Ternyata Parto sedang berada di sudut dapur di depan gentong warisan nenek.
"Sudah wudunya, Im? Maaf aku sedang minum. Jadi, tidak bisa menjawab panggilanmu."
"Kirain kemana kamu tadi. Ya, sudah sana cepetan wudu! Aku tungguin kamu di sini."
Parto pun masuk ke dalam kamar mandi. Agak lama dia di dalam, mungkin sambil buang air kecil juga. Ternyata berada di luar kamar mandi tidak lebih menenangkan daripada berada di dalam kamar mandi. Sempat terlintas di pikiran, Lastri belum kabur begitu jauh dari rumahku.
"Buruan, To"
"Iya. Ini sudah selesai."
"Ayo, buruan sholat!"
Kututup pintu dapur rapat-rapat dan kupasang grendelnya dengan cepat, takut keburu Lastri masuk duluan ke dalam rumah.
"Im, pintu kamarnya ditutup saja biar aman!"
"Sip, To."
"Sholat-nya gantian saja, ya? Nggak usah jamaah biar bisa gantian jaga."
"Oke. Aku juga maunya begitu."
Kitapun salat secara bergantian. Terus terang sulit untuk khusyuk karena ada perasaan khawatir diganggu Lastri. Kecuali, pas bagian berdoa baru aku bisa khusyuk meminta perlindungan dari-Nya.
"To, lampu kamarnya kita matikan lagi saja kayak tadi supaya lebih aman, ya?"
"Iya, tapi kita pake alas selimut, biar tidak dingin."
"Iya. Betul."
Kamipun mematikan lampu kamar dan menggelar selimut di kolong tempat tidur. Kami bersiap untuk merajut mimpi, semoga bukan mimpi tentang Lastri. Dengan kondisi kamar yang lebih gelap dari luar ada perasaan aman tersendiri, berbeda tadi ketika lampu kamar masih menyala seolah-olah Lastri sedang mengintip pergerakan kita di dalam melalui celah-celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
"To, apakah Lastri bisa menembus dinding atau pintu?"
"Kurang tau juga, ya? Kamu sudah tiga kali ketemu Lastri, kan? Apa pernah melihat dia menembus dinding?"
"Tidak, Lastri tidak menembus pintu dan dinding depan, dia juga tidak menembus pintu kamar Bapak, akan tetapi sepertinya dia bisa menembus pintu yang menuju dapur."
Parto manggut-manggut.
"Model rumahmu ini apa sudah pernah diganti?"
"Hm ... setauku kalau ganti model nggak pernah, ini rumah warisan nenek. Bapak nggak pernah ganti-ganti modelnya. Ya, palingan rehab ringan saja. Tapi tunggu dulu, kalau pintu yang menuju dapur itu sepertinya dulu nggak ada. Kata ibu, itu dikasih pintu waktu aku masih balita karena aku suka lari-lari, takut tiba-tiba nyosor ke area dapur makanya dikasih pintu oleh Bapak."
"Mungkin itu sebabnya arwah Lastri bisa menembus pintu itu."
"Maksudmu gimana aku kok bingung?"
"Gini, Im. Aku pernah baca majalah karangan orang barat. Hantu itu sebenarnya nggak bisa nembus dinding. Kalau orang ngeliat hantu nembus dinding, itu sebenarnya karena dulu di masa hidupnya di tempat tersebut tidak ada dinding. Sebaliknya, kalau di suatu tempat dulunya ada dinding dan sekarang tidak ada dindingnya maka hantu tidak akan dapat melewatinya."
Aku manggut-manggut saja mendengar penjelasan Parto.
"Emang seperti itu aturan dunia perhantuan, ya?"
"Secara pastinya aku juga nggak tau, Im. Lah, wong aku belum pernah jadi hantu."
"Apakah itu berlaku juga pada Lastri?"
"Entahlah, Im. May be yes, may be no. Kenapa?"
"Soalnya ..."
"Soalnya kenapa, Im?"
"Soalnya, kamar ini dulunya nggak ada, To. Bapak baru membuatkan kamar ini, pas aku naik ke kelas tiga"
Hiiiiii .... Kamipun tidur sambil berpegangan erat, tak berani mengeluarkan suara. Semoga saat tertidur, kami tidak ada yang mengorok supaya persembunyian kami tidak diketahui oleh Lastri.
*
Aku biasa terbangun jam setengah empat pagi dan biasanya aku menunaikan salat dua rakaat sambil menunggu datangnya azan Subuh dari radio. Tapi, pagi ini saat terbangun aku hanya bisa memandangi kondisi di luar rumah melalui sebuah celah yang agak lebar di bagian bawah dinding anyaman bambu kamar. Mau membangunkan Parto, kasian dia masih terlelap, sebenarnya aku juga agak kebelet pipis, tapi mau gimana lagi? Harus aku tahan daripada ketemu Lastri di kamar mandi. Dari celah itu aku bisa melihat kebun kosong di barat rumahku. Tidak semuanya terlihat, hanya bagian bawahnya saja yang nampak. Batang-Batang pohon berjejer beragam jenis, mulai dari rambutan, mangga, jambu, dan belimbing ada semua. Hampir saja aku terkejut ketika netraku tertuju pada kain putih yang melilit pohon nangka. Aku kira itu Lastri, sebelum akhirnya aku ingat beberapa waktu yang lalu Bapak pernah membungkus nangka dengan sak plastik berwarna putih.
[Tok tok tok]
"Im .... Bangun! Matahari sudah mau terbit, nanti nggak nutut sholat Subuh."
"Iya, Bu. Terima kasih."
Parto nampaknya juga sudah terbangun dari tidur lelapnya. Kamipun bergegas mencuci muka, ambil wudu, dan salat Subuh. Setelah salat Subuh ibu menyuruhku membeli sayur ke tukang sayur yang biasa mangkal di depan rumah.
"Im, aku pulang dulu, ya? Aku mau kerja PR soalnya mumpung masih pagi."
"Nggak mau sarapan dulu? Ibuku sedang membuat nasi goreng, lo."
"Enggak, *wes. M*akasih. Tapi, aku nginep rumahmu lagi nanti malam, ya? Soalnya, tidur di rumah sendirian aku juga takut. Kalau sama kamu, enak ada temannya dan ada tempat persembunyiannya."
"Siap, Bos!"
Tentunya aku juga senang Parto menginap di rumahku.
*
Aku mulai memilih-milih sayuran bersama ibu-ibu tetangga.
"Bu, tadi malam Lastri berulah lagi," kata Bu Hendra.
"Eh iyatah, Bu? Siapa yang diganggu?" tanya Bu Nurul.
"Bu Reni depan rumah yang diganggu. Suaminya selalu pulang malam. Jadi, dia terbiasa tidur duluan. Bu Reni tidur menghadap ke dinding. Dia denger suara pintu dibuka. Pikirnya suaminya yang datang. Terus terdengar bunyi kletek-kletek di meja makan. Dia pikir suaminya yang makan. Kemudian, dia mendengar kelambu kamarnya digeser. Mungkin suaminya akan menyusulnya tidur. Karena ingin menyapa suaminya, Bu Reni membalikkan badan. Ternyata bukan suaminya yang dia lihat, tetapi Lastri sedang menyisir rambut di meja riasnya."
"Lantas apa yang dilakukan Bu Reni?"
"Dia teriak-teriak, sehingga para tetangga berdatangan ke rumahnya."
"Terus?"
"Terus Bu Reni diem di rumahku sambil 'nunggu suaminya pulang."
Aku terhenyak mendengar cerita Bu Hendra. Kasian Bu Reni, pasti dia syok.
"Bu Mila juga diganggu lagi tadi malam," kata Bu Hari.
"Oh, ya?" kata Bu Hendra.
"Bu Mila diganggu pas sholat Isya'. Pas masuk rakaat ketiga seperti ada yang 'ngikuti beliau sholat. Dia pikir itu putrinya yang kelas
-3 SD. Pas Bu Mila ruku', yang ngikuti dia juga ruku'. Ya, pake kain putih juga sama kayak mukenanya. Pas sujud, Bu Mila tanpa sengaja ngeliat rambut orang yang 'ngikuti dia. Barulah dia tau itu bukan anaknya. Rambutnya kotor dan gimbal. Bu Mila baru sadar kalau yang mengikutinya Lastri."
"Terus, Bu Mila teriak atau lari?"
"Tidak, Bu Mila tetap melanjutkan sholat-nya tapi dengan tubuh gemetar, dia menyelesaikan rakaat keempat sambil menangis ketakutan. Waktu salam dia menutup matanya erat-erat, tidak berani melihat sosok Lastri."
"Terus?"
"Selesai salam baru dia teriak-teriak. Ketika tetangga datang, Lastri sudah pergi."
Ibu-ibu meringis ketakutan mendengar cerita Bu Hari.
"Terus, gimana jalan keluarnya ini? Masa kita mau diam saja? Kalau Lastri terus menghantui, kita bisa-bisa, kita semua nggak tenang hidupnya."
"Kalau aku, sih, sekeluarga pake jimat. Ada yang ditaruh di rumah, ada yang dipake. Jadi, aman."
"Jimat apa?
"Jimat pemberian Mbah Kardi. Kalau kamu mau, nanti saya antar."
"Oke. Nanti siang antar aku ke sana!"
"Aku juga mau ikut."
"Aku juga."
Semua ibu-ibu sepakat, siang ini mau ke rumah Mbah Kardi untuk meminta jimat. Tiba-tiba....
"Permisi ..." Seorang kakek lewat.
"Iya ...," jawab ibu-ibu.
"Siapa, ya? Kok wajahnya kayak nggak asing," pikirku dalam hati.
Kakek-kakek itu memandang ke arahku dengan sorot mata yang tajam. Aku berusaha mengingat-ingat siapa kakek itu, tapi semakin aku berusaha mengingat aku semakin lupa dan penasaran.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
hanung wahyuningsih
lanjut yuk...
2023-01-01
0
Ahnafal Wafa Tsaqifa
mantap
2022-12-04
0
Dharris Tio
hayoloh. bisa bebas masuk dong. ati2 aja dikekepin. ha ha ha
2022-10-11
0