*Kekecewaan Mendalam
Dari kejauhan terlihat umi yang terus berdiri didepan pintu dengan pandangan yang terarah kepadaku, aku tahu saat ini umi sedang khawatir dengan kondisiku, hal ini selalu saja dilakukan umi ketika aku pulang kerja sudah selarut ini.
"Assalamualaikum, Umi" ucapku sedikit tersenyum sembari mencium punggung tangan umi, yang menyambut ku dengan wajah penuh cemas.
"Waalaikumusalam, kenapa pulang malam lagi nak?" tanya umi.
"Uum Salwa banyak kerjaan hari ini Umi!" aku sedikit berkilah agar umi tidak terlalu mencemaskan ku, namun kali ini pandangannya mulai tertuju pada box-box kue yang sudah kosong, yang saat ini masih saja ku pegangi.
“Laku semua jualannya?” Umi cukup kaget, akupun langsung menganggukan kepala sambil tersenyum kecil kearah umi.
"Salwa jualan dimana tadi?" pertanyaan umi kali ini seakan memblocking alibi alibi yang baru saja terlintas di fikiran ku.
“Hmm?” Aku masih berpura-pura tak mengerti atas pertanyaan umi barusan, sampai umi kembali bersuara yang langsung membuat aku tak bisa berkutik lagi.
“Tadi kata pak Dani, jualan umi hanya laku sepuluh ribu loh, kok tiba-tiba bisa habis? Pasti Salwa jualan lagi kan?”
"Ahm, iya, Salwa cuman jualan disimpang empat kok umi!" jawabku dengan suara pelan.
"Huuuftt, Salwa! kenapa Salwa jualan disana? emangnya Salwa gak malu kalau teman-teman Salwa ngeliat Salwa lgi jualan?" kali ini nada bicara umi terdengar sedikit lebih tegas dari biasanya.
"Umi! kenapa harus malu? Salwa kan gak berbuat sesuatu yang haram Umi!" ucapku sedikit menerangkan, karena kebanyakan anak seusiaku saat ini terlihat minder untuk berjualan apalagi di simpang empat, tetapi tidak denganku.
"Umi, biasanya habis berapa sih dagangan Umi saat dititipkan di warung?" tanyaku sedikit penasaran, karena selama ini yang aku tahu memang umi dagangan kue tetapi aku tidak pernah tau berapa keuntungan yang umi dapatkan dari hasil penjualan kue itu.
"Aaam! bi ...biasanya tiga puluh ribu aja nak!" jawaban umi seketika membuat jantungku terasa ngilu mendengarnya, matakupun mulai berkaca-kaca.
"Umi! tiga puluh ribu gak sebanding dengan modal Umi, belum lagi tenaga Umi, laba gak dapet rugi iya!" ucapku sedikit kasar pada umi, seketika itu air mataku mulai menetes, dihadapannya kulihat ke dua mata umi yang juga mulai berkaca-kaca.
"Nak, diluar sana banyak yang punya kue lebih enak dari pada bikinan Umi! resep Umi kan itu-itu aja, pasti pembeli juga bosan Nak!" sesegera mungkin kupeluk umi, rasanya sangat durhaka diri ini, dengan ucapan ku yang terlepas kata, mampu membuat umi menangis.
"Ya udah, mulai besok dagangan Umi gak usah dititipkan diwarung lagi, biar Salwa bawa aja di warkop, siapa tahu disana banyak yang minat dengan kue umi" pungkasku dengan senyuman, lalu ku tatap wajah umi yang masih mengangguk juga tersenyum padaku, dengan pelan kuseka titihan air matanya dan kucium ke dua punggung tangannya.
"Salwa mandi, makan lalu istirahat ya nak!" ucapnya dengan terus mengelus ubun-ubun ku yang hampir saja tak terlepas itu.
"Iya Umi, ow yah Abi mana" ucapku, sedikit canggung.
"Abi lagi sholat isha berjamaah di masjid nak, hanya belum pulang soalnya abi ada kajian rutin malam ini" pungkas umi.
******
Hari ini adalah hari perdana masuk sekolah setelah dua minggu terjadwalkan libur bagi mereka-mereka yang menikmatinya. Saat aku memasuki gerbang sekolah, aku hendak berpapasan dengan Arief, namun kali ini ceritanya sedikit berbeda, dia terlihat cuek bahkan tak menyapaku saat aku menyuguhkan senyuman padanya, terlihat jelas saat ini aku berhadapan dengannya, rasanya tak mungkin jika dia tak menyadari hal itu.
Aku pikir dia wajar untuk kecewa atas perkataanku waktu itu, namun tak sedikitpun terbayangkan di fikiranku kalau dia akan kecewa sampai hari ini, bahkan aku sendiri tidak bisa menyimpulkan berapa lama dia akan seprti itu terhadapku, mungkin saja bertahun-tahun atau bahkan selamanya.
Hari ini ku nikmati lagi suasana kelas X1 IPS 3, sesekali pandanganku kuarahkan kebelakang tepat di meja Arief, biasanya saat aku masuk dia orang pertama yang akan menyambut ku, berceloteh ini dan itu bahkan selalu saja dia terlihat gelisah jika tak mendatangi mejaku.
"Kenapa kamu liat-liat Arief?" Fasya yang menyadari tingkahku sontak saja ia melontarkan pertanyaan.
"Gak!" jawabku singkat mungkin saja bagi fasya aku juga terlihat sedikit kaku.
"Huum! bilang aja rindu, eh bentar! kalian lagi marahan yah? tumben banget hari ini dia gak gelisah kek ulat bulu" ucapnya sedikit mencurigaiku.
"Gak Fasya! umm marahan emang aku siapanya dia!" aku berusaha menjaga sikap dan ucapanku agar Fasya tidak terlalu jauh mencurigaiku.
"Hum! apa coba kurangnya si Arief itu, cakep iya, tajir apa lagi, kalau aku jadi kamu huuw udah lama aku jadiin dia gebetan!" ucapnya sedikit seakan memberiku tantangan.
"Saat aku memilih lanjut sekolah di sekolahan umum, abi menetapkan beberapa aturan terhadapku, yang pertama jangan putus sholat, yang ke dua jangan lepas hijab dan yang ketiga jangan pernah berfikir untuk pacaran, huum lagi pula dia juga belum bisa membuat aku terpukau" kulontarkan kalimat itu tanpa melihat wajah Fasya, aku terlalu takut untuk melihat tatapan tajam matanya ketika aku terkhilaf kata, terlebih lagi saat membahas tentang Arief.
"Iya, karena kak Qiyas kan? he Salwa bisa gak sih, sekali aja kamu berfikir secara rasional orang gemilau seperti Qiyas Fathir Anugerah itu terlalu banyak pemburunya, dari sekian banyak pemburunya dia gak mungkin milih kamu, setidaknya dia akan cari yang setaraf dengan dirinya" aku hanya menatap wajahnya dalam hitungan detik lalu kutundukkan lagi pandanganku, seperti biasa saat dia mulai berbicara tegas maka saat itu pula sorotan matanya terlihat sangat tajam padaku.
Apa yang dikatakan Fasya memang benar adanya, hanya saja aku yang terlalu sulit untuk menepis rasa kagumku pada seorang lelaki yang ia sebut gemilau itu, andaikan rasa boleh memilih, maka takkan ku izinkan rasa ini hinggap pada orang-orang yang sangat mustahil untuk ku gapai.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum Next ke Episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments