*Sang Konglomerat
"Besok kamu gak usah kerja dan jangan keluyuran kemana-mana, karena besok pak fahri dan keluarganya akan kesini!" tegas abi terhadapku.
"Iya Bi, Salwa kan boneka abi!" ucapan ku pelan namun terdengar kasar.
"Salwa!!!" tegur umi.
"Abi liat kamu makin hari makin kurang ajar ya salwa"
"Huum! yang abi liat, sayangnya abi gak pernah rasa apa yang Salwa rasakan!" segera saja aku bergegas menuju kamar, rasanya telingaku hampir meledak jika harus menampung terlalu banyak semua ucapan abi yang sangat menyakitkan itu.
Rasanya semakin bosan jika harus menghabiskan waktu sepanjang hari dengan berdiam diri dikamar sambil menatap langit-langit yang beberapa sudutnya sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba itu, tak sengaja ku lihat lagi nomor telpon arief yang sempat fasya tuliskan pada selembar notebooknya waktu itu, dengan ragu-ragu terus saja ku mainkan jari-jari tanganku untuk menetapkan pilihan antara menelponnya atau tidak.
"Telpon tidak, telpon tidak, telpon! hwaah kok telpon sih" gumamku seorang diri, meski dibibir berucap kesal namun dihati menafsirkan makna yang lain, ku pegang dadaku seketika lalu ku beranikan diri untuk menelponnya.
"Hallo! Assalamu'alaikum?"
"Waalaikumusalam, Siapa ni?" ketus Arief.
"Ahm...ini dengan Salwa rief..."
"tuut..tuuut..tuuut...." baru saja aku gerogi tak menentu, saat iya tau aku yang menghubunginya tiba-tiba saja ia langsung menutup telpon.
"Apa iya? dia masih sebenci itu sama aku?" gumamku dalam hati, aku sangat kecewa, itu hal yang manusiawi namun bukan hal yang wajar jika aku harus kecewa dengan arief, dia memang pantas memperlakukan ku seperti ini.
"Salwa? makan siang nak!" panggil umi dari dapur, kebetulan perutku juga sudah mulai keroncongan, seketika akupun terperanjat dari rebahanku dan segera menuju dapur.
Terus saja kutatap abi yang masih menikmati makanannya, dengan target setengah porsi makanan abi mulai dihabiskan maka aku akan memulai beberapa percakapan yang kedengarannya cukup serius.
"Kenapa tatap abi seperti itu?" rupanya abi menyadari kekonyolanku itu.
"Aaam! bi? kalau misalkan Salwa...aam sebenarnya Salwa..." ungkapanku makin membuat abi tambah bingung, bahkan aku sendiri juga bingung harus memulai seperti apa ucapan ku biar tidak menghilangkan nafsu makan abi saat ini.
"Uhuum! aam..sebenarnya ada laki-laki yang suka dengan Salwa bi?" ucapku dengan segala rasa cemas yang ku punya.
"Kamu ngomong apa Salwa?" abi mulai menatapku lagi dengan sinis.
"Aaam! sebenarnya dia kaya abi, dia seorang bos, dia bahkan punya perusahaan sendiri abi, umi" ucapan ku terdengar sedikit tidak meyakinkan, sudah pasti orang yang ku maksud itu ialah Arief, tapi apa mungkin dia masih menyukaiku, rasanya semua ini makin bertambah sulit.
"Salwa suka dengan laki-laki itu? apa dia juga mau membiayai pengobatan kakak kamu?" dengan ragu-ragu kuberikan anggukan pada abi.
"Kenapa Salwa gak cerita sebelumnya sama umi dan abi" tambah umi.
"Ya sudah! minggu depan suruh laki-laki itu datang kerumah, tapi perjodohan ini tetap berjalan!"
"Maksud abi?"
"Kalau sampai laki-laki itu gak datang minggu depan, maka dua minggu berikutnya kamu akan tetap menikah dengan laki-laki pilihan abi" bodohnya aku kenapa juga aku harus bawa-bawa Arief dalam kondisi seperti ini, berbicara denganku saja dia bahkan sudah tak sudi, apalagi punya keinginan untuk menikahiku.
*****
"Salwa, ayo! pak Fahri dan keluarga sudah ada didepan tuh!" ucap umi yang masih saja berdiri didepan pintu kamarku.
"Huufft! apa laki-laki itu juga datang umi?" tanyaku sedikit sinis.
"Sepertinya dia gak sempat datang Nak!" dengan lembut umi menanggapi pertanyaanku.
Aku sedikit melihat pemandangan yang cukup fantastik, baru kali ini ada keluarga konglomerat yang sudi datang bertamu ke rumah lusuh ini, saat melihat beberapa mobil mewah yang terpakir didepan rumah, mungkin saja para tetangga diluar sana mulai risih dan heboh dengan gibahannya yang tak pernah habis tentang keluargaku.
Saat ini, aku tengah duduk berhadapan dengan pak Fahri dan isterinya beserta ke dua anak perempuannya yang kelihatannya juga sudah menikah, melihat tingkah ke dua wanita itu yang mungkin nantinya juga akan menjadi calon kakak iparku terlihat jelas mereka seakan risih harus duduk di kursi kayu, bahkan sesekali mereka menatap rumah ini dengan tatapan menggelikan.
"Salwa! Salwa sudah tau kan maksud kedatangan om kesini?" pak Fahri mulai bersuara.
"Iya om!" ucapku terus menunduk.
"Jadi om dan keluarga kesini hanya ingin mendengar langsung jawaban Salwa, sayangnya anak om yang akan om jodohkan dengan Salwa tidak sempat datang hari ini" rasanya laki-laki itu sedikit pengecut sampai dia tak punya nyali untuk bertemu langsung dengan anak orang susah ini.
"Uum! memangnya dia kemana om?" tanyaku sedikit memastikan.
"Hari ini kebetulan bertepatan dengan jadwal penerbangannya jadi dia hanya sempat kirim salam sama salwa dan juga keluarga disini" terus saja pak Fahri tersenyum di hadapanku.
"Ouw memangnya dia berangkat kemana om? apa keberangkatannya itu gak bisa ditunda?" tanyaku sedikit cerewet, kelihatannya tiga wanita yang sedang duduk disamping pak Fahri saat ini mulai terlihat sinis dengan pertanyaanku itu, sebenarnya aku juga tidak ingin ambil tau tentang laki-laki itu, sayangnya rasa geramku semakin bertambah saat dia tak ada disini.
"Aaam, sebenarnya...dia seorang Pilot, jadi jadwal keberangkatannya memang sudah terjadwal dan hanya bisa ada perubahan jadwal ketika ada konfirmasi dari pihak pimpinan" terangnya yang cukup membuat air liurku meleleh dalam mulut saat mengetahui profesi laki-laki itu, rasanya kegeraman ini mulai berubah menjadi rasa malu atas fikiran-fikiran negatif ku terhadap laki-laki itu.
"Aaam! tapi om, saya ...saya ini hanya lulusan SMA, dan pekerjaan sayapun hanya pelayan cofee, apa om gak malu punya menantu seperti saya? terlebih lagi dengan anak om" pungkasku sangat malu jika harus ku sebut satu-satu kekurangan ku.
"Pelayaan cofee?" sontak saja salah satu anak perempuannya itu bersuara kaget sambil menatapku aneh namun pak fahri seakan memberi isyarat padanya untuk tidak menambah pembicaraan.
"Om sudah tau, abi kamu sudah banyak bercerita tentang kamu, lagi pula om tidak pernah memandang calon menantu om dari status sosial maupun status ekonominya, yang om tau salwa anak yang baik!" aku cukup terkesima atas pujian pak Fahri kali ini.
"Apa om sudah menanyakan sama abi saya? kalau...saya itu anak yang baik?" cetusku, apa mungkin, abi tidak pernah menceritakan sedikit cacat celahku pada pak Fahri, sampai-sampai ia menilai ku terlihat sempurna.
"Salwa!!!" seketika abi mengejutkanku dengan suara yang sedikit lantang, aku cukup paham dengan maksud abi, yang ada di pikiran abi memang hanyalah uang dan uang untuk menopang pengobatan kak Hilwa, pun sampai sekarang anak kesayangannya itu belum ada tanda-tanda untuk membuka mata tetap saja dia adalah prioritas.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum Next ke Episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Neulis Saja
harusnya abinya Salwa sadar kalau kelebihan Salwa adalah mandiri dan mau bekerja utk membantu orang tuanya kalau yg cerdas akademis belum tentu dia mandiri dan mau bekerja sbg pelayan pembuat cofee
2024-02-01
0
Eti Guslidar
salwa anak yg baik walau d segi lain.. abinya. blm. sadar.
2020-06-20
0
Fathonah Larakesi
ok besok udh up ya readers😊
2020-04-21
2