Ketika ayam jantan berkokok dan matahari mulai menampakkan sinarnya, pada saat itulah kampungku terlihat hidup. Penghuni kampung mulai melakukan aktifitasnya masing-masing. Para bapak kebanyakan bekerja di sawah entah sawahnya sendiri atau jadi buruh tani, sebagian ada yang ke kota menjadi kuli bangunan. Sedangkan para ibu hampir rata-rata mengurus rumah tangga sambil membantu suaminya di sawah.
Letak kampung kami sebenarnya juga cukup strategis yaitu menghubungkan beberapa kampung di sekitarnya, dan juga ada akses jalan ke kota meskipun kondisi jalannya jauh dari kata layak. Jalan di kampung kami masih berupa tanah, belum pernah tersentuh aspal sama sekali. Supaya tidak licin, pada bagian-bagian tertentu sengaja ditata batu-batu berbagai ukuran. Orang-orang menjuluki jalan di kampung kami dengan sebutan 'Jalan Tol' alias Tol-Ngantol, yang dalam bahasa madura berarti terlempar kesana kesini. Ya, kalau melewati beberapa bagian jalan di kampungku memang akan bikin kita terlempar ke kiri, ke kanan, ke depan, dan ke belakang karena saking banyaknya batu-batu itu. Jarak satu kilometer ke jalan raya bisa-bisa ditempuh lebih dari tigapuluh menit. Karena kondisi jalan yang tidak mulus itu banyak orang kampung sebelah lebih memilih jalur memutar meskipun lebih jauh. Tetapi ada saja penghuni kampung sebelah yang lewat di sini pada siang hari. Kalau sudah surup, jalan ini kembali menjadi sepi. Paling-paling yang lewat hanya warga sini sendiri.
Di sekolah, aku menceritakan kejadian tadi malam kepada Juwari. Ia terkejut dan meminta maaf karena sudah memposisikan aku dan Parto dalam bahaya, dia juga bilang lebih baik sementara libur mengaji dulu untuk menghindari sesuatu yang buruk terjadi. Aku hanya bisa terdiam mendengar keputusannya, berat, iya, tetapi sampai saat ini, aku belum punya solusi terbaik untuk memecahkan masalah tersebut.
"Tadi malam hantu kelapa itu datang lagi, Im?" ujarnya tiba-tiba.
"Apa? Kenapa bisa begitu? Bukankah di rumahmu ada banyak orang? Kenapa dia berani muncul?" Aku nyerocos saja.
"Aku awalnya juga berpikir begitu, pikirku ia hanya muncul kalau ibuku sendirian di rumah. Ternyata tidak," jawabnya lirih. Kemudian ia melanjutkan perkataannya.
"Beberapa waktu setelah kamu pulang, ibu menyuruh adik mengambil buah kelapa di kolong tempat tidur karena mau dikupas oleh ayah. Adik mengambil dua buah kelapa dari kamar orang tuaku dan ia menjinjing bagian tangkai kelapa dengan tangan kiri dan kanannya, kemudian dibawa ke dapur dimana ibu dan ayahku sudah menunggunya. Dan di sanalah ibuku histeris melihat dua benda yang sedang dibawa adikku. Ternyata bukan kelapa, melainkan kepala yang berlumuran darah."
"Ya Allah .... Benarkah yang Kamu ceritakan, Ri?" Aku memotong ceritanya.
"Iya, Im. Adikku lebih kaget lagi, ia gemetar begitu melirik pada apa yang ia bawa. Ternyata dua kepala manusia yang berlumuran darah, tanpa terasa kedua kepala itupun terjatuh dari tangannya menggelinding ke arah bapak. Adikku pingsan seketika saat itu. Sedangkan bapak langsung mencabik-cabik kedua kepala itu dengan parang yang ia pegang," cerita Juwari dengan berapi-api.
"Terus?" kataku penasaran.
