*Ternyata Dia
"Mbak white cofeenya satu yah?" teriak salah satu pelanggan padaku, hari ini sangat ramai pengunjung, aku cukup kewalahan bahkan beberapa kali aku sempat salah mengantarkan orderan, sangat jarang ditempat ini akan ramai pelanggan seperti ini, tentunya suasana beginilah yang paling dinanti oleh semua pekrja disini, bukan apa-apa sih, setidaknya upah yang kita perolah juga bisa sedikit bertambah dari biasa.
"Permisi!" terdengar sapaan datar dari seorang pelanggan wanita di depan sana, yang langsung di sahuti oleh salah satu pelayan disini, namanya Lisya dengan suara yang ramah.
"Iya mbak!"
"Mana pemilik kafe ini?"
"Aam...silahkan duduk dulu mbak, di meja sudah tersedia buku menu, barangka..." tiba-tiba pelanggan wanita tadi memotong ucapan Lisya dengan suara tegas hingga mulai memancing perhatian pelanggan lainnya.
"Gak usah, saya kesini bukan mau minum kopi, saya mau ketemu sama bos kamu, mana dia?"
Sejenak ku coba perhatikan wajah pelanggan judes itu dari sini, namun sangat sulit untuk ku terawang wajah pelanggan itu, hingga akhirnya aku tidak terlalu menghiraukan perdebatan mereka, terus saja ku antarkan beberapa orderan cofee yang sudah tersaji di baki yang saat ini masih kupegangi.
"Ok mbak, tapi sebaiknya mbak duduk dulu, kebetulan kami disini punya 5 menu baru dengan harga yang bervariasi dan..."
"Saya tanya bos kamu mana? kamu ngerti gak sih dengan pertanyaan saya? kok bisa ya orang seidiot kamu dipekerjakan disini?" lagi-lagi wanita itu bertingkah galak dan sombong dihadapan Lisya yang tengah melayaninya saat ini, tentu saja kebanyakan mata pelanggan disini menyorotinya dan sebagian lainnya bahkan merasa tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu.
Sontak fokus pak Gege mulai teralihkan, dan langsung bergegas menghampiri wanita itu, aku hanya bisa menyaksikan dari kejauhan saja sembari menyedorkan beberapa cangkir cofee lagi di meja bagian sudut, meski tengah berhadapan dengan pak Gege, ia seakan enggan untuk memelankan suaranya, baru saja aku akan berpindah ke meja lainnya tiba-tiba Lisya terlihat menghampiriku sambil bersuara sedikit berbisik.
"Salwa, kamu dipanggil bos!"
“Hah aku?”
“Iya…”
“Tapi ini aku masih ada orderan yang mau diantar ke meja 13…”
“Sini biar aku saja, udah kamu cepetan kedepan” tak banyak kata lagi segera Lisya meraih baki yang saat ini masih kupegangi, dengan dada yang mulai berdebar-debar akupun bergegas menghampiri pak Gege.
“Iya pak?” Seketika tatapanku mengarah ke wanita itu, sumpah aku sangat terkejut kenapa bisa anak sulung pak Fahri sampai nekad mendatangiku disini, meskipun ini kali ke dua aku bertemu dengannya namun masih terekam jelas wajah angkuhnya itu di ingatanku.
"Salwa, kamu kenal dengan wanita ini?" dihadapan pak Gege ku anggukan kepala dengan sedikit ragu-ragu.
"Saya boleh bawa dia keluar sebentar gak?" dengan lagaknya ia melontarkan pertanyaan itu pada pak Gege, sebaliknya pak Gege belum langsung menanggapi pertanyaannya.
“Bisa gak? Cepatanlah pak, saya gak bisa lama-lama disini” Pak Gege menatap cukup sinis.
“Ini masih jam kerja…” Bahkan orang sabar seperti pak Gege saja kelihatannya sudah mulai bertanduk saat menghadapi sikap minus calon kakak iparku itu.
