Episode 19

Merasa angin pantai berhembus semakin dingin, In Hyeong perlahan membuka mata sembari mengusap kedua lengannya. Namun, di saat yang sama keningnya berkerut tatkala mendapati sebuah jaket hitam menutupi bagian atas tubuhnya.

“Siapa?” tanyanya setengah berbisik, “bau parfum Jin Ho. Apa dia di sini?” tambahnya semakin heran.

Bergegas ia beranjak dan memperhatikan sekitar. Sesaat dia tidak menemukan siapapun sampai…

“IBU!”

Kening Jin Ho berkerut usai mendengar teriakan In Hyeong yang baru saja berbalik dan melihatnya dengan kedua bola mata membesar.

“Kenapa?” tanya Jin Ho heran, “ayo, duduk. Aku tadi membeli kopi panas,” tambahnya sembari duduk santai tanpa mempedulikan In Hyeong yang masih syok akan kehadirannya.

Beberapa saat In Hyeong terdiam dan hanya memperhatikan Jin Ho yang kini telah menyeruput kopinya.

“Hei?” tegur Jin Ho seraya menengadah memandanginya yang masih berdiri.

Seketika tatapannya teralih pada Jin Ho. Ia mengerjap cepat tanpa sedikitpun bisa bersuara.

“Aku bilang, duduk.”

Hanya sekali sentakan usai Jin Ho menarik tangan kirinya yang terjuntai lemah, In Hyeong pun terduduk.

“Jin, Jin Ho? Apa benar ini kau, Joon Jin Ho?” tanya In Hyeong dengan suara tertahan.

“Iya, ini aku,” ujarnya seraya tersenyum sinis, “setelah membuka pesan suaramu, aku langsung terbang ke sini. Tapi, besok siang aku sudah harus kembali ke Seoul lagi,” tambahnya.

Sontak In Hyeong memeluknya erat dan sempat membuat Jin Ho terkejut tetapi, perlahan ia membalas pelukannya seraya mengusap punggungnya lembut. Rasa bahagia yang ia rasakan kini bahkan tidak membuatnya peduli akan ikat rambutnya terputus namun, bagi Jin Ho, ini pertama kali setelah tiga tahun tidak bertemu ia melihat In Hyeong berambut panjang.

Merasakan rambutnya terurai, In Hyeong pun bergegas melepas pelukan dan mengobrak-abrik ranselnya sampai menemukan sebuah ikat rambut biru muda. Tetapi, alih-alih diam tatkala In Hyeong akan mengikat lagi rambutnya, Jin Ho dengan sigap menahan.

“Tunggu!” teriak Jin Ho dan membuat In Hyeong menatapnya heran, “tu, tunggu sebentar,” tambahnya sembari perlahan menurunkan tangan In Hyeong, “ka, kau punya sisir?” tanyanya kemudian.

Bingung adalah satu-satunya hal yang In Hyeong rasakan detik ini tapi, dia tetap memenuhi keinginan Jin Ho dan mengeluarkan sebuah sisir dari ranselnya. Lalu dibiarkannya Jin Ho menyisir rambut serta poninya.

Dan sedetik kemudian, kegiatan Jin Ho terhenti. Otaknya tiba-tiba mengingat baik foto In Hyeong yang sebelumnya ia lihat dan sontak membuat wajahnya memerah. Tanpa mengatakan apapun, dia langsung beranjak dan pergi dengan terburu-buru.

“Hei, kau kenapa?” teriak In Hyeong.

Segera Jin Ho menjawab dengan menggeleng cepat seraya berlari ke toilet umum. Kening In Hyeong sesaat berkerut namun, kemudian ia hanya mengangkat kedua bahunya dan terfokus pada segelas kopi di hadapannya. Sementara, Jin Ho yang baru saja selesai membasuh wajah dan tengah memandangi dirinya di cermin, sejenak membisu dengan pikiran kosong sebelum kembali menghampiri In Hyeong yang tengah larut dengan tugas akhirnya.

“Kau kenapa?” tanya In Hyeong tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

“Tidak apa-apa. Aku tadi sakit perut. Kau tidak minum kopimu?”

Pandangan In Hyeong pun seketika teralih padanya yang sekarang memandangi langit malam.

“Hanya sedikit. Aku takut tidak bisa tidur.”

“Maksudku juga begitu tadi!” seru Jin Ho yang lalu menatapnya, “setahun lagi kita baru bisa bertemu dan aku ingin bersamamu sampai pagi. Jadi, minum saja.”

“Tidak mau,” sahut In Hyeong ketus.

“Hmm…” ujar Jin Ho sedikit kecewa, “Cha In Hyeong, apa kau tidak suka menggerai rambutmu seperti tadi?” tanyanya kemudian.

“Tidak suka.”

“Tapi, fotomu terlihat sangat berbeda dengan dandanan seperti tadi. Apa kau selalu seperti itu setiap kali ke kampus?”

“Heh? Anak bodoh, kau membuka laptopku, ya?”

“Hah? Aku hanya melihat foto-fotonya, kenapa kau begitu takut?”

“Kau yakin hanya membuka foto-fotonya? Kau tidak membuka yang lain, kan?” tanya In Hyeong dengan tatap menyelidik.

“Tentu saja. Memangnya ada hal yang menarik di dalam sana?” tanya Jin Ho penasaran dan berusaha mengintip ke dalam laptop.

Segera In Hyeong menjauhkan laptopnya dari pandangan Jin Ho yang lalu hanya tersenyum sinis.

“Kenapa kau tidak ingin menggerai rambutmu dan berdandan seperti itu di hadapanku? Kita sudah hampir enam tahun bersahabat, apa kau masih belum yakin padaku? Sampai hal seperti itu saja kau tidak ingin menunjukkannya.”

“Bu, bukan begitu. Aku ke kampus hanya memakai pakaian biasa seperti anak-anak kuliahan pada umumnya.”

“Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang foto itu? Bukti sudah ada tapi, kau masih berkelit.”

“Oh, foto itu diambil saat lomba tari grup di kampusku.”

“KAU?!” teriak Jin Ho tanpa sadar.

“HEI!” bentak In Hyeong kesal.

“Kau bepakaian seperti itu dan menari di hadapan semua mahasiswa pria?” omel Jin Ho yang tak peduli akan kekesalan In Hyeong, “apa karena hal ini Dong Hwa menyukaimu? Apa kau me…”

“HEIII…”

Mendengar nama Dong Hwa diucapkan, In Hyeong sontak berteriak dan menatap sinis Jin Ho yang seketika bungkam.

“Kau!” teriak In Hyeong penuh amarah, “aku benci padamu!”

Segera In Hyeong beranjak menuju tepi pantai, mengabaikan Jin Ho yang kebingungan. Namun, sedetik kemudian ia berlari mengejarnya yang tengah melangkah cepat sampai berhasil membayai.

“In Hyeong. Hei, Cha In Hyeong!” teriak Jin Ho.

“Jangan mendekat. Aku benci padamu,” teriak In Hyeong sembari mempercepat langkahnya.

“Apa karena aku menyebut nama Dong Hwa jadi kau seperti ini? Tapi, kan, Dong Hwa pacarmu?”

Sontak In Hyeong berhenti dan berbalik hingga membuat langkah Jin Ho seketika ikut terhenti.

“Apa kau tidak mendengarkan pesan suaraku? Yang Dong Hwa, MENDUAKANKU. Dia menduakanku dengan teman seangkatanku. KAU PUAS?!”

Usai berteriak meluapkan seluruh kekesalannya, In Hyeong mendorong jatuh Jin Ho yang langsung terduduk di atas pasir. Dan tidak lebih dari sedetik untuknya mengingat akan pesan suara yang In Hyeong bahas. Ia beranjak kembali mengejarnya yang telah menjauh dan dibantu kakinya yang cukup panjang ia bisa membayai lagi langkah In Hyeong. Dengan sekali sentakan ia berhasil menarik tangan In Hyeong sebelum memeluknya erat.

“Le, lepaskan aku,” kata In Hyeong sambil berusaha membebaskan diri.

“Menangis di sini saja,” kata Jin Ho tenang seraya memeluknya lebih erat.

“Hei!” teriak In Hyeong sambil mendorongnya hingga jatuh, “aku sudah puas menangis. Aku tidak ingin menangisi pria brengsek sepertinya,” tambahnya.

Sesaat Jin Ho mengerjap cepat, seakan hilang kesadaran, ia menatap kosong In Hyeong yang tengah mengomelinya. Sampai…

“Sudah puas meneriakiku?” tanya Jin Ho datar.

“Apa?!” ujar In Hyeong setengah kesal.

Perlahan Jin Ho berdiri dan menatap datar kedua mata In Hyeong yang juga melihatnya heran.

“Apa hanya karena ini kau memanggilku kemari? Kenapa kau terus memperlakukanku begini? Apa kau pernah berpikir bagaimana perasaanku? Apa kau pernah bertanya bagaimana keadaanku sekarang? Tidak, kan? KAU HANYA MEMIKIRKAN PERASAANMU SENDIRI!” teriak Jin Ho diakhir kalimatnya.

Sontak kedua bola mata In Hyeong membesar, dia begitu terkejut melihat Jin Ho meneriakinya. Bungkam, hanya kemarahan yang kini bisa ia lihat dari sorot mata seorang Joon Jin Ho. Dan tatap itu perlahan mengumpulkan air mata yang siap jatuh hanya dengan sekali kedipan.

“Jin, Jin Ho, kau menangis? Maaf, maafkan aku.”

“Cukup,” ujar Jin Ho seraya menggenggam erat tangan In Hyeong yang ingin menghapus air matanya, “aku minta maaf untuk seluruh ucapanku tentang pria yang sudah menyakitimu. Aku pun sudah terlalu sering membuatmu sakit jadi, mungkin lebih baik kita hentikan semuanya. Ayo, pulang. Biar aku antar,” tambahnya.

Tenang, hanya suara ombak yang terdengar mengiringi langkah Jin Ho menuju motornya. Dan Jin Ho yang In Hyeong kenal akan selalu berbalik ketika dia tidak kunjung menyusulnya tetapi, tidak untuk kali ini. Malam itu, ia melangkah sendiri tanpa rangkulan seorang Joon Jin Ho.

“Biarkan sepedamu di sini, nanti aku suruh orang mengantarnya ke rumah. Kau bereskan saja barang-barangmu dan susul aku di parkiran. Aku tunggu di sana,” perintah Jin Ho datar.

“Aku tidak ingin pulang,” ucap In Hyeong.

Pandangan Jin Ho pun teralih pada In Hyeong yang sekarang tertunduk. Tenang, untuk sesaat ia biarkan In Hyeong terisak sampai tampak ia menghela napas pelan sebelum akhirnya mendekati In Hyeong dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya sembari mengusap pelan punggungnya.

“Dasar gadis bodoh. Sudah jangan menangis lagi,” ucap Jin Ho lembut.

“Ja, jangan pergi seperti tadi. Ak, aku takut jika harus berjalan tanpamu.”

“Tidak akan,” sahut Jin Ho, “kau hal paling indah yang pernah kumiliki dan aku sangat menyayangimu. Semoga kau mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu,” batinnya kemudian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!