pingsan sudah tiga malam dua hari. Mulai dari malam keempat tahlilan Cempaka, nanti malam ketujuhnya."
"Apa benar, To? Padahal aku merasa cuma sebentar." Kataku tak percaya.
"Meskipun Lastri sudah lenyap tapi kamu tetap tidak sadarkan diri sambil sesekali berteriak. Ibumu nangis terus selama kamu tidak sadarkan diri. Itulah mengapa aku memanggil Mbah Nur ke sini." Tambah Parto.
"Kamu tidak bohong kan, To? Aku loh cuma sebentar saja antara sadar dan tidak diajak anak kecil ke suatu tempat."
"Waktu di alam jin berbeda dengan di dunia kita, Im. Untunglah kamu masih bisa kembali ke dunia ini." Ujar Mbah Nur.
"Astagfirullah ..." Aku baru mengerti mengapa aku bisa pingsan selama itu. Tapi syukurlah aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Aku berjanji akan lebih berbakti kepada kedua orang tuaku dan juga guru-guruku.
Aku memegang tangan Mbah Nur.
"Terimakasih ya, Mbah. Sudah membantu menyelamatkanku."
"Berterimakasihlah kepada Allah Subhanahu wata'ala. Mbah, ibumu, bapakmu, dan Parto hanya perantara." Jawab Mbah Nur.
"Mbah, sewaktu Lastri menyerangku, aku diperlihatkan sesuatu."
"Apa itu?"
"Lastri membunuh Cempaka tidak dengan kesadarannya sendiri melainkan ia sedang dikendalikan guna-guna orang lain. Lastri juga tidak mati bunuh diri, Mbah. Lastri mati dibunuh?"
"Oh, ya? Siapa yang membunuhnya?"
"Agus, suaminyalah yang membunuh dan menggantung tubuh Lastri seolah-olah ia mati bunuh diri."
"Ya Tuhan?" suara Mbah Nur, Parto, dan bapak berbarengan.
"Aku sudah menduganya." Kata ibu. Kemudian ibu melanjutkan perkataannya.
"Lastri itu tipe wanita penurut dan baik sama dengan Rosid. Lastri itu dulu dekat dengan almarhum nenekmu, dia sering curhat ke nenekmu setiap ada masalah. Kalau suaminya, Agus memang tipe temperamental, sedikit-sedikit mukul. Sering main perempuan juga. Lastri pernah disembunyikan nenekmu di kolong ranjang karena mau dihajar sama suaminya. Waktu itu ibu masih kecil sekitar usia 6-7 tahun. Rambut ibu sering dikepang dua sama nenekmu." Ibu menutup ceritanya dengan senyuman manis.
Aku terhenyak dengan cerita ibu. Cara ibu tersenyum barusan mengingatkanku pada gadis kecil yang aku temui di dalam pingsanku.
"Ibu dulu memiliki baju warna putih lengannya pendek segini, tetapi roknya panjang dan ada gambar bunga mawar merah di sebelah sini?"
"Kamu kok tahu?"
"Ibu juga memiliki jepit rambut berbentuk kerang berwarna kuning?"
"Kamu kok bisa tahu, Nak? Baju dan jepit rambut itu memang paling sering aku pakai. Itu hadiah dari Lastri seminggu sebelum dia tewas. Lastri baru dapat arisan waktu itu."
Aku hanya tersenyum. Aku bangga sama ibuku, ternyata benar kata orang. Ibu itu malaikat nyata yang diciptakan Tuhan untuk melindungi kita di dunia.
"Aku sayang sekali sama ibu"
--------
"Mbah, Agus ada di kampung ini. Dia adalah kakek tua yang menebar bunga kantil di tempat Lastri tergantung." Kataku.
"Apa???" pekik mereka berempat.
"Kita harus melaporkan Agus ke kantor polisi, Mbah." Kataku.
"Tidak segampang itu, Im. Kita tidak punya bukti yang kuat untuk melaporkan Agus. Mimpimu tidak memiliki kekuatan di depan hukum." Jawab Bapak.
"Terus, apa yang harus kita lakukan? Lambat laun Agus pasti akan tahu kalau kita mengetahui rahasianya, dia bisa saja akan mencelakai kita." Ujar Parto dengan nada ketakutan.
Tiba-tiba aku terbayang wajah Agus, kakek tua dengan sorot mata tajam dan misterius.
"Oke. Sambil kita mengumpulkan alat bukti itu. Kita harus terus waspada jangan lengah!." Kata Mbah Nur.
"Mbah, aku ingat sesuatu di dalam mimpiku."
"Apa itu, Im?" tanya Mbah Nur.
"Sebelum aku bangun dari mimpiku, aku melihat almarhum kakek naik sepeda ontel tepat setelah Agus menggantung Lastri."
"Memang dulu yang menemukan mayat Lastri pertama kali adalah almarhum kakekmu, waktu itu kakekmu baru pulang dari pasar." Jawab Mbah Nur.
"Almarhum kakekmu syok melihat Lastri gantung diri. Beliau tidak bisa makan selama seminggu, apalagi nenekmu lebih syok lagi. Lastri adalah sahabat yang sudah dianggap saudara sendiri oleh nenekmu." Sambung ibu sambil terisak.
"Tunggu! Aku ingat sesuatu. Kakekmu sepertinya menyimpan suatu benda?" sambung ibu kembali sambil berusaha mengingat-ingat sesuatu.
"Iya. Kakekmu menyimpan sebuah kotak berwarna cokelat." Ujar ibu.
"Di mana kakek menyimpannya?"
"Kalau tidak salah kotak itu disimpan di ..."
[KROMPYANG]
Terdengar suara benda jatuh di dapur. Bapak berlari ke arah dapur.
"Siapa itu?" teriak Bapak.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ahnafal Wafa Tsaqifa
lanjut terus
2022-12-06
0
Resy
kasian sekali Lastri.
pasti sangat tersiksa batinnya maupun fisiknya.
memang biadap tuhh suaminya,
sudah tukang selingkuh, tempramental, pembunuh pula.
2022-06-22
0
Putra Madura
hahaha cermin ajaib🤣🤣🤣
2022-04-25
0