"Kami ke sini ingin berbicara denganmu, Arni," jawab Mbah Nur
"Silakan masuk, Nur!" kata Mbah Arni sambil memutar gagang pintu dengan tangan kanannya, sedangkan golok tajam itu sudah ia pindahkan ke tangan kiri.
"Sudah tadi kah kalian menunggu di depan? Maaf saya baru pulang dari membantu kupas kelapa di rumah Suwarno. Mereka masak besar untuk melayani tamu yang datang ziarah umrah," ucapnya lagi.
"Ooooo ...." Ucapku berbarengan dengan Parto. Kami baru memahami, mengapa Mbah Arni membawa golok malam-malam. Padahal tadi sempat mikir yang aneh-aneh. Aku dan Parto senyum-senyum sendiri jika mengingatnya.
"Gimana kabar istrimu, Nur? Lama kita berdua tidak menyulam bareng." Tanya Mbah Arni.
"Alhamdulillah, dia sehat-sehat saja. Saya ke sini bersama anak-anak ingin membahas sesuatu yang sangat penting." Jawab Mbah Nur serius. Mbah Arni mengernyitkan dahi menunjukkan rasa penasarannya.
"Oh ya? Tentang apakah itu?" ujar Mbah Arni.
"Arni, kalau boleh saya tahu. Setelan yang kamu pakai ini dari mana kamu dapatkan? Ataukah memang kamu sengaja membelinya?" lanjut Mbah Nur. Mbah Arni tampak semakin penasaran.
"Hahahaha .... Jadi, kamu ke sini hanya untuk menanyakan setelan bajuku ini? Ada-ada saja kamu, Nur ... Nur ..." Mbah Arni nampak geli sekali dengan pertanyaan Mbah Nur, sedangkan Mbah Nur tetap dengan wajah seriusnya.
"Jawab saja dengan jujur, Arni!" ucap Mbah Nur.
"Oke. Sebelum saya jawab pertanyaan konyolmu, aku mau mengambilkan minuman dulu untuk kalian bertiga," ucap Mbah Nur.
"Nggak usah, Arni. Kami keburu pulang ini," cegah Mbah Nur.
"Jangan begitu! Jarang-Jarang loh, kamu datang ke sini," ucap Mbah Arni sambil ngeluyur ke dapur tanpa bisa dicegah.
Cukup lama Mbah Arni berada di dapur. Dalam masa penantian itu kami bertiga hanya diam tanpa adanya komunikasi. Dari depan rumah Mbah Arni terdengar suara cekikikan wanita sebanyak satu kali.
"Hihihihihi ..."
Kami bertiga saling bertatapan dan menunggu suara cekikikan itu terulang kembali. Tetapi, ternyata tidak ada lagi suara itu hingga Mbah Arni muncul dari dapur membawa nampan berisi tiga cangkir. Nampaknya ia gemetar membawa nampan itu. Mungkin karena usianya yang sudah tua atau dia grogi karena kedatangan Mbah Nur atau ia gemetar karena sebab lain. Entahlah ...
"Kok repot-repot, sih, Arni?" kata Mbah Nur.
"Enggak kok, cuma kopi saja. Ayo, diminum mumpung masih panas!" jawab Mbah Arni.
Kami bertiga saling melihat, tidak langsung meminumnya. Dari cara melihatnya aku yakin Parto ada kecurigaan dengan Mbah Arni, sama seperti aku. Jangan-jangan kopi itu sudah diisi sesuatu terlebih dahulu di belakang tadi, untuk membungkam mulut kami bertiga supaya misteri penari itu tidak pernah terkuak. Mbah Nur tidak menunjukkan reaksi apa-apa, ia langsung memegang pegangan cangkir bermaksud meminum kopi buatan Mbah Arni.
"Ini tidak boleh terjadi. Jangan sampai Mbah Nur kenapa-kenapa setelah meninum kopi ini. Aku harus berbuat sesuatu," pikirku dalam hati.
Mbah Arni tersenyum kecil ketika Mbah Nur mulai mengangkat cangkirnya. Aku bergerak cepat, kuambil cangkirku dengan cepat dan segera kuseruput kopi panas itu dengan mulutku. Jika aku yang meminum duluan dan aku kenapa-kenapa, bukan kah Mbah Nur masih bisa meringkus Mbah Arni dan menyelamatkanku? Berbeda masalahnya kalau Mbah Nur yang kenapa-kenapa, belum tentu aku dan Parto bisa meringkus Mbah Arni yang misterius ini.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk ..." Aku terbatuk-batuk.
"Kenapa, Im?" tanya Mbah Nur sambil memegang cangkir kopinya. Rupanya ia urung meminum kopi karena melihatku batuk-batuk. Aku tak langsung menjawab pertanyaan Mbah Nur karena masih meneliti fisikku. Tidak ada yang berbeda, selain gatal di tenggorokanku karena aku terburu-buru menyeruput kopi, sehingga ada sedikit air kopi yang masuk ke saluran pernapasan.
