*Asa Yang Mendatang
Di teras belakang rumah, aku dan umi tengah memotong-motong beberapa jenis sayuran, kami terlihat begitu santai menikmati suasana sore sambil beberpa kali meloloskan canda dan tertawa lepas, hingga sampailah dimana aku ingin sekali menceritakan program les privat yang akan diadakan disekolah, sebenarnya umi sudah tahu tentang program itu, namun umi belum tahu siapa yang akan jadi guru fasilitatornya inilah alasannya kenapa aku cukup bersemangat.
“Ahm…” baru saja aku ingin memulai tiba-tiba fokus umi mulai teralihkan dengan kedatangan Qalbi dari kejauhan, bibirku yang tadi sempat mengukir senyum mendadak berubah datar, bahkan aku tak mau menatap kearah Qalbi lama-lama.
"Assalamualaikum umi!" ucapnya menyapa umi, yang langsung dijawab oleh umi.
“Waalaikumusalam!”
Aku sedikit canggung dengan kehadirannya disini, kenapa tidak meski kami bertetangga rumah namun hal yang selalu membuatku canggung dengan Qolbi karena dia adalah teman sekelasku yang hampir setiap semesternya dia yang selalu memegang juara pertama di kelas 11 peminatan IPS 3, dan dialah juga yang selalu menjadi bahan perbandingan abi setelah kak Hilwa, Qalbi mungkin tahu kalau aku sangat tak nyaman dengannya tapi entah kenapa dia seakan tak menciptakan jarak untuk itu, dia selalu bersikap ramah dan tersenyum kepadaku dia juga terlihat sangat akrab dengan umi dan abi.
"Ciee, yang melamun, denger denger kalian akan dibimbing sama aa Qiyas Fathir Anugerah ya!" ucapnya sangat akrab sambil bahunya menyenggol pelan bahuku, sebaliknya aku hanya memaksakan untuk tersenyum, dengan lihai Qalbi turut membantu kami memotong sayur.
“Siapa itu? Guru baru ya?” Umi mulai penasaran dengan nama yang disebut Qalbi barusan.
“Bukan umi, aa Qiyas itu siswa juga, tapi dari SMA satu, nanti dia yang bakalan ngajar diles privat itu, iya kan Wa?” Aku hanya mengangguk kecil, namun hatiku mulai sedikit was-was jangan sampai Qalbi membocorkan rahasia terbesarku, kalau aku begitu menggilai pria itu.
“Oh siswa juga? berarti anaknya pinter ya?” Kagum umi dengan mata yang lebar.
“Iya pinter banget umi, dia juga populer loh disekolah kita, banyak banget cewek cewek yang naksir sama dia umi!” Ya ampun Qalbi mulutnya renyah kayak rengginang yang dikunyah, dia yang berbicara aku yang ketakutan minta ampun, bagaimana kalau dia kecoplosan tentang aku yang juga termasuk dalam deretan cewek cewek yang dimaksud itu, sumpah aku tak akan memaafkannya.
“Waduh kaliankan masih kecil, gak usah naksir-naksiran dulu yah, sekolah aja yang bener, nanti kalo udah cukup umur, udah sukses baru naksir-naksiran gak apa-apa” ujar umi sedikit menasehati.
"Qolbi ikut les privat juga?" tiba-tiba abi bersuara dari dalam sembari menghampiri kami namun ia hanya berdiri didepan pintu.
"Eeem, gak abi!" jawabnya singkat.
"Iya Qolbi kan anak yang pintar, gak mungkin lagi disuruh ikut les tambahan, rencananya Qolbi mau lanjut kuliah dimana?" ucap abi sedikit menyindirku, sepertinya arah pembicaraan mulai berubah, kalau sudah ada abi begini sudah pasti yang selalu dibahas hanyalah soal prestasi dan prestasi yang aku sendiri tak menyukai itu.
"Rencana mau lanjut kuliah di Jakarta abi, kalau salwa rencananya mau lanjut dimana?" sungguh Qolbi mengajukan pertanyaan yang semakin membuatku sulit untuk bernafas.
"Salwa itu tidak seprti kamu Qolbi, otak dia gak mampu, dia bisa lulus SMA saja abi sudah sangat bersyukur, lagi pula sekarang ini Hilwa juga sedang membutuhkan biaya pengobatan" ujar abi sangat datar, seketika aku terdiam dan menunduk, mendengar keputusan abi mataku mulai berkaca-kaca, aku terus berupaya menahan air mata agar tidak menitih.
