*Putih Abu-abu
Dengan pelan ku langkahkan kaki kanan untuk menuruni tangga sebuah bus yang sering aku naiki saat pulang sekolah, bukannya sudah sampai namun Busnya tiba-tiba mogok ditengah jalan, dengan rupiahku yang tidak mendukung saat ini, sudah pasti aku akan menempuh perjalanan sampai kerumah dengan jalan kaki dengan jarak sekitar 5 km lagi.
Siang itu, rasanya segala sesuatu seakan tak bersahabat, perlahan kurapatkan telapak tangan dekat tulang pelipis untuk menghalangi terik matahari yang terasa cukup untuk membakar kulitku saat ini.
Peluh yang terus saja bercucuran didahi dan rasa letih yang terus menguras energi, ku amati lagi lembar demi lembar hasil ujian semester yang baru saja ku peroleh dengan mata yang sendu aku sedikit menyesali nilai ujianku yang sangat jelek itu meskipun hal ini sudah biasa bagiku namun aku tau, abi dan umi pasti akan kecewa lagi saat melihatnya.
*****
"Assalamu'alaikum!" ucapku tak bertenaga, aku segera mendekati abi yang sedang duduk di kursi kayu untuk mencium punggung tangannya.
"Wa'alaikumussalam!" abi bersuara lirih padaku tetapi saat aku melihat tatapan matanya, sangat jelas sekali kalau abi masih kecewa denganku.
"Mana hasil ujian kamu?" pertanyaan abi cukup membuat jantungku hampir tak berdenyut lagi, meskipun sudah menjadi kebiasaan abi yang selalu menanyakan hasil ujianku tiap semesternya, tapi tetap saja aku selalu takut dengan pertanyaan yang cukup sakral itu.
Dengan pelan kusedorkan lembaran nilai ujianku pada abi, lagi-lagi abi menatapku sinis, ia lalu mengambil lembaran itu kemudian ia melihat nilai ujianku, sudah bisa dibayangkan reaksi abi akan seperti apa saat melihat nilai-nilaiku yang sangat jelek itu.
"Dasar anak baladah (bodoh)!" teriaknya padaku, tubuhku cukup gemetar saat menyaksikan kemarahan abi, namun aku cukup tegar untuk tidak mengeluarkan air mata dihadapan abi, mendengar teriakan itu dari belakang umi berlari ke arahku dengan lembut ia mengelus ubun-ubunku dan segera memelukku.
"Abi? kenapa abi selalu memarahi Salwa?" umi terus berupaya untuk membelaku, terlihat sangat jelas wajah sedih umi yang mulai dibaluti beberapa kerutan wajah pada kelopak matanya.
"Umi tanya kenapa? ya sudah pasti nilai ujian dia, dari dia TK sampai dia SMA, ana gak pernah liat satu aja nilainya yang bagus" abi terus saja meninggikan suara dengan jari telunjuknya yang terus ia arahkan padaku.
"Abi, Salwa juga udah berusaha semampu dia, abi gak boleh terus-terusan tekan dia seperti ini" jawab umi dengan nada suara yang sangat lembut.
"Bela aja terus anak itu, berusaha semampu dia aja gak cukup kalo hasilnya masih sama, hwuuuh ini lah yang ana paling gak suka dengan anak ini, dia sangat berbeda jauh dengan Hilwa!" abi mulai bersuara lirih lagi dan segera ia beranjak pergi.
Suara lantang maupun suara pelan yang abi lontarkan terhadapku, terasa sama tetap saja setiap bait-bait kalimatnya selalu menyiksa telinga dan hatiku, terlebih lagi ketika abi membanding-bandingkan aku dengan saudari kembarku rasanya remuk sudah semua tulang rusukku.
"Ya udah, Salwa ganti baju ya? habis itu makan, umi udah siapin makan siang untuk Salwa dimeja!" seketika umi menatapku, dari tatapan matanya terlihat umi sedang menunggu jawabanku, karena terlalu sedih aku hanya memberikan sekali anggukan pada umi.
