Sebagian anak tidak percaya dengan kejadian yang menimpa aku dan Parto malam itu, tetapi sebagian yang lain percaya. Bahkan isu adanya hantu tersebut dengan cepat menyebar ke kalangan orang dewasa. Bibiku, Lek Nisa pagi harinya mewawancaraiku,
"Im, aku dengar kamu tadi malam ketemu hantu di sungai, ya?" tanya Lek Nisa.
"Iya, Lek. Aku dan Parto sampai ketakutan tadi malam nggak bisa tidur," jawabku.
"Aku juga pernah loh ngalamin kayak kamu," ujar istri Lek Didik itu dengan wajah tegang.
"Oh iya tah, Lek?" Aku penasaran.
"Iya. Seminggu yang lalu, pas aku beol di sungai diantar Lek Didik (suaminya), tiba-tiba ada kain putih bergelantungan di pohon nangka, " lanjut perempuan tambun itu.
"Kain putih gimana, Lek? Ada wajahnya begitu?" Aku semakin penasaran.
"Tidak. Kain putih tersebut hanya berupa buntelan panjang seukuran orang dewasa, berayun-ayun begitu saja seperti buah nangka," pungkasnya.
"Terus gimana, Lek? Apa sampean nggak takut?" tanyaku sambil bergidik ngeri.
"Jangan ditanya kalau aku, Im. Aku langsung nggak kuat bergerak, aku jadi gagap mendadak. untung saja Lek Didikmu tanggap. Dia melompat ke arah sungai ke tempat aku duduk, dia mengusapkan air ke wajahku sambil membaca-baca doa, dia juga yang melempari buntelan putih itu dengan batu sambil membaca takbir hingga buntelan itu menghilang, " jelasnya.
"Serem sekali, Lek. Lek Didik kok berani, ya?" Aku masih merinding.
"Kalau dia nggak usah ditanya, lha wong kerjanya tiap malam mengairi sawah sendirian. Pasti ia sudah sering ketemu begituan. Kalau dia nggak berani, ya, nggak bisa kerja, lah" tegasnya.
Malam harinya
Aku tetap mengaji, tetapi tidak pergi ke sungai. Aku masih takut bertemu dengan penampakan Mbah Jun kemarin.
Setelah menunggu kurang lebih limabelas menit, anak-anak hampir semuanya sudah kembali dari sungai, baik laki-laki maupun perempuan. Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah sungai.
"Tolooooong!!!!! Toloooolong!!!!!" terdengar teriakan anak perempuan dari arah sungai.
Semua anak berlarian menuju sungai, penghuni rumah di sekitar sungai juga keluar dari rumah mereka menuju sungai. Akupun ikut berlari bersama anak-anak. Sesampai di lokasi, kami baru mengetahui ternyata yang berteriak adalah Yuli dan Anik, kakak beradik teman mengajiku. Mereka berdua tidak berada di sungai yang biasa kita gunakan untuk berwudu, tetapi mereka agak ke utara sedikit, tepatnya berada di bawah pohon nangka yang diceritakan Lek Nisa pagi tadi.
"Ada apa kok teriak-teriak, Nduk?" tanya Lek Tik, penghuni rumah di sebelah kiri jalan setapak.
"I-i-i-ini Lek .... Aku dan Yuli tadi habis berwudu, tanganku ditarik sama Yana menuju ke langgar, kita ikuti saja, tapi kami merasa kok nggak nyampek-nyampek, dan secara tiba-tiba Yana sudah nggak ada. Anehnya lagi, kita bukannya sampai ke langgar, malah ternyata kita ada di sini, " jawab Anik terbata-bata. Sementara Yuli, adiknya masih menggigil ketakutan.
"Astaghfirullah! Ayo, kita kembali ke langgar!" kata Mbah Nur sambil mengusap kedua wajah dan kepala mereka berdua.
Anak-anakpun kembali lagi ke langgar bersama Mbah Nur meninggalkan orang-orang dewasa yang tetap berbincang di tempat tersebut. Mungkin sebagian dari mereka ada yang tidak percaya dengan cerita Anik dan Yuli dan menganggap itu sebagai keisengan anak kecil saja. Tetapi saya yakin sebagian yang lain ada yang percaya.
Selesai salat Isya, Mbah Nur berpesan kepada anak-anak bahwa besok akan diadakan doa bersama di langgar. Jadi, anak-anak diminta membawa berkat (kotak nasi). Sebelum pulang, Mbah Nur berbisik di telingaku dan Parto.
"Besok malam ikut saya!"
"Inggih, Mbah, " jawab kami pelan dengan penuh tanda tanya.
Keesokan Harinya
Seperti biasa, pukul empat sore anak-anak sudah datang ke langgar dan bermain di halaman. Anak laki-laki bermain bentengan, sedangkan anak perempuan bermain bola bekel. Saat asik bermain bentengan, Mbah Nur memanggilku dan Parto ke rumah beliau.
"Apa teman-teman kalian tidak lupa kegiatan doa bersama hari ini?" tanya Mbah Nur.
"Mboten, Mbah. Anak-anak sudah membawa berkat masing-masing untuk acara nanti. Kecuali Yanto tidak membawa karena neneknya sakit." Jawab Parto.
"Kalau Yanto memang seharusnya tidak usah membawa berkat. Dia itu anak yatim. Justru nanti dia salah satu yang akan diberi berkat," ucap guru ngaji kita itu.
"Inggih, Mbah" jawabku.
"Nanti selesai doa bersama, Kalian berdua bantuin saya, ya?" seloroh Mbah Nur kemudian.
"Bantuin nopo, Mbah?" tanya kita kompak.
"Kita ke rumah Mbah Mi, " jawab Mbah Nur.
"Mbah Mi yang rumahnya di sebelah Mbah Jun?" tanyaku sedikit heran.
Mataku tertuju ke Mbah Nur dan berakhir bertemu dengan mata Parto. Kita sama-sama bertanya-tanya dalam hati.
"Iya. Kita ke sana mengantar berkat dan bersilaturahmi. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengannya." Ujar Mbah Nur.
Aku dan Parto semakin kebingungan.
"Kalau hanya ingin bersilaturahmi dengan Mbah Mi, mengapa harus mengajak kami? Pasti ada sesuatu hal yang penting yang masih dirahasiakan Mbah Nur, tapi kami berdua sungkan untuk menanyakannya."
Kegiatan doa bersama malam itu berjalan dengan lancar. Mbah Nur mengatakan bahwa doa bersama tersebut digelar sebagai wujud syukur, kita masih diberikan kesempatan untuk belajar mengaji bersama. Selain itu, juga untuk mendoakan para leluhur kampung, terutama yang sudah babad alas kampung ini, serta memohon kepada Allah SWT supaya warga kampung ini terhindar dari mara bahaya dan gangguan apapun serta diberikan kekuatan iman dan Islam.
Setelah selesai doa bersama, sebagian berkat dibuka di langgar untuk dimakan bersama oleh anak-anak, sebagian yang lain dibagikan kepada warga sekitar. Anak-anak berbagi tugas untuk membagikan berkat-berkat tersebut, untuk rumah Mbah Jun dan Lek Tik, anak-anak memilih berangkat bersama-sama. Mbah Nur meminta anak-anak yang besar yang berangkat ke rumah Mbah Jun dan Lek Tik. Sekitar lima orang yang berangkat ke sana, kita yang di langgar mendengar lima anak tersebut sepanjang jalan setapak berselawat ria, pasti mereka sengaja melakukannya untuk mengusir rasa takut. Bahkan ketika mengucap salam di rumah Mbah Jun, mereka mengucapkan salam bersama-sama dengan suara keras. Ya, saking kerasnya, aku juga mendengarnya dari langgar ini. Ketika mereka kembalipun, napas mereka terlihat ngos-ngosan. Mungkin karena mereka habis berlari.
"Gimana, tadi keliatan lagi?" tanya Irwan kepada mereka yang baru datang.
"Alhamdulillah. Nggak ada, Wan. Lebih tepatnya kami nggak tolah-toleh karena takut, " jawab Cak Hafid, salah satu anak yang paling besar di antara kami.
"Semua tetangga sudah dikasih, Fid?" tanya Mbah Nur.
"Alhamdulillah, sudah Mbah. Cuma Bu Sinta yang menolak, alasannya sekeluarga nggak bisa makan makanan orang mati." Jawab Cak Hafid lagi.
"Loh, ini kan bukan selamatan orang mati?" ucap Mbah Nur.
"Iya Mbah, sudah saya bilang begitu, tapi mereka tetap menolak. Katanya biar dimakan anak-anak santri saja," jawab Cak Hafid. Mbah Nur manggut-manggut.
"Ayo, kita mulai makan bareng! Jangan lupa baca doa dulu," kata Mbah Nur menghentikan obrolan kami.
Anak-anakpun langsung bergerombol menyantap berkat bersama-sama. Laki-laki membentuk lingkaran sendiri, perempuan juga melakukan hal yang sama. Jika sudah makan bareng begini, kami bisa melupakan segala hal. Bahkan kisah tentang hantu pohon nangka tersebut.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Rahma Hayati
jadi rindu masa kecil>< keyeeen
2023-08-19
1
Rahma Hayati
❤
2023-08-16
0
Rini
jadi ingat waktu pulang ngaji lewat lalang lalang ada rumah kosong klau udah mau lewat disitu lansung ambil ancang-ancang buat lari duluan🤭🤭🤭
2023-01-18
0