Sehabis magrib aku dan Parto ikut acara tahlilan mendoakan arwah Cempaka di rumah Mbah Arni. Berangkat dan perginya kami sengaja bareng orang-orang supaya tidak diganggu arwah Lastri. Setiap melewati rumpun bambu Pak Suwarno, kami memilih berjalan di sebelah selatannya orang-orang supaya tidak terlihat oleh Lastri yang mungkin sedang melotot di sana.
Halaman rumah Mbah Arni sekarang tidak terlihat seram lagi semenjak semua pohon bambunya ditebang oleh polisi dibantu warga.Terlebih pagar hidup yang dipinggir jalan juga dipangkas pendek oleh warga. Dari jalan di depan SD, jika melihat ke arah barat, gedung KUD sudah terlihat dengan jelas.
Dengan dipimpin oleh Mbah Nur acara doa bersama menjadi khusyuk dan khidmat. Sementara bapak-bapak berdoa bersama, ibu-ibu membantu Mbah Arni menyiapkan sajian di belakang. Acara selesai menjelang isya. Para bapak membubarkan diri meninggalkan rumah Mbah Arni, sepanjang jalan pulang mereka mengobrol.
"Saya dengar-dengar Haji Arman mau mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid."
"Oh, ya? Tanah yang mana?"
"Tanah yang di depan rumah Pak Suwarno."
"Wah, bagus kalau begitu. Selain luas lokasinya juga sangat strategis pas di pinggir jalan, di pertengahan kampung juga."
"Iya, sih. Tapi, kata istri saya kalau masjidnya di situ, ibu-ibu takut yang mau sholat di sana?"
"Loh, takut kenapa memangnya?"
"Kata mereka, sih, takut lewat rumpun bambu itu? Takut ketemu hantu Ibunya Si Rosid"
"Ada-ada saja."
"Namanya juga ibu-ibu. Tapi, ada benarnya juga, sih, rumpun bambu itu terlihat angker"
"Gimana kalau kita bilang ke Pak Suwarno supaya pohon bambu itu ditebang supaya terlihat terang seperti di depan rumah Mbah Arni tadi?"
"Iya, setuju kalau begitu"
Kami berdua menguping pembicaraan bapak-bapak itu, ada perasaan senang juga seandainya pohon bambu itu nanti benar-benar ditebang jadi arwah Lastri tidak tinggal di sana lagi.
Aku tidak pulang ke rumah tapi mampir ke rumah Parto, aku berniat mengajak Parto menginap di rumah karena aku sudah janji sama ibu mau tidur di kamarku sendiri jadi enak aku bisa tidur ditemani sahabatku ini.
"To, tidur bareng di rumahku, yuk?"
"Oke. Aku ganti baju dulu, ya?"
"Oke."
Aku menunggu Parto di ruang tamunya.
"Bapakmu tadi ikut tahlilan juga, To?"
"Iya. Tapi mungkin nggak langsung pulang, masih ngobrol-ngobrol di sana"
"Bu... Nggak usah repot-repot! Aku cuma sebentar kok."
"Kamu ngobrol sama siapa, Im?"
"Ini, ibumu mau ngasih saya minuman."
"Nggak usah bercanda, Im."
"Maksudmu apa, To?"
"Ibuku dan ibumu kan masih di rumah Mbah Arni bantu-bantu cuci piring"
"Trus ini siapa, To? To ..."
Aku mulai gemetaran, siluet hitam seorang perempuan yang seperti memegang nampan sedang berjalan dari dapur menuju tempatku duduk.
[BRUAAAAAAAK]
"Ayo, lari, Im!"
Parto membanting pintu kamarnya keras-keras dan menarik tanganku untuk berlari ke luar. Untunglah temanku ini menarikku di saat yang tepat. Kalau tidak, pasti perempuan itu sudah berhasil mendekatiku.
Berlari secepat itu tak ayal membuat kami ngos-ngosan.
"Jam segini Lastri sudah beraksi, Im"
"Gimana, nih, To? Kita masuk ke dalam rumahku atau kita berdiri di luar rumah seperti ini dulu sambil menunggu bapak ibuku datang?"
"Di luar rumah juga bahaya, Im. Soalnya nggak ada orang sama sekali. Kalau Lastri datang kita mau lari kemana lagi, sana sini sama-sama gelap. Lari ke rumah Mbah Arni terlalu jauh."
"Trus gimana, To"
"Aku ada ide."
"Apa?"
Parto berbisik di telingaku. Kita pun masuk ke dalam rumah dan mematikan semua lampu di dalam rumah. Alhasil rumahku menjadi gelap sekali bahkan kami tidak bisa melihat apa-apa lagi. Kami berpegangan tangan dan berjalan merangkak. Dengan insting sampailah kami di kolong tempat tidurku.
"Kita harus terus berpegangan tangan, Im"
"Oke."
"Setelah ini kita nggak boleh ngomong apa-apa lagi, kita cukup diam saja sambil menunggu bapak ibumu datang."
Kami pun merayap di bawah kolong tempat tidurku sambil berpegangan tangan erat sekali.
[KROMPYANG]
Terdengar suara benda jatuh dari arah dapur. Pikirku itu bisa saja karena tikus, kucing, atau Lastri. Terdengar bunyi derit pintu dapur dibuka. Aku dan Parto menjadi tegang tapi tetap tak bersuara. Pandangan kami tertuju pada arah pintu kamar yang sengaja kami biarkan terbuka supaya dikira tidak ada orang di kamar ini.
Meskipun pandangan kami memang tertuju ke pintu kamar, tapi sama saja tak terlihat apa-apa karena memang gelap sekali. Namun, tiba-tiba terlihat kain putih di pintu kamarku. Kain itu terbang masuk menuju ke arahku. Kami pun menahan napas, kain itu bergeser ke hulu dan ke hilir tempat tidurku. Terdengar bunyi barang-barang di kamarku dibanting ke lantai. Entah apa saja yang dibanting, dalam hatiku ingin menghajar sosok di balik kain putih ini yang berani mengacak-acak kamarku tetapi logikaku mengatakan, "Jangan!"
Kain putih itu terbang lagi ke luar kamar. Dari ruang tamu terdengar beberapa barang dijatuhkan,
"He he he he he ...." Suara kekehan wanita tersebut terdengar memekakkan telinga, kemudian diakhiri dengan dehaman yang menyeramkan. Mungkin dia marah karena mencari mangsanya nggak ketemu-ketemu. Kemudian, terdengar pintu kamar Bapak digedor-gedor dengan keras sebelum akhirnya terdengar pintu depan dibuka orang.
"Siapa itu?" teriak seseorang dari arah pintu yang ternyata adalah bapakku. Sorot cahaya senter mengarah ke dalam tepat ke pintu kamar Bapak.
[Gedebak ... gedebuk]
[Gedebak ... gedebuk]
Suara kaki bapak yang mengejar seseorang yang ia lihat.
"Jangan lari, kamu!"
[Praaaaaaang]
Terdengar sesuatu dilemparkan oleh bapakku.
"Mau kemana, kamu?"
Merasa aman kami pun keluar dari kolong tempat tidur.
"Pak, itu tadi bukan orang, tapi Lastri." Teriakku dari dalam kamar sambil berjalan menuju ruang tamu. Bapak menyorotkan senternya kearah kami.
"Bapak kan sudah bilang, kamu jangan mengada-ada. Jelas-Jelas tadi perempuan itu ada di sini menggedor-gedor pintu kamar, mungkin dia mau mencuri sesuatu. Pas Bapak kejar dia lari ke belakang." Bapak menyorot cahaya senter ke pintu arah dapur.
"Kalau memang manusia, kenapa grendel pintu itu bisa terpasang dari dalam, Pak?"
Bapak memegangi grendel pintu yang masih terpasang rapi. Dari sorot matanya beliau terlihat kebingungan.
"Nyalakan lampunya, Bu."
Setelah lampu templek dimatikan, ruang tamu menjadi terang benderang. Ibu geram melihat ruang tamu yang selalu ia tata rapi menjadi berantakan.
"Ya Tuhan, vas bunga kesayangan ibu pecah, Im. Awas, ya. Kalau ketemu pelakunya tak uyel-uyel. Duh, nggak tau ini belinya jauh banget di kota."
"Bu, kalau pelakunya Lastri gimana? Apa tetap mau diuyel-uyel?"
"Nggak peduli Lastri atau siapapun, ibu nggak peduli, tetap tak uyel-uyel"
"Ibu mau balas dendam?"
"Iya, Im. Ini sudah keterlaluan."
"Begini caranya kalau ibu mau balas dendam, tiap dengar aku teriak, ibu langsung datang ya nanti pasti ibu bisa ketemu sama pelaku perusak vas ibu."
"Kamu ini gimana, Im. Yang namanya mendengar anak teriak seorang ibu pasti langsung datang menolong tanpa pikir panjang lagi. Jadi, bukan karena vas bunganya." Kata Ibu sambil mengacak-acak rambutku.
"Tapi janji ya, bu?"
"Oke deh, janji."
Sekitar jam sembilan malam
"To, kamu sudah sholat Isya?"
"Belum. Kamu?"
"Belum juga"
"Ambil wudu yuk, di belakang!"
"Ayo!"
"Bapak dan ibu sudah tidur?"
"Sepertinya iya, Im"
"Aku duluan, ya?"
"Iya wes, tapi pintu kamar mandinya jangan ditutup, ya? Niar bisa saling mengawasi."
"Ogah, aku mau 'pis cur'. .asak kamu mau liat juga?"
Setelah aku menutup pintu kamar mandi.
"Tooooo ...."
Sepi tidak ada sahutan.
"Toooooooo .... Kamu masih di situ, kan?"
Tetap tidak ada sahutan. Karena merasa ada yang aneh aku berwudu dengan terburu-buru dan segera membuka pintu kamar mandi, tetapi Parto tidak ada di tempat ia menungguku tadi.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ahnafal Wafa Tsaqifa
up
2022-12-04
0
Rena Nia
aku kalo baca pohon bambu mbah arni ,pohon bambu pak suwarno ,kuburan,terus KUD sama SD tuh aku bingung thor😭
2021-06-30
2
nayla dahh itu nama w_-
Seram banget apalagi gue baca cerita ni sekita r jam 12 malam 😌😌
2021-06-01
2