KAMPUNG HANTU
Hai, Kak ...
Selamat datang di novel berjudul KAMPUNG HANTU yang
menceritakan sebuah kampung nan penuh dengan kejutan dan misteri. Siapkan adrenalin Anda!
Oh ya, selain membaca gratis Kakak juga bisa mendapatkan hadiah gratis dari kami dengan mengikuti program give away. Caranya berikan vote sebanyak-banyaknya untuk KAMPUNG HANTU. Peraih vote tertinggi (akumulasi sampai 15 Juli 2020), dialah pemenangnya. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Oke???
PROLOG
Di suatu pusat kota, tepatnya di sebuah warung makanan cepat saji yang cukup ramai dikunjungi pembeli, seorang pria tua yang menggunakan topi fedora berdiri di samping salah satu meja. Beberapa pria berdasi sedang asik melahap makanan yang beberapa saat lalu diantarkan oleh pramu saji. Pria tegap tersebut menundukkan kepala sambil menyodorkan tangannya ke depan.
"Punya uang kecil, Bro?" ucap salah satu pria berdasi yang paling dekat posisinya dengan pengemis tua itu kepada teman-temannya yang semeja dengannya.
"Waduh, nggak punya, Bro," jawab pria berdasi yang satunya sambil menggelengkan kepala.
"Kalian berdua punya?" tanya pria yang pertama itu lagi kepada dua temannya yang lain.
"Dompetku ketinggalan di kantor," jawab pria yang ditanya.
"Aku lupa nggak bawa dompet," jawab pria yang satunya lagi.
Pria berdasi yang pertama menoleh ke arah pengemis tua itu seraya berkata,
"Mohon maaf, Pak. Kami tidak ada uang kecil."
Tidak ada reaksi dari pengemis tua itu, ia masih tetap berdiri sambil menunduk seperti semula, seolah tidak menggubris permohonan maaf pria berdasi di depannya.
Pria berdasi merasa tidak enak hati karena pengemis di depannya tidak segera pergi. Ia menoleh ke arah teman-temannya sambil berbicara dengan bahasa isyarat mempertanyakan perilaku pengemis itu, tetapi teman-temannya menjawab dengan bahasa isyarat pula, mereka juga bingung mengapa pengemis itu tak mau pergi. Akhirnya pria yang pertama mengalah, ia merogoh uang duapuluh ribuan dari sakunya dan menyodorkan kepada pengemis tua tersebut.
Pengemis tua tidak segera mengambil uang sedekah paksaan itu, ia tetap menunduk seolah sedang membaca koran yang kebetulan ada di ujung meja, dekat dengan pria tua itu. Namun, beberapa detik kemudian ia mengambil uang kertas itu dan dimasukkan ke dalam saku bajunya.
"Terima kasih," ucapnya dengan suara serak-serak berat.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, pria tua itupun meninggalkan warung tersebut dengan langkah gontai. Semua orang yang berada di warung tersebut memandang ke arah pria tua itu. Ada yang kasihan, ada pula yang jijik melihat penampilan kotornya. Pemilik warung sempat berteriak keras kepadanya,
"Pak, lain kali kalau minta-minta nggak usah masuk ke dalam. Di luar saja!"
Pengemis tua itu hanya menoleh tajam sesaat, kemudian berbalik pergi. Entah mau menuju ke mana dia.
Kelompok pria berdasi tadi melanjutkan acara makannya kembali.
"Bro, kamu tidak merasa ada yang aneh dengan bapak tua tadi?" tanya salah satu dari mereka.
"Aneh bagaimana maksud kamu?" Salah satu dari mereka balik bertanya.
"Sepertinya bapak tua tadi tidak sedang menunggu pemberian uang dari kita," jawabnya.
"Maksud kamu?" tanya temannya lagi.
"Dia tadi berdiri lama di situ sepertinya sedang membaca surat kabar itu," jawabnya lagi.
"Kamu yakin?" tanya temannya lagi.
"Iya, saya yakin, Bro. Tadi bapak tua itu seperti antusias sekali membacanya." Ia menjawab.
"Mana sekarang korannya, kok sudah tidak ada?" tanya temannya.
"Barangkali terjatuh, Bro," jawabnya.
Temannya memeriksa kolong meja,
"Iya, Bro. Korannya ada di kolong," seru temannya.
"Ambil, Bro!"
Temannya memungut koran dari kolong meja dan memeriksa setiap judul berita yang tercetak di bagian depan dan bagian dalam surat kabar tersebut. Ia sengaja membacanya dengan keras supaya terdengar oleh teman-temannya, mereka semua terkejut ketika pria itu melafalkan dengan keras judul tulisan yang sengaja dicetak paling besar dan paling tebal.
[HEBOH, DITEMUKAN TENGKORAK WANITA DI KAMPUNG JATISARI.]
PART 1 : Hantu Penunggu Pohon Nangka
Seperti biasa, malam itu aku belajar mengaji bersama teman-teman di musala Mbah Nur. Kegiatan mengaji dimulai bakda salat Magrib hingga menjelang salat Isya. Setelah selesai salat Magrib anak-anak biasanya langsung mengambil Al-Qur'an dan juga kattok-nya (alas untuk membaca Al-Qur'an) masing-masing.
Ada yang menarik di tempat aku mengaji ini, yaitu model kattok-nya aneh bin lucu. Ada yang berbentuk kura-kura, ada yang mirip patung, ada yang serupa meja, dan ada yang berbentuk kattok lipat. Khusus kattok lipat sudah ada pemiliknya dan tidak bisa dipakai anak lain. Yang punya, biasanya, anak yang bapaknya berprofesi sebagai tukang bangunan spesialis kayu. Sementara model kattok yang lain biasanya menjadi bahan rebutan teman-temanku. Siapa yang datang lebih awal maka dia yang berhak mengklaim kattok yang dipilih untuk hari itu. Bahkan ketika salat Magrib, kattok yang dipilih ditaruh di depan tempat sujud masing-masing anak, sebagai tanda bahwa kattok tersebut sudah dikuasai hari itu. Anak-anak paling suka dengan kattok model kura-kura karena bisa diputar-putar, meskipun ketika kattok itu benar-benar diputar dan ketahuan Mbah Nur maka telinga kita juga akan ikut diputar sebagai hukumannya.
"Jangan mainan kattok! Itu alasnya Al-Qur'an!" Itulah kalimat yang sering beliau ucapkan.
Hari itu aku datang paling akhir, sehingga aku kebagian sisa kattok yang kakinya sudah kroak. Akhirnya ketika digunakan sebagai alas Al-Qur'an, bagian kakinya harus dipegangi atau diganjal sesuatu. Biasanya kami menggunakan sajadah untuk mengganjalnya. Pokoknya tersiksa sekali jika harus kebagian kattok kroak tersebut. Selain sulit menggunakannya, pemakainya juga akan dijadikan bahan candaan teman-teman yang lain.
Pada saat belajar mengaji, murid perempuan duduk berbaris di sebelah kanan Mbah Nur sedangkan murid laki-laki berbaris di sebelah kiri beliau. Kami bergantian membaca Al-Qur'an dan di-sema' oleh beliau. Murid yang besar-besar di-sema' lebih dahulu agar setelahnya bisa membantu beliau mengajari murid yang kecil-kecil. Jadi, murid yang kecil-kecil itu diajari dua kali, oleh Mbah Nur dan oleh murid yang besar-besar.
Tak terasa semua santri sudah selesai di-sema' malam itu oleh Mbah Nur dan tiba saatnya anak-anak untuk bersiap-siap menunaikan salat Isya. Kami biasanya berwudu di sungai yang jaraknya kurang lebih seratus meter dari langgar beliau. Tetapi, sebelum kami berangkat ke sungai biasanya Mbah Nur memberikan wejangan dulu kepada kami semua.
"Berwudunya gantian, ya! Santri putra duluan. Kalau sudah semua baru santri putrinya. Oh ya, ingat di sungai harus berhati-hati. Jangan membuat kegaduhan dan tidak usah berlama-lama di sana!"
"Kenapa tidak boleh berlama-lama di sungai, Mbah?" tanya kami.
"Sudahlah tidak usah banyak bertanya. Begitu selesai berwudu, segera kembali ke musholla!" Jawab Mbah Nur agak keras.
"Inggih, Mbah, " jawab kami segera.
Aku dan semua anak laki-laki berangkat duluan menuju sungai. Secara hitungan jarak, memang hanya sekitar seratus meter akan tetapi medan menuju sungai ini tidaklah mudah, sebelah kiri hanya ada dua rumah penduduk, sedangkan di sebelah kanan hanya ada satu rumah. Sisanya masih berupa tegalan yang banyak ditanami pohon. Jalannyapun masih berupa jalan setapak. Setiap pergi ke sungai, anak-anak selalu berjalan beriringan dan tidak lupa berdoa, karena kami sudah banyak mendengar cerita dari orang-orang tua, bahwa beberapa pohon di dekat sungai ini ada penghuninya. Kami memang belum pernah melihatnya secara langsung, tetapi membayangkan yang diceritakan oleh orang-orang, sudah sanggup membuat bulu kuduk kami berdiri.
