*Di Luar Kendali
"Sebelumnya abi sangat berterima kasih sama kamu nak, tapi kalo boleh jangan menghambur-hamburkan uang untuk membeli semua barang-barang itu"
"Abi, aku beli semua barang itu harganya gak seberapa kok bi, aku ngelakuin itu semata-mata karena aku sayang sama umi dan abi" tulusnya ia berpuitis dihadapan umi dan abi tapi terdengar sedikit lucu ditelinga orang-orang yang berpendidikan rendah sepertiku.
"Mas bisa ngomong kek gitu, karena mas punya uang, berbeda dengan kita yang sudah jelas-jelas tingkat ekonomi di bawah rata-rata, bagi kami dan para tetangga idola yang lain, semua barang-barang itu cukup mahal mas" sontak saja aku langsung menyambar perkataan mas Qiyas yang kedengarannya Segala sesuatunya bisa diatasi dengan uang
"Bukannya apa-apa sih Nak, umi cuman malu sama tetangga, entahlah apa yang ada difikiran mereka sekarang tentang umi, lagi pula umi gak terlalu butuh semua barang-barang itu, apa yang ada didalam rumah ini umi sudah sangat bersyukur, umi tidak minta banyak dari nak Qiyas, umi hanya minta nak qiyas jadi penyambung tangan umi untuk membahagiakan salwa, itu aja"
"Sudah, sudah, tidak usah kita lebar-lebarkan lagi masalah ini, toh semua barang-barang itu juga ada manfaatnya untuk kita" seketika abi menyambung ucapan umi.
"Qiyas? jangan diambil hati yah omongan umi dan Salwa barusan" ujar abi sangat lembut sembari menyoroti mas Qiyas, pun mas qiyas membalasnya dengan beberapa kali anggukan kepala.
*****
Baru saja aku memasuki kamar aku hampir sesak nafas saat mencum sengatan bau anti nyamuk yang baru saja disemprotin oleh mas Qiyas.
"Uhuuk! uhuuk! mas apa-apaan sih, nyemprot anti nyamuk sampe segitunya" tegurku dengan napas yang engap-engap.
"Gak apa-apa, biar nyamuk-nyamuk yang ada disini pada mati semuanya"
"Huum, kalo kek gini ceritanya, bukan hanya nyamuk yang akan mati, tapi yang tidur disini juga bakalan mati" tak menanggapi omelanku mas Qiyas pun kembali terduduk disamping lemari, yang sudah kujuluki sebagai mimbar ternyaman untuk sang jenius, entah kenapa di depan umi dan abi ia seakan rela memubazirkan kata-kata namun saat di depanku ia cenderung menghemat bahkan terkesan pelit untuk mengeluarkan kata-kata.
Mulai jenuh melihat tingkahnya yang hanya membungkam dan terus berfokus ke layar handphone itu, akupun lalu merebahkan tubuh yang tengah kelelahan ini diatas tempat tidur sembari menikmati segarnya hembusan kipas angin yang baru saja dibeli oleh mas qiyas siang tadi.
"Hwuaaah!" teriakan mas Qiyas terdengar sangat memekik ditelingaku, sontak saja akupun mulai terperanjat namun dari arah depan kulihat mas Qiyas dengan wajah ketakutannya berlari ke arahku, hal diluar nalarpun mulai terjadi, dengan keras ia menimpa tubuhku sampai kami terjatuh diatas tempat tidur, sangat jelas saat ini ia berada tepat diatasku dengan wajah kami yang hampir bersentuhan semakin mengalirkan sinyal ke jantungku untuk berdegub lebih keras lagi, bahkan tatapan matanya saat ini yang tak kuat untuk kupandangi semakin melemahkan otakku untuk berfikir jernih sontak saja kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku.
"Aahm! maaf aku gak sengaja" pungkasnya terlihat sedikit salah tingkah, ia lalu beranjak menuju pintu kamar terus saja ia berdiri dengan ekspresi yang sesekali terlihat geli akan sesuatu.
"Kenapa sih ada tikus dikamar kamu?" pungkasnya sedikit tegas, mungkin maksudnya ingin sedikit memberi bumbu untuk menghambarkan suasana yang sangat canggung ini, namun tak ada respon apa-apa dariku, selain tak mau melihat wajahnya aku yang lumayan malu atas kejadian itu tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Kamu jangan salah paham yah, itu semua hanya sekedar refleks, karena jujur saja aku sangat fobia dengan tikus" ujarnya sangat datar, mas Qiyas mencoba memberi sedikit penjelasan terkait kejadian tadi, padahal tanpa ia jelaskan apapun aku sudah sangat paham bahwa hal canggung itu memang terjadi diluar kehendak kita masing-masing.
*****
Usai sholat subuh, aku langsung melipat mukenah sementara mas Qiyas mulai berbaring lagi untuk melanjutkan tidurnya, tak sengaja aku membuang angin dengan bunyinya yang mungkin saja bisa mengejutkan daun telinga mas Qiyas, belum lagi memudar hal memalukan semalam, kini sudah muncul lagi hal memalukan yang baru, dengan wajah masam dan hatiku yang mulai takut kalau-kalau mas Qiyas menyadari suara kentutku yang sangat memalukan itu, mau taruh dimana wajah sweety ini fikirku tak karuan.
"Kamu kentut ya?" tanyanya seketika.
"Aahm! hehe i..iya mas, soalnya mas semalaman tidurnya pake kipas jadinya aku masuk angin" ungkapku dengan wajah beribu malu, bahkan saat berbicara aku tidak mau melihat wajahnya.
"Hwaah! aku memang paling gak suka lah, perempuan kentut dihadapan aku" pungkasnya sangat jengkel sembari beranjak ke ruang TV.
"Haduh malunya ya allah!" gumamku pelan, berasa Segala sesuatunya jadi serba salah.
*****
"Hormati suami yah nak? jaga diri dan jaga kesehatan disana, umi akan rindu dengan Salwa" seketika akupun menganggukan kepala setelah mendengar nasehat nasehat umi, sembari ku usap wajah umi yang sedari tadi tiada henti-hentinya menitihkan air mata.
"Bi! Salwa pamit yah!" ujarku dengan meraih tangan abi untuk ku salami.
"Iya nak, Salwa, Qiyas, kalau ada kesempatan, kalian sering sering kesini jenguk umi dan abi yah?" memang benar apa yang difikirkan umi, dengan hadirnya mas Qiyas abi seperti telah menjumpai sosok kak Hilwa, sikap dan temperament abi seakan pulih kembali menjadi sosok penyabar dan bertutur kata lembut layaknya abi yang dulu jauh sebelum kak Hilwa koma.
"Umi, abi, kalo misalkan kami belum punya waktu untuk berkunjung kesini, umi dan abi bisa gunakan ini untuk melepas rindu dengan Salwa" mas Qiyas sempat menyedorkan sebuah parsel berwarna Hijau yang aku sendiri tidak tahu apa isi dari parsel itu, setelah berpamitan, aku dan mas Qiyas bergegas menuju mobil, dari kaca spion terus saja ku lihat wajah umi dan abi seakan berat untuk melepaskanku, pun hatiku sangat berat untuk meninggalkan mereka, seumur-umur aku bahkan tidak pernah berjauhan dengan mereka dalam waktu 24 jam.
"Ahm, mas?"
"Hiisss! mas..mas..mas..stop panggil aku mas" sontak ia menimpali ucapan ku dengan tegas dan penuh emosi.
"Heh, denger yah, aku gak suka kamu manggil aku mas, cukup didepan orang tua kita aja kamu manggil aku seperti itu paham?"
"Loh tapi kenapa?” Aku menilik kearahnya dengan isi kepala yang masih menjelajah apa maksud dari perkataannya itu.
“Hum, pake nanya lagi” pekiknya makin kesal.
“Aku kan isteri kamu, wajar dong kalo aku panggil kamu mas?" ujarku spontan aku bahkan tak habis pikir mas Qiyas bisa sekasar itu untuk melampiaskan rasa tak sukanya padaku.
"Bhuwss! isteri?" tanggapannya terdengar amat menjengkelkan senada dengan mimik muka yang ia tampilkan.
“Terus aku harus manggil kamu gitu?” Ujarku yang hanya ngasal, namun ternyata ia menanggapinya dengan serius.
“Ya, itu, sebutan aku kamu memang layak untuk pasangan seperti kita”
“Berarti kamu ngajarin aku untuk gak sopan dong sama kamu, padahal umi dan abi selalu ngajarin aku untuk hormat sama suami”
"Hormat…hormat…Hei gak perlu, aku gak butuh semua itu, dan satu lagi gak usah bawa bawa umi sama abi dalam urusan kita”
“Hidup apa adanya aja, gak usah berpacu pada status dan surat nikah, karena pernikahan tanpa landasan cinta semua itu hanya sekedar formalitas bahkan sia-sia" lanjutnya.
Aku hanya bisa menatapnya sayu dengan mata yang mulai berkaca-kaca, serasa semua ucapannya tidak ada yang bisa disaring untuk diserap kembali, meladeninya hanya akan membuatku semakin sakit hati saja.
*Udah Follow Akun Aku? yook Follow dulu biar nanti dapet notifikasinya yah 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Neulis Saja
abaikan saja itu kan pertama bertemu lama2 si qiyas akan bucin dgnmu, kamu kan cantik baik lagi tinggal menunggu waktu, just wait later ☝️
2024-02-01
0