Siang harinya, setelah azan Zuhur ibu-ibu beramai-ramai pergi ke rumah Mbah Kardi, dukun yang cukup terkenal di kampungku. Rumahnya berada di ujung sebelah tenggara, dekat dengan sawah. Melihat ibu-ibu berjalan beriringan, banyak anak-anak yang mengikuti dari belakang termasuk aku dan Parto.
"Permisi."
"Silakan masuk! Gantian dua orang dua orang, yang lain tunggu di luar!" jawab Cak Pandir selaku keponakan dan asisten Mbah Kardi.
Ibu-Ibu pun mengikuti arahan Cak Pandir. Tampak Bu Hendra dan Bu Hari masuk ke ruangan praktek Mbah Kardi lebih dahulu. Entah apa yang mereka lakukan di dalam ruangan itu, tidak ada yang tahu karena ruangan tersebut dijaga ketat oleh Cak Pandir. Kurang lebih limabelas menit kemudian Bu Hendra dan Bu Hari keluar dari ruangan tersebut dengan wajah berseri-seri. Giliran Bu Mila dan Bu Inggrid yang disuruh masuk ke dalam ruangan.
"Dikasih apa saja bu sama Mbah Kardi?" tanya Bu Neni.
"Beda-beda, Bu Neni. Aku dikasih jimat berupa kalung, kalau Bu Hari dikasih jimat berupa gelang." Jawab Bu Hendra.
"Lo, kok bisa beda begitu?"
"Menurut Mbah Kardi disesuaikan dengan aura orang yang memakainya, sih. Supaya efek jimatnya lebih kuat. Aku juga minta jimat untuk anak-anakku."
"Loh, bapaknya anak-anak nggak dimintain juga?"
"Hus .... Kalau sampai bapaknya anak-anak tahu aku ke sini bisa dimarahi habis-habisan aku nanti."
"Oooo ... begitu"
"Bayar berapa tadi?"
"Enggak kok, Mbah Kardi nggak 'narif, kita 'ngasih seikhlasnya saja. Aku 'ngasih duapuluh tadi."
Menjelang sore ibu-ibu sudah dilayani semuanya oleh Mbah Kardi. Aku dan Parto sudah beranjak akan pulang ketika tiba-tiba seseorang memanggilku, setelah kutoleh ternyata yang memanggilku adalah Mbah Kardi sendiri.
"Kalian berdua enggak minta jimat?"
"Hm .... Mboten Mbah, mboten gadah yotro (Tidak, Mbah, tidak punya uang)." Jawabku ngasal.
"Sini ikut Mbah! Mbah kasih gratis buat kalian berdua."
Karena 'nggak enak hati, kami pun ikut masuk ke ruangan Mbah Kardi. Akhirnya kami tahu apa yang ada di dalam ruangan itu. Di meja nampak beberapa jenis bunga dan keris, ada juga kemenyan yang sedang dibakar, sementara di dinding ada beberapa tulisan-tulisan yang tidak kami mengerti maknanya, ada tulisan jawa, huruf-huruf arab, dan tanduk hewan. Dengan penerangan minim ruangan itu terasa nuansa mistisnya.
"Ini kalung buat kalian berdua."
"Apa isinya, Mbah?"
"Isinya macem-macem, Le. Untuk keselamatan kalian berdua biar nggak diganggu Lastri."
"Ini boleh dilepas, Mbah?"
"Dilepas hanya waktu pipis atau eek saja."
"Terima kasih, Mbah."
Setelah bersalaman kami pun pulang. Ketika agak jauh dari rumah Mbah Kardi sayup-sayup aku mendengar suara tawa seseorang dari dalam rumah Mbah Kardi.
*
Malam harinya setelah salat Magrib, aku dan Parto ikut tahlilan lagi di rumah Mbah Arni. Seperti biasa berangkat dan pulangnya bareng bapak-bapak tetangga. Sampai di rumpun bambu Pak Suwarno, Parto berbisik di telingaku.
"Im, gimana kalau kita coba keampuhan jimatnya?"
"Maksudmu gimana?"
"Ayo, kita lepas sebentar kalungnya sambil menoleh ke rumpun bambu itu!"
"Oke, To"
"Satu ..."
"Dua ..."
"Tiga ..."
Kami mengangkat kalung tersebut ke atas kepala sambil menoleh ke arah kiri. Hampir copot jantungku ketika dengan tiba-tiba di rumpun bambu itu berdiri sesosok Lastri lengkap dengan baju putih panjang dan rambut gimbalnya, sementara matanya yang ****** melotot ke arah kami.
"Ya Tuhan ...," teriakku sambil kembali melepaskan pegangan pada kalungku sehingga kalung itu kembali terpasang di leher. Ajaibnya sosok menyeramkan itu kembali lenyap dari pandangan.
"Ternyata jimat ini ampuh, Im."
"Iya, To. Hampir copot jantungku tadi. Lastri tiba-tiba nongol tanpa permisi."
Kami pun melanjutkan perjalanan pulang bersama bapak-bapak tetangga.
"Im, aku nginep di rumahmu lagi, ya?"
"Oke .... Ayo, langsung ke rumah aja sudah ngantuk!"
Sesampai di rumah
"Bu, Aku mau tidur. Parto nginep di sini lagi."
"Boleh. Tapi sholat Isya' dulu sebelum tidur!"
"Hm... Sudah tadi. Iya, sudah sholat tadi."
"Dimana ? Kan baru masuk Isya'?"
"Maksudnya sudah barusan di rumah Parto."
"Oalah... ya, sudah selamat tidur. Jangan lupa berdoa!"
Kami pun masuk ke kamar, tidak enak sebenarnya berbohong kepada Ibu tapi mau gimana lagi rasa ngantuk begitu kuat menyerang. Jangankan salat Isya, berdoa sebelum tidur sudah lupa dilakukan. Begitu menggelar selimut di kolong tempat tidur, kami berdua langsung terlelap. Sepertinya Lastri takkan datang malam ini.
Sebelum subuh sebenarnya aku sudah terbangun tetapi karena cuaca terasa dingin dan masih mengantuk aku pun tidur kembali. Aku baru bangun saat ibu mengetok pintu kamar, kembali kubohongi ibu bahwa aku sudah salat, dan kami pun melanjutkan tidur sampai kita kesiangan,
"Ayo bangun! Saatnya sekolah."
"Iya, Bu. Kami pun bergegas mandi dan berangkat ke sekolah"
*
"Tumben telat datangnya, nih? Biasanya kalian datang pagi." Sapa Juwari.
"Badan sakit semua, Ri."
"Oalah. Dengar-dengar tadi malam Lastri datang lagi."
"Iyatah, Ri. Siapa yang didatangi?"
"Bu Siska."
"Bu Siska, ibunya Anik dan Yuli?"
"Iya. Tadi malam habis bantuin Mbah Arni, Bu Siska pulang. Dia lihat Anik dan Yuli sedang tidur di kamar. Dia ciumi kedua anaknya tersebut dan dia pasang selimut pada kedua anaknya. Kemudian, Bu Siska berjalan ke dapur karena haus. Sesampai di dapur ia terkejut."
"Terkejut kenapa?"
"Ternyata Yuli dan Anik ada di dapur sedang bantuin bapaknya membungkus kerupuk untuk dijual."
"Terus?"
"Bu Siska syok, bingung. Entah mana yang asli dan yang jadi-jadian? Akhirnya dia berjingkat-jingkat mundur menengok ke kamar kembali dan benar saja, Ana dan Yuli yang semula dilihatnya sedang tidur sudah tidak ada di sana lagi, yang ada Lastri dengan mata melototnya."
Juwari melanjutkan ceritanya.
"Irwan juga nggak masuk hari ini."
"Kenapa dia?"
"Badannya panas, kata ibunya tadi malam Irwan tidur dikeloni Lastri."
"Kok bisa?"
"Iya. Pulang dari tahlilan Irwan kan mau tidur, dilihatnya ibunya ada di kamar. Jadi, dia langsung naik ke kasur memeluk ibunya. Semenjak banyak orang diteror Lastri, Irwan memang tidur sama ibunya. Irwan pun terlelap sambil memeluk ibunya, tapi tiba-tiba Irwan mendengar suara gedoran keras di pintu dilanjutkan dengan suara keras ibunya dari luar rumah. Irwan pun tersentak kaget, kalau yang menggedor-gedor pintu adalah ibunya terus siapa yang sedang ia peluk? Dalam kebingungannya ia melepaskan pelukan terhadap ibunya, setelah diamati yang ia peluk memang bukan ibunya, rambut ibunya tidak segimbal itu. Bajunya pun tidak sekumuh itu, sosok di depan Irwan pun menoleh ke arahnya dan memperjelas pandangan Irwan bahwa yang sedang di depannya adalah Lastri. Irwan pun berteriak ketakutan dan berlari ke arah pintu membuka pintu dan memeluk ibunya."
"Ya ampun. Kasihan Irwan. Untung kami pakai ini."
"Apa itu?"
"Jimat dari Mbah Kardi."
"Mbah Nur kan melarang kita pakai jimat?"
"Mbah Nur kan nggak tahu kita pakai jimat"
"Iya. Tapi ..."
"Ya, sudah kamu jangan bilang-bilang sama Mbah Nur."
"Aku akan bilang sama Mbah Nur."
"Awas kalau kamu sampai bilang ke Mbah Nur!" Ancam Parto sambil memegang kerah baju Juwari.
"Kalian kenapa berubah seperti ini?" suara Juwari lirih.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Momo R
gra2 pke jimat juga jdi malas sholatnya, terus suka berbohong. efek negatifnya bnyak bngt
2022-11-11
1
Resy
aduh kenapa pake jimat...
gak boleh !!! itu syirik namanya...
2022-06-21
0
Rena Nia
gara"jimat im sama parto jadi bohong sama ibunya dan dia udah berani ga sholat....btw yg ketawa dirumah dukunnya itu siapa ya
2021-06-30
2