Suasana di sekolah hari ini tak semenyenangkan biasanya. Guru-guru yang biasanya sabar entah kenapa hari ini terkesan killer dan membosankan. Pada saat jam istirahat juga tidak ada yang mendatangi aku untuk sekedar ngobrol atau bermain. Pas aku yang mendatangi mereka, mereka menghindar dengan alasan mengerjakan tugas, nggak enak badan, atau alasan-alasan yang lainnya. Sepertinya teman-teman sengaja menghindar, hanya Parto yang setia menemaniku.
Di kantin sekolah hanya ada aku, Parto, dan beberapa anak lain yang tidak begitu akrab denganku.
"To, anak-anak kayaknya ngejauhin kita, deh?"
"Iya, aku juga ngerasa begitu. Tadi Zen salipan sama aku nggak nyapa."
"Juwari juga, tadi tak ajak ke kantin dia nolak. Katanya mau ngerjakan tugas agama. Padahal tugasnya masih dikumpulkan minggu depan."
"Apa mereka masih tersinggung sama kita, ya?"
"Bisa jadi. Sepi juga, ya, nggak ada mereka?"
"Iya, Im."
-------------------
Bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak berlari kegirangan menuju rumahnya masing-masing. Aku dan Parto berencana melanjutkan investigasi kami di rumpun bambu Pak Suwarno. Sengaja memilih waktu pulang sekolah, soalnya kalau pagi masih agak-agak gelap.
Aku dan Parto melompati pagar bluntas untuk sampai di bawah rumpun bambu tersebut. Kami mulai melakukan pencarian, di sekitar rumpun bambu tampak printilan-printilan benda berwarna putih. Tepat di bagian yang paling rimbun ada sebilah genting dengan abu hitam pekat di atasnya. Sepertinya genting itulah yang semalam digunakan kakek tua sebagai alas untuk membakar sesuatu.
"Im, kamu periksa sisa bakaran itu, aku periksa printilan-printilan putih ini."
"Oke."
Parto jongkok untuk memungut beberapa printilan putih yang berserakan di atas daun bambu kering sedangkan aku berjalan menuju bilah genting itu berada.
"Aiiiish!"
"Kenapa, Im?"
"Ada ular disamping genting itu!"
"Singkirkan dengan ranting ini!" teriak Parto sambil melempar ranting ke arahku. Aku mengusik ular itu dengan ranting sampai ular itu menjauh.Netraku meneliti sekeliling takut masih ada induk ular yang berkeliaran. Setelah dirasa aman dengan hati-hati ku ambil bilah genting itu dan membawanya ke tempat yang lebih terang.
"Bunga kantil, Im!" ujar Parto sambil membaui printilan putih di tangannya.
"Oh ya? Bunga kantil kan disenangi makhluk halus?"
"Iya, Im. Bagaimana dengan abu sisa pembakaran itu?" ujar Parto, aku pun segera meremas-remas sisa bakaran itu untuk memeriksa teksturnya. Sulit melacak bentuk asal suatu benda jika sudah menjadi abu seperti itu. Aku pun membaui abu bakaran tersebut, baunya sungguh sangit dan busuk. Karena nggak tahan aku sampai muntah. Parto penasaran ikut membaui abu tersebut, sama denganku ia pun muntah.
"Bau banget, Im"
"Mungkin ini bangkai atau entahlah aku nggak kuat."
"Ayo kita pulang saja. Nggak tahan aku berlama-lama di sini."
Kita pun pulang ke rumah masing-masing. Sesampai di rumah aku langsung mandi karena tak tahan dengan bau sangit tadi. Setelah mandi pun aku masih terngiang dengan bau sangit itu hingga aku melewatkan makan siang karena mual.
Sore hari Parto datang ke rumahku
"Im, gimana kalau kita cerita kepada Mbah Nur tentang penemuan kita ini. Mungkin beliau paham tentang hal-hal seperti ini."
"Oke, ayo, kita ke sana!"
Sampailah kita di rumah Mbah Nur. Kebetulan beliau baru selesai salat Asar.
"Ada apa kalian berdua ke sini?"
"Ini Mbah kami ke sini ingin menceritakan sesuatu terkait dengan teror hantu Lastri."
"Oh, ya? Silakan ceritakan!"
Kami pun menceritakan tentang hantu Lastri dan kakek tua itu.
"Kakek tua?."
"Iya, Mbah. Aku sudah melihatnya dua kali tetapi aku tidak mengenalnya. Tetapi entah mengapa setiap melihatnya mengingatkanku pada sesuatu yang tidak aku ingat."
"Kalau melihat apa yang ia lakukan di rumpun bambu itu, sepertinya dia melakukan sihir untuk meneror warga dengan hantu Lastri. Bunga kantil itu konon disukai makhluk halus, sedangkan membakar benda sangit di tempat Lastri bunuh diri itu semacam sihir untuk menakut-nakuti warga dengan penampakan hantu Lastri. Tentunya dengan mantra-mantra tertentu."
"Terus apa yang harus kita lakukan, Mbah? Menangkap kakek itu atau menghentikan teror Lastri?"
"Menangkap kakek itu tentunya sulit kita lakukan karena kemunculannya misterius dan sulit untuk membuktikan kejahatan mistik seperti ini. Sepertinya menghentikan teror Lastri yang sebaiknya kita lakukan dulu, kasian warga tidak tenang diganggu Lastri terus."
"Oke siap, Mbah. Apa yang harus kita lakukan?"
"Bagus. Mbah senang melihat kalian bersemangat seperti ini. " Kata Mbah Nur sambil mengusap kepala kami. Tiba-tiba Mbah Nur seperti terpaku dan memandang aneh kepada kita berdua.
"Apa yang ada di leher kalian berdua ini?"
[Deg]
"Eh ... eh .... Anu, Mbah."
"Apa? Mbah mau lihat?"
Aku tak bisa menolak ketika Mbah Nur memeriksa kalung yang aku gunakan.
"Astagfirullah! Apa yang kalian pakai ini?" suara Mbah Nur agak keras.
Kami berdua tertunduk, Mbah Nur terlihat syok mengetahui kami memakai jimat
"Bertahun-tahun saya mendidik murid-murid untuk menjauhi kemusyrikan, kenapa justru kalian berdua yang melakukannya?" Mbah Nur menangis tersedu-sedu. Kami berdua tak tahan untuk tidak memeluk Mbah Nur.
"Maafkan kami berdua, Mbah. Kami terlalu takut dengan Lastri sehingga kami mengabaikan nasehat Mbah."
"Iya, Le. Benda itu telah menipumu, mungkin Lastri tidak mengganggumu tapi bahaya lain mengancammu."
"Iya, Mbah. Sejak memakai jimat itu kami jadi kasar, suka berbohong, malas sholat, dan malas belajar."
"Nah. Itu yang saya maksudkan, kamu menghindari arwah Lastri tapi tanpa sadar kamu mendatangkan makhlus halus lain yang bisa meruntuhkan imanmu."
Akhirnya kami menyerahkan jimat itu ke Mbah Nur untuk dimusnahkan, entah dengan cara bagaimana kami tidak tahu, mungkin dengan cara dibuang ke laut.
Setelah menenangkan emosi, Mbah Nur memaparkan rencana-rencananya untuk menghentikan sepak terjang Lastri. Tentunya kami berdua terlibat di dalamnya. Sekitar jam empat sore kamipun pamit pulang.
Sepanjang jalan pulang aku dan Parto merasa seperti orang linglung. Kami benar-benar menyesal telah menggunakan jimat itu sehingga hari-hari kami menjadi jauh dari ajaran agama dan adab kesopanan. Teman-teman pun menjauhi kami karena tabiat kami yang kasar.Tapi ada juga sich kekhawatiran akan diganggu Lastri lagi setelah tidak memakai jimat lagi.
Memasuki malam hari, setelah salat Magrib kami berangkat ke rumah Mbah Arni untuk tahlilan bersama. Kali ini malam terasa lebih mencekam mungkin karena kepekaan indra kami sudah kembali seperti semula. Melewati rumpun bambu bersama bapak-bapak tetangga kami tak berani menoleh ke arah rumpun bambu. Kami berjalan di tengah-tengah bapak-bapak itu akan tetapi entah mengapa sepanjang jalan menuju rumah Mbah Arni, kami tidak merasa berjalan dengan bapak-bapak itu saja, seolah-olah Lastri juga ikut di antara kami. Aku dan Parto pun semakin erat bergenggaman tangan. Tapi lagi-lagi kami bisa merasakan ada tangan lain yang ikut menggenggam tangan kami, kami tak berani melihat tangan ketiga itu.
----------
Syahdu sekali acara tahlilan malam ini, hati menjadi tentram ikut mengaji dan berdoa di halaman rumah Mbah Arni. Kesan seram sudah tidak ada lagi di depan rumah Mbah Arni. Yang ada justru kedamaian dan ketenangan. Aku ingin berlama-lama doa dan mengaji di rumah Mbah Arni seakan tak ingin pulang ke rumah tetapi acara pun selesai semua warga harus pulang ke rumah masing-masing. Kami berdua menunggu ibu selesai membantu cuci piring dan pulang bersama Bapak dan Ibu.
Melewati rumpun bambu aku bersembunyi di punggung Bapak, Parto bersembunyi di pungggungku. Sedikit melirik ke arah rumpun bambu, ada putih-putih sedang berayun-ayun di pohon bambu yang tumbuh ke samping. Parto memberi kode kepadaku kalau ia melihatnya aku mengiyakan. Ketika sudah melewati rumpun bambu, aku pindah berjalan di depan bapak. Syukurlah Lastri tidak masuk ke barisan seperti tadi saat berangkat tahlilan.
"Le, kunci pintu dan tutup jendela depan! Sudah malam." Perintah Ibu dari dalam kamarnya.
"Iya, Bu." Jawabku sambil melangkah menuju pintu depan, sementara Parto bersiap ke kamar mandi.
Kukunci pintu depan dengan dua kali putaran anak kunci, anak kunci kucabut dari lubangnya kemudian akupun melanjutkan menarik gorden jendela. Saat aku akan menarik gorden tiba-tiba darahku mendesir jantungku berhenti berdetak. Betapa tidak, Lastri sedang berdiri di luar jendela dengan mata melotot ke arahku.
"Ya Allah!" pekikku.
Segera kutarik gorden dan berlari menyusul Parto.
"To, kita ambil wudu barengan saja, ya?"
"Oke"
Kami pun masuk ke dalam kamar mandi secara bersama-sama dan berwudu bergantian dengan sebuah gayung.
"To, jangan menoleh ke atas!" bisikku pada Parto.
"Ayo lari, Im!" Kamipun berlari melewati dapur menuju ruang tamu. Tak lupa kututup pintu yang pernah ditembus Lastri beberapa hari yang lalu. Ada perasaan jengah sebenarnya ketika menutup pintu itu, takutnya kepala Lastri tiba-tiba nongol dari daun pintu.
Setelah salat Isya secara bergantian seperti biasanya kami mematikan lampu templok dan ndlosor di kolong tempat tidur.
"Im tadi kamu ngeliat apa di kamar mandi?"
"Aku seperti melihat ada putih-putih bergelantungan di atas."
[Blep]
Parto secara tiba-tiba menutup mulutku dan mengarahkan wajahku ke arah pintu. Baju putih panjang sedang terbang di tengah-tengah pintu yang sengaja dibiarkan terbuka untuk mengecoh Lastri. Kutahan nafasku ketika baju putih itu masuk ke dalam dan terbang kesana kemari memeriksa isi kamar. Selama beberapa saat jantungku deg deg ser takut Lastri mengetahui persembunyian kami. Perasaanku baru lega ketika baju putih itu bergerak menuju pintu. Tapi tiba-tiba ...
[Preeeeeeeeeeeeeeet]
Parto kentut dengan suara keras, sangat bau sekali. Kucubit pahanya bukan karena baunya tapi karena baju putih terbang itu berbalik masuk ke dalam kamar kembali dan berdiri tepat di sebelah tempat tidur, kembali aku menahan napas takut diketahui Lastri.
[Cling]
Tiba-tiba baju putih itu menghilang dari pandangan. Aku beradu tatap dengan Parto dalam keremangan malam di bawah tempat tidur dengan kain seprei menjuntai ke bawah menyentuh lantai. Degup jantung ku semakin kencang menunggu detik demi detik kepastian kemanakah arwah Lastri menghilang. Jika dalam beberapa menit kain putih itu tidak muncul berarti Lastri sudah berpindah ke tempat lain dan kami bisa bernafas lega. Setiap tarikan napasku diiringi dengan doa supaya arwah Lastri tidak kembali. Waktu sedetik rasanya berlalu lama sekali dalam kondisi ketakutan dan ketidakpastian seperti itu. Sungguh menguras energi hingga keringat dingin mengalir dari pori-pori kulitku, napas terasa semakin sesak seolah menanggung beban yang berat. Iya, rasa berat di pikiranku kini seolah-olah menjadi kenyataan dan perlahan-lahan menyeruak ke fisikku yang sedang terlentang. Netraku menatap lurus ke atas
"Tidaaaaaak!"
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Ardianovich
pake acara kentut segala astaga
2023-07-07
1
hanung wahyuningsih
up
2023-01-01
0
Ahnafal Wafa Tsaqifa
ngakak ada suara preeeet..🤣😂
2022-12-06
0