"Dilihat dulu kondisi keuangan umi dan abi, kalau cukup mungkin Salwa juga bisa lanjut kuliah nanti, mudah-mudahan saja Salwa dan Qolbi bisa satu kampus lagi" Qolbi tersenyum harap mendengar ucapan umi, aku tahu umi sengaja berkata seperti seperti itu agar aku tidak terlalu sedih dengan keputusan abi.
"Jangan terlalu beri dia harapan, sekalipun kita punya uang, dia gak akan mungkin bisa kuliah, otak dia gak mampu, cukuplah selama ini dia sudah buat malu kita!" abi sedikit tegas mengatakan hal itu pada umi secara langsung kalimat itu juga ia tujukan padaku, aku tak berani melihat wajah abi, mendengar suaranya saja hati ini sudah terlalu sakit apatah lagi dengan melihat wajah kekecewaannya itu.
Semenjak kak Hilwa koma kami sudah tidak lagi mendirikan sholat secara berjama'ah, usai sholat isa segera saja kurebahkan tubuh diatas tempat tidur, kudengar suara pintu kamarku yang terbuka terlihat umi dengan mukenahnya masuk dan menghampiriku.
"Tidak usah terlalu dipikirkan ucapan abi tadi yah?" umi mencoba menghiburku.
"Iya umi" jawabku singkat, umi yang saat ini tengah duduk disampingku terus saja mengelus ubun-ubunku.
"Kalau nanti umi dan abi punya uang yang cukup Salwa harus tetap melanjutkan kuliah ya Nak?" seperti yang sudah dikatakan abi, lagi-lagi umi memberiku harapan yang aku sendiri juga belum tahu apakah harapan ini akan terwujud ataukah hanya sekedar angan-angan.
"Umi, apa yang dikatakan abi itu benar umi, Salwa ini anak yang bodoh, sangat bodoh umi, salwa gak pantas untuk kuliah" ujarku tak tahan, air mataku seketika menitih.
"Salwa gak boleh ngomong seperti itu, sebenarnya abi gak bermaksud berbicara seperti itu, saat ini Salwa harus paham dengan kondisi abi, salwa tau kan sampai saat ini abi masih belum menerima kenyataan dengan kondisi kakak kamu nak!" ujar umi dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, tak ingin umi berlarut dalam kesedihan seketika itu aku segera memeluknya dengan erat.
*****
Tepat pukul 07.15 pagi, sudah terdengar bunyi bel, pertanda kami segera diminta untuk berbaris didepan kantor seraya menerima beberapa arahan dari para guru, yang bisa didengar hanya beberapa potongan kata saja ya sudah pasti kali ini aku tidak menyimak lagi arahan yang disampaikan oleh pak guru, dengan senyuman yang mulai merekah lebar bak bunga Raflesia Arnoldi ini, aku terus saja mencuri-curi pandang pada kak Qiyas yang saat ini juga sedang berdiri didepan sana, dari caranya berpakaian sangat kelihatan kalau dia orang yang cukup stylish.
Usai apel pagi, kami langsung bergegas masuk kedalam kelas, untuk mengikuti pelajaran pertama yaitu tentang materi geografi, suasana didalam kelas cukup hening, didepan sana kak Qiyas terus menuliskan beberapa poin-poin penting dipapan sambil sesekali ia berbalik badan untuk menjelaskan hal tersebut, kami yang ada dihadapannya ikut menulis dibuku sambil mendengarkan dengan serius penjelasannya tersebut.
“Bumi terbagi menjadi kawasan daratan dan perairan, wilayah daratan dari bumi dikelompokkan menjadi enam benua, yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika Eropa dan benua Antartika, coba sebutkan siapa saja penemu dari enam benua tersebut?”
“Ada yang bisa jawab?” Tanya kak Qiyas, sontak aku langsung garuk garuk kepala, karena tak tahu sama sekali dengan jawabannya, namun tak lama terdengar suara siswa perempuan dibelakang sana sambil mengancungkan tangan, aku yang penasaran langsung menengok kearah sumber suara.
“Saya pak!”
“Iya, siapa nama kamu?”
”Gafin pak!”
“Baik Gafin silahkan…”
“Penemu benua Asia adalah Kristofer Olimpic, Vasco da Gama dan Marco Polo, penemu benua Amerika yaitu Colombus, penemu benua Afrika yaitu Bartholomeus Diaz, penemu benua Australia yaitu James Cook” Gafin berhenti sejenak untuk menghela nafas, tak lama ia kembali melanjutkan.
“Penemu benua Eropa adalah Vasco da Gama juga, dan penemu benua Antartika adalah…” Gafin berhenti lagi sambil mengingat-ingat nama penemu benua tersebut, melihat Gafin yang terus ditatap oleh kak Qiyas aku sedikit dibuat cemburu olehnya, sementara aku hanya bisa berlagak sok berfikir keras padahal aku benar benar tak tahu apa jawabannya, kalau aku terus membungkam seperti ini maka selamanya dia gak akan pernah tau tentang aku.
“Iya, siapa penemu benua Antartika?”
“Ehm…” sepertinya Gafin sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa, hingga terpaksa kak Qiyas harus melimpahkan pertanyaan tersebut ke siswa yang lain.
“Ada yang tahu? Sisa satu lagi ayo siapa nama penemu benua Antartika?”
“Edward Bransfield?” Tiba-tiba siswa yang lain ikut nyeletuk dengan nada sedikit tak yakin.
“Ya benar sekali, siapa namanya?”
“Saya Andre pak!”
“Baik, Andre sama Gafin hebat yah, kasih aplause dong” seisi ruangan langsung memberikan tepuk tangan, termasuk aku, bukan main bagaimana rasanya menjadi Gafin saat mendapatkan pujian tersebut, Gafin tak jauh berbeda denganku yang juga sama-sama mengidolakan kak Qiyas sejak dulu, tak beberapa lama sebelum kelas berakhir, kak Qiyas sempat mengabsen daftar hadir kami.
“Gafin Prita Lestari?”
“Hadir pak!” Gafin tersenyum kecil sambil mengangkat tangan, pun Qiyas menatapnya dengan senyuman, nama Gafin seperti sudah membekas diingatannya.
“Owh yang tadi yah?”
“Iya pak…”
Aku menatap iri ke arah Gafin, dan sangat berharap saat kaka Qiyas memanggil namaku saat itu juga pandangannya akan tertuju padaku, namun lagi dan lagi, mungkin karena urutan namaku paling bawah dan dia juga sudah terlihat sangat lelah dia hanya memanggil namaku tanpa sedikitpun pandangannya terarah kepadaku.
Sebelum kembali kerumah, dengan sigap aku berlarian menuju ruang perpustakaan, cukup lama aku berkeliling mencari beberapa buah buku paketan yang aku butuhkan, bahkan urutan batas-batas pemisah buku paketan antara kelas IPA dan IPS pun aku tidak tahu, sedikit bingung harus memulai dari mana, karena nyatanya ini adalah kali pertama aku menapaki ruangan perpustakaan kedengarannya sedikit creepy.
"Aaam! bu aku mau minjam semua buku-buku ini" sambil kusedorkan tiga buah buku paketan tersebut pada petugas perpustakaan, lalu tak lupa kuserahkan juga kartu perpustakaan ku.
"Salwa Jannatun Adwiyah bener ini nama kamu?" tanyanya hanya sekedar memastikan, akupun dengan segera mengiyakan pertanyaannya itu, namun kali ini aku sedikit cemas saat staf itu selalu saja mengamati kartu perpustakaanku.
"Apa mungkin ada yang salah dengan kartu perpustakaanku?" gumamku dalam hati, dengan perasaan sedikit risih saat melihat ada beberapa siswa lainnya yang mulai mengantri di belakangku.
"Ini pertama kalinya kamu ke ruangan perpustakaan?" staf itu mulai berbicara tegas dihadapanku, tak mengurangi rasa hormat, lagi-lagi aku mengiyakan pertanyaannya.
"Of course this is first time for you! gak ada absensi finger kamu yang terdeteksi disini, gak ada daftar peminjaman buku sebelumnya, apasih sulitnya untuk baca buku? huum pantas saja Negara Indonesia menduduki peringkat ke dua dari terakhir sebagai Negara dengan minat baca yang kurang, ternyata negara ini dipenuhi dengan orang-orang yang seperti kamu" cetusnya, aku lumayan tersindir dengan sya'irnya yang bernada tinggi kali ini, namun dengan segera ku ambil semua buku-buku yang sudah terdaftar itu lalu keluar dari ruangan perpustakaan.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum next ke episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Yaryar Hiaruhu
kadang tidak sepenuhnya bodoh karena bodoh, Salwa bodoh karena terlalu dibandingkan dengan kakanya yg luar biasa, padahan masing2 berbeda punya kelebihan dan kekurangan
2024-03-14
0
N Wage
sadis sekali mulut guru pustakanya😂
2024-02-09
0