*Tamparan Ke Dua
Tepat pukul 24.00 WIB, aku baru saja sampai didepan rumah, lingkungan sekitar rumah sudah terlihat sangat sepi, dengan hati-hati ku coba membuka pintu, sembari mengendap-endapkan langkah kaki, namun seketika aku dikejutkan dengan cahaya lampu yang tiba-tiba menyala.
"Dari mana saja kamu? jam begini baru pulang?" seketika abi bersuara dari belakang, sumpah aku sangat terkejut sontak saja kurapatkan gigi dengan perasaan yang sangat kesal akupun menoleh ke arah abi, ternyata abi tak sendiri, sedari tadi umi dan abi terus saja menunggu kepulanganku.
"Dari rumah Fasya!" jawabku sedikit datar.
"Kamu memang gak ada malu ya? bertamu di rumah orang jam segini baru pulang?" telingaku mulai panas mendengar ocehan abi, aku terus menarik nafas dalam untuk menyapu benih benih amarah yang mulai tercipta.
"Sudah tiga hari ini abi lihat kamu selalu pulang larut malam, apa yang kamu lakukan diluar sana Salwa? kamu mau jadi perempuan sundal ha?" tegas abi dengan kalimat kasarnya yang seketika memacu tekanan darahku semakin meninggi.
"Astagfirullah abi, istighfar abi!" tegur umi seketika.
"Hwooaah! abi mau tau? Kenapa salwa mulai gak betah dirumah ini?”
“Salwa tertekan tinggal disini!" cetusku dengan suara yang cukup lantang rasanya dada ini semakin menghimpit.
"Jangan kau uji kesabaran abi!" lagi-lagi abi menodongku dengan jari telunjuknya, kali ini semakin tegap ia arahkan ke wajahku.
"Apa salah aku abi? apa salah aku?”
“Dari dulu sampai sekarang abi selalu saja membenci Salwa, apa karena salwa anak yang bodoh? Yang gak bisa memberikan kebanggaan untuk umi dan abi?”
“Salwa!!” Tiba-tiba umi berteriak seolah meberikan peringatan atas ucapanku barusan, namun jelas saja ku abaikan suara umi dan tetap menaruh fokusku pada abi.
”Ow hiya abi malu kan? punya anak bodoh seperti Salwa makanya abi terus saja siksa hati Salwa, kenapa gak sekalian abi bunuh aja Salwa? biar abi puas!" teriak ku dihadapan abi.
"Salwa!” Umi berteriak geram.
“Tapraaaak!” Kali ini umipun berani mendaratkan telapak tangannya di pipi ku, aku melongo seketika sembari menatap tak percaya kearah umi, air mataku terus saja menetes, mungkinkah kali ini aku terlihat sangat keterlaluan dimata umi? sampai-sampai orang yang selembut umi saja mulai geram dengan tingkahku.
“Dasar anak gak punya adab, gak punya etika!” Ketus abi, namun tak kutanggapi lagi, segera saja ku langkahkan kaki menuju kamar tak lupa ku kunci rapat-rapat pintu kamarku.
Hampir semalaman, air mataku serasa enggan berhenti untuk menitih, terus saja ku pegang bekas tamparan umi yang dulu sempat ku anggap hal yang mustahil akan membekas di pipiku, saat aku tengadahkan wajahku ke arah ventilasi, terlihat hari yang mulai cerah, dengan mata yang masih sembab segera saja aku terperanjat dan bersiap-siap untuk bekerja, tak ada tegur sapa dan pamitan dariku saat melihat umi yang hendak menyiapkan sarapan pagi, terdengar suara umi yang menyapaku sambil mengajakku untuk sarapan namun dengan ringan hati ku abaikan suara umi.
*****
Sore ini, kuhabiskan waktu lagi untuk menemui Fasya, sembari ku ceritakan semua permasalahanku.
"Wajarlah umi kamu marah Salwa!" simpulan Fasya saat mendengarkan sedikit curhatan tentang perdebatan ku dengan abi semalam.
"Huum! aku terlalu emosi Sya! aku gak nyangka kalau abi bisa ngeluarin kata-kata kurang ajar itu sama aku!" terang ku dengan wajah yang cukup lesuh
"Kamu yang kuat Salwa, hanya kamu satu-satunya harapan mereka saat ini" dengan tatapan serius ia menyorotiku sambil mengusap-usap lenganku
"Bhuwws! harapan?”
“Abi aku tuh selalu menganggap aku sebagai beban dalam hidupnya, sampai-sampai dia sanggup menjualku pada orang kaya itu, semata-mata hanya untuk menopang biaya pengobatan kak Hilwa" aku mulai geram lagi, saat harus mengingat sikap abi yang kurang mengenakkan bagiku.
"Eeeh, tunggu, tunggu, maksud kamu?" kali ini Fasya menatapku sedikit aneh.
"Aku dijodohkan Sya…”
“What! dijodohkan?" Fasya yang mendengarnya saja sudah sangat terkejut apatah lagi aku yang akan menjalaninya nanti.
“Iya, gila kan?” Tuturku makin emosi.
“Aku kenal orangnya?”
“Boroh-boroh, aku aja gak pernah tau asal-usul laki-laki itu darimana, tampangnya, sikap dan kelakuan nya seperti apa? abi aku tuh emang udah gila, tau gak!" ucapku beribu-ribu kekesalan.
“Salwa kamu serius?”
“Entahlah Sya…”
"Salwa, kamu kan gak pernah tau laki-laki itu siapa, orangnya kek gimana, jangan-jangan nanti setelah kalian nikah, sikapnya itu bisa lebih kasar dari pada abi kamu!" terus saja fasya melontarkan kalimat yang kedengarannya makin ngeri itu.
"Huufftt! itu yang aku takutkan, kamu tau gak Sya?Aku benar-benar gak bisa berfikir jernih akhir-akhir ini” aku yang mulai kelelahan seketika menopang kepalaku sambil memainkan secangkir kopi yang ada di hadapanku saat ini.
“Ihh…kok aku yang merinding ya, ih amit-amit deh jabang bayi...” sontak Fasya mengetuk-ngetuk kepalanya seolah tengah mengusir pamali agar hal-hal buruk seperti itu tidak menimpa dirinya dan keluarganya.
"Atau gini aja, aku punya nomor telpon Arief, kamu ambil nomor handphonenya terus kamu hubungi dia dan ceritakan semua masalah kamu ke dia!" rasanya ide fasya kali ini terdengar cukup gila bagiku.
"Kamu udah gila ya?" tegasku.
"Salwa, aku yakin dia tuh masih suka sama kamu" aku hanya tersenyum gila mendengar cemoohannya, rasanya fasya semakin percaya diri dengan menganggap benar semua yang ada di fikirannya saat ini.
"Selama bertahun-tahun dia blokir nomor aku, gak ada kabar sama sekali, bahkan kemaren terakhir ketemu aja, dia sesinis itu sama aku, itu yang kamu bilang dia masih suka sama aku?"
"Salwa, memang laki-laki itu punya ego yang tinggi, tapi lama-lama dia bisa luluh kok" tak ada henti-hentinya terus saja ia merayuku dengan kalimatnya yang terdengar cukup rasional.
"Gak Fasya, ini masalah ku, aku harus bisa selesaikan masalahku sendiri, cerita ke dia bukan solusi, bahkan mungkin dia bakal balik ngetawain aku!" tatapan Fasya mulai terlihat lemas dengan keputusanku saat ini, tak ada kalimat balik darinya melainkan terus saja ia menikmati kopi yang sedari tadi belum sempat ia cicipi.
Sepulang dari kerja, kulihat umi masih saja terduduk dimeja makan dengan beberapa sajian makanan yang mungkin ia sajikan untukku, kulihat mata umi seketika sayu bahkan hampir menutup namun ia mencoba untuk melebarkan lagi bola matanya, saat itupun hatiku tergerak untuk menghampirinya.
"Umi? umi kok belum tidur?" tanyaku yang mungkin sedikit mengejutkannya.
"Eh! nak udah pulang? nih makan dulu umi udah siapkan makanan kesukaan Salwa" anaknya sembari menarik tanganku untuk duduk.
"Umi kok repot-repot sih, abi udah makan belum?" tanyaku hanya sekedar basa-basi.
"Umi gak repot kok, udah abi udah makan tadi, Salwa makan ya sekarang?" tanpa anggukan lagi, langsung saja ku santap makanan buatan umi ini, aku tahu mungkin umi berupaya untuk mengambil hatiku, karena saat keuangan keluargaku mulai ngedrop, umi sangat jarang untuk membuatkan makanan kesukaanku.
"Salwa masih marah sama Umi?" tanya umi seketika.
"Kalau Salwa masih marah sama Umi, Salwa gak mungkin negur Umi" ucapku pelan.
"Umi minta maaf soal semalam, umi sama abi gak ada maksud apa-apa, kami hanya ingin liat Salwa bahagia, apa lagi dengan kehidupan kita yang sekarang nak, biarlah umi dan abi yang hidup susah seperti ini!"
"Umi, gak ada yang bisa menjamin kalau nanti Salwa menikah dengan laki-laki itu, salwa akan bahagia, jangan pernah mematok kebahagiaan dengan uang Umi!" tegasku.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum Next ke Episode berikutnya😊🧐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Neulis Saja
you are right
2024-02-01
0