"Aku yang menyadarkan bapak dari kemarahannya sehingga bapak sadar bahwa ia tidak sedang menghancurkan dua buah kepala hantu karena kepala-kepala itu telah berubah kembali menjadi kelapa. Kelapa itu hancur menjadi potongan kecil-kecil dan bertebaran di lantai tanah," imbuhnya.
Aku terkesiap dan meringis ngeri mendengar cerita Juwari.
"Adikmu nggak apa-apa, kan, Ri?"
"Adikku sakit, badannya panas, sekarang ia tidak masuk sekolah."
Ada kegetiran dan kekhawatiran yang menyeruak di hatiku memikirkan kejadian-kejadian pada keluarga temanku ini.
"Aku harus berbuat sesuatu. Aku tidak boleh berdiam diri saja. Aku harus minta pertolongan Mbah Nur." Aku berkata pada diriku sendiri.
"Seandainya tidak ada malam, kampung kita ini seperti surga, ya, Im?" ucap Juwari tiba-tiba.
"Hus, Nggak boleh ngomong gitu, Ri. Kita nggak boleh kufur nikmat," jawabku sambil memukul pelan pundaknya.
Pulang sekolah, setelah mengganti baju dan sholat dhuhur, aku dan Parto pamit kepada orang tua kami untuk pergi ke kediaman Mbah Nur. Untuk sampai di rumah Mbah Nur, kita melewati rumpun bambu di timurnya rumah Pak Suwarno. Seperti biasa, pada siang hari tidak ada aura mistis sama sekali yang kami rasakan saat melewatinya.
Ternyata Mbah Nur sedang duduk-duduk sambil membaca sesuatu di ruang tamunya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, silakan duduk. Ada perlu apa, tumben siang-siang sudah ke sini?"
"Begini, Mbah ..."
Kamipun menceritakan semua kejadian yang menimpa kami dan keluarga Bapak Satar tadi malam. Mbah Nur mendengarkan cerita kami dengan penuh antusias dan sesekali beliau mengangguk-angguk pelan. Entah apa yang beliau pikirkan saat itu. Kami juga menyampaikan keinginan untuk membantu keluarga Bapak Satar, tentunya dengan bantuan Mbah Nur.
"Gimana, Mbah? Apakah kita bisa menolong mereka?" tanya Parto di akhir cerita.
"Harus, Le. Mereka harus kita tolong dengan segenap kemampuan yang kita miliki," jawab Mbah Nur menenangkan kita.
"Ayo, kita ke rumah Bapak Satar sekarang," kata Mbah Nur sambil bersiap-siap.
"Nyi, nanti kalau malam saya belum datang, suruh Santo mengajari anak-anak ngaji ya! Saya mau ke rumah Satar, penting!" teriak Mbah Nur kepada istrinya.
"Injih, Ji," sahut istri Mbah Nur yang biasa kami panggil Mbah Putri.
Berangkatlah kami ke rumah Pak Satar. Sesampai di sana mereka menyambut kedatangan kami dengan gembira.
"Sini Nduk, ceritakan sejujurnya sama saya! Sebenarnya apa yang terjadi, kok bisa hantu kelapa itu mengganggu kamu terus?" kata Mbah Nur yang dulu adalah guru ngaji Bu Satar waktu masih kecil.
"Begini, Pak Kyai. Eeee ...," jawab Bu Satar ragu-ragu.
"Ayo, jawab yang jujur! Supaya kami bisa membantumu," cecar Mbah Nur.
"Anu, Pak Kyai .... Hantu kelapa itu muncul setelah saya mengambil buah kelapa di kuburan sebelah SD," jawab Bu Satar dengan wajah memerah, mungkin karena malu dan takut.
"Lah, bener, toh? Jangan malu-maluin gurumu, loh, Nduk! Apalagi anak-anakmu sudah besar, masak kamu nggak malu sama mereka?" lanjut Mbah Nur.
Kami yang lain hanya diam memperhatikan percakapan mereka. Bu Satar semakin tertunduk malu.
"Kenapa sampai mencuri kelapa toh, Nduk? Apa suamimu nggak ngasih kamu uang belanja? Sak piro, sih, regone kelopo, Nduk?" tanya Mbah Nur lagi.
"Dikasih, Mbah. Waktu pulang dari sawah habis bantu bapaknya anak-anak, saya haus dan kebetulan pas lewat kuburan kok ada kelapa gading, saya ambil dua buah, yang satu saya minum sendiri airnya, yang satunya saya bawa pulang diminum sekeluarga, daging buahnya dibuat serondeng," jawab Bu Satar jujur.
"Iya, bener, wes. Akhirnya sekeluarga diteror hantu kelapa. Kamu masak nggak ingat, Nduk? Dulu waktu kamu masih ngaji ke saya. Bu Marni yang rumahnya di baratnya langgar sedikit sampai sawanen sekeluarga gara-gara mencuri jeruk bali di kuburan?" ucap Mbah Nur lagi.
"Injih inget, Pak Kyai" jawab Bu Satar.
"Begini, Nduk. Buah kelapa itu miliknya tanah kuburan, jangan ambil-ambil sembarangan! Takutnya pas kamu ngambil, yang jaga nggak terima. Nah, ini beneran kejadian ke kamu. Masyarakat sudah sepakat setiap hasil panen di tanah kuburan akan ditabung. Rencananya dananya mau digunakan untuk membangun mesjid. Kamu nggak ingin, tah, kampungmu ini punya masjid sendiri? Pak Suwarno sedang pendekatan ke orang-orang yang tanahnya luas di kampung kita ini." Mbah Nur terus menasehati Bu Satar.
"Injih, Pak Kyai. Apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan saya?" tanya Bu Satar.
"Nomer satu kamu harus taubatan nasuha. Ganti uang kelapa yang Kamu curi itu segera! Titipkan ke Pak RT. Kalau bisa dilebihkan, mohon ampun sama Allah. Jaga ibadahmu dan keluargamu. Banyak-banyak zikir, baca Al-Qur'an, dan kalau bisa jangan lepas dari wudu, serta jangan lupa tawakal."
"Terimakasih, Pak Kyai."
"Mumpung sudah azan Asar, ayo, salat jamaah bareng di sini! Kemudian kita mengaji bersama untuk keselamatan kita semuanya."
Kamipun bergantian berwudu. Setelah mengaji bersama, nampak keceriaan di keluarga Bapak Satar telah kembali. Kondisi Satuni juga sudah mulai membaik.
"Terimakasih ya, Im ... To ... kalian sudah mengajak Mbah Nur ke sini," kata Juwari.
"Sama-sama, Ri. Ini semua kami lakukan supaya kita bisa mengaji bersama lagi di langgar Mbah Nur," jawab Parto.
Kami bertigapun berpelukan. Setelah itu kami pun meninggalkan rumah Juwari melalui gedung KUD, rumpun bambu Mbah Arni, dan rumpun bambu Pak Suwarno. Tidak ada rasa ketakutan seperti tadi malam, karena masih sore apalagi bareng Mbah Nur.
" Ups, nggak boleh menggantungkan diri kepada manusia kata Mbah Nur, ding."
"Mbah, siapa sebenarnya yang menyerupai sosok Pak Suwarno malam itu dan menolong kami dari tangan kuntilanak?" tanya Parto.
"Mbah juga nggak tahu, Le. Bisa jin, bisa juga .... Yang jelas bersyukurlah kepada Allah subhanahu wata'ala yang sudah menyelamatkan kalian berdua," jawab Mbah Nur.
Kami mengangguk-angguk saja.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
hanung wahyuningsih
lanjutkan
2023-01-01
0
Ahnafal Wafa Tsaqifa
lanjut
2022-12-04
0
Ratna Wati
inget dulu.. pas mati lampu.. tpi padang wulan.. keluar main rokumpet.. q ngumpet mpe lama.. kok ga di temuin".. pdahal masih rame anak" main.. pas q keluar.. eehh ternyata yg main itu para lelembut thor.. temen q semua dah pda pulang.. langsung wae kiprit blik wes.. dasar temen kaga punya akhlak emang..
2022-07-02
2