"Ouw masih jam kerja? Ya udah nanti saya bayar deh sisa waktunya, anda butuh berapa perjam-nya?" Sambil mengelurakan dompet hitam dari tasnya, kak Sheila terlihat begitu serius atas ucapannya, sementara aku hampir pingsan mendengar kata-katanya tersebut, pun pak Gege tak memberikan respon apa-apa lagi terhadapnya.
"Pergi Salwa, jangan buat keributan disini!" dengan pelan pak Gege menyampaikan kalimat itu padaku, lalu buru-buru beranjak meninggalkan kami.
Seketika itu, kak Sheila langsung menarik paksa lenganku untuk bergegas menuju mobil, iapun membawaku disalah satu restoran mewah, yang sudah pasti tempat-tempat seperti ini sudah menjadi kegemaran orang-orang berduit seperti mereka, setelah mendapatkan meja ia lalu memesan makanan dan minuman, karena aku tidak terlalu tau tentang makanan-makanan Sultan seperti ini, akupun ikut menyamakan menu serupa dengan menu makanannya.
"Oke, uhuum to the point aja, kamu butuh duit berapa banyak? biar kamu mau batalkan perjodohan itu? tenang aja aku langsung transfer sekarang kok ke rekening kamu" serasa kalimatnya makin kurang ajar saja ia lontarkan terhadapku.
"Huum! maaf kak, saya tidak butuh uang dari kakak, saya masih bisa bekerja kok untuk mendapatkan uang sendiri”
"Huum bullshit! Gak butuh uang? Serius kamu?" dengan cepat ia menyambar ucapanku, sambil menebarkan senyum meremehkan.
“Iya sih selain jadi pelayan kopi, job terbaru kamu sekarangkan jual diri ke papah saya, biar bisa nikah dengan adik saya, sekalian deh numpang hidup” cukup keterlaluan, dadaku semakin meletup-letup saja mendengar kalimat hinaan itu, memangnya dia pikir aku ini perempuan seperti apa?
“Astaghfirullahaladzim, maaf ya kak saya gak serendah itu, lagipula saya gak pernah menginginkan perjodohan ini”
“Ow yah? Ya udah tinggal dibatalin aja gampang kan?” Timpalnya, sementara aku jelas tak punya wewenang untuk membatalkan perjodohan ini kecuali abi, dan sudah pasti itu akan sulit terjadi.
"Kenapa diam? Kamu ya, sudah susah, sok-sok'an lagi, kamu pikir saya gak tahu, berapa abi kamu menjual diri kamu pada papah saya, seharga biaya rumah sakit kakak kamu kan?" serasa ucapannya penuh cabai semua, bahkan kedua bola mataku mulai berkaca-kaca.
"Kamu pikir adik saya suka sama kamu? Ngaca deh…"
"Sadar…kamu tuh cuma pelayan cofee, kamu pikir orang seperti kamu pantas bersanding dengan adik saya? huuft...gak pantes sama sekali tau gak?" terus saja ia berteriak di telingaku tanpa berfikir malu saat semua pelanggan mulai menyoroti kami.
"Batalkan perjodohan itu, atau kamu akan lebih menderita dari pada ini!" daun telingaku serasa menggigil mendengar ungkapan kasarnya itu.
*****
Tepat pada pukul 13.00, WIB aku baru saja sampai di rumah, dengan wajah yang datar aku terus saja memikirkan ucapan kak Sheila tadi, rasanya beban hidupku semakin bertambah, saat aku akan bergegas kekamar ternyata umi yang kebetulan tengah menikmati makan siang dengan abi didapur mulai menyadari kedatanganku.
"Salwa?”
“Hmmm…” kusahuti umi dengan suara yang tak bertenaga.
“Sini nak, makan…" ajak umi, meski tengah tak bernafsu untuk makan, tetap saja kuhampiri umi disana.
"Salwa udah kenyang mi!" ujarku pelan, sembari mengambil tempat duduk, sepertinya ini saat yang tepat untuk membahas kembali tentang perjodohan ini, mungkin saja abi akan berubah pikiran atas keputusan yang tentu banyak menaruh luka hati dibeberapa orang, termasuk aku sendiri.
“Loh makan dimana?”
“Tadi ditraktir sama temen, umi…”
“Owh…”
Dengan ragu-ragu, kuperhatikan abi yang sejak tadi hanya fokus dengan santapannya, ia bahkan tak melontarkan satu bait kalimat padaku, mau tidak mau aku yang harus memberanikan diri untuk memulai pembicaraan ini.
"Bi?”
“Humm?” Abi mendongak ke arahku, namun tak lama.
“Apa abi serius mau melanjutkan perjodohan ini?" tukasku sedikit serius, sontak abi berhenti mengunyah, lalu menghembuskan nafas cukup keras sambil menatapku cukup dingin.
"Salwa? kenapa tiba-tiba tanya abi seperti itu?"
"Abi, Salwa rasa mereka gak suka dengan Salwa bi, lagi pula coba abi pikir, orang kaya seperti mereka gak akan pernah cocok dengan orang susah seperti kita bi!"
”Mereka itu siapa? Kamu gak liat gimana baiknya pak Fahri kemaren?” Abi mulai meninggikan suara.
“Tapi bi…”
"Salwa!" lagi-lagi abi berteriak lantang dihadapnku, rasanya berbicara dengan abi memang tidak akan pernah ada solusi, yang ada hanya semakin membuatku sakit hati saja, seketika itu akupun bergegas menuju kamar.
"Kring..kring..kring..!" dering telponku terus saja berbunyi, seketika ku amati layar handphone tertera 12 angka tapa nama yang tak ku kenali, kubiarkan saja terus berdering tanpa satupun panggilannya ku jawab, namun semakin lama aku semakin risih dengan nomor baru yang terus saja menelpon itu, dengan perasaan geram ku jawab panggilannya.
"Hallo, Assalamu'alaikum!"
"Waalakumsalam!" terdengar suara seorang pria yang baru saja menyahutiku, sontak ku kernyitkan kening seraya memungkiri tidak mungkin pria di balik telpon ini ialah Arief, suaranyapun berbeda jauh dengannya.
"Dengan siapa nih?"
"Ini saya..." sahut pria itu, yang semakin membuatku naik pitam saja.
"Saya? saya siapa?" tegasku.
"Nuge" tuturnya singkat, merasa tak mengenali nama itu, akupun semakin meninggikan suara.
"Nuge siapa?"
"Saya anaknya pak Fahri, kamu Salwa kan? yang rencananya akan di jodohkan dengan saya?"
"Ouw, kenapa?" jawabanku seakan menepis dua pertanyaannya barusan.
"Saya di depan rumah kamu sekarang, ada beberapa hal yang mau saya omongin langsung sama kamu" pintanya sedikit membuatku geleng-geleng kepala, pikirku seketika, tidak kakak tidak adik semuanya sama saja.
"Kamu gak punya sopan santun ya? udah didepan kenapa gak masuk?" ujarku dengan nada yang sedikit kasar.
"Oke" tuturnya seraya mengakhiri obrolan, mengetahui laki-laki itu ada didepan rumah, segera ku perhatikan penampilanku pada cermin lemari yang hanya sepotong itu, tak lupa ku taburi sedikit bedak pada wajahku, jujur saja aku cukup penasaran dengan tampang laki-laki itu.
"Assalamu'alaikum!" Pria itu mulai mengucapkan salam dari luar, yang masih bisa kudengar dari arah kamar, sontak jantungku mulai berdebar-debar, rasanya saat dia sudah ada disini aku semakin tak punya nyali untuk menemuinya.
“Walaikumsalam…” umi menyahut, seraya menghampiri pria itu didepan pintu.
“Siapa ya?” Tanya umi, jelas saja umi tak mengenalinya, karena selama ini kami hanya mendengar desa desus pria itu hanya dari cerita pak Fahri saja.
“Saya Nuge, bu…”
“Nuge? Owh Nuge anaknya pak Fahri?”
“Iya bu”
“Ya ampun, sini, sini, masuk nak…” umi cukup bersemangat menyambut dia, dengan sikap sungkan umi langsung menyilahkan pria itu untuk duduk dikursi kayu.
“Bentar ya, umi panggilin Salwa dulu” ia hanya mengangguk kecil seraya tersenyum pada umi.
"Salwa?” Teriak umi dari luar sambil mengetok pintu kamar.
“Iya umi…”
“Ayo sini nak, cepetan ada tamu istimewa yang datang nih"
“Iya, bentar umi”
Namun tak beberapa lama, umi kembali mengetuk seraya terus memanggil dibalik pintu, sementara yang aku lakukan disini hanyalah berdiri duduk dan duduk berdiri sembari mondar-mandir tak menetu, namun akhirnya akupun mencoba untuk menemuinya, saat pintu kubuka, umi langsung menggeleng kepala.
“Ngapain sih didalem? Tuh calon suami udah lama nunggu…” pungkas umi, yang tak kuhiraukan.
Tubuhku tepat berada diruang tamu, tiba-tiba saja langkahku terhenti, saat melihat dengan jelas wajah laki-laki itu yang saat ini tengah bercengkrama dengan abi, sesekali kucoba tepok kedua pipi mungkin saja aku tengah bermimpi, seketika itu pandangannyapun tak sengaja mengarah padaku, aku semakin gerogi dibuatnya, rasanya segala sesuatu yang kulakukan saat ini terlihat serab salah.
"Salwa? kok berdiri disitu sih, ayo sini duduk" panggil umi yang sudah lebih dulu mengambil tempat dudukdisitu, dengan senyumannya yang merekah-rekah, seketika akupun begegas mengambil tempat duduk disamping umi.
"Ya udah kalian ngobrol-ngobrol dulu ya, umi sama abi mau ke belakang bentar, ayo bi…" umi sedikit ngeles untuk memberikan kami waktu.
"Sepertinya saya kenal dengan kamu?" dengan ekspresinya yang masih saja terus berpikir itu, semakin membuatku salah tingkah bahkan pandanganku beberapa kali kuarahkan ke tempat lain untuk mengalihkan rasa gerogiku ini.
"Ouw ya? kakak masih mengenali ku?" tanyaku sedikit girang
"Kalau gak salah, kamu penjual kue yang waktu itu kan?" yang benar saja, apa iya yang tersisa di ingatannya tentangku hanya sekilas itu.
"Hehe iya kak!" ucapku sedikit malu.
"Panggil Qiyas aja!"
"Jujur saja, maksud kedatangan saya kesini, saya mau minta tolong sama kamu, tolong pikirkan lagi masalah perjodohan ini, saya yakin kamu pasti kenal dengan Kiran, sampai saat ini saya masih mencintai wanita itu, dan saya sangat mencintai dia" tatapannya terlihat sangat tulus ia memohon padaku, namun setelah aku mengetahui laki-laki itu adalah kak Qiyas fathir anugerah, orang yang selama ini aku impi-impikan yang dulu sempat ku sangka sebuah angan yang sia-sia, jujur saja aku mulai menyukai rencana perjodohan ini, namun dalam hati masih bertanya-tanya, apakah berlian ini pantas bersanding denganku yang layaknya butiran pasir di malam hari.
****Coba deh readers kalau misalkan kalian berada diposisi salwa, kira-kira apa keputusan kalian?
kasih pendapat kalian dibawah yah🤗****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Feni Andriyani
q tetap pada Arif.. lope you sekeboon...
2024-03-02
0
Marhamah
thor berilah Salwa jodoh yg super masyaa allah.udah cukup penderita'an ya thor
2020-11-03
1
Yulia Astutik
kalau gitu thor pertemukan salwa dg orang yg tulus mncintsinya
2020-05-16
0