Aku dan Parto mulai berjalan menembus keremangan malam. Dengan berbekal sorot lampu senter kami menyusuri jalan menuju rumah.
"To, kamu dengar itu?" Aku berbisik kepada Parto.
"Iya, Im. Suara langkah kaki itu datang lagi," jawab Parto.
Seperti saat berangkat, suara langkah kaki kembali menakuti kami. Mendekat dan menjauh secara periodik. Bedanya, sekarang ketika suara langkah kaki itu mendekat, aku merasa seperti ada sesosok tubuh sedang berada di belakangku, sangat dekat bahkan seperti mendesah tepat di belakang leherku. Dari eratnya genggaman tangannya, aku tahu Parto juga merasakan ketakutan yang sama dengan yang kurasakan.
"Agak cepat, Im!" bisik Parto kembali. Dan kamipun lebih mempercepat langkah, suara derap langkah kaki itupun semakin menjauh seolah tertinggal oleh kami. Ada sedikit kelegaan ketika tidak ada lagi suara desahan di belakang leherku, tetapi itu tidak bertahan lama karena tak lama kemudian tepat di samping gedung KUD, kelegaanku kembali terbelenggu ketika tiba-tiba terdengar geraman keras yang memekakkan telinga dari dalam gedung KUD.
[Aaaaaarrrrrggggh]
"Ya Tuhan, makhluk apakah itu? Dengan suara sekeras itu tentu ia sangatlah buas dan mengerikan," pikirku di dalam hati.
[Arrrrrrgh ... arrrrrgh ... arrrrrgggh ....]
Tidak kurang dari tiga kali suara seram itu menggema dari dalam gedung KUD. Suara yang terakhir tidak begitu menggema bukan karena intensitasnya lemah, tetapi karena makhluk tersebut sepertinya tidak lagi berada di dalam gedung, tetapi sudah ada di luar.
[Bruaaaaak ... Krompyaaaaaang ...]
Suara pintu KUD yang terlempar keluar dengan keras. Bayangan hitam tinggi besar merangkak dari dalam gedung KUD menuju ke luar.
"Bahaya, Im. Ayo, lari!" pekik Parto sambil menarik tanganku. Dengan sekuat tenaga kami berlari melewati jalan di depan KUD. Kami berlari dengan sangat kencang, dari ekor netraku terlihat makhluk tinggi besar sedang melompat dari gerbang KUD ke tengah jalan yang akan kami lalui. Iya, makhluk itu akan mencegat kami di tengah jalan. Kami harus menghindar atau setidaknya mengelak supaya tubuh kecil kami tidak tersentuh atau tertangkap olehnya. Tapi terlambat, kami berlari sangat kencang bahkan melewati batas kecepatan yang kami mampu sehingga kami tidak bisa mengerem atau berkelit untuk menghindari tabrakan dengan makhluk itu. Tubuh kami semakin dekat ... dekat ... dan dekat .... Netra kami semakin jelas melihat makhluk itu dan kami berada dalam puncak ketakutan.
"Ya Allah, selamatkanlah aku, aku masih ingin berbakti kepada ibuku. " Itulah yang terlintas di dalam pikiranku saat itu, tidak ada pikiran yang lain.
*
Beberapa detik kemudian aku baru sadar, tangan Parto masih menggenggamku. Dan ternyata aku masih berlari, itu artinya kami tidak bertabrakan atau tertangkap makhluk besar itu.
"Kenapa bisa tidak bertabrakan? Kemana perginya makhluk itu? Entahlah .... Aku tidak tahu."
Kami terus berlari sehingga tarikan napas kami sudah tidak beraturan lagi. Keringat mengucur dengan deras. Di depan sana pohon bambu roboh dan berdiri di tengah jalan. Di tengahnya terlihat sosok perempuan berambut panjang sedang terayun ke atas dan ke bawah mengikuti pergerakan pohon bambu itu. Iya, itu pasti si Kunti penghuni pohon bambu di depan rumah Mbah Arni.
Jika disuruh membandingkan mana yang lebih seram antara si Kunti dengan makhluk besar tadi, tentunya si Kunti secara tampilan fisik masih lebih mendingan. Tetapi tetap saja, suara tawa si Kunti yang melengking keras, tak ayal membuat bulu kudukku merinding, ditambah lagi aroma melati yang menyengat membuat aku merasa ngeri. Bagaimana seandainya si Kunti nanti menangkapku untuk dijadikan tawanan dan mempertontonkan kengerian wajah dan suaranya sampai aku mati ketakutan. Membayangkannya saja sudah membuatku ingin menangis.