Sampailah kita semua di sungai yang airnya sangat jernih tersebut. Irwan dan Zen begitu sampai sungai langsung berwudu dengan gerakan cepat dan langsung lari menuju langgar, kedua temanku tersebut memang terkenal penakut. Beberapa anak yang lain juga melakukan hal yang sama, buru-buru turun ke sungai, bersuci serta kabur ke langgar. Tersisa aku, Doni, Buang, dan Parto. Doni dan Buang buang air kecil dan berwudu, setelahnya mereka berdua bersiap untuk kembali ke langgar.
"Rek, tunggu aku ya. Aku mau BAB, " kataku kepada mereka.
"Aku balik duluan ya, Im? Takut dihukum Mbah Nur kalau kelamaan di sungai," kata Doni.
"Aku juga mau balik dulu soalnya sekarang giliranku mengumandangkan azan, " jawab Buang.
Tinggal satu orang lagi temanku yang belum aku tanyakan.
"Kamu bisa nungguin aku kan, To?" kataku memelas sambil menahan sakit perut.
"Oke. Buruan sana wes!"
Akupun buru-buru menuju sungai, agak ke hilir untuk BAB. Parto berwudu duluan, setelahnya dia duduk-duduk di pinggir sungai yang agak tinggi. Rupanya aku membutuhkan waktu yang agak lama untuk membuang hajat.
"Sudah, Im?"
"Belum, To"
"Ayo, buruan! Nanti kalau berlama-lama, kita bisa dihukum oleh Mbah Nur."
"Sebentar lagi. Tinggal dikit, nih."
Pada saat BAB, tiba-tiba aku melihat Mbah Jun di belakang Parto. Pria yang tinggal sebatang kara itu melangkah menuruni sungai.
"Sampean, Mbah?" sapa Parto kepada Mbah Jun.
Yang disapa tidak menyahut. Sesampai di sungai ia langsung menangkup air dengan kedua tangan dan dibasuhkan ke mukanya. Tidak kurang dari sepuluh kali dia melakukannya. Cara yang ia lakukan terlihat aneh. Kemudian, dengan wajah yang datar pria tua itu naik lagi dari sungai sambil menoleh ke arahku yang sudah selesai BAB. Pria sepantaran Mbah Nur itupun melangkah melewati Parto yang sedang menungguku di galengan. Sekilas tercium wangi bunga kenanga ketika Mbah Jun berlalu. Akupun mulai berwudu, setelahnya aku naik menuju Parto berada.
"Kemana Mbah Jun? Kok, tumben dia nggak nyapa? Apa karena kita ketahuan mencuri salaknya kemarin?" tanyaku.
"Entahlah. Itu orangnya jalan ke utara menuju rumahnya. Ayo kita segera balik ke langgar, " jawab Parto.
Kami berduapun bersiap untuk kembali ke langgar ketika tiba-tiba terdengar suara.
[Krining... Krining ... Krining ....]
Kami dikagetkan dengan bunyi bel sepeda dari arah selatan. Karena hanya diterangi sinar bulan, kami tidak tahu siapa yang sedang menaiki sepeda ontel tersebut. Lambat laun sepeda ontel mendekat dan ketika sudah sangat dekat barulah kami tau siapa yang sedang mengendarainya,
"Oh, dasar anak-anak ini. Minggir! Saya mau lewat, kok malah berdiri di jalan, jangan-jangan kalian sudah mencuri salakku lagi, ya?" omel lelaki tua tersebut dengan suara khasnya yang sangat cempreng. Kutajamkan penglihatan untuk memastikan apakah itu memang benar-benar Mbah Jun.
"Ya Tuhan! Ternyata pengendaranya beneran Mbah Jun."
Aku dan Parto saling bersitatap keheranan, kami sempat berpikir, kok Mbah Jun bisa jadi dua, sih? Yang satu baru saja berjalan ke utara, sedangkan Mbah Jun yang ini baru datang dari arah selatan.
"Kenapa bisa seperti itu?"
Nalar kami tidak mampu menjangkaunya, sehingga kami lari tunggang langgang meninggalkan Mbah Jun yang ini bersama sepeda kumbangnya. Yang mana yang asli dan yang mana yang palsu kami berdua tidak tahu. Yang jelas, setahu kami Mbah Jun itu tinggal sendirian dan tidak memiliki saudara kembar.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Evellyn Decianaa
Udah baca pas 2020, 2024 sekarang baca lagi.. 😂😂😂
2024-10-22
0
chalista
apa ini beneran cerinya
2023-08-14
0
MasWan
baru nemu cerita ini, izin baca ya thor
2023-08-07
0