Quality Love
*Putih Abu-abu
Dengan pelan ku langkahkan kaki kanan untuk menuruni tangga sebuah bus yang sering aku naiki saat pulang sekolah, bukannya sudah sampai namun Busnya tiba-tiba mogok ditengah jalan, dengan rupiahku yang tidak mendukung saat ini, sudah pasti aku akan menempuh perjalanan sampai kerumah dengan jalan kaki dengan jarak sekitar 5 km lagi.
Siang itu, rasanya segala sesuatu seakan tak bersahabat, perlahan kurapatkan telapak tangan dekat tulang pelipis untuk menghalangi terik matahari yang terasa cukup untuk membakar kulitku saat ini.
Peluh yang terus saja bercucuran didahi dan rasa letih yang terus menguras energi, ku amati lagi lembar demi lembar hasil ujian semester yang baru saja ku peroleh dengan mata yang sendu aku sedikit menyesali nilai ujianku yang sangat jelek itu meskipun hal ini sudah biasa bagiku namun aku tau, abi dan umi pasti akan kecewa lagi saat melihatnya.
*****
"Assalamu'alaikum!" ucapku tak bertenaga, aku segera mendekati abi yang sedang duduk di kursi kayu untuk mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikumussalam!" abi bersuara lirih padaku tetapi saat aku melihat tatapan matanya, sangat jelas sekali kalau abi masih kecewa denganku.
"Mana hasil ujian kamu?" pertanyaan abi cukup membuat jantungku hampir tak berdenyut lagi, meskipun sudah menjadi kebiasaan abi yang selalu menanyakan hasil ujianku tiap semesternya, tapi tetap saja aku selalu takut dengan pertanyaan yang cukup sakral itu.
Dengan pelan kusedorkan lembaran nilai ujianku pada abi, lagi-lagi abi menatapku sinis, ia lalu mengambil lembaran itu kemudian ia melihat nilai ujianku, sudah bisa dibayangkan reaksi abi akan seperti apa saat melihat nilai-nilaiku yang sangat jelek itu.
"Dasar anak baladah (bodoh)!" teriaknya padaku, tubuhku cukup gemetar saat menyaksikan kemarahan abi, namun aku cukup tegar untuk tidak mengeluarkan air mata dihadapan abi, mendengar teriakan itu dari belakang umi berlari ke arahku dengan lembut ia mengelus ubun-ubunku dan segera memelukku.
"Abi? kenapa abi selalu memarahi Salwa?" umi terus berupaya untuk membelaku, terlihat sangat jelas wajah sedih umi yang mulai dibaluti beberapa kerutan wajah pada kelopak matanya.
"Umi tanya kenapa? ya sudah pasti nilai ujian dia, dari dia TK sampai dia SMA, ana gak pernah liat satu aja nilainya yang bagus" abi terus saja meninggikan suara dengan jari telunjuknya yang terus ia arahkan padaku.
"Abi, Salwa juga udah berusaha semampu dia, abi gak boleh terus-terusan tekan dia seperti ini" jawab umi dengan nada suara yang sangat lembut.
"Bela aja terus anak itu, berusaha semampu dia aja gak cukup kalo hasilnya masih sama, hwuuuh ini lah yang ana paling gak suka dengan anak ini, dia sangat berbeda jauh dengan Hilwa!" abi mulai bersuara lirih lagi dan segera ia beranjak pergi.
Suara lantang maupun suara pelan yang abi lontarkan terhadapku, terasa sama tetap saja setiap bait-bait kalimatnya selalu menyiksa telinga dan hatiku, terlebih lagi ketika abi membanding-bandingkan aku dengan saudari kembarku rasanya remuk sudah semua tulang rusukku.
"Ya udah, Salwa ganti baju ya? habis itu makan, umi udah siapin makan siang untuk Salwa dimeja!" seketika umi menatapku, dari tatapan matanya terlihat umi sedang menunggu jawabanku, karena terlalu sedih aku hanya memberikan sekali anggukan pada umi.
Rasanya orang yang paling mengerti dengan perasaan ku saat ini hanyalah umi, aku sangat bersyukur allah menitipkan malaikat nyata ini untuk mendampingiku, menguatkan ku dan selalu memberiku semangat, pernah sekali aku membayangkan betapa ngerinya jika aku tanpa umi, mungkin saja aku tidak akan pernah merasakan nikmatnya sesuap nasi, melainkan pahitnya menahan sakit hati.
Kekecewaan abi terhadapku bermula ketika aku berusia 12 tahun tepatnya saat aku telah menamatkan pendidikan sekolah dasar, rencananya abi akan membawaku ke pesantren namun aku lebih memilih untuk menempuh pendidikan di sekolahan umum saja, berbeda dengan kak Hilwa, dia adalah anak yang penurut, apapun keputusan abi dan umi kak hilwa selalu mengiyakan hampir tak ada kalimat bantahan yang keluar dari mulutnya.
Selama beberapa tahun hidup di pesantren kak Hilwa sangat dikenal hal layak ramai karena kecerdasannya, kak Hilwa juga rutin mengikuti berbagai lomba ditingkat nasional dan internasional, beberapa kali namanya sempat tercetak dimedia massa, sampai saat ini beberapa piagam penghargaan dan piala lomba yang pernah ia raih masih tersusun rapih di lemari TV.
Akibat kecelakaan bus enam bulan yang lalu seakan semuanya sirna seketika dan sampai saat ini kak Hilwa masih terbaring koma di rumah sakit, terkadang sesekali aku benci dengan keadaan ini, semenjak kak Hilwa koma semuanya berubah derastis, abi dan umi terpaksa harus menjual beberapa barang berharganya untuk memenuhi tuntutan biaya rumah sakit, bahkan diusiaku yang baru menginjak 15 tahun, aku berupaya keras untuk bekerja part time di sebuah warkop dengan upah yang pas-pasan demi menopang sedikit biaya pengobatan kak Hilwa.
Banyak yang bilang aku dan kak Hilwa hanya memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama memiliki paras yang cantik, selebihnya hanyalah perbedaan-perbedaan yang terlampau jauh untuk menyatukannya, kata mereka setidaknya kak Hilwa lebih terlihat sempurna karena kecantikannya yang tampak berkualitas dengan kecerdasan ilmu yang dimilikinya, aku mengakui hal itu, bahkan terkadang aku juga sempat merasa iri dengannya, kenapa aku tidak bisa seperti dia, namun aku percaya aku juga memiliki sisi yang berbeda tentang kualitas diriku sendiri.
******
Usai sholat maghrib, aku segera menuju dapur dan membantu umi yang tengah menyiapkan hidangan makan malam, ku sedorkan semangkuk sayur dihadapan abi namun ia hanya duduk terdiam tanpa melihatku, sebaliknya berat rasanya mulut ini untuk menegur abi, yang ada dipikiranku saat ini diam adalah cara terbaik untuk untuk mendinginkan suasana.
Abi hanya bersuara saat ia melafadzkan do'a makan, umi sempat melontarkan beberapa pertanyaan pada abi, namun abi hanya membungkam untuk menepis pertanyaan umi.
"Salwa?" umi mengejutkanku, rupanya terlalu jauh aku termenung sampai-sampai tak menyadari sudah berkali-kali umi memanggilku.
"Ayo makan, nih umi ambilkan sayur sama ikan yah?" ungkapnya sangat lembut akupun mebalasnya dengan anggukan kepala sambil sedikit tersenyum seketika abi menatapku dengan sinis mungkin aku terlihat sedikit manja anggapnya, rasanya dada ini semakin sesak tak kuasa aku segera memalingkan pandanganku pada umi, lagi-lagi umi selalu memberikan senyum terbaiknya sambil menuangkan sayur dipiringku.
"Makasih umi" ucapku dengan pelan, didepan umi aku berani menampilkan sedikit senyuman namun didepan abi aku sama sekali tak berani, diruang makan yang cukup minimalis itu kami bertiga menikmati makan malam tanpa percakapan lagi, hanya terdengar bunyi sendok saat menyentuh piring.
Eeeiiiittts..udah rate bintang ⭐ 5 belum? 🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum next ke episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Anonymous
keren
2024-04-07
0
Anonymous
ketika
2024-04-01
0
Neulis Saja
kalaupun lahir dari rahim yg sama tapi kemampuan dan kecerdasan belum tentu sama karena setiap orang punya kemampuan dan kecerdasan yg berbeda, boleh jadi yg satu cerdas di akademis yg lain boleh jadi cerdas dlm skill misalnya, jgn memaksa utk sama cerdas dlm akademis sementara mereka punya kemampuan yg berbeda. hrsnya orang tua paham hal ini jgn membedakan perlakuan karena tdk cerdas dlm akademis boleh jadi cerdas dlm bidang yg lain
2024-02-01
1