*Sang Konglomerat
"Besok kamu gak usah kerja dan jangan keluyuran kemana-mana, karena besok pak Fahri dan keluarganya akan kesini!" tegas abi, pun langsung ku hela nafas ini sepanjang mungkin.
"Iya Bi, Salwa kan boneka abi!" ucapan ku seraya menampilkan senyuman sinis satu detik.
"Salwa!" tegur umi, pun abi yang mendengar sahutanku barusan, ia yang awalnya akan bergegas ke dapur kini malah kembali berbalik badan dan langsung menatap sinis ke arahku seraya bersuara tegas.
"Abi liat kamu makin hari makin kurang ajar ya Salwa"
"Hu’um! yang abi liat, sayangnya abi gak pernah rasa apa yang Salwa rasakan!" segera saja aku bergegas menuju kamar, rasanya telinga ini hampir meledak jika harus menampung terlalu banyak semua ucapan abi yang sangat menyakitkan itu.
Tak ubahnya diruang tamu, di kamar pun aku tetap merasakan hal yang sama, rasanya semakin bosan jika harus menghabiskan waktu sepanjang hari dengan berdiam diri dikamar sambil menatap langit-langit yang beberapa sudutnya sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba itu, tapi setidaknya disini hatiku berasa sedikit lebih lega karena tak melihat wajah abi yang semakin membuatku merasa tertekan.
Saat aku menoleh ke sisi tempat tidur tak sengaja ku lihat lagi secarik kertas yang sudah ku kepal kepal berbentuk bola yang tak beraturan, perlahan aku membukanya sambil mengamati dua belas angka yang ada didalamnya, angka tersebut merupakan nomor telpon Arief yang sempat dituliskan Fasya waktu itu, dengan ragu-ragu terus saja ku mainkan jari-jemari tangan untuk menetapkan pilihan antara menelponnya atau tidak.
"Telpon tidak, telpon tidak, telpon! hwaah kok telpon sih" gumamku seorang diri, meski dibibir berucap kesal namun dihati menafsirkan makna yang lain, ku pegang dada seketika, lalu memberanikan diri untuk menelponnya.
"Hallo! Assalamu'alaikum?"
"Waalaikumusalam, Siapa ni?" ketus Arief.
"Ahm...ini aku Rief, Salwa..."
"tuut..tuuut..tuuut...." baru saja aku gerogi tak menentu, saat iya tau aku yang menghubunginya tiba-tiba saja ia langsung menutup telpon, sejenak aku terduduk sambil membayangkan betapa buruknya nasib yang menghampiriku saat ini, bahkan bibir yang sempat melancip tadi, kini kembali terlihat datar.
"Apa iya? dia masih sebenci itu sama aku?" gumamku dalam hati, namun aku harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dia memang pantas memperlakukan ku seperti ini, namun tak lama terdengar suara umi yang tengah memanggil dari luar
"Salwa? makan siang nak!"
“Iya umi…” bertepatan dengan perutku yang mulai keroncongan, seketika itu juga aku langsung bangkit dan bergegas menuju dapur.
Dimeja makan kami duduk bertiga, namun tatapanku terus saja menyoroti abi yang masih menikmati makanannya, dengan target setengah porsi makanan abi mulai dihabiskan maka aku akan memulai beberapa percakapan yang kedengarannya cukup serius.
"Kenapa tatap abi seperti itu?" rupanya abi menyadari kekonyolanku itu.
"Ahm, bi? kalau misalkan Salwa...aam sebenarnya Salwa..." ungkapanku makin membuat abi tambah bingung, bahkan aku sendiri juga bingung harus memulai darimana agar ucapan ku ini tidak menghilangkan nafsu makan abi.
"Uhum! aam..sebenarnya ada laki-laki yang suka dengan Salwa bi?" ucapku dengan segala rasa cemas yang ku punya.
"Kamu ngomong apa Salwa?" abi mulai menatapku lagi dengan sinis.
"Aaam! sebenarnya dia kaya abi, dia seorang bos, dia bahkan punya perusahaan sendiri abi, umi" ucapan ku terdengar sedikit tidak meyakinkan, sudah pasti orang yang ku maksud itu ialah Arief, tapi apa mungkin dia masih menyukaiku, rasanya semua ini makin bertambah sulit.
“Siapa nama laki-laki itu?”
“Namanya Arief bi”
“Kalian pacaran ya?” Suara abi mulai menegas, sontak akupun langsung bereaksi panik, jelas saja kalau sampai abi berfikir aku dan Arief berpacaran tentu ini akan menimbulkan masalah baru lagi untukku, apalagi abi sangat anti dengan aktivitas tersebut, secepat kilat aku langsung buru-buru mengklarifikasinya.
“Ahm, gak bi, kita sama sekali gak pacaran sumpah demi Allah bi, dia itu cuman teman sekelas Salwa dulu waktu SMA” tuturku dengan nafas yang memburu, sebaliknya abi masih terdiam, namun pandanganku masih saja terlihat waspada mungkinkah abi akan percaya terhadap penjelasanku barusan, dan untung saja abi percaya.
"Salwa suka dengan laki-laki itu?” dengan ragu-ragu kuberikan anggukan pada abi.
“Apa dia mau membiayai pengobatan kakak kamu?” Sekali lagi aku mengangguk pada abi.
"Kenapa Salwa gak cerita sebelumnya sama umi dan abi" tambah umi.
"Ya sudah, minggu depan suruh laki-laki itu datang kerumah, tapi perjodohan ini tetap berjalan!"
"Maksud abi?"
"Kalau sampai laki-laki itu gak datang minggu depan, maka dua minggu berikutnya kamu akan tetap menikah dengan laki-laki pilihan abi" bodohnya aku kenapa juga aku harus bawa-bawa Arief dalam kondisi seperti ini, berbicara denganku saja dia bahkan sudah tak sudi, apalagi punya keinginan untuk menikahiku.
*****
Dua minggu sudah terlewati, tepat dihari ini merupakan tanggal kesepakatan dua buah keluarga untuk bertemu, siapa lagi kalau bukan keluarga pak Fahri, tentunya hasil dari pertemuan ini yang akan menetukan bagaimana aku dikemudian hari, tepat dihalaman rumah yang sedikit kumuh ini mulai terlihat dua unit mobil mewah yang tengah memasuki pekarangan dengan kecepatan lambat, beberapa pasang mata dari tetangga sekitar mulai mengamati pemandangan langka ini sambil menyolek-nyolek satu sama lain, hingga tak lama kemudian ke dua mobil tersebut mulai berhenti, diikuti dengan beberapa orang yang berbusana cukup rapih terlihat turun dari mobil.
"Salwa, ayo…pak Fahri dan keluarga sudah ada didepan tuh!" ucap umi yang kelabakan sambil berlari kecil lalu mengetuk-ngetuk pintu kamarku.
“Bentar umi, ini Salwa lagi siap siap” tuturku sangat kesal.
“Daritadi lagi siap siap, ini udah mau dua jam loh kamu dikamar Salwa!”
“Iya umi bentar, ini udah mau selesai…” dengan wajah kesal, aku langsung bergegas membuka pintu, saat berhadapan dengan umi, sejenak umi menatap penampilanku sambil memperbaiki beberapa kerutan dihijab yang aku kenakan saat ini.
“Gimana kebayanya? Pas kan?”
“Humm…” sahutku tak bertenaga, sebenarnya aku cukup kesal atas permintaan umi yang memaksaku untuk mengenakan kebaya jadul ini, bayangkan saja tren kebaya modelan ini ada dizaman waktu dulu umi yang masih berumur 17 tahun, alasannya ya simpel, kebaya ini juga yang dulu pernah dipakainya saat abi datang melamar.
“Ayok…” umi lekas memboyongku ke ruang tamu untuk menemui keluarga besar pak Fahri.
“Jangan gitu mukanya, senyum dong…” tegur umi sambil mencubit pinggangku, spontan akupun langsung melancipkan senyuman meski dalam keadaan terpaksa.
Saat aku dan umi sudah berada diruang tamu, semua mata mulai tertuju pada kami, aku dan umi bersegera duduk mengikuti yang lain, pandanganku mulai beredar memantau satu per satu anggota keluarga pak Fahri yang turut hadir disini, namun sepertinya aku tak melihat penampakkan laki-laki sialan itu, terpantau pria yang hadir hanyalah pak Fahri dan dua orang pria paruh baya lainnya, sepertinya mereka adalah kakak ataupun adik dari pak Fahri.
Di sebelah kanan pak Fahri, terlihat isteri beserta ke dua anak perempuannya yang duduk melipat kaki, sambil matanya mengamati kesegala arah dengan tatapan sangat menggelikan, gestur mereka juga terlihat jelas seakan risih jika harus duduk dirumah kumuh ini.
“Ini Salwa ya?” Tanya pak Fahri, dan langsung kusahuti.
“Iya om”
"Salwa! Salwa sudah tau kan maksud kedatangan om kesini?"
"Iya om!" ucapku sambil menunduk.
"Jadi om dan keluarga kesini hanya ingin mendengar langsung jawaban Salwa, sayangnya anak om yang akan om jodohkan dengan Salwa tidak sempat datang hari ini" aku langsung mengangkat pandangan, rasanya laki-laki itu sedikit pengecut sampai dia tak punya nyali untuk bertemu langsung denganku.
"Uum, memangnya dia kemana om?" tanyaku sedikit memastikan.
"Hari ini kebetulan bertepatan dengan jadwal penerbangannya jadi dia hanya sempat kirim salam sama salwa dan juga keluarga disini" terus saja pak Fahri tersenyum di hadapanku.
"Ouw memangnya dia berangkat kemana om? apa keberangkatannya itu gak bisa ditunda?" tanyaku sedikit cerewet, namun ternyata hal itu langsung mematik reaksi sinis dari ketiga wanita yang sedang duduk disamping pak Fahri saat ini, sebenarnya aku juga tidak ingin ambil tau tentang laki-laki itu, sayangnya rasa geramku semakin bertambah saat dia tak ada disini.
"Aaam, sebenarnya...dia Pilot, jadi jadwal keberangkatannya memang sudah terjadwal dan hanya bisa ada perubahan jadwal ketika ada konfirmasi dari pihak pimpinan" terang Fahri, yang cukup membuat air liurku meleleh dalam mulut saat mengetahui profesi laki-laki itu, rasanya kegeraman ini mulai berubah menjadi rasa sungkan.
”Owh, gitu ya om…”
“Salwa sekarang umur berapa?” Isteri pak Fahri menindih.
“22 tahun tante”
“Masih muda ya, emangnya Salwa udah selesai kuliah?”
“Mah…” Pak Fahri langsung memotong pertanyaan isterinya tersebut, namun aku tetap menjawab pertanyaan itu dengan sopan.
“Saya gak kuliah tante, setelah lulus SMA saya langsung bekerja”
“Ow yah? Kerja apa?”
“Pelayan kopi tante…” mendengar jawabanku barusan, sontak isteri pak Fahri beserta anak sulungnya terlihat sama sama kompak bereaksi kaget sambil mengatakan kalimat yang sama.
"Hah? Pelayaan cofee?" Disebelahnya, pak Fahri sedikit tak enak melihat kelakuan dua wanitanya itu, dan langsung buru-buru mencairkan suasana.
"Om sudah tau, abi kamu sudah banyak bercerita tentang kamu Salwa, lagi pula om tidak pernah memandang calon menantu om dari status sosial maupun status ekonominya, yang om tau Salwa anak yang baik!" aku cukup terkesima atas pujian pak Fahri kali ini.
“Jadi gimana? Apakah Salwa mau menerima pinangan Om?” Ku tatap wajah umi dan abi sesaat, dengan mata yang hampir berkaca-kaca, pun hati yang penuh dengan tekanan, terpaksa harus ku angguki permintaan pak Fahri tersebut.
“Mah cincin mana?” Lanjut pak Fahri, seketika isteri pak Fahri mulai melotot ke arah suaminya.
“Tapi pah…” isteri pak Fahri sedikit menyela, sambil membisikan sesuatu, kelihatannya ia sangat tak setuju atas perjodohan ini, aku melihat sedikit ada perdebatan disana, namun tak lama kulihat isteri pak Fahri itu mulai mengeluarkan kotak cincin sambil menggeser tubuhnya menghampiriku, dengan tatapan datar ia memintaku untuk menjulurkan jari jemari, akupun dengan sangat terpaksa menyedorkan jari jemari untuk disarungkan cincin tersebut, tepatnya dijari manis.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum Next ke Episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Neulis Saja
harusnya abinya Salwa sadar kalau kelebihan Salwa adalah mandiri dan mau bekerja utk membantu orang tuanya kalau yg cerdas akademis belum tentu dia mandiri dan mau bekerja sbg pelayan pembuat cofee
2024-02-01
0
Eti Guslidar
salwa anak yg baik walau d segi lain.. abinya. blm. sadar.
2020-06-20
0
Fathonah Larakesi
ok besok udh up ya readers😊
2020-04-21
2