"Tidak apa-apa, Mbah," jawabku ketika sudah yakin kopi buatan Mbah Arni tidak beracun. Bahkan kalau boleh jujur rasanya sangat nikmat.
"Makanya kalau minum pelan-pelan!" ucap Mbah Nur. Kami bertiga pun meminum kopi buatan Mbah Arni. Setelah terminum beberapa seruputan kami pun melanjutkan pembicaraan.
"Jujur, baju ini adalah baju yang paling saya senangi. Baju ini pemberian seseorang," ujar Mbah Arni.
"Oh, ya? Siapa yang memberikanmu baju ini dan kapan ia memberikannya?" tanya Mbah Nur lagi.
"Baju ini diberikan Lastri kepadaku seminggu sebelum ia meninggal," jawab Mbah Arni.
"Lastri istrinya Agus yang ditemukan tewas bunuh diri di rumpun bambu Suwarno?" potong Mbah Nur.
"Iya, Nur .... Benar. Malang benar nasib temanku itu," ujar Mbah Arni sambil menyeka air mata di pipinya yang keriput. Ia pun melanjutkan ceritanya.
"Ketika Lastri memberikan baju ini kepadaku, dia sempat berkeluh kesah bahwa suaminya berselingkuh dengan perempuan lain," tambah Mbah Arni.
"Bukan kah semenjak istrinya tewas bunuh diri, Agus menjadi senewen dan kabar terakhir dia jadi gelandangan? Mungkin ia sangat menyesal atas perbuatannya yang berujung pada kematian tragis istrinya. Kalau anaknya, Rosid dirawat neneknya setelah Agus senewen," tambah Mbah Nur.
"Maaf, apakah yang dimaksud itu Cak Rosid penjual bakso di timurnya rumahku ?" kataku memotong.
"Iya, Le." Jawab Mbah Nur sambil mengelus rambutku.
"Kalau boleh tahu apakah ayahnya Cak Rosid itu memiliki topi fedora berwarna abu-abu?" tanya Parto tiba-tiba. Mbah Nur dan Mbah Arni menoleh penuh tanda tanya kepada Parto.
"Dari mana kamu tahu itu, Le? Agus dulu memang paling suka menggunakan topi fedora. Warna abu-abu yang paling sering ia gunakan. Tidak ada lagi orang kampung sini yang suka memakai topi fedora selain Agus" tanya Mbah Arni sambil bercerita sedikit tentang sosok Agus.
"Dalam mimpiku penari itu memiliki hubungan khusus dengan seseorang yang menggunakan topi fedora berwarna abu-abu. Dan penari itu dibunuh, mayatnya diseret oleh perempuan pemilik setelan yang Mbah Arni gunakan sekarang," jawab Parto tegas sambil bergetar mulutnya seperti menahan emosi kemarahan dan ketakutan.
Kami yang mendengar penjelasan Parto menjadi sangat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba pintu depan terbanting dengan keras, angin bertiup dengan kencang. Kami pun kompak melihat ke arah pintu.
"Hihihihihi .... Hihibihihi .... Hihihihihi ..."
Si Kuntilanak berbaju putih dan berambut panjang dengan wajahnya yang mengerikan sudah berdiri di tengah-tengah pintu bersebelahan denganku. Di antara kami berempat posisi tempat dudukku lah yang paling dekat dengan si Kunti.
"Cempaka ..." teriak Mbah Arni tiba-tiba. Tubuhnya bergetar karena terkejut dan ketakutan menyaksikan sosok yang ia kenal, tetapi dalam versi yang mengerikan
"Aku tidak mau sendirian, Mbak Ar. Dingin dan gelap, Mbak. Aku butuh teman, Mbak. . Hihihihihi ...," jerit si Kunti. Suaranya melengking sekali memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya. Mata si Kunti melotot sementara mulutnya menyeringai. Kami terpaku menyaksikan komunikasi tak lazim antara Mbah Arni dan si Kunti.
Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba tubuhku sudah melayang, Parto tadi berusaha menahan kakiku tapi ia tak cukup kuat menahannya. Ya Tuhan ... rupanya aku sedang dibawa terbang oleh si Kunti. Kali ini aku benar-benar berada dalam terkaman si Kunti. Aku bisa merasakan betapa dinginnya tubuh si Kunti. Kukunya tajam sekali melukai ketiakku. Tubuhku dibawa terbang ke atas pohon mangga, aku pun hanya mampu berteriak.
"Tolong, Mbaaaaah .... Toloooooong."
"Jangan, Cempaka! Jangan lukai anak itu! Ia tidak bersalah," teriak Mbah Arni sambil berlari mengejar si Kunti yang lamat-lamat aku dengar. Si Kunti menaruh badanku di dahan pohon mangga dan ia pun berdiri di sebelahku. Tubuhku lemas karena takut terjatuh, tetapi lebih takut lagi dimakan si Kunti.
"Parto, cepat ambil cangkul di dapur Mbah Arni! Galilah pinggiran rumpun bambu itu!" perintah Mbah Nur yang sekarang ada di bawahku.
"Jangan, Cempaka! Jangan!" Mbah Arni terus berteriak. Mbah Nur membaca doa-doa dengan sedikit dikeraskan.
"Tidak, Mbak Ar. Aku kehilangan bayiku .... Hihihihihi .... Panaaaaaas! " suara si Kunti yang berada di belakangku. Aku mendekap dahan pohon mangga dengan kedua tangan dan kakiku. Dari ujung netra aku melihat Parto membawa cangkul berlari menuju rumpun bambu.
"Jangan, Cempaka ! Jangaaaaan!" teriak Mbah Arni kembali.
"Aku tidak bersalah, Mbak Ar. Mas Agus menikahi aku. Aku bukan pezina. Hihihihihi. Panaaaaaas ...," teriak si Kunti lagi.
"Iya, Cempaka. Tapi, lepaskan anak itu!" teriak Mbah Arni kembali.
Selama bermenit-menit aku berada dalam ketakutan. Mbah Arni terus berteriak, Mbah Nur terus berdoa, dan si Kunti terus tertawa cekikikan dan berteriak kepanasan.
"Waaaaaaaaaaa!" Tiba-tiba terdengar teriakan Parto yang diikuti dengan munculnya sinar terang dari arah belakangku. Tiba-tiba terdengar suara si Kunti, tetapi sekarang jauh lebih lembut tidak melengking seperti tadi
"Terimakasih, Mbak Ar dan Mas Wardoyo telah baik kepadaku. Terimakasih, Im, Parto yang telah membantu mengungkap kematianku. Terimakasih, Kyai. Mohon urus jenazahku dengan baik dan doakan aku agar dosa-dosaku diampuni oleh-Nya!"
"Iya, Cempaka .... Beristirahatlah dengan tenang!" teriak Mbah Arni sambil terisak.
"Selamat tinggal, Mbak Ar. Asalamualaikum ..."
"Waalaikumsalam ..."
Mbah Nur naik ke atas pohon mangga, kemudian membimbingku turun dari atas pohon. Aku sudah menemukan kekuatanku kembali. Kami bertiga berjalan menuju Parto di rumpun bambu. Di sana Parto sedang bersimpuh tak bertenaga. Di depannya tepat di pinggir bambu yang paling jarang pohonnya, terdapat lubang menganga sedalam setengah meter. Di sana terlihat sebuah tengkorak manusia. Kami bertiga yang baru melihatnya, tiba-tiba menjadi lemas tak bertenaga. Kami tidak menyangka kisah penari cantik itu berakhir mengenaskan di rumpun bambu ini.
Mbah Nur membunyikan kentongan di depan rumah Mbah Arni dengan hitungan tertentu. Tak lama kemudian penghuni kampung sudah berdatangan menuju rumah Mbah Arni. Mereka semua tak kalah terkejutnya dengan kami. Aku, Parto, dan Mbah Arni dirawat oleh warga di rumah Mbah Arni. Di antara kerumunan warga ada Pak Kampung. Pak Kampung kemudian berangkat ke kantor polisi bersama sejumlah warga. Polisi pun datang ke tempat lokasi membawa berbagai peralatan termasuk lampu. Polisi dan warga merobohkan rumpun bambu itu untuk menemukan bukti-bukti penunjang yang mungkin masih terkubur di sana.
Pukul sebelas malam polisi meninggalkan lokasi dan mengatakan akan melanjutkan penyelidikan esok harinya. Aku dan Parto pulang dijemput orang tua kami. Mereka tampak cemas dengan keadaan kami. Sedangkan Mbah Nur dan Mbah Arni ikut kendaraan polisi untuk dimintai keterangan di Polsek.
Saat perjalanan pulang melewati rumpun bambu Pak Suwarno, aku mendengar suara dehaman. Aku tak berani menoleh. Aku mendekap tangan ayah dan ibuku dengan erat. Dari suara dehaman itu aku bisa menebak kalau dia sedang marah. Aku takut ...
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ahnafal Wafa Tsaqifa
up
2022-12-04
0
Dharris Tio
baru ini, cerita horor, point of view nya anak kecil. keren
2022-10-10
0
Danu
kok ak merasa ada plot hole ya dibagian setelah cahaya putih, ada yg bisa jelasin gak, knpa tiba2 si kunti jadi baik dan darimana asal cahaya putihnya
2022-07-01
1