Setelah melakukan apa yang diperintahkan oleh Mbah Nur, akhirnya Bu Satar dan keluarganya tidak mendapat gangguan dari hantu kelapa lagi. Aktivitas keluarga mereka kembali seperti sedia kala. Kedua anak Bu Satar, Juwari dan Satuni sudah kembali rutin mengaji di langgar Mbah Nur. Tentunya pulangnya masih tetap dijemput ayah mereka, Pak Satar. Aku pernah bertanya kepada mereka berdua apakah kalau dijemput bapaknya pernah diganggu kuntilanak penunggu pohon bambu Mbah Arni atau hantu penunggu KUD seperti ketika diantar aku dan Parto. Mereka kompak menggeleng. Syukurlah, berarti hantu-hantu itu lebih suka mengganggu anak kecil daripada orang dewasa, kecuali kalau bukan warga kampung ini sendiri seperti yang dialami salah satu warga kampung sebelah yang jatuh ke got karena diganggu Si Kunti. Setidaknya itu analisa sementaraku tentang si Kunti dan si Hantu KUD.
Hari minggu siang aku dan Parto mengambil buah manting (salam) di kebun bengkok (kas desa) belakang rumah Mbah Arni. Parto yang naik ke atas pohon, sementara aku yang menangkap ranting-ranting berisi buah manting yang dipatahkan oleh Parto. Buah manting di belakang rumah Mbah Arni ini terkenal sebagai buah manting terenak di kampungku, buahnya lebih besar dari yang lain dan rasanya manis. Sudah menjadi adat di kampung ini bahwa buah manting itu bebas diambil siapapun tanpa harus izin kepada pemiliknya karena dianggap bukan buah komersil. Kalau dalam urusan panjat memanjat, Parto memang jagonya. Dia kalau sudah naik pohon bisa sampai pucuk dahan dan bisa berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain tanpa harus turun dulu. Ngeri juga melihat temanku ini ketika lompat sini lompat sana di atas pohon, makanya setiap ia melakukan aksi akrobatik itu langsung aku teriakin.
"Kete'e kumat (monyetnya kumat)."
Aku mengatakan itu supaya dia tidak mengulangi lagi aksinya karena aku takut dia terjatuh. Tapi alih-alih berhenti berakrobat, justru dia malah lebih mempercepat gerakannya sambil memonyongkan bibirnya ke depan, berakting layaknya monyet sengaja untuk membuatku makin geregetan. Kalau sudah begitu aku cuma bisa menarik napas panjang dan ia pun menutup aksinya dengan tersenyum.
"Sudah banyak, To, buah mantingnya. Ayo, turun!" teriakku sambil memunguti manting-manting dan memasukkannya ke dalam contong yang terbuat dari daun pisang.
"Oke lah, saya turun sekarang." Jawab Parto.
Aku masih asik memungut manting-manting berwarna merah dan ungu itu. Tiba-tiba dari ekor netraku aku melihat seseorang sedang berdiri di sebelahku. Netraku menjelajahi sosok itu mulai dari kaki yang tidak kelihatan, agak naik ke atas terlihat jarik berwarna coklat usang yang biasa digunakan warga di kampungku untuk memandikan jenazah, terus naik netraku terlihat kebaya berwarna hitam, dan sampailah netraku pada wajah keriput dengan ujung bibir kiri dan kanan terdapat cairan merah darah. Aku hafal betul dengan sosok ini, iya. Dia adalah ...
"Mbah Arni!!" kataku lirih. Mbah Arni melangkah mendekatiku. Aku tetap dalam posisiku tidak berpindah sedikitpun.
"Im, Mbah minta mantingnya sedikit, boleh?" kata Mbah Arni sambil meminggirkan tembakau yang ia kunyah ke arah kiri. Iya, Mbah Arni salah satu orang yang gemar minang."
"Boleh banget, Mbah." Jawab Parto yang sudah berada di bawah pohon.
"Terimakasih. Kalau kalian berdua butuh garam, ayo, ikut saya ambil sendiri di dapur!" kata Mbah Arni sambil *******-***** campuran daun sirih, gambir, dan enjet kapur di mulutnya. Tercium bau segar daun sirih dari mulut Mbah Arni. Menurut saya, berada di samping tukang minang lebih betah daripada berada di samping seorang perokok.
"Mau, Mbah." Jawabku kegirangan.
Memang kalau makan manting dengan cara disiram air garam rasanya sungguh nikmat sekali. Kita pun mengikuti Mbah Arni ke rumahnya tapi lewat bagian belakang rumahnya, yaitu dapurnya. Dapur Mbah Arni tertata dengan rapi, tidak ada perkakas yang tergeletak begitu saja. Semuanya tertata dengan apik di rak bambu, lantai tanahnya pun bersih dari sampah. Rupanya Mbah Arni ini orangnya rapi sekali.
"Mbah, aku minta airnya, ya?" kata Parto yang langsung diiyakan Mbah Arni.
Partopun langsung berjalan menuju pojok dapur tempat gentong tanah liat diletakkan. Gayung dari batok kelapa ditangkupkan di atasnya. Parto memegang tangkai gayung itu dengan tangan kanannya, tangan kirinya menarik tutup gentong, dan ia pun mengambil air mentah dari dalam gentong serta meminumnya.
"Aaaaaaah..... Airnya segar sekali, Mbah," kata Parto sedetik setelah meneguk air gentong.
Aku yang melihatnya sampai ikut menelan ludah. Air mentah dari gentong memang segar sekali, lebih segar dari es campur. Guru-guru selalu menasehati kami untuk tidak minum air mentah, katanya banyak kumannya dan bikin sakit perut, tapi kebanyakan anak-anak sini tetap saja lebih suka minum air gentong mentah dan terbukti tidak sakit perut. Mungkin perut kita sudah sekuat perut badak. Jadi, aman-aman saja meskipun selalu meminum air mentah.
"Mbah, sampean nggak takut tinggal sendirian di sini?" tanya ku.
"Takut sich enggak, cuma sepi saja. Tapi mau gimana lagi, anak semata wayangku lebih memilih untuk tinggal di kota." Jawab Mbah Arni.
"Beneran nggak takut, Mbah?" tanyaku kembali penuh selidik.
Aku masih belum percaya dengan jawabannya, secara rumahnya hanya terpaut duapuluh meter dari pohon bambu itu. Mbah Arni beranjak dari tempat ia berdiri semula. Dia tidak menjawab pertanyaanku selama beberapa detik. Reaksi itu semakin meyakinkanku bahwa ia merahasiakan sesuatu. Namun, sebelum otakku mengira-ngira, tiba-tiba Mbah Arni berbicara kembali.
"Dulu ketika suamiku masih hidup, rumah ini tak pernah sepi. Penduduk sering berkumpul di halaman rumah ini kalau malam hari karena suamiku sering mengadakan tanggapan tandak."
"Terus, Mbah?"
"Kelompok tandak itu biasanya sering berkeliling dari kampung ke kampung. Saking seringnya ditanggap, mereka sudah kami anggap sebagai keluarga. Hingga suatu hari ketika mereka menginap di sini, ada salah satu penari yang tiba-tiba hilang dari rombongan. Dicari kemana-mana tidak ketemu. Polisi sampai turun tangan, tetapi hasilnya nihil. Sejak saat itu suamiku tidak pernah menanggap tandak lagi. Takut katanya," urai Mbah Arni dengan nada datar dan mata sembap. Mungkin dia terkenang dengan mendiang suaminya.
Kami tercengang dengan cerita tersebut. Mbah Arni melanjutkan ceritanya.
"Sejak saat itu kami sering merasa takut. Seolah-olah penari itu masih berseliweran di sekitar rumah ini."
[BRUAAAAAAAK]
Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang dan membanting pintu dapur.
"Mbah, kami pamit dulu ya. Sudah sore soalnya. Terimakasih banyak, ya, Mbah."
"Iya, Le. Hati-hati di jalan, ya!"
Kamipun bersalaman dan meninggalkan rumah Mbah Arni. Berapa detik meninggalkan rumah Mbah Arni, kami mendengar Mbah Arni menyenandungkan sebuah tembang khas Madura. Ternyata di usianya yang sudah senja, suaranya masih terdengar merdu sekali
"Pelok temor, Lek ..."
Sayup-sayup suara yang kami dengar.
*
Seorang penari cantik sedang melenggak lenggok diiringi musik gamelan. Dengan baju berwarna hitam dan manik-manik berwarna emas, wanita itu kelihatan semakin mempesona. Para pria berebut untuk bisa menari dengan penari itu, tatapan wanita itu tajam sekali. Setiap pria yang mendapat lemparan selendang hijaunya langsung mendusel-dusel ingin menciumnya, akan tetapi dia menghindarinya dengan lihai dan elegan. Penari itu banjir dengan saweran. Pria yang pemalu menaruh saweran di mahkotanya atau diberikan ke tangan wanita itu. Tetapi tak sedikit pria yang dengan lancangnya menaruh uang saweran di mulut wanita itu bahkan ada yang menaruh di dalam kemben yang ia pakai. Para penontonpun bersorak sorai, musik dimainkan dengan lebih keras dan atraktif.
Dalam penerangan lampu petromak acara berlangsung dengan semarak sekali. Namun, tiba-tiba lampu petromak padam, suara hening seketika, orang-orang yang tadinya ramai lenyap begitu saja, yang terdengar hanya suara jangkrik. Samar-samar terlihat kain putih melayang, semakin lama semakin mendekat ke arahku, mendekat ... dan mendekat .... Aku memicingkan mataku supaya dapat melihatnya lebih jelas kain apakah itu? Dan kini saat kain itu sudah tepat di depanku, aku baru menyadari kalau itu bukan kain melainkan seseorang berbaju putih, berambut panjang, bermata lebar, dan berwajah seram. Sosok yang sudah sangat saya hafal sekali. Iya, dia adalah si Kuntilanak itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika tangan si Kunti tiba-tiba di arahkan ke leherku, kedua mata kami saling menatap. Saat itulah aku benar-benar dapat melihat betapa seramnya wajah si Kunti. Dan aku pun berteriak.
"Toloooooooooooooooong!!!" Tenggorokanku sakit sekali saking kerasnya berteriak. Aku merasa badanku digoyang-goyangkan.
"Bangun, Im! Bangun!"
Aku terbangun. Ternyata aku baru saja bermimpi buruk. Ibulah yang menggoyang-goyangkan badanku.
"Kamu mimpi buruk, ya? Makanya sebelum tidur berdoa dulu!"
"Iya, Bu. Tadi aku kecapekan habis cari jamur sama Irwan jadi lupa nggak berdoa dulu."
"Ya sudah, sana cepat mandi! Sudah sore. Nanti Asarnya keburu dicolong kuntilanak."
"Ibu ada-ada saja."
Mendengar Ibu berkata kuntilanak, aku merasa seperti deja vu. Ealah, baru ingat kalau aku habis mimpi mau dicekik kuntilanak penunggu rumpun bambu Mbah Arni.
Betapa kuat efek mimpi buruk itu sampai-sampai di kamar mandi aku masih terbayang-bayang sama si Kunti. Apalagi ketika harus menyiram air ke mukaku seolah-olah nanti pas airnya sudah turun dari mukaku, si Kunti akan berdiri di depanku dengan wajah seramnya. Untuk menghilangkan rasa takut, aku pun bersenandung.
"Pelok temor, Lek ..."
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ahnafal Wafa Tsaqifa
menakutkan
2022-12-04
0
Momo R
kdang yg seram2 smpai seharian terbawa, brsa takut mau apa2in. mknya klo pas bca novel yg horor tepat mlm jumat gni aku gk mau trllu menghayati takutnya horor sndri 😂
2022-11-10
0
Momo R
kdang yg seram2 smpai seharian terbawa, brsa takut mau apa2in
2022-11-10
0