Setelah salat Asar aku langsung berangkat mengaji, di depan rumah aku berpapasan dengan Parto yang juga sudah siap dengan sarung dan baju kokonya.
"Im ...."
"To ...." Kami memanggil secara bersamaan. Mata kami memandang saling selidik.
"Jangan-jangan ...."
Momen seperti ini bukan sekali dua kali kami alami, seperti biasa Parto memberikan kode kepadaku untuk berbicara terlebih dahulu dengan cara mengedipkan mata dan menganggukkan wajah. Akupun menceritakan mimpi yang aku alami tadi. Dari caranya menyimak ceritaku, aku bisa merasakan kalau dia sangat terkejut dengan mimpi yang kuceritakan. Akhirnya tiba gilirannya untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan kepadaku.
"Aku juga bermimpi ada hajatan di depan rumah Mbah Arni. Ada seorang penari sangat cantik yang menjadi pusat perhatian penonton. Kemudian ada seorang laki-laki yang dekat dengan penari itu, tetapi di mimpiku tiba-tiba aku melihat seorang perempuan menggunakan jarik coklat dan berkebaya hitam sedang menyeret sesosok tubuh dengan sebilah pisau menusuk perutnya. Darah berceceran di antara daun-daun bambu kering. Perempuan itu sepertinya sudah tidak bernapas dan sepertinya bagian perutnya agak membuncit seperti orang hamil. Aku tidak dapat melihat wajah perempuan yang sedang menyeret mayat malang itu, tapi aku bisa melihat dengan jelas siapa perempuan yang diseret, dia adalah penari cantik itu," sambung Parto.
Aku terhenyak mendengar cerita Parto.
"Mengapa kita bermimpi hal yang sama yaitu tentang sosok penari? Ataukah ini hanya disebabkan reaksi psikologis setelah mendengar cerita tentang penari yang hilang di rumah Mbah Arni? Aku harus menggali info sebanyak-banyaknya tentang penari tersebut, berarti aku harus bertanya pada orang-orang yang seusia Mbah Arni."
"Mbah, bolehkah kami bertanya sesuatu tentang masa lalu kampung ini?" tanyaku kepada Mbah Nur di ruang tamu beliau sepulang mengaji.
"Boleh. Untuk apa?" jawab Mbah Nur.
"Kami ingin bertanya tentang seorang penari yang hilang di rumah Mbah Arni," kata Parto.
Mbah Nur menarik napas panjang.
"Dari mana kalian tahu tentang penari tersebut?" Mbah Nur berbalik menanya.
"Mbah Arni yang menceritakannya kepada kami," jawabku.
"Oooo, apa yang ingin kalian tanyakan kepada saya?" ujar Mbah Nur.
"Kami ingin Mbah Nur menceritakan kisah penari yang hilang tersebut menurut sepengetahuan Mbah," ujar Parto.
Mbah Nur menyandarkan punggungnya di kursi.
"Setau saya, dulu seminggu sekali Wardoyo, suami Arni menanggap tandak di rumahnya. Semua penduduk berbondong-bondong untuk melihat acara itu. Dia memang terkenal banyak uang dan senang sekali dengan hiburan tradisional seperti itu. Masyarakat di sini senang sekali karena ada tontonan seminggu sekali. Kelompok tandak itu sering menginap di rumah mereka. Ada seorang penari yang paling cantik di antara mereka, banyak laki-laki tergila-gila dengan penari itu. Suatu hari penari cantik itu mual-mual dan pingsan saat pementasan, rumor tentang kehamilannya mulai berhembus, tetapi penari itu menutup mulutnya rapat-rapat. Ia dirawat di rumah mereka selama dua hari sehingga kondisinya mulai membaik, akan tetapi tiba-tiba ia menghilang di hari ketiga saat semua penghuni rumah bangun pagi, " tutur Mbah Nur.
"Mungkin ia pulang ke kampung halamannya?" potongku.
"Ada salah seorang dari kelompok tandak yang menyusul ke rumah penari itu, tetapi nihil. Lagipula pakaian dan barang-barang penari itu tidak dibawa. Ia menghilang hanya menggunakan daster berwarna putih, sandal jepit yang sedang ia pakai sebelum tidur juga tidak dibawa," tambah Mbah Nur.
"Ya Tuhan. Apakah ada seseorang yang telah mencelakainya?" sergahku.
Mbah Nur melanjutkan ceritanya.
"Akhirnya Pak Kampung melaporkan kejadian tersebut kepada Polsek, polisi mengumpulkan benda-benda dan informasi dari seluruh orang. Penduduk juga membantu polisi mencari keliling kampung, tetapi hasilnya nihil. Kejadian tersebut menjadi misteri sampai saat ini," ujar Mbah Nur lirih.
"Mbah, kami berdua didatangi penari tersebut di dalam mimpi. Di dalam mimpi penari itu menjalin hubungan khusus dengan seorang laki-laki hingga dia mengandung. Tetapi ada perempuan lain yang membunuh penari tersebut dan menyeret mayatnya di sekitar pohon bambu. Perempuan yang menyeret mayat penari tersebut menggunakan jarik cokelat dan kebaya hitam." Ujar Parto. Mbah Nur dengan mulut ternganga menyimak cerita Parto.
"Tunggu, To. Apakah jarik cokelat dan kebaya hitam itu sama dengan yang dipakai oleh ... hm ...," potongku mengejutkan Parto.
"MBAH ARNI!!!!" ucap kami bersamaan. Kami bertiga kaget dengan analisa mendadak tersebut. Kami saling berpandangan.
"Jangan suudzon dulu, bisa jadi baju itu berbeda" sanggah Mbah Nur.
"Corak dan warnanya sama persis, Mbah. Saya ingat sekali ada motif daun tembakau besar dan kecil pada jariknya, pada bagian punggung kebaya ada yang robek sedikit. Tidak mungkin bisa sepersis itu jika bukan barang yang sama." Tambah Parto berapi-api.
"Saya tetap meragukan penjelasan kalian, ada baiknya nanti kita bertanya langsung kepada Arni. Karena setahu Saya, Arni itu seorang wanita yang sangat baik," jawab Mbah Nur.
Aku dan Parto saling berpandangan.
"Mbah. Sepertinya arwah penari itu menjelma menjadi kuntilanak dan menghuni rumpun bambu itu," ucapku pada Mbah Nur.
"Manusia yang mati sudah putus hubungannya dengan dunia, kecuali amal kebaikan, anak sholeh, dan ilmu yang manfaat, " potong Mbah Nur.
"Tapi Mbah, wajah kuntilanak itu kalau dilihat-lihat mirip sekali dengan si penari," tambahku.
"Mungkin itu khodam-nya atau jin lain yang ingin menggoda manusia dengan menyerupai rupa tertentu," jawab Mbah Nur kembali.
"Terus, Mbah. Apakah kita tidak perlu membantu memecahkan misteri ini?" kataku.
"Tetap kita akan menelusuri hal ini. Supaya terungkap apa sebenarnya yang terjadi dengan penari tersebut. Kalau memang ia dibunuh seseorang maka pelakunya harus bertanggung jawab," kata Mbah Nur tegas.
"Iya, Mbah. Semoga dengan terungkapnya misteri ini, kuntilanak itu tidak ada lagi," ucap Parto.
"Ayo, ke rumah Arni!" ajak Mbah Nur.
"Malam-malam begini, Mbah?" tanyaku ragu.
"Iya, karena kalau siang Arni biasanya tandur padi di sawah," jawab Mbah Nur.
Entah mengapa mendengar nama Mbah Arni, nyaliku menjadi ciut. Jika memang Mbah Arni yang membunuh penari itu, tidak mustahil juga dia akan mencelakai kita juga nanti. Tapi, karena ini ajakan Mbah Nur, aku dan Parto tidak bisa menolaknya apalagi kami juga tidak mau dihantui oleh arwah si Kunti terus.
*
Akhirnya kita berangkat menuju rumah Mbah Arni. Melewati rumpun bambu Pak Suwarno, aku dan Parto berpegangan tangan, mau memegang tangan Mbah Nur rasanya malu. Ada suara dehaman dari arah rumpun bambu. Kami menoleh, tetapi tidak ada apa-apa. Kamipun melanjutkan perjalanan menuju rumah Mbah Arni. Sekeliling rumah Mbah Arni gelap, penerangannya hanya bersumber dari lampu templek di ruang tamu Mbah Arni yang menembus sela-sela dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
"Asalamualaikum ...," ucap Mbah Nur.
Tidak ada sahutan.
"Asalamualaikum ...," ucapku berteriak.
Tetap tidak ada sahutan.
"Asalamualaikum ...," ucap Parto.
Masih tidak ada sahutan. Kami saling berpandangan, kemana Mbah Arni kok tidak ada? Tetapi jendela ruang tamunya belum ditutup. Tiba-tiba ada suara dari arah belakang kami.
"Ada perlu apa kalian bertiga kemari?"
Kami menoleh, di belakang kami telah berdiri Mbah Arni lengkap dengan setelan kesayangannya, kebaya berwarna hitam dan jarik berwarna cokelat. Aku terkesiap melihat apa yang sedang dipegang oleh Mbah Arni. Sebilah golok tajam berada dalam genggaman tangannya.
"MBAH ARNI!!!!"
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
hanung wahyuningsih
up
2023-01-01
0
Ahnafal Wafa Tsaqifa
lanjut terus
2022-12-04
0
Ettina Kebumen
jangan-jangan mbah arni pembunuhnya dan suaminya yg hamilin penari itu🤔
2022-02-16
0