Ternyata Lastri sekarang berada tepat di atasku. Makhluk itu merangkak, sehingga mukanya yang menyeramkan hanya berjarak duapuluh lima senti meter di depanku. Bagi mataku yang normal, jarak tersebut adalah yang terbaik bagiku untuk dapat melihat setiap keriput wajahnya secara akomodasi maksimum.
"Arrrrrgh!!!" Aku mengerang sekuat tenaga supaya bisa lepas dari cengkraman Lastri. Akan tetapi entah mengapa suaraku seperti tertahan di leher, bahkan aku tidak dapat mendengar suaraku sendiri. Mulut Lastri menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang bentuknya tidak beraturan, menambah kengerian yang aku rasakan.
Aku menggerakkan kedua tangan dan kakiku supaya bisa lepas, akan tetapi entah mengapa kaki dan tanganku seperti kram dan tidak dapat bergeser sedikitpun. Aku ingat ada Parto di sebelahku, pastinya dia tidak akan diam saja melihatku dalam bahaya. Akan tetapi mengapa dari ekor mataku aku tidak melihat sahabatku itu, kemanakah dia? Apakah dia lari dan meninggalkan aku sendirian? Tidak mungkin. Dia bukan orang yang seperti itu. Tunggu, bukan hanya Parto yang menghilang dari pandanganku, tapi Lastri juga hilang, dipanku juga hilang, semua menjadi gelap gulita. Apakah aku sudah mati? Tempat apa ini, kenapa gelap sekali?
"Im .... Hihihi." Tiba-tiba terdengar seperti ada suara anak kecil memanggilku.
Aku masih dalam kebingungan, aku mencoba menggerakkan kakiku, ternyata kakiku sudah bisa digerakkan. Tapi aku masih dalam keadaan sangat takut untuk bergerak.
"Sini, Im!" suara anak kecil yang barusan kembali tertangkap di indera pendengaranku. Aku melirik sekeliling, semua masih gelap, tetapi sudah tidak segelap tadi. Sekarang pencahayaannya cukup bagiku untuk dapat melihat seorang anak kecil yang sedang melambaikan tangannya yang kecil ke arahku.
"Siapakah anak kecil itu? Mengapa dia ada di sini?" pikirku dalam hati.
Karena merasa penasaran, akupun menghampiri anak kecil itu, anaknya cantik usia sekitar enam sampai tujuh tahunan.
"Kamu siapa?" tanyaku kepada gadis mungil tersebut.
"Ayo, ikut aku!" jawabnya sambil menarik tanganku. Seperti terhipnotis, aku berlari mengikutinya melewati rerimbunan pohon, entah pohon apa. Setelah beberapa waktu berlari anak kecil itu berhenti dan menyuruhku menunduk di rerimbunan pohon bluntas, ya pohon bluntas. Pohon bluntas ini mengingatkanku pada ...., ya kebun di sebelah barat rumahku. Aku melihat sekitar.
"Ya Tuhan .... Aku benar-benar berada di kebun sebelah barat rumahku. Kebun ini dikelilingi pagar pohon bluntas, di depanku ada rimbunan pohon bambu tetapi jauh lebih lebat dari yang seharusnya, dan di belakangku. Subhanallah ada rumah di belakang sana, tetapi kenapa bukan rumahku? Rumahku atapnya genteng sedangkan rumah di belakangku beratapkan daun tebu kering. Di depan rumahku seharusnya ada rumah Parto tetapi mengapa tidak ada rumah di sana? Tetapi jalan besar ini sama persis dengan yang biasa aku lihat, hanya saja yang aku lihat sekarang becek dan berlumpur. Tempat apakah ini sebenarnya? Mengapa begitu mirip dengan kampungku? Aku bisa gila memikirkan ini." Pikirku dalam hati.
"Tidak usah bingung. Ini memang kampungmu tetapi jauh sebelum kamu lahir?" jawab anak kecil itu.
"Maksudmu aku kesini naik mesin waktu? Tidak mungkin manusia pergi ke masa lalu." Tanyaku penasaran.
"Bukan begitu. Sudahlah tidak usah dipikirkan, kamu lihat saja apa yang akan terjadi setelah ini." Jawabnya datar.
"Ah ... Makin pusing kepalaku."
"Ssst ..."
Anak kecil itu menyuruhku diam, dia menunjuk ke arah selatan, di sana aku melihat ada seorang perempuan cantik sedang mengejar seorang laki-laki. Tunggu, laki-laki itu mirip sekali dengan kakek tua yang menyebar bunga kantil tetapi dalam versi masih muda.
"Jangan, Mas Agus. Jangan laporkan aku ke polisi. Kumohon, kasihan Rosid masih kecil." Teriak wanita itu sambil memegangi tangan laki-laki itu.
