Ibu menyusul bapak ke dapur
"Siapa, Pak?"
"Entahlah, dia lari ke arah utara dan menghilang di rerimbunan pepohonan itu."
"Perasaanku tidak enak, Pak? Aku takut terjadi apa-apa dengan keluarga kita terutama anak kita. Dia anak semata wayang kita, Pak"
"Tenanglah, Bu. Bapak akan menjaga kalian dengan segenap jiwa raga. Kita pasrahkan semuanya kepada Allah."
"Iya, Pak."
---
Malam harinya badanku sudah agak mendingan tapi aku masih belum boleh keluar rumah oleh ibu katanya biar badanku pulih dahulu. Alhasil hanya bapak yang pergi tahlilan malam ketujuh (terakhir), ibu juga absen tidak bantu-bantu di rumah Mbah Arni karena mau menjagaku di rumah. Parto juga ikut menemaniku, ibu sengaja meminta Parto menemaniku juga.
Sambil menunggu bapak pulang dari tahlilan kita ngobrol bertiga di kamarku
"Jimat Mbah Kardi banyak korbannya, Im." Kata Parto.
"Banyak korban bagaimana?"
"Banyak ibu-ibu bermasalah dengan keluarganya sejak memakai jimat Mbah Kardi."
"Oh, ya?"
"Bu Hendra bertengkar dengan suaminya gara-gara semenjak memakai jimat itu Bu Hendra jadi malas memasak dan bersih-bersih rumah, maunya dengerin radio terus. Yang bikin suaminya tambah marah, anaknya sampai kelaparan. Kata suaminya kalau Bu Hendranya, sih enggak apa-apa kelaparan sekalian menguruskan badannya tapi anaknya jangan sampai tidak makan."
Aku tersenyum membayangkan body Bu Hendra yang sedikit over size. Parto melanjutkan ceritanya
"Lain lagi dengan Bu Wawan, semenjak pakai jimat Mbah Kardi dia yang awalnya sabar malah jadi emosian. Enggak suaminya, enggak anaknya, bahkan orang tuanya tiap hari kena semprot sama Bu Wawan. Enggak ada hujan enggak ada gledek semuanya dimarahin sama Bu Wawan. Sampai keluarganya sutris dimarahi terus olehnya."
"Ngeri juga ,ya, To?"
"Yang lucu lagi Bu Siska. Semenjak pakai jimat itu sifat pencemburunya makin menjadi-jadi. Suaminya nggak boleh ke luar rumah sama sekali. Disuruh ndekem di dalam rumah, mau sholat Jumat ke kampung sebelah juga enggak boleh."
"Terus bagaimana, To?"
"Akhirnya Mbah Nur yang menasehati mereka. Awalnya ibu-ibu itu menolak melepas jimat yang mereka kenakan takut didatangi Lastri. Tetapi setelah dijelaskan oleh Mbah Nur dan diyakinkan oleh suami mereka akhirnya ibu-ibu mau melepas jimat itu dan diserahkan kepada Mbah Nur."
"Beneran, ibu-ibu itu mau melepas jimatnya?"
"Iya, benar. Tapi mereka minta syarat kalau malam mereka kemana-mana minta ditemani suaminya."
"Hehehe. Dasar ibu-ibu."
"Kok kalian jadi ngegibah gini, ya?" kata Ibu.
Aku dan Parto bersitatap sambil tersenyum.
"Bahaya ini. Mulai besok kamu nggak usah belanja sayur lagi, Im. Nanti ketularan jiwa ngegibahnya ibu-ibu."
"Enggak lah, Bu. Ini kan bukan ngegibah tapi aku penasaran selama tiga hari aku pingsan terjadi apa saja di kampung ini. Siapa tahu ada info tentang Agus." Sanggahku.
"Halah .... Kamu ini ngeles saja. Oh ya, ibu baru ingat tentang kotak peninggalan kakek."
"Eh iya, Ibu menyimpan kotak itu di mana?"
"Kalau tidak salah kotak itu ibu taruh di gudang belakang kumpul sama baju-baju bekas."
"Bagaimana kalau kita cari sekarang saja, Bu? Supaya tidak keduluan orang lain."
"Ayo, dah."
Kitapun berjalan menuju ruangan gudang. Kebetulan gudang tersebut letaknya bersebelahan dengan kamar mandi. Saking lamanya gudang tidak dibuka, begitu kita membukanya debu berterbangan kemana-mana.
"Uhuk...uhuk....uhuk...." Parto yang masuk pertama kali langsung terbatuk-batuk.
"Minggir dulu kalian! Biar ibu singkirkan dulu debu-debunya pakai kemoceng."
Sekitar lima belas menit ibu membersihkan ruangan itu barulah aku dan Parto menyusul masuk ke dalam dan memulai pencarian kotak cokelat peninggalan kakek.
Gudang tersebut berukuran sekitar dua meter kali tiga meter. Di pojok ruangan ada sepeda bajong persis dengan yang aku lihat di dalam mimpi. Aku memegang sepeda bajong tua tersebut
"Itu sepeda kakekmu, kakekmu dulu pekerja keras. Selesai sholat Subuh langsung berangkat ke pasar kulakan barang untuk dijual di rumah. Warung kakek nenekmu satu-satunya yang ada di kampung ini. Jadi warga sini kalau mau utang sembako ambilnya ke nenekmu. Catetan kas bon nenekmu sampai tebal sekali."
Aku mengangguk-angguk tanda kagum sama almarhum kakek nenek.
"Alhamdulillah, ketemu." Teriak Ibu sambil menunjukkan kotak kayu berwarna cokelat kepadaku.
"Wah... Syukurlah. Coba dibuka, Bu!"
Ibu membuka kotak tersebut.
[Cling]
Ternyata isinya sebuah arloji kuno dengan bahan sebagian logam, sebagian plastik, dan sebagian yang lain karet. Sedangkan talinya terbuat dari kulit asli. Warna aslinya mungkin terang tapi sekarang sudah agak kusam termakan usia. Ada semacam bercak-bercak di beberapa bagiannya. Ada yang kecoklatan dan ada juga yang agak hitam. Entah bercak apa itu, mungkinkah itu bercak ....
"Jangan, Bu!" teriakku ketika Ibu akan mengambil arloji itu dari dalam kotak.
"Kenapa?"
"Jangan! Coba lihat bercak-bercak itu, mungkin itu ada kaitannya dengan pembunuhan Lastri."
Ibupun urung mengambilnya, kotak ditutup kembali oleh Ibu. Pintu depan ada yang mengetuk, mungkin Bapak yang datang membawa berkat khas tahlilan tujuh harian. Perutku mendadak lapar membayangkannya.
------
Esok harinya aku sudah boleh masuk sekolah. Teman-teman menyambut kedatanganku dengan gembira, Juwari dan Zen mentraktirku cilok sebungkus. Kami sudah akur dan saling memaafkan. Ketika bel pulang berbunyi, aku harus pulang paling akhir karena masih menghadap wali kelas terkait ketidakhadiranku di kelas selama tiga hari. Parto aku minta menungguku di depan kantor. Setelah memberikan penjelasan kepada ibu wali kelas kami berduapun meninggalkan sekolah.
"Hati-hati, Le. Onok wong edan nang ngarepe kuburan. (Hati-hati, Nak. Ada orang gila di depan kuburan." Pesan seseorang terhadap kami sambil mengayuh sepeda ontelnya.
"Matur nuwun, Pak. (Terima kasih, Pak)."
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sesampai di area kuburan aku memandang ke sekitar. Tetapi tidak ku temui orang gila di sana, yang ada deretan batu nisan di kanan jalan dan rimbunnya pagar kebun di kiri jalan yang ditanami daun maliki dan banyak dililit tali putri.
"Mungkin orang tadi hanya iseng saja." Pikirku.
"Mrene, Le (Kesini, Nak)!" Suara laki-laki agak serak tiba-tiba terdengar entah dari mana.
Kami berdua berhenti berjalan mencari sumber suara. Tidak mungkin jenazah-jenazah ini yang memanggil kami di siang bolong begini.
"Mrene, Le ...," suara laki-laki itu kembali terdengar.
Dari arah sebelah kiri kami berdiri tiba-tiba pagar daun maliki bergoyang-goyang. Kami berdua tertegun memperhatikan pergerakan pagar itu. Beberapa detik kemudian dari arah rimbunnya daun maliki itu nongol seseorang berbaju compang camping, menggunakan topi fedora yang juga tak kalah compang campingnya. Kulit tangannya buluk sekali, wajahnya hanya terlihat sedikit, buluk pula. Laki-laki tersebut berjalan mendekati kami, aku terpaku nggak bisa bergerak.
"Im, ayo, lari." Bisik Parto.
.
Parto menarik tanganku untuk berlari, tapi aku masih mematung antara bingung dan takut.
"Tulungi Mbah yo, Le? (Bantuin Mbah, ya Nak?)" Kata laki-laki itu lagi sambil memegangi tangan kiriku.
"Bantuin apa, Mbah?" tanyaku masih dalam kegugupan. Aku tak punya pilihan lain selain berkomunikasi dengan laki-laki itu karena sudah terlambat bagiku untuk melarikan diri.
"Bantuin Mbah, mengubur masa lalu." Jawab laki-laki itu dengan suara tak seserak tadi.
Kali ini suaranya normal, dengan suara normal begitu sepertinya aku kenal suaranya. Tapi siapa ya? Aku menoleh, laki-laki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar ke arahku. Kali ini aku bisa melihat jelas wajah laki-laki itu. Dan jantungku seolah berhenti berdetak, darahku mendesir, keringat dingin membanjiri tubuhku sementara tangan laki-laki itu mencengkram dengan kuat tangan kiriku.
"AGUS!!!!" pekikku lirih.
Laki-laki itu tertawa lebih lebar, matanya yang tajam melotot ke arahku. Aku makin tak bisa bergerak, otot-otot tubuhku tiba-tiba kehilangan kekuatannya.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
hanung wahyuningsih
sip
2023-01-01
0
Ahnafal Wafa Tsaqifa
up up up
2022-12-28
0
lyxxx
serem bangetttt
2022-07-14
1