"Dimana kotak cokelat itu?" tanyanya dengan suara membentak sambil menarik tangan kiriku dengan kuat.
Dengan menanyakan kotak coklat itu meyakinkanku bahwa Aguslah yang mengintip perbincangan waktu itu. Parto dengan sekuat tenaga mempertahankan posisiku dengan menarik tangan kananku, tapi tarikan ke arah kiri lebih kuat sehingga kini Agus sudah berhasil memegangi kedua tanganku.
"Tidak. Kotak itu akan kami berikan kepada polisi supaya pembunuh seperti kamu bisa mempertanggungjawabkan perbuatan dengan mendekam di penjara." Jawabku sambil berusaha menarik kedua tanganku dari pegangannya. Parto membantu menarik perutku.
"Itu kalau kamu masih bisa hidup hari ini, Bocah."
[Hep]
Secara mendadak kutendangkan kaki kananku mengarah ke selangkangannya. Sayangnya Agus dengan sigap menepis seranganku dengan menyepak kakiku ke arah samping sebelum tendanganku mengenai tubuhnya. Alhasil aku yang kehilangan keseimbangan dan terjatuh di depannya. Melihat posisiku yang lemah, Agus secara sigap melompat dan memiting leherku. Kali ini aku tak berani melawan takut Agus kalap karena bisa-bisa leherku ia patahkan dengan sekali gerakan. Aku hanya bersiaga kalau-kalau Agus benar-benar akan mematahkan leherku.
Parto berusaha membuka pitingan di leherku dengan memukul-mukul tangan dan kepala Agus tetapi Parto ketakutan sendiri ketika Agus pura-pura akan menangkapnya. Dari caranya memitingku, target utama Agus bukan Parto tapi aku.
Dalam kondisi seperti itu, kami tidak bisa berbuat banyak selain berdoa dan menunggu keajaiban terjadi. Berteriakpun sepertinya sulit hanya rumah Pak Suwarno yang dekat, tetapi kalau siang-siang begini biasanya mereka tidak ada di rumah.
"Hai. Lepaskan anak itu!" teriak seseorang dari arah barat.
Mendengar ada teriakan, Agus menoleh ke sumber suara, pitingannya sedikit melonggar. Menelisik dari suaranya sepertinya yang berteriak adalah Pak Hermanto, guru olah ragaku. Ada dua derap langkah orang berlari sedang menuju ke tempatku. Aku menemukan kekuatanku kembali. Kugigit lengan Agus yang sedang memitingku
"Arrrrghhh" teriak Agus saat tangannya kugigit dengan kuat. Akibat gigitanku pitingannya terlepas, aku dorong tubuh Agus hingga terjengkang ke belakang. Aku bangun dan melompat ke tempat Parto berdiri.
"Kalian nggak apa-apa?" tanya Pak Hermanto
"Nggak apa-apa, Pak."
"Kamu nggak apa-apa juga, To?" tanya Pak Burhan guru ekskul silatku.
"Alhamdulillah nggak apa-apa juga, Pak."
"Kemana larinya orang gila tadi, kok cepat sekali hilangnya?" tanya Pak Hermanto sambil mengintip-ngintip di semak-semak.
"Iya, Pak Her. Saya juga heran kok bisa secepat itu dia menghilang." Ujar Pak Burhan.
Aku dan Parto juga tak kalah heran, terakhir kali aku lihat Agus terjatuh kemudian Pak Hermanto dan Pak Burhan datang setelah itu aku tidak melihat pergerakan Agus sedikitpun.
"Oke, kalian sebaiknya segera pulang. Lain kali kalau ada orang asing harus lebih berhati-hati karena sekarang sedang rawan penculikan anak di mana-mana." Kata Pak Hermanto.
"Terimakasih, Pak Her. Terimakasih Pak Burhan." Kami berdua bersalaman dan berjalan pulang.
"Kami lihat dari sini, ya?"
"Iya, Pak."
Sambil berjalan pulang sesekali kami menoleh ke belakang, Pak Her dan Pak Burhan masih berada di belakang. Mereka sepertinya masih berusaha mencari kemana perginya Agus.
"Agus itu manusia apa hantu sich kok bisa secepat itu datang dan perginya?" kataku.
"Nah itu dia, Im. Aku juga heran, seberapa lama, sih pandangan kita beralih ke Pak Her dan Pak BH (Pak BH adalah julukan anak-anak untuk Pak Burhan, agak tabu, sih, tapi karena sudah sering digunakan jadinya enggak enak kalau enggak menggunakan nama itu. Cuma harus hati-hati jangan sampai orangnya tau saja)? Enggak sampek semenit, deh." Kata Parto dengan berapi-api.
"Tapi benar berarti, To. Arloji itu adalah alat bukti pembunuhan Lastri oleh Agus, buktinya dia memaksa kita menyerahkannya."
"Iya, Im. Kita harus segera lapor sama Bapak dan Mbah Nur perihal ini biar mereka segera menyerahkan arloji itu ke Polsek."
"Iya. Kasian Mbah Lastri selama ini dikira bunuh diri sama orang-orang."
"Kok Mbah Lastri, Im?"
"Lah iya, toh? Dia kan seusia dengan Nenekku, To?"
"Iya juga sih, tapi biasa manggil Lastri rasanya nggak enak diganti Mbah Lastri."
"Ya, dibiasakan lah, To! Kayak julukan kita ke Pak BH eh Pak Burhan. Masak mau manggil Pak BH terus. Dosa jariyah namanya itu." Aku berkata sambil masih tersenyum-senyum.
Entah mulai kapan julukan Pak BH itu beredar di kalangan anak-anak. Kalau kami berdua taunya mulai dari kelas 3. Awal mengetahuinya kami senyum-senyum sendiri lah, ya, kok bisa-bisanya teman-teman membuat julukan seperti itu. Tapi lama-lama kitapun 'ngikuti dan terbiasa menggunakan nama itu. Pernah hampir kelupaan, sih waktu latihan silat bareng di sekolah menyambut kejuaraan silat tingkat daerah. Waktu itu aku hampir memanggil beliau dengan nama Pak BH, untung cepat aku ralat ketika baru nyampek di huruf B. Kalau tidak, bisa dikoprol aku sama beliau. Anak-anak geli waktu itu, Pak BH eh Pak Burhan tidak menyadarinya.
"Lihat, Im! Tegalannya sudah dipatok-patok! Sepertinya Haji Arman sudah positif mewakafkan tanah ini untuk masjid."
"Alhamdulillah ya, To? Kampung kita akan segera punya masjid sendiri. Jadi kita tidak perlu jauh-jauh Jumatan di kampung sebelah. Semoga lekas selesai ya pembangunannya."
"Aamiiin......Konon bambu-bambu ini juga akan ditebangi semua untuk dibuat andang, tangga, dan pagar masjid sementara."
"Wah, iya tah? Mbah Lastri tinggal dimana, pas?"
"Hus! Lastri ... Eh Mbah Lastri ya hidup tenang di alam sana."
"Aamiiin..... Benar, To. Tentunya Mbah Lastri akan lebih senang kalau tempat yang terlanjur distigma negatif ini diubah menjadi lahan terbuka, biar tidak jadi dosa jariyah buat masyarakat kampung ini."
"Iya benar, Im"
"Pelan tapi pasti kampung kita akan kehilangan tempat-tempat angkernya ya, To?"
"Alhamdulillah, Im."
"Tapi......"
"Tapi apa, Im?"
"Entahlah. Feeling-ku enggak enak saja."
"Feeling tentang apa? Agus?"
"Bukan. Ah... sudahlah nggak usah dipikirkan."
"Oalah... Dasar cucune Agus."
[Plok]
"Aku pulang dulu, To." Aku segera berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Parto di jalan setelah berhasil menepok punggungnya. Pasti dia kesal karena aku sudah "Mbati (hasil)" sekarang dan berpikir untuk balas dendam nanti.
---------
Setelah salat Zuhur, aku melihat ibu sedang memasak di dapur. Aku ingin mengajak beliau mengobrol.
"Bapak kemana, Bu?"
"Masih belum datang, Le"
Ibu memang sering berubah-ubah kalau memanggilku kadang 'Im', kadang 'Le', kadang juga 'Nak'. Sesuai 'sikon' lah pokoknya.
"Oh ya, Le. Tadi pagi ibu-ibu heboh membicarakan tentang penculikan anak di tukang sayur, pas kamu mandi pagi."
"Oh, ya?"
"Bu Hendra cerita kalau ada anak SD di sekitar tempat suaminya bekerja hilang selama beberapa hari sepulang dari sekolahnya, tau-tau ditemukan sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Ada beberapa organ vitalnya yang hilang."
"Hiiii.... Itu beneran apa bohongan, Bu?"