"Tidak, Lastri. Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kamu sudah tega membunuh pujaan hatiku." Jawab laki-laki itu.
[Deg]
Ternyata perempuan itu adalah Lastri dan kakek tua yang menyebar bunga kantil itu Agus, suaminya sekaligus suami siri Cempaka.
"Tidak, Mas. Aku tidak melakukannya dalam kesadaran. Ada yang mengguna-gunaiku."
"Bohong kamu Lastri! Sejak awal kamu memang tidak suka aku menikahi Cempaka. Makanya kamu ingin membunuhnya."
"Iya, aku memang tidak suka Mas menduakan cinta, tapi aku sudah berusaha ikhlas Mas menikahi dia."
"Kamu tetap saja berdusta, Lastri. Kamu harus masuk penjara, kamu sudah membunuh wanita yang sangat kucintai."
"Tidak, Mas. Jangaaaaan. Kasihan Rosid, Mas. Siapa yang akan merawatnya nanti?"
Lastri bersimpuh di kaki Agus, Agus tetap dalam kemarahannya. Matanya merah nanar menahan emosi.
Agus mengambil sesuatu dari saku celananya, ternyata sebuah tali. Tak disangka ia mengalungkan tali itu ke leher Lastri.
"Kamu harus diberi pelajaran, Lastri."
"Jangan, Mas!"
"Aaaaaaaaaaaa ...."
Aku terkesiap ketika melihat Agus menyeret Lastri dengan menggunakan tali tersebut. Lastri meronta sekuat tenaga tetapi apalah artinya dibanding tenaga Agus yang sedang kesetanan. Aku berusaha bangun untuk menolongnya tetapi tangan anak kecil itu menahanku dengan kuat.. Lastri tercekik tali sementara Agus yang masih kesetanan terus saja menyeretnya sehingga akhirnya Lastripun tak bergerak lagi, matanya melotot dan lidahnya menjulur ke luar.
Aku bergidik ngeri melihat kondisi Lastri yang sudah mati dengan mata melotot dan baju kurung berwarna putih.
"Lastriii ..., panggil Agus sambil menepuk-nepuk pipi Lastri dengan tangannya yang menggunakan sarung tangan seperti yang biasa dipake bapak-bapak untuk menjoki burung merpati.
Tidak ada sahutan dari Lastri, matanya tetap melotot.
"Lastri .... Jangan matiiiiii .... Maafkan aku Lastri ...." Agus menangisi istrinya yang mati di tangannya.
Setelah menangis selama beberapa menit Agus menoleh ke kiri dan ke kanan antara bingung dan takut perbuatannya diketahui orang lain. Setelah itu ia menggotong tubuh Lastri ke bawah pohon bambu. Ia sibuk mencari sesuatu di pohon bambu itu, dan ia pun mengangkat istrinya dan mencantolkan simpul tali di leher istrinya ke bagian ruas bambu yang cukup besar dan diapit oleh bambu-bambu yang lain sehingga kokoh, ada bonggolan besar di ruas itu yang bisa dijadikan pengait. Mayat Lastri menggantung sempurna dengan mata melotot dan lidah menjulur sangat menyeramkan.
Agus bergegas meninggalkan mayat Lastri yang malang itu menggelantung di sana. Tiba-tiba dari sebelah barat aku melihat ada seseorang sedang naik sepeda ontel, wajahnya mirip sekali dengan almarhum kakekku dulu. Iya.. dia memang kakekku, menyadari kehadiran orang lain Agus menyelinap ke arah rerimbunan pohon bluntas. Agus berlari melompat ke tempat kami berdua bersembunyi. Agus menyadari kehadiran kita berdua, ia marah. Aku ingin berteriak memanggil kakekku tapi terlambat, Agus telah mencekikku dengan kedua jari tangannya. Aku tidak bisa bernafas, sesak sekali. Semuanya menjadi gelap.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ahnafal Wafa Tsaqifa
mantap thor
2022-12-06
0
Resy
ternyata Lastri di bunuh suaminya sendiri...
dasar laki-laki biadap,, tukang selingkuh & pembunuh juga.
kasian Lastri.
harusnya Lastri minta cerai aja, dari pada bunuh orang.
lagi pula buat apa juga mempertahankan laki-laki tukang selingkuh seperti itu.
yg ada cuma bikin sakit hati doang.
intinya pokok permasalahan ini terjadi, berawal dari perselingkuhan Agus & cempaka.. pasangan yg gak tau diri & gak punya malu...
2022-06-21
0
Rena Nia
kasian lastri udah di selingkuhin ,dibunuh juga sama suaminya ....kalo aku mending cerai aja dari bada bunuh orang terus dibunuh hiiii ngeri
2021-06-30
2