*Beberapa Bulan Setelahnya
"Salwa, ibu sedikit bangga sama kamu, ibu sangat berharap kamu bisa mempertahankan nilai-nilai kamu saat ini, bahkan kalau boleh kamu lebih tingkatkan lagi nilai-nilai kamu" aku sedikit lega mendengar ucapan bu Archy kali ini, berkat kelas privat itu setidaknya semua nilai-nilai ujian semesterku mencapai standar kelulusan. Di meja yang berbeda terdengar beberapa orang guru lainnya terkagum-kagum dengan kehebatan kak Qiyas, setidaknya dia mampu mendorong anak-anak seperti kami ini untuk keluar dari zona nyaman.
Meskipun kompetensi ku mengalami sedikit peningkatan, namun dimata abi semuanya terasa sama, seperti tidak ada yang berubah, abi terus saja menganggapku sebagai anak yang bodoh.
"Hai Arief selam ..." seketika ucapan ku tak mampu ku sempurna kan, maksud hati ingin memberikan selamat pada Arief, namun dia terus saja mengabaikan ku, apakah aku sedang khilaf untuk memberikan dia ucapan selamat, aku rasa tidak karena hal ini sudah menjadi tradisi kami setiap semsternya, mungkin sebaiknya aku tak perlu bertegur sapa dengannya, jika sikapku terus seperti ini maka dia akan berbesar kepala dengan menganggapku yang terus mengejar-ngejarnya.
*******
"Gimana Nak?" tanya umi dengan mulutnya yang masih mengunyah sesuap nasi.
"Alhamdulillah, umi Salwa naik kelas!" akupun meluahkan kebahagiaan ini pada umi, dengan sesekali kulihat ekspresi abi yang terlihat datar-datar saja.
"Alhamdulillah! tuh kan untung Salwa ikut kelas privat kemaren, ya Allah umi seneng banget" umi terlihat sangat girang mendengar kabar gembira ini, namun suasananya sedikit garing saat abi sedikitpun tak melontarkan kata-kata.
"Umi, Salwa kan sekarang udah kelas X11 nih, bentar lagi kan lulus, Salwa boleh kuliah gak Umi?" tanyaku sedikit segan sambil tatapanku pelan-pelan mengarah ke wajah abi namun kali ini abi terhenti menyuap nasi.
"Insya allah nak, kalau kita punya rezeki yang lebih salwa pasti akan kuliah" umi menyambut pertanyaan ku dengan suaranya yang meneduhkan.
"Kamu tuh memang anak yang gak tau diri yah?" sontak abi menyerang ku dengan kalimatnya yang cukup menyayat hati ini.
"Abi?" dengan lembut umi berusaha untuk menyanggah pertanyaan abi.
"Ana jadi gak nafsu makan melihat tingkah anak baladah (bodoh) ini" seketika itu abi terperanjat dari tempat duduknya, benar saja abi tidak melanjutkan makan siangnya, aku semakin merasa bersalah tidak seharusnya kulontarkan pertanyaan seperti itu tadi.
"Udah abi gak apa-apa kok, ya udah salwa makan lagi ya nak" umi terus saja membujuk ku, akupun melanjutkan makan namun makanan yang kumakan kali ini serasa hambar.
Seketika ku hampiri abi yang tengah duduk sambil membaca koran di ruang tamu, cukup lama aku duduk terdiam dan terus memandanginya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pada abi.
"Abi?" panggilku sangat pelan aku sangat canggung untuk memulai percakapan pada abi, seketika abi membalasku hanya dengan erangan.
"Salwa pengen kuliah Bi?" ujarku seketika, dalam hati penuh dengan beribu-ribu rasa cemas, wajahkupun mulai menunduk masam.
"La! (tidak), dengan otak kamu yang pas-pasan seperti itu, dengan kondisi ekonomi kita yang seperti ini, kamu masih egois mau minta kuliah?" lagi-lagi abi melantangkan suaranya dihadapan ku.
Tak banyak kata lagi, akupun segera bergegas menuju kamar, apa lagi kalau bukan mengeluarkan jurus terampuh untuk menguatkan hati yang hanya dimiliki oleh wanita.
"Kamu memang gak ada pengertiannya ya, sudah tahu kondisi kakak kamu sekarang lagi membutuhkan biaya pengobatan, apa nanti umi dan abi kamu sudah menjual organ tubuhnya baru kamu akan sadar? ha?" abi terus saja berceloteh, dengan suaranya yang lantang itu, masih saja terdengar olehku.
"Abi! jangan terus-terusan marahi Salwa, kasihan dia, masih sekecil itu sudah banyak berkorban untuk menopang sedikit keuangan kita abi, jangan hanya kemampuan dia tidak seperti hilwa, lantas abi membeda-bedakan kasih sayang terhadap ke duanya" umi mencoba untuk menenangkan abi.
"Abi tidak membeda-bedakan kasih sayang, abi hanya mau mendidik dia, anak seperti itu gak bisa dilembutin" tegas abi.
"Mendidik anak juga gak baik kalau terlalu dikerasin abi" balas umi, dikamar aku mencoba menyimak percakapan umi dan abi dengan air mataku yang terus menetes.
"Belain aja terus anak itu!" seketika langkah kaki abi mulai terdengar saat ia melewati depan kamarku menuju kamar keluarga umi dan abi.
******
Usai apel pagi, entah kenapa aku sedikit merindukan kehadiran kak Qiyas, didalam kelas yang sangat riwah itu, ku amati sebuah notebook yang berisi ringkasan materi yang sempat kutulis saat kelas privat kemaren.
"Wuuuuh! yang rajin belajar" terdengar fasya yang mulai meledekku.
"Yah baca-baca ajalah dari pada bahas sesuatu yang gak penting" ucapku.
"Aku senang ngeliat kamu makin semangat kek gini" kali ini fasya terdengar sedikit serius.
"Hai Fasya! jam istirahat nanti, kita makn siang bareng yah? tenang aja nanti aku yang traktir" seketika Arief berulah lagi, namun kali ini targetnya adalah Fasya, aku hanya terdiam tanpa memerhatikan mereka.
"Aaam! boleh tapi Salwa juga ikut yah?" rasanya pengen ku gigit sebelah daun telinga Fasya kali ini, kenapa juga dia harus bawa-bawa nama aku.
"Huum, kita berdua aja gimana? soalnya ada hal penting yang mau aku omongin sama kamu, bukan sama orang lain" aku sedikit tersindir dengan ucapan arief kali ini, seketika akupun keluar kelas menuju taman mini yang ada didepan kelas mungkin saja Arief sedang tersenyum lebar saat melihatku keluar, dengan sikap acuhnya dia cukup membuatku terus merasa bersalah.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum Next ke Episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments