Episode 17

Tiga tahun berlalu, di dalam sebuah Perusahaan Arsitektur ternama di Seoul.

“Jin Ho, tunggu sebentar!”

Seorang pria tinggi dengan punggung bidang dan rambut cokelat itu seketika menghentikan langkahnya lalu berbalik. Kulitnya yang sangat putih begitu kontras dengan setelan kemeja putih di balik jas hitam pekat yang ia kenakan.

“Oh, Hoon Min, ada apa?” ujar pria bernama Jin Ho tersebut.

“Tadi dosen pembimbing kita meneleponku. Dia bilang, kau harus menemuinya pukul 10.00 saat jam istirahat kantor nanti.”

“Ada apa lagi?” tanya Jin Ho dengan kening berkerut, “aku, kan, sudah mengurus pendaftaran administrasi untuk semester tujuh ini,” omelnya.

“Entahlah. Tapi, aku sarankan kau menemuinya kalau kau mau selamat dan lulus tepat waktu,” kata Hoon Min santai.

“Haah... aku mengerti,” ujar Jin Ho setengah kesal, “aku bereskan laporan dulu, 15 menit lagi aku ke sana,” tambahnya seraya berlalu pergi.

Berbeda, ya, cukup lama waktu berlalu dan sosok seorang Joon Jin Ho tampak berubah drastis. Dia tumbuh menjadi pria yang begitu tampan dengan rahang tegasnya. Dan dengan kecerdasannya dia menjadi mahasiswa penerima beasiswa terbaik.

Karena hal itu, hidupnya di Seoul pun menjadi lebih terjamin. Dia berhasil memimpin sebuah perusahaan cabang dari salah satu anakan perusahaan arsitektur terbesar yang selama ini telah memberikannya biaya pendidikan tersebut.

Dan kini, di dalam ruangan terbesar kantor tersebut, Jin Ho terlihat sibuk membereskan kertas serta map-map yang berserakan sebelum kemudian pandangannya tertuju pada sebuah figura di sudut mejanya.

“Hai, Nona Besar Cha In Hyeong, sejak kau memiliki pacar aku jadi jarang menghubungimu. Kau gadis bodoh, mana tahu kalau aku merindukanmu di sini.”

Sejenak Jin Ho terdiam dengan tatap dinginnya yang khas sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan ruangan. Sementara, di Busan setelah tiga tahun berlalu, In Hyeong tampak begitu payah.

“In Hyeong, apa kau baik-baik saja?” tanya Eun Hee yang terus-terusan mengetuk pintu toilet.

Dan sedetik kemudian, In Hyeong keluar dengan pipi tembamnya yang sudah basah dibanjiri air mata. Dia tumbuh menjadi gadis manis berambut panjang serta badan bagai model namun, untuk kali ini dia terlihat sangat kacau dengan bibir memucat.

“Kak, ada apa?” tanya Eun Hee panik.

“Eun Hee…”

Menyaksikan In Hyeong yang bahkan tidak bisa melanjutkan kalimatnya dan langsung memeluknya begitu erat, Eun Hee pun menjadi semakin khawatir.

“Ka, Kak, ada apa?”

“Kak Dong Hwa…” kata In Hyeong usai melepas pelukannya.

“Ke, kenapa? Apa yang dia lakukan padamu?”

“Dia… dia menduakanku, lalu memutuskanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Padahal dia berjanji akan menikahiku setelah lulus kuliah nanti.”

Tangis In Hyeong pun kembali pecah sambil memeluk Eun Hee yang tampak geram mendengar berita tersebut.

“Beraninya dia melakukan hal itu padamu. Kalian bahkan sudah berpacaran selama dua tahun,” omel Eun Hee, “tenang saja, aku akan memberitahu teman-teman kita tentang hal ini. Biar mereka menghajarnya.”

“Ng…” sahut In Hyeong sembari mengangguk singkat.

“Sudahlah. Teman-teman kampus semua sudah pulang. Tidak ada mata kuliah lagi setelah ini. Kita beli es krim di depan stasiun saja untuk menenangkan perasaanmu.”

“Ng…”

-----------

“Jadi, maksud Dosen Pembimbing Kang, aku harus mempersiapkan beberapa judul untuk tugas akhirku tahun depan?” tanya Jin Ho pada pria di hadapannya.

“Iya, nilai-nilai Anda juga sudah lebih dari cukup untuk memenuhi persyaratan menyusun tugas akhir ini. Jadi, persiapkan dirimu sebaik mungkin.”

“Baiklah, aku usahakan minggu ini menyerahkan beberapa judul pada Anda,” sahut Jin Ho penuh semangat.

“Baik. Saya tunggu.”

Usai membungkuk sesaat, membawa perasaan bahagia yang memenuhi hatinya saat itu, Jin Ho pun melangkah keluar. Dia bergegas menghubungi orangtua serta kedua kakak perempuannya. Namun, ketika akan menekan nomor In Hyeong, tampak keraguan dari raut wajahnya.

Sembari memutar ponsel, ia melangkah ke salah satu kursi di halaman Universitas Inha dan duduk merasakan matahari musim semi bersama semilir angin lembut yang mengusap kulitnya. Sedetik kemudian, dia menunduk sambil menggenggam erat ponsel dengan kedua tangannya. Beberapa kali ia menghantupkan tangannya dengan cukup kuat ke dahi.

“Mau minum?”

Segera ia tersadar dan mengangkat kepala.

“Jun Su?”

Tegurnya yang lalu menyambut minuman kaleng dari sahabat kecilnya tersebut.

“Haaa…”

Terdengar helaan napas Jun Su yang masih tampak sama, hanya tubuhnya yang semakin tinggi dan lebih padat. Dia duduk di sisi Jin Ho dan sejenak mereka saling diam menikmati minuman masing-masing.

“Jun Su?” tegur Jin Ho.

“Hmm?”

“Jatuh cinta itu… apa harus sesakit ini?”

Sesaat Jun Su membetulkan duduknya dan bersandar sambil menyilangkan kaki.

“Kalau menurutku, seharusnya jatuh cinta itu menyenangkan dan seolah dunia hanya milik kita.”

“Tapi, kenapa sampai detik ini yang kurasakan hanya sakit?”

“Cari gadis lain kalau kau ingin menghapus rasa sakit itu.”

Sontak Jin Ho menatap sahabatnya dengan perasaan tak nyaman, seakan tidak setuju dengan ungkapannya tersebut. Tetapi, Jun Su yang sama sekali tak acuh tetap santai sambil memandangi para mahasiswa yang berada di sekitar taman.

“Kau lihat gadis berambut ungu itu?” tanya Jun Su seraya meneguk sedikit minumannya.

Dan tanpa pikir panjang, Jin Ho pun mengalihkan pandangan kearah yang dimaksud.

“Waktu semester empat aku pernah satu ruangan dengannya dan selain cantik, dia juga cerdas. Aku tidak tahu kenapa beberapa dari mereka menjauhinya tapi, kemungkinan karena sifatnya yang periang,” jelas  Jun Su penuh semangat, “namanya No Hye Mi dan aku pikir dia tidak jauh berbeda dengan “gadis”mu yang sekarang.”

Bukan tidak memperhatikan namun, Jin Ho tiba-tiba teringat kembali ucapannya pada In Hyeong lima tahun lalu ketika mereka menaiki kincir angin.

“Aku tidak pernah sekalipun ingin membuatmu menderita. Apalagi menangis ataupun sengsara karena orang-orang yang hanya menganggapmu sebagai gadis sampah. Karena bagiku, kau seperti pelangi yang selalu membuat hari, waktu, serta hidupku menjadi lebih berwarna. Tidak pernah sekalipun aku ingin melihatmu menangis dan membuang airmatamu sia-sia. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum dan tertawa seperti sekarang. Aku harap, besok dan seterusnya, kau bisa tetap seperti ini.”

Teringat lagi kata-kata In Hyeong yang saat itu begitu membekas dan sampai detik ini masih terekam dengan sempurna di otaknya.

“Tetapi, bagaimana kalau kau mati lebih dulu? Kau tidak akan bisa menjagaku lagi... Tapi, kelak aku berharap mati lebih dulu. Karena aku tidak ingin menangis dan menjadi lemah karenamu…”

“Jin Ho? Jin Ho,” tegur Jun Su, “HEI! JOON JIN HO?”

Seketika Jin Ho tersadar dari lamunannya saat mendengar teriakan tersebut. Ia mengerjap cepat dan sesaat memandangi Jun Su yang tampak kesal dengan tatapan linglung.

“Oh, maaf, Kak. Aku pergi dulu.”

Bergegas Jin Ho pergi usai menepuk pundak kiri Jun Su yang hanya bisa menahan kekesalan karena sikapnya. Sementara, Jin Ho kini telah melaju di jalan raya menuju Sungai Han. Dan beberapa saat usai memarkir mobilnya, ia terdiam memandangi fotonya bersama In Hyeong saat di taman hiburan empat tahun lalu.

“Kenapa kau harus memasuki kehidupanku?” tanyanya dengan suara tertahan, “haaa…”

Terdengar helaan napasnya sebelum kemudian bersandar usai melepas sabuk pengaman. Ia merenggangkan sedikit ikatan dasinya dan sekarang, dia memejam dengan pikiran yang penuh akan kata-kata yang tertulis dalam selembar kertas.

Kertas yang terbungkus rapi dengan sebuah amplop hijau. Surat cinta pertama untuk orang pertama yang dapat meluluhkan hati seorang Joon Jin Ho. Orang pertama yang membuat hidup Jin Ho berbalik 180 derajat tanpa mengubah dirinya. Orang pertama yang benar-benar ingin ia lindungi dan inginkan hadirannya.