"Benar, Le. Suami Bu Hendra itu orangnya jujur jadi nggak mungkin berbohong. Ada lagi cerita penculikan anak yang lain."
"Apa, Bu?"
"Tukang sayur cerita kalau di kota ada anak cewek sudah hilang selama lima tahun dicari kemana-mana nggak ketemu, pas keluarganya ada keperluan ke Jakarta tanpa sengaja bertemu anaknya sudah jadi pengamen di sana. Anaknya lupa dengan orang tuanya, penculiknya juga sudah kabur entah kemana."
"Kasihan ya, Bu?"
"Iya. Makanya kamu berhati-hati ya di manapun berada. Jangan mudah percaya sama orang asing."
"Iya, Bu. Sebenarnya tadi aku juga hampir diculik, Bu"
"Oh, ya?" Ibu berteriak. Tempe di atas wajan sampai terpental jatuh ke tanah.
"Iya Bu. Agus hampir menculikku, dia menyamar jadi orang gila. Untuk Pak Hermanto dan Pak BH menolongku."
"Siapa?"
"Pak Burhan."
"Duh, Nak. Untunglah kamu selamat. Ini nggak bisa dibiarkan, kita harus segera lapor polisi supaya Agus sialan itu segera tertangkap. Awas kamu Gus, sekali lagi kamu menyentuh anakku tak uyel-uyel kamu nanti."
Entah mengapa dalam keadaan serius seperti itu aku masih bisa tersenyum mendengar ibu mengatakan "uyel-uyel'. Entah apa arti 'uyel-uyel' itu.
"Asalamualaikum"
Suara bapak dari pintu dapur, pasti beliau baru pulang dari sawah setelah seharian bekerja.
"Waalaikumsalam"
"Ada apa ini kok seperti ada yang serius?"
"Bapak makan siang dulu nggih, trus mandi sholat. Nanti baru ngobrol bertiga."
"Iya, deh"
-----
Bapak sudah selesai salat Zuhur
"Sepertinya Bapak harus segera menyerahkan kotak cokelat itu ke polisi."
"Iya, Bu. Saya sudah janjian sama Pak Kyai Nur untuk berangkat ke Polsek siang ini."
"Anakmu dan Parto dibawa juga, ya!"
"Loh, buat apa membawa mereka? Biar mereka di rumah saja."
"Mereka tadi sepulang sekolah hampir diculik Agus."
"Apa?"
"Agus menyamar jadi orang gila. Anakmu ini sudah dipiting sama Agus katanya dia minta kotak coklat itu diserahkan kepadanya kalau tidak ingin dibunuh. Untung ada dua gurunya datang menolong."
"Benar, Le?"
Aku mengangguk.
"Agus sudah keterlaluan. Ini tidak bisa dibiarkan lagi."
[Tok tok tok]
"Asalamualaikum," suara Mbah Nur dari pintu depan.
"Waalaikumsalam"
"Monggo, silakan duduk Pak Kyai!"
"Bagaimana? Jadi?"
"Jadi, Pak Kyai. Sampean bawa sepeda sendiri, kan?"
"Iya. Saya bawa sendiri. Kenapa?"
"Anak-anak diajak soalnya."
"Loh, kok ngajak anak-anak?"
"Iya, mereka tadi hampir diculik Agus sepulang sekolah."
"Ya Allah....."
Kamipun menceritakan peristiwa tadi kepada Mbah Nur. Mbah Nur beberapa kali menggelengkan kepala mendengar cerita kami.
"Ya, wes. Habis ini kita jemput Parto sekaligus meminta izin sama orang tuanya!"
"Inggih."
"Oh, iya ... boleh saya melihat kotak tersebut?"
"Boleh, Pak Kyai."
Ibu mengambil kotak coklat dari dalam kamarnya dan menyodorkan kepada Mbah Nur.
"Mohon maaf, Kyai. Isinya jangan dipegang-pegang dulu, ya! Takut merusak barang bukti."
"Iya. Bismillahirrohmanirrohim ..."
Mbah Nur membuka kotak cokelat tersebut, tiba-tiba ia melotot.
"Astagfirullah! Ini jam tangan saya," teriaknya.
Giliran aku, Bapak, dan Ibu yang keheranan melihat reaksi Mbah Nur.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ahnafal Wafa Tsaqifa
lanjut terus
2022-12-28
0
Rena Nia
loh kok nggone mbah nur thor?
2021-06-30
3
Athaya Winangun
lah piye toh Kok dadi nggone Mbah Nur
2021-04-27
2