Parto menoleh ke arahku menatap mataku sejenak. Iya, aku paham apa yang dia maksudkan, dia mau bilang kalau si Kunti mengayun ke atas kita berlari melewati ruang di bawah si Kunti. Tetapi kalau si Kunti mengayun ke bawah, kita melompat di atas bambu tersebut seperti pelari estafet. Dalam hal kode-kodean kita memang paling jago.
"Tapi, apakah ini akan berhasil mengecoh si Kunti?"
"Lahawla wala quwwata illa billaaaah ...," teriakku diikuti Parto.
Dengan memperhitungkan tempo ayunan si Kunti, kita berhasil melaluinya ketika si Kunti itu sedang melambung ke atas sambil tertawa nyaring memekakkan telinga.
"Dia terbang di belakang kita, Im!" pekik Parto. Secara refleks aku menoleh ke belakang dan benar saja, si Kunti dengan wajah buruknya sedang terbang di udara mengejar kami yang tetap berlari menjauhinya.
Kami terus berlari dalam kejaran si Kunti. Si Kunti terus mengejar kami sampai ke area kuburan. Tepat di area kuburan, tangan si Kunti berhasil meraih leher kami. Kami pun berteriak keras.
"Toloooooong!!! Tolooooooong!!!"
Si Kunti menahan rambut kami sehingga kami tidak bisa bergerak. Dan ...
*
"Ada apa kalian ini kok teriak malam-malam? Tidak tahu anakku sedang sakit?"
Suara itu bersumber dari Pak Suwarno yang sedang membungkuk di pagar rumahnya. Mungkin untuk melihat lebih jelas sumber teriakan tanpa harus keluar pagar.
Pegangan si Kunti di rambut kami tiba-tiba terlepas. Kami berlari mendekati Pak Suwarno masih dengan napas terengah. Rumah Pak Suwarno memang hanya berjarak duapuluh meter dari kuburan. Sebagai tetangganya, kami jarang bertemu dengan beliau karena beliau memang seorang pedagang yang sibuk. Pintu rumahnya selalu tertutup, beruntung saja malam ini beliau ternyata ada di rumahnya dan menyelamatkan kami dari tangkapan si Kunti.
"Maaf Pak Suwarno, tadi kami dikejar kuntilanak," jawab kami.
"Makanya, kalau sudah malam jangan keluyuran! Diculik kuntilanak, kapok kalian. Sana cepat pulang, saya awasi dari sini!" teriak Pak Suwarno kemudian.
"Terimakasih, Pak Suwarno," jawab kami. Kamipun berlari pulang. Diawasi Pak Suwarno seperti itu, kami menjadi lega dan tidak takut lagi meskipun melewati rumpun bambu di timurnya Pak Suwarno. Rumah kami seratus meter di timurnya rumpun bambu tersebut, saling berhadapan. Rumahku menghadap ke selatan sedangkan rumah Parto menghadap ke utara. Sesampai di rumah, aku berwudu dan naik ke pembaringan. Seperti biasa ibu mengecilkan lampu templek di kamarku sebelum aku tidur. Kata ibu biar hidungku tidak kotor saat bangun pagi.
"Bu, tadi aku dan Parto dikejar kuntilanak di depan rumah Mbah Arni," ujarku.
"Oh ya? Terus?" Raut wajah ibuku menegang.
"Untung Pak Suwarno menyelamatkanku," jawabku kemudian.
"Pak Suwarno yang mana?" tanya ibuku lagi dengan wajah cemas.
"Itu, yang rumahnya di timurnya kuburan," tegasku.
"Yang rumahnya ada pohon bambunya? Menghadap ke selatan?" selidik ibu dengan wajah mulai agak datar.
"Iya, Bu" jawabku lagi.
"Pak Suwarno kan sedang umroh, Le. Bareng sama istrinya," ujar ibuku.
"Apa?" Aku terkejut.
"Iya, seminggu yang lalu ibu bantu-bantu di rumahnya waktu kamu berkemah di kecamatan. Untuk sementara rumahnya ditempati Pak Diki, temannya Pak Suwarno. Sudahlah, nggak usah aneh-aneh. Baca doa dan tidur, ya?" Ibu menegaskan ucapan dengan senyumannya yang khas. Senyuman yang selalu beliau berikan ketika aku berbohong atau membuat kesalahan kecil.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Bambang Setyo
Omg dikejar kunti... 😱😱😱
2023-01-01
1
hanung wahyuningsih
lanjut
2022-12-31
0
Ahnafal Wafa Tsaqifa
serem
2022-12-04
0