Seperti terjaga dalam mimpi

Ketika aku mengenalmu

Tak ada sapa

Namun, senyummu mampu memastikanku

Bahwa aku menyayangimu

Bahagiamu, ku rasakan

Sedihmu, ku coba tuk hapuskan

Hingga tanpa kau sadari

Kau bagaikan matahari

Kau semangatku ketika baru terjaga dari tidur

Berusaha untuk selalu menjagamu

Agar matahari itu tetap menyinari

Jangan berganti hujan membasahi

Kau menjadi alasanku untuk bertahan hidup

Kau menjadi alasanku untuk bersyukur pada takdir

Kau menjadi tujuan hidupku

Karena kau matahariku

Note : Cha In Hyeong, aku tunggu kau sepulang sekolah di Pantai Haeundae.

Yang selalu ingin menjagamu

Joon Jin Ho

Kembali ingatannya berputar dan tampak kejadian saat ia mengembalikan buku catatan pelajaran In Hyeong, tempat ia menyisipkan surat cintanya tersebut.

“Ini bukumu. Terima kasih.”

“Iya.”

Senyum manis serta rasa suka cita In Hyeong ketika menerima kembali buku tersebut sedikitpun tidak menimbulkan rasa curiga pada Jin Ho.  Namun, ketika pelajaran dimulai, In Hyeong hanya menggeser buku itu ke samping kiri dan sama sekali tidak menyentuhnya sampai pelajaran berakhir.

Rasa gelisah pun semakin menghantui Jin Ho hingga mendapat teguran guru karena tidak memperhatikan penjelasannya dan sepulang sekolah ia bergegas menuju Pantai Haeundae. Lama, berjam-jam hingga waktu menunjukkan pukul 12.00 tengah malam, ia yang merasa khawatir pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke sekolah.

Berlari menyusuri lorong-lorong sekolah yang gelap hingga tepat di depan kelas mereka, Jin Ho terdiam mendapati buku In Hyeong di tempat sampah. Tanpa pikir panjang, ia meraih buku tersebut dan membuka halaman tengahnya.

Apa dia belum membacanya.

Melihat  surat yang masih tampak bagus dan sama sekali tidak tampak lekukan ataupun tanda lainnya yang menandakan jika benda itu telah dibuka, ia pun membatin dan mengerjap dengan pandangan kosong. Lama sampai ia memutuskan untuk pulang setelah memasukkan buku tersebut ke tasnya.

Dan esoknya dengan perasaan kesal ia menarik In Hyeong yang tengah asyik mendengarkan musik tanpa mempedulikan tatapan aneh para siswa. Ia menggenggam erat pergelangan tangan In Hyeong hingga gadis itu berteriak seraya menghempaskan tangannya setiba mereka di belakang gedung sekolah.

“Hei! Apa yang kau lakukan?!”

“Aku?! Apa yang kulakukan?!” sahut Jin Ho tak mau kalah.

“Iya. Apa yang kau lakukan, Joon Jin Ho?!” teriak In Hyeong lebih keras.

“Kenapa kau membuang buku catatan yang kemarin kukembalikan?”

Seketika kening In Hyeong berkerut. Rasa kesal masih menyelimutinya karena ditarik dan diteriaki tanpa alasan yang jelas. Tetapi, usai mendengar pertanyaan Jin Ho, dia tampak bungkam dan urung menjawabnya.

Sesaat dia hanya menatap tajam Jin Ho sembari memegangi pergelangan tangannya yang memerah dan membuat Jin Ho merasa bersalah.

“Maaf, apa masih sakit?”

Ragu namun, ia perlahan mendekati In Hyeong dan menyentuh pergelangan tangannya. Dengan hati-hati ia memijatnya hingga membuat In Hyeong menunduk dan semakin dalam. Ia yang awalnya berpikir jika In Hyeong hanya malu karena perlakuannya sontak terkejut saat setitik air membasahi jemarinya.

“Hei, aku tidak bermaksud menyakitimu. Jangan menangis. Ma...”

“Sa, saat ini bukan tanganku yang sakit tapi, hatiku. Ka, Kak Il Woo memutuskan hubungan yang sudah kami jalin selama hampir tiga tahun secara sepihak kemarin lusa, tanpa mendengar apakah aku setuju atau tidak. Sa, sampai detik ini aku masih belum bisa menerima caranya yang seperti itu. Da, dan  terlalu banyak nama juga kata-kata yang ia ucapkan padaku tertulis di sana. Aku membuangnya sebab walaupun aku menghapus seluruh tulisan itu, tetap saja akan membekas.”

Sunyi, hanya sendiri dengan kedua mata masih terpejam, Jin Ho meletakkan kedua tangannya di kemudi mobil dan menumpu kepalanya. Hingga tampak badannya bergetar dan isaknya perlahan terdengar jelas teringat akan rasa bersalah yang selama ini ia rasakan sejak enam tahun bersama In Hyeong.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!