Rasanya orang yang paling mengerti dengan perasaan ku saat ini hanyalah umi, aku sangat bersyukur allah menitipkan malaikat nyata ini untuk mendampingiku, menguatkan ku dan selalu memberiku semangat, pernah sekali aku membayangkan betapa ngerinya jika aku tanpa umi, mungkin saja aku tidak akan pernah merasakan nikmatnya sesuap nasi, melainkan pahitnya menahan sakit hati.
Kekecewaan abi terhadapku bermula ketika aku berusia 12 tahun tepatnya saat aku telah menamatkan pendidikan sekolah dasar, rencananya abi akan membawaku ke pesantren namun aku lebih memilih untuk menempuh pendidikan di sekolahan umum saja, berbeda dengan kak Hilwa, dia adalah anak yang penurut, apapun keputusan abi dan umi kak hilwa selalu mengiyakan hampir tak ada kalimat bantahan yang keluar dari mulutnya.
Selama beberapa tahun hidup di pesantren kak Hilwa sangat dikenal hal layak ramai karena kecerdasannya, kak Hilwa juga rutin mengikuti berbagai lomba ditingkat nasional dan internasional, beberapa kali namanya sempat tercetak dimedia massa, sampai saat ini beberapa piagam penghargaan dan piala lomba yang pernah ia raih masih tersusun rapih di lemari TV.
Akibat kecelakaan bus enam bulan yang lalu seakan semuanya sirna seketika dan sampai saat ini kak Hilwa masih terbaring koma di rumah sakit, terkadang sesekali aku benci dengan keadaan ini, semenjak kak Hilwa koma semuanya berubah derastis, abi dan umi terpaksa harus menjual beberapa barang berharganya untuk memenuhi tuntutan biaya rumah sakit, bahkan diusiaku yang baru menginjak 15 tahun, aku berupaya keras untuk bekerja part time di sebuah warkop dengan upah yang pas-pasan demi menopang sedikit biaya pengobatan kak Hilwa.
Banyak yang bilang aku dan kak Hilwa hanya memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama memiliki paras yang cantik, selebihnya hanyalah perbedaan-perbedaan yang terlampau jauh untuk menyatukannya, kata mereka setidaknya kak Hilwa lebih terlihat sempurna karena kecantikannya yang tampak berkualitas dengan kecerdasan ilmu yang dimilikinya, aku mengakui hal itu, bahkan terkadang aku juga sempat merasa iri dengannya, kenapa aku tidak bisa seperti dia, namun aku percaya aku juga memiliki sisi yang berbeda tentang kualitas diriku sendiri.
******
Usai sholat maghrib, aku segera menuju dapur dan membantu umi yang tengah menyiapkan hidangan makan malam, ku sedorkan semangkuk sayur dihadapan abi namun ia hanya duduk terdiam tanpa melihatku, sebaliknya berat rasanya mulut ini untuk menegur abi, yang ada dipikiranku saat ini diam adalah cara terbaik untuk untuk mendinginkan suasana.
Abi hanya bersuara saat ia melafadzkan do'a makan, umi sempat melontarkan beberapa pertanyaan pada abi, namun abi hanya membungkam untuk menepis pertanyaan umi.
"Salwa?" umi mengejutkanku, rupanya terlalu jauh aku termenung sampai-sampai tak menyadari sudah berkali-kali umi memanggilku.
"Ayo makan, nih umi ambilkan sayur sama ikan yah?" ungkapnya sangat lembut akupun mebalasnya dengan anggukan kepala sambil sedikit tersenyum seketika abi menatapku dengan sinis mungkin aku terlihat sedikit manja anggapnya, rasanya dada ini semakin sesak tak kuasa aku segera memalingkan pandanganku pada umi, lagi-lagi umi selalu memberikan senyum terbaiknya sambil menuangkan sayur dipiringku.
"Makasih umi" ucapku dengan pelan, didepan umi aku berani menampilkan sedikit senyuman namun didepan abi aku sama sekali tak berani, diruang makan yang cukup minimalis itu kami bertiga menikmati makan malam tanpa percakapan lagi, hanya terdengar bunyi sendok saat menyentuh piring.
Eeeiiiittts..udah rate bintang ⭐ 5 belum? 🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum next ke episode berikutnya😊🧐
*Les Privat
Berdasarkan kalender pendidikan seharusnya hari ini sampai dua minggu kedepan adalah jadwal libur semester, ya tetapi tidak bagi kami yang tergolong siswa/i dengan tingkat intelegensi dibawah rata-rata, sebaik-baiknya waktu sudah seharusnya dimanfaatkan dengan baik itulah sebuah prinsip institusi swasta yang sedang aku naungi saat ini, sekolahku mengadakan sebuah program les privat untuk memanfaatkan waktu libur kami.
Jujur aku sangat jengkel dengan keadaan ini, padahal sebelumnya aku sudah berencana untuk memanfaatkan waktu libur ku dengan bekerja full time setidaknya selama dua minggu aku bisa memperoleh upah yang lebih dari cukup untuk aku sisihkan sebagiannya lagi untuk uang jajanku, semenjak kak Hilwa koma sampai hari ini aku sudah tidak lagi diberikan uang jajan sama abi dan umi, upah yang aku dapatkanpun semuanya kuserahkan untuk pengobatan kak Hilwa.
Tepat pukul 09 pagi kami dikumpulkan di sebuah ruang kelas untuk mendengarkan beberapa arahan dari bapak kepala sekolah, seperti biasa sesaat sebelum guru masuk ke dalam ruangan pun saat itu juga suasana pasar akan terlihat didalam kelas, ku amati satu demi satu wajah mereka yang sebagian besar tak kukenali, seakan tak ada rasa penyesalan yang terlihat dari wajah-wajah itu, yang ada hanya gelak tawa dan sedikit teriakan yang cukup memekik di telinga.
Rasanya berkumpul satu ruangan dengan orang-orang yang sebelas duabelas denganku semakin terasa sakit denyutan kepala ini, aku hanya bisa menarik nafas dengan topangan dagu dan mata yang cukup sayu semakin menunjukkan betapa menyesalnya aku dengan semua nilai-nilai yang buruk itu, rasanya terjebak dalam keadaan seperti ini memang bukanlah suatu keinginan tetapi aku selalu yakin, yang terbaik akan datang tanpa harus meminta izin dengan rasa inginku.
"Perhatian anak-anak!" ucap bapak kepala sekolah sambil berjalan masuk kedalam kelas dengan beberapa guru lainnya yang ikut mendampingi, aku tak terlalu menghiraukan hal itu, sepertinya ada hal penting yang ingin beliau sampaikan.
Entah kenapa sontak saja semua teman-teman berteriak histeris lalu bangkit dengan heboh dari tempat duduk, bahkan ada beberapa siswa yang hendak berlari mengerumuni bapak kepala sekolah didepan mimbar, sementara aku masih saja duduk dengan tangan yang terus menyorat-nyoret selembar kertas sambil menikmati setangkai permen susu, meski tak bisa dipungkiri aku setengah penasaran juga apa yang sedang dihebohkan oleh mereka, namun aku enggan untuk berdiri, beberapa kali ku coba untuk memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan, lagi-lagi mereka selalu saja menghalangi pandanganku.
"Anak-anak tenang! duduk dulu, duduk…”
“Hoi! yang dibelakang jangan ribut dulu, coba semuanya kalian tenang biar bapak bisa memulai pembicaraan" hanya terdengar suara tegas dari bapak kepala sekolah tanpa bisa ku lihat wajahnya.
Seketika itu juga, mereka kembali duduk di bangku masing-masing, dengan reaksi yang tak bergairah ku arahkan pandangan kedepan sana, alamak jantungku hampir saja berhenti berdenyut saat kulihat dengan tekun tubuh sesosok pria tampan yang saat ini tengah berdiri disamping bapak kepala sekolah, dunia seakan senyap tiba-tiba tak menyisakan decitan apapun, kecuali gerakan bibir dari orang-orang sekitar yang tak bisa kucerna lagi maknanya, bersamaan dengan tatapan mata yang sulit kualihkan seperti tengah mengeluarkan ribuan emotikon love berwarna merah terang diudara.
“Ini beneran gak sih? Aku gak mimpi kan?” batinku bertanya-tanya tak percaya, bahkan aku sampai tak meresapi apa yang tengah disampaikan oleh bapak kepala sekolah saat ini.
"Salwa? Salwa?" aku sedikit terkejut saat bapak kepala sekolah memanggilku, seketika kuancungkan tangan kanan dengan sedikit menunduk malu-malu, tentu tatapan pria tampan itu juga ikut mengarah ke aku, ya ampun harus ku akui saat ini jantungku tengah berdebar-debar brutal didalam sana, tak lama kulihat dari depan bapak kepala sekolah memberiku isyarat untuk membuang tangkai permen yang masih saja kukunyah itu, sambil melihat suasana sekeliling, semua siswa juga ikut menatapku aneh mungkin saja aku sedikit terlihat salah tingkah, tak ingin membuat bapak kepala sekolah semakin geram segera ku simpan tangkai permen itu didalam laci meja.
"Bapak rasa, kalian semua sudah sangat mengenal anak muda tampan dan juga sangat berprestasi yang sedang berdiri disamping bapak ini, meski begitu bapak tetap akan memberikan dia kesempatan untuk memperkenalkan diri" bapak kepala sekolah terus tersenyum sambil menatap bangga pria tampan yang tengah berdiri di sebelahnya itu.
"Jujur bapak sangat bangga dengan anak ini, dan bapak juga tidak tahu harus bagaimana lagi, rasanya berpuluh-puluh ucapan terimakasih memang tidak cukup untuk diberikan padanya, bayangkan saja dari lima nama sekolah swasta yang mengajukan kontrak, dia lebih memilih sekolah kita" sontak semua siswa langsung memberikan tepuk tangan ria, begitu tulus bapak kepala sekolah meluahkan pujian itu, sampai-sampai matanya mulai terlihat berkaca-kaca.
"Ok jadi selama dua minggu ini kalian akan dibimbing olehnya, ingat tiga aturan yang sudah kita sepakati, gak boleh telat, gak boleh alpa dan gak boleh minta foto" bapak kepala sekolah terus menggerutu didepan sana, sementara yang aku lalukan dibelakang sini ialah senyum-senyum tak menentu.
"Halo adik-adik, perkenalkan nama saya Qiyas Fathir Anugerah kalian boleh panggil saya Qiyas, asal sekolah saya SMA Negeri 1 Bandung, saya dari kelas 12 peminatan IPA 1" ucapnya sembari menyuguhkan senyuman manis dengan gigi gingsulnya yang sedikit terlihat semakin membuatku menyeringai tak menentu berasa senyuman itu ia suguhkan hanya untukku meski kenyataan terpahitnya bahkan ia sendiri tak tahu siapa aku.
Usai ia memperkenalkan diri kini mulai terdengar suara-suara receh disekitarku yang mengharap akun instagram mereka di folback lah, minta tanda tangan lah, minta alamat email bahkan ada beberapa dari mereka yang berani meminta nomor pribadinya, aku makin geram melihat tingkah mereka yang terlihat sedikit kuno itu, meski begitu tak banyak yang bisa ku lakukan selain merapatkan gigi dan mengepal ke dua tanganku.
"Sekali lagi saya minta maaf yah adik-adik! saya gak bisa ngasih nomor pribadi saya untuk kalian, adik-adik mengertilah saya juga punya privasi, terkait pertanyaan-pertanyaan materi diluar kelas, nanti saya bisa kasih email saya!" dengan pelan ia mencoba memberikan pemahaman pada mereka-mereka yang masih saja ngotot dengan kehendak mereka
Sebagai perempuan tentu aku bukanlah satu-satunya yang sedang mengagumi kak Qiyas saat ini, meski aku tau dia terlalu bersinar untuk orang-orang sepertiku, sejak awal dia memulai karir aku tak pernah bermimpi punya kesempatan untuk bertemu dengannya secara real, beberapa kali aku terlihat sangat bahagia saat melihatnya tampil di layar TV, dia bukanlah artis, dia hanya seorang siswa sekolahan yang aktiv dalam mengikuti berbagai Lomba entah itu olimpiade matematika, fisika dan kimia, bahkan aku tidak pernah melewatkan satupun tayangan tentang dia.
Berkat bakatnya yang luar biasa itu, aku sempat memubazirkan uang hanya untuk membeli beberapa majalah yang terlampir wajah tampannya itu di sampul majalah tersebut, sejak dulu aku sudah sangat mengaguminya, rasanya les privat adalah moment terindah yang sebelumnya sudah kuanggap sebagai moment terburuk.
Saat dia berpamitan pulang, mulutku mulai cemberut lagi, hari ini serasa waktu terlalu singkat jika hanya berkenalan, aku hanya ingin dia bertahan beberapa saat lagi, saat melihat kehadirannya didepan mata, aku merasa waktu yang lama maupun singkat seakan sama-sama menyisakan makna tentang rindu, dia bagaikan manusia pemakan waktu, bahkan aku sendiri tak sadar kalau waktu pertemuan telah usai.
Baru saja aku memasukkan pulpen dan buku kedalam tas, sontak saja lewat sound system terdengar suara bu Archy yang hendak memanggilku, moodku seketika hilang aku mencoba melebarkan bola mata dan bergegas menuju ruangan bu Archy dengan pasrah.
"Salwa, jujur saja kamu sebenarnya tidak layak untuk naik ke semester berikutnya”
“Ibu berbicara seperti ini karena ibu sebagai wali kelas kamu, ibu tau sampai dimana kemampuan kamu, bahkan guru-guru yang lain juga banyak mengeluh tentang nilai-nilai kamu" ucapan bu Archy sedikit membuatku takut, aku hanya terus menunduk tanpa berani melihat matanya, aku hampir takut untuk melihat semua mata yang menujukkan kekecewaan demi kekecewaan dari mereka.
"Kami masih memberimu kesempatan, jadi gunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, saya mau liat jika anak sehebat Qiyas Fathir Anugerah gak mampu meningkatkan sedikit saja kompetensimu nanti, maka kesempatan berikutnya tidak akan tersisa lagi untuk kamu Salwa, paham?" aku merasa dada ini semakin sesak saat mendengar ungkapan bu Archy barusan, entah karena ancamannya atau karena ia menyebut nama pria bersinar itu, aku sendiri tak mengerti.
Meski hari ini aku sempat mendapatkan beberapa kalimat teguran dari wali kelas, setidaknya aku hampir tak memikirkan hal itu, di dalam bus sengaja kuambil tempat duduk dideket jendela sambil menikmati perjalanan pulang, bibirku seakan tak berhenti untuk terus merekah senyuman kecil yang sesekali kututup dengan telapak tangan, yang ada di pikiran ku saat ini hanyalah bayangan tentang kak Qiyas masih saja terekam diingatanku.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum Next ke Episode berikutnya😊🧐
*Asa Yang Mendatang
Di teras belakang rumah, aku dan umi tengah memotong-motong beberapa jenis sayuran, kami terlihat begitu santai menikmati suasana sore sambil beberpa kali meloloskan canda dan tertawa lepas, hingga sampailah dimana aku ingin sekali menceritakan program les privat yang akan diadakan disekolah, sebenarnya umi sudah tahu tentang program itu, namun umi belum tahu siapa yang akan jadi guru fasilitatornya inilah alasannya kenapa aku cukup bersemangat.
“Ahm…” baru saja aku ingin memulai tiba-tiba fokus umi mulai teralihkan dengan kedatangan Qalbi dari kejauhan, bibirku yang tadi sempat mengukir senyum mendadak berubah datar, bahkan aku tak mau menatap kearah Qalbi lama-lama.
"Assalamualaikum umi!" ucapnya menyapa umi, yang langsung dijawab oleh umi.
“Waalaikumusalam!”
Aku sedikit canggung dengan kehadirannya disini, kenapa tidak meski kami bertetangga rumah namun hal yang selalu membuatku canggung dengan Qolbi karena dia adalah teman sekelasku yang hampir setiap semesternya dia yang selalu memegang juara pertama di kelas 11 peminatan IPS 3, dan dialah juga yang selalu menjadi bahan perbandingan abi setelah kak Hilwa, Qalbi mungkin tahu kalau aku sangat tak nyaman dengannya tapi entah kenapa dia seakan tak menciptakan jarak untuk itu, dia selalu bersikap ramah dan tersenyum kepadaku dia juga terlihat sangat akrab dengan umi dan abi.
"Ciee, yang melamun, denger denger kalian akan dibimbing sama aa Qiyas Fathir Anugerah ya!" ucapnya sangat akrab sambil bahunya menyenggol pelan bahuku, sebaliknya aku hanya memaksakan untuk tersenyum, dengan lihai Qalbi turut membantu kami memotong sayur.
“Siapa itu? Guru baru ya?” Umi mulai penasaran dengan nama yang disebut Qalbi barusan.
“Bukan umi, aa Qiyas itu siswa juga, tapi dari SMA satu, nanti dia yang bakalan ngajar diles privat itu, iya kan Wa?” Aku hanya mengangguk kecil, namun hatiku mulai sedikit was-was jangan sampai Qalbi membocorkan rahasia terbesarku, kalau aku begitu menggilai pria itu.
“Oh siswa juga? berarti anaknya pinter ya?” Kagum umi dengan mata yang lebar.
“Iya pinter banget umi, dia juga populer loh disekolah kita, banyak banget cewek cewek yang naksir sama dia umi!” Ya ampun Qalbi mulutnya renyah kayak rengginang yang dikunyah, dia yang berbicara aku yang ketakutan minta ampun, bagaimana kalau dia kecoplosan tentang aku yang juga termasuk dalam deretan cewek cewek yang dimaksud itu, sumpah aku tak akan memaafkannya.
“Waduh kaliankan masih kecil, gak usah naksir-naksiran dulu yah, sekolah aja yang bener, nanti kalo udah cukup umur, udah sukses baru naksir-naksiran gak apa-apa” ujar umi sedikit menasehati.
"Qolbi ikut les privat juga?" tiba-tiba abi bersuara dari dalam sembari menghampiri kami namun ia hanya berdiri didepan pintu.
"Eeem, gak abi!" jawabnya singkat.
"Iya Qolbi kan anak yang pintar, gak mungkin lagi disuruh ikut les tambahan, rencananya Qolbi mau lanjut kuliah dimana?" ucap abi sedikit menyindirku, sepertinya arah pembicaraan mulai berubah, kalau sudah ada abi begini sudah pasti yang selalu dibahas hanyalah soal prestasi dan prestasi yang aku sendiri tak menyukai itu.
"Rencana mau lanjut kuliah di Jakarta abi, kalau salwa rencananya mau lanjut dimana?" sungguh Qolbi mengajukan pertanyaan yang semakin membuatku sulit untuk bernafas.
"Salwa itu tidak seprti kamu Qolbi, otak dia gak mampu, dia bisa lulus SMA saja abi sudah sangat bersyukur, lagi pula sekarang ini Hilwa juga sedang membutuhkan biaya pengobatan" ujar abi sangat datar, seketika aku terdiam dan menunduk, mendengar keputusan abi mataku mulai berkaca-kaca, aku terus berupaya menahan air mata agar tidak menitih.
"Dilihat dulu kondisi keuangan umi dan abi, kalau cukup mungkin Salwa juga bisa lanjut kuliah nanti, mudah-mudahan saja Salwa dan Qolbi bisa satu kampus lagi" Qolbi tersenyum harap mendengar ucapan umi, aku tahu umi sengaja berkata seperti seperti itu agar aku tidak terlalu sedih dengan keputusