*Hadirnya Sebuah Tawa
"Yah beginilah keadaan kita disini nak Qiyas, makan seadanya, umi sih gak pernah memikirkan jenis dan banyaknya makanan, yang penting halal dan berkah aja itu umi sudah bersyukur banget, mungkin juga masakan umi tidak seenak masakan mamah nak qiyas dirumah" terus saja umi merendah dihadapan mas Qiyas, sambil menghidangkan beberapa lauk-pauk yang belum sempat tersaji diatas meja.
"Hehe! gak kok umi, malah mamah gak pernah masak dirumah" cetuhnya sangat lembut, entah kenapa setiap kali mas Qiyas berada tepat di hadapanku, aku seakan tidak punya alasan untuk tidak tersenyum.
"Loh, Salwa kok dari tadi hanya senyum-senyum aja sih, tuh tuangin nasi ma lauk di piring suami" dalam angan yang hampir menjulang akupun sangat terkejut saat ditegur umi, malu rasanya jika umi harus berkata seperti itu dihadapan mas Qiyas, pun tubuhku serasa kesetrum listrik seketika.
"Aaam, iya umi hehe!" ujarku sedikit salah tingkah, sontak saja mas Qiyas segera berbalik arah menatapku, dengan tekun ia menyorotiku dengan tatapan yang meremehkan, sambil sesekali ia memerhatikan gerak-gerik kedua tanganku yang terlihat cukup gemetar saat menuangkan nasi dan beberapa jenis lauk dipiringnya.
"Hehe! Salwa, Salwa!" tiba-tiba saja abi meluapkan gelak tawa sambil beberapa kali ia menggelengkan kepalanya, jujur saja setelah kak Hilwa koma, abi seakan enggan untuk tersenyum apatah lagi untuk tertawa, karena menurut abi tertawa dan tersenyum adalah bentuk konkrit dari rasa bahagia maka tidak sepantasnya ia merasa bahagia disaat kondisi kak Hilwa sedang sekarat, yapp seperti itulah pemikiran abi, bagi abi apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan selagi belum keluar dari koridor kebaikan maka hal itu yang akan ia lakukan.
"Abi kenapa ketawa?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius, mas Qiyas yang tidak tahu menahu tentang keluargaku, pun turut terlihat bingung atas pertanyaanku.
"Hehe! kamu tuh, didepan nak Qiyas aja kamu sudah gemetar minta ampun, gimana nanti kalo sama keluarga besar nak Qiyas?" sontak saja umi dan mas Qiyas pun ikut tertawa kecil mendengar ucapan abi barusan, rasanya aku seperti kesandung batu, tertiban pohon dan diliatin orang lagi, entahlah sangat sulit menjelaskan betapa malunya diri ini sampai-sampai aku kehabisan tingkah untuk mengekspresikannya.
Usai sarapan pagi, segera saja ku bereskan ruang dapur, pun umi membantuku membilas beberapa piring kotor yang sudah kusabuni, sementara abi dan mas Qiyas tengah bercengkrama di ruang tamu, suara tawa dari keduanya bahkan terdengar sampai ke dapur.
"Hum, kelihatannya abi sangat suka dengan nak Qiyas!" tiba-tiba umi memulai percakapan, aku hanya tersenyum sambil sekilas menatap umi.
"Umi rindu dengan tawa abi, iyalah Salwa tau kan, selama Hilwa kritis abi seakan trauma dengan rasa tertawa, tapi semenjak nak Qiyas hadir di keluarga ini, sikap abi seperti, seakan-akan Hilwa sudah ada di rumah ini bersama-sama dengan kita" selalu saja umi meneteskan air mata inilah satu-satunya alasan kenapa aku tidak menyukai jika umi harus menyebut nama kak Hilwa.
"Umi...!" ucapku sambil mengelus-elus pundak umi.
"Salwa, ketika suatu saat nanti, ujian menerpa rumah tangga kalian, satu yang umi minta jadilah wanita yang tegar, wanita yang sabar, seberat apapun masalah yang kalian hadapi nanti, umi harap Salwa dan Qiyas tidak pernah khilaf memilih jalan perceraian, ingat nak! perceraian itu bukan solusi" Nasehat umi yang sangat briliant itu, hanya kusambut dengan anggukan kepala.
Kini jarum jam telah menunjukkan pukul 11.30 WIB, saat semua pekerjaan terselesaikan, akupun bergegas menuju kamar, namun saat aku membuka pintu lagi-lagi aku melihat mas Qiyas duduk termenung di dekat lemari, sampai saat ini aku sendiri belum mengerti kenapa mas Qiyas sangat menyukai tempat itu, bahkan dia terlihat seperti orang yang ketakutan jika harus berbaring atau hanya sekedar duduk diatas tempat tidur.
"Mas kenapa sih suka banget duduk disitu?" ujarku pelan, namun tak ada kata yang diucapkannya, terus saja ia membungkam sambil menatap layar handphonenya.
Meski terkesan ia mengabaikanku, tentunya aku juga harus bisa berupaya untuk memahami perasaannya saat ini, mungkin saja ia tengah belajar untuk bisa beradaptasi dengan berbagai kejenuhan yang ia dapati jika harus tinggal dirumah yang serba kekurangan seperti ini.
"Qiyas? ayo kita sholat berjama'ah di masjid!" terdengar suara abi dari luar.
"Iya bi"
*****
"Abi mana?" tanyaku, saat melihat mas Qiyas yang baru saja pulang ke rumah hanya seorang diri.
"Abi lagi ngasih tausiah di masjid, ow ya aku mau keluar bentar yah, kalo umi ma abi nanya, bilang aja aku lagi ada urusan" sontak mas qiyas meraih tanganku lalu menyedorkan kopiah dan sajadahnya.
"Loh, emangnya mas Qiyas mau kemana?" hanya dengan pelototan matanya aku seakan paham kalau ia tidak menyukai pertanyaanku yang terdengar seolah-olah turut mencampuri urusan pribadinya itu.
Mata yang mulai sayu, seakan mengingatkanku saatnya untuk tidur siang, betapa nikmatnya menjalankan sunnah yang satu ini, tak banyak yang dilakukan, hanya sekedar merebahkan badan, memejamkan mata dan keluar dari alam sadar, insya allah sudah bernilai pahala disisiNya.
Saat merebahkan tubuhku saat itu pula aku mulai terlelap, sekitar 30 menit ku pejamkan mata sembari bermain-main di alam mimpi, sontak saja aku terbangun kaget saat mendengar suara klakson yang terus saja berbunyi didepan rumah, kekesalanku saat ini seolah tak bisa dibendung lagi, tubuhkupun mulai terperanjat untuk meluapkan emosi yang hampir memuncak ini.
"Ada apa sih pak! klakson-klakson muluw?" ujarku sedikit geram sembari menghampiri seorang bapak yang kuduga ialah sopir dari mobil truk bak tersebut.
"Mohon maaf mengganggu bu, soalnya tadi kami beri salam gak ada yang jawab" sahut lembut bapak sopir tersebut.
"Iya bapak tau kan, sekarang tuh jam tidur siang, kalo bapak terus-terusan bunyiin klakson didepan rumah saya, bapak tidak hanya sedang mengganggu saya, tapi tetangga-tetangga saya yang lain juga ikut terganggu"
"Iya sekali lagi kami mohon maaf bu, kami kesini hanya sekedar melakukan pengantaran barang saja, soalnya masih ada sederetan barang yang perlu kami antar lagi ke alamat yang lain" akupun terdiam sejenak sembari memerhatikan beberapa barang yang termuat dalam mobil tersebut, yang tidak lain ialah satu set sofa tamu, satu buah kulkas berukuran sedang, satu unit televisi yang berukuran 18 inci, satu buah kipas angin dan satu dus anti nyamuk yang kenyataannya barang-barang semahal itu mustahil untuk dibeli oleh umi ataupun abi.
"Haah? maaf yah pak, mungkin bapak salah alamat saya gak mesan semua barang-barang itu"
"bu! tapi benar kok alamatnya disini, pemilik rumahnya atas nama bapak abdul umarkan? coba ibu liat dulu" tukasnya sembari menyedorkan selembar kertas yang bertulis alamat lengkap rumah umi, dalam hati aku mulai bergumam apa mungkin mas Qiyas yang membeli semua barang-barang mahal itu.
"Iya bener, tap..tapi ini sudah dibayar semua kan?" tanyaku sekedar memastikan.
"Iya bu, semuanya sudah dibayar, ibu hanya tinggal tanda tangan disini aja"
"Ya udah, kalo gitu langsung bawa masuk aja ke dalam barang-barangnya pak" ujarku.
Dalam proses pengangkutan barang didalam rumah, satu demi satu tetanggaku mulai berdatangan, ada yang tersenyum semringah, ada yang heboh bukan kepalang, ada juga yang terlihat datar sambil mulutnya komat-kamit seakan hendak menceritakan sesuatu, tapi ya sudahlah aku hanya bisa mengabaikan mereka karena hidupku tidak ditopang oleh komentar julid dari mereka-mereka yang terlalu prioritas mengurusi kehidupan orang lain.
*Udah Follow Akun Aku? yook Follow dulu biar nanti dapet notifikasinya yah 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Eti Guslidar
ulah nuge
2020-06-20
2