Selesai acara makan-makan, anak-anak bersalaman dengan Mbah Nur dan pulang ke rumah masing-masing. Tinggal aku dan Parto di langgar Al-Ikhlas.
"Ayo, kita berangkat ke rumah Mbah Mi! Jangan lupa berkatnya dibawa!" ucap Mbah Nur.
"Monggo, Mbah, " jawab kami berdua.
Kami bertiga berjalan menyusuri jalan setapak. Mbah Nur berjalan di depan, aku dan Parto di belakangnya sambil berpegangan tangan. Kita sengaja tidak jauh-jauh dari Mbah Nur karena bersama beliau rasanya lebih tenang.
Seperti yang saya bilang, rumah Mbah Mi sebenarnya tidak jauh dari langgar, sekitar delapanpuluh meter saja, akan tetapi, karena penerangan yang minim dan masih banyak pohon di sana-sini maka terasa jauh juga. Aliran listrik memang belum masuk ke kampung kami, jadi masyarakat masih mengandalkan lampu templek sebagai sumber penerangan.
[Tok tok tok]
"Assalamualaikum ..."
Tidak ada jawaban.
[Tok tok tok]
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam. Siapa, ya?" jawaban dari dalam rumah.
"Kulo. Nur sareng lare-lare (Saya. Nur bersama anak-anak)," jawab Mbah Nur.
Pintu dibuka oleh Mbah Mi.
"Oalah. Sampean, Nur? Monggo masuk! " ujarnya kemudian.
"Terimakasih."
Kamipun duduk berempat di ruang tamu Mbah Mi. Ada kursi kayu yang sudah cukup usang di sana. Aku dan Parto duduk menghadap utara, berhadapan dengan Mbah Mi, sedangkan Mbah Nur duduk di kursi sebelah timur menghadap ke barat. Mbah Mi tinggal sendirian, anak-anaknya tinggal di luar kampung semuanya. Usia Mbah Mi ini kurang lebih sama dengan Mbah Nur.
"Ada perlu apa Nur? Tumben?" tanya Mbah Mi.
"Begini Mi. Yang pertama, saya mengantar anak-anak untuk memberikan berkat, yang kedua ada hal yang ingin saya sampaikan terkait beberapa kejadian yang dialami anak-anak di sungai, " jawab Mbah Nur. Aku pun menyodorkan berkat kepada Mbah Mi dan diterima oleh Mbah Mi. Berkat tersebut ditaruh di amben.
"Terima kasih berkatnya ya, Le," ucap Mbah Mi.
Aku dan Parto mengangguk hormat sambil tersenyum.
"Apa hubungan kejadian di sungai denganku, Nur?" tanya Mbah Mi.
"Begini, Mi. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Apa benar kamu masih sering menaruh sesaji di bawah pohon nangka itu?" ujar Mbah Nur.
Mbah Mi agak terkejut dengan ucapan Mbah Nur.
"Bukan sesaji, Nur. Nasi telor ceplok, kopi pait, dan sebatang rokok kesukaan almarhum suamiku. Bahkan malam ini sudah jadwalnya saya menaruh makanan di sana."
"Untuk apa Mi, kamu menaruh makanan-makanan itu di sana?"
"Kamu tau kan, Nur, suamiku, Min terpeleset di sana sebelum meninggal?"
"Iya saya tahu, tetapi bukan berarti kamu harus menaruh makanan di sana untuk menghormati suamimu. Alangkah lebih baik makanan-makanan itu kamu berikan kepada anak yatim dan pahalanya diniatkan untuk almarhum Min, daripada kamu taruh makanan di bawah pohon nangka itu, yang ada malah dimakan tikus sawah dan mengundang makhluk halus."
"Min yang menyuruhku, Nur."
"Maksudnya gimana, Mi?"
"Pada hari kematian Min yang ke-100 hari, Min datang kepadaku melalui mimpi. Dia menyuruhku untuk secara rutin seminggu sekali menaruh makanan kesukaannya di bawah pohon nangka itu. Setelah saya turuti besoknya saya mimpi lagi melihat Min dengan lahapnya memakan makanan yang saya taruh di sana."
"Astaghfirullah. Ingat Mi! Kamu sudah diperdaya oleh jin. Itu bukan Min, manusia yang sudah meninggal tidak butuh makanan manusia, mereka butuh doa dan sedekah kita, Mi. Tolong hentikan itu ya, Mi supaya kamu tidak menjadi musyrik!"
"Ya Allah! Iya, saya baru sadar, Nur. Saya sudah dibutakan oleh rasa rindu saya terhadap Min, sehingga saya berbuat di luar akal sehat. Bukankah waktu kita mengaji dulu sudah dikatakan oleh Pak Kyai untuk tidak menaruh makanan di jalan-jalan? Astaghfirullah!"
[KROMPYANG]
Terdengar suara keras dari dapur Mbah Mi. Mbah Mi sedikit berlari menuju ke arah dapur, mungkin makanannya dijatuhkan kucing.
"Min .... Min ....Min ...." Terdengar suara teriakan Mbah Mi dari arah dapur, Mbah Nur berlari ke arah dapur diikuti oleh kami berdua yang ikutan berlari dengan rasa ketakutan.
Di dapur, kami melihat Mbah Mi jatuh terjerembap di lantai tanah, sementara di depan Mbah Mi ada sosok pria tua dengan pakaian compang camping sedang membanting-banting nampan berisi makanan ke lantai. Nasi dan telor ceplok bertebaran di lantai.
Mbah Nur sibuk membacakan ayat-ayat suci. Mbah Mi masih terus berteriak memanggil nama suaminya, sosok pria itu semakin dilihat semakin menyeramkan. Tubuhnya yang awalnya aku lihat berkulit seperti biasa, lama-lama kulitnya seperti berlendir dan bola matanya tiba-tiba keluar. Kami berdua memeluk tubuh Mbah Nur, kami tak berani melihat sosok itu lagi.
Tubuh kami berkeringat, jantung berdegup dengan kuat. Kami berdua menangis, pelukan kami semakin erat ke Mbah Nur. Kami masih terlalu kecil, kami belum mampu menghadapi situasi seperti ini. Tapi, dalam keadaan ketakutan seperti itu, aku membaca surat An-Nash dengan keras berkali-kali, Parto mengikutiku membaca dengan keras. Kami memejamkan mata, kami tidak tahu apakah bacaan kami mempan untuk mengusir makhluk tersebut. Itu mungkin semacam gerak refleks tubuh kami, ketika menghadapi gangguan dari luar. Anehnya meskipun mataku terpejam, aku masih bisa merasakan betapa silaunya sinar di sana waktu itu, entah sinar dari mana. Aku tidak bisa mengingat berapa puluh kali membaca An-Nash, aku baru berhenti ketika Mbah Nur berhenti membaca ayat-ayat suci. Tercium bau seperti kayu hangus, langun sekali.
"Im ... To .... Bangun!" Mbah Nur mengusap kepala kami.
"Inggih, Mbah."
"Sudah nggak ada demitnya. Sana bantuin Mbah Mi berdiri!"
Aku dan Parto membantu Mbah Mi berdiri, tubuhnya lemas sekali. Kami memapahnya sampai di kasur kamarnya. Kami memberinya minum.
"Kalian hebat, sudah bantuin berdoa."
"Hantunya hangus ya, Mbah?"
"Hus .... Kita nggak boleh sombong, jin itu pandai menghasut manusia. Mereka melakukan segala cara untuk menjerumuskan kita."
"Siap, Mbah."
Mbah Mi sudah mulai menemukan kesadarannya.
"Terimakasih Nur, sudah menyadarkanku, mulai saat ini aku akan lebih banyak berdoa dan bersedekah untuk suamiku."
"Iya, Mi. Jangan ngasih-ngasih sesajen lagi, ya?"
"Iya, Nur. Aku bisa minta tolong sama kamu?"
"Apa, Mi?"
"Aku ingin mengadakan doa bersama di rumah ini besok malam, biar murid-muridmu semua yang mengaji dan berdoa di sini dan aku akan meminta Jun untuk menebang pohon nangka itu."
"Kalau masalah doa bersama, saya sanggupi supaya rumah ini lebih adem. Tapi ada syaratnya, tiap menjelang isya' tolong kamu buka pintu rumah ini supaya anak-anak lebih berani ketika pergi ke sungai dan kamu harus tambah rajin mengajinya. Masalah pohon nangka saya rasa tidak perlu ditebang."
"Kalau itu saya siap, Nur. Bila perlu saya akan membantu mengawasi anak-anak di sungai, pohon nangka itu sudah saatnya ditebang karena sudah lapuk dan supaya lebih jembar dan tidak seram"
"Oke kalau begitu, tinggal ngomong sama adikmu, Jun."
Setelah itu kami pamit pulang. Mbah Mi tidur dengan mendekap Al-Qur'an, untuk ketenangan katanya.
Keesokan harinya pohon nangka itupun ditebang dengan persetujuan Mbah Jun. Pemandangan menjadi lebih luas. Secara kasak-kusuk, aku mendengar beberapa warga yang bercerita bahwa mereka pernah melihat seseorang merokok di dekat pohon nangka itu, tetapi ketika disamperin orangnya tidak ada. Tentunya yang bercerita seperti itu adalah bapak-bapak yang memang sudah terbiasa ke sawah malam-malam melewati pinggiran sungai itu.
Malam harinya anak-anak mengaji dan berdoa bersama di rumah Mbah Mi. Mulai malam itu tidak pernah terjadi kejadian aneh lagi di sungai, anak-anak sudah berani pergi ke sungai, terlebih Mbah Mi sering pergi ke sungai juga mendampingi anak-anak dan menaruh oncor di pinggiran sungai untuk penerangan.
"Juari dan Satuni lama nggak mengaji, ya?" kata Irwan.
"Kenapa kok nggak masuk, Wan? " kata Zen.
"Nggak boleh sama ibunya," jawab Irwan.
"Kenapa, Wan?" tanyaku keheranan.
"Ibunya takut sendirian di rumahnya kalau malam," jawab Irwan lagi.
"Kenapa takut?" tanyaku lagi.
"Katanya sih, pas malam-malam di belakang rumahnya, kan ada pohon kelapa banyak sekali. Ada suara kelapa jatuh dan menggelinding membentur pintu dapurnya. Naluri ibu-ibu otomatis membuka pintu belakang terus memungut buah kelapa yang jatuh itu, pas diambil ternyata ..." Irwan bercerita.
"Ternyata kenapa, Wan?" Aku dan Zen bertanya berbarengan.
"Kelapanya tersenyum menyeringai, " jawab Irwan enteng.
"Maksudnya?" tanya kami kembali.
"Ya, itu bukan kelapa ternyata, tetapi kepala orang?" Tegas Irwan.
"Hantu?" tanya kami.
"Iya" jawabnya.
"Hiiiiiiii ...."
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Bambang Setyo
Lah tu hantu ngamuk...
2023-01-01
0
hanung wahyuningsih
bgs
2022-12-31
0
asheeqa meecayla
wkwkwk hantu kelapa emng bikin resah emak2
2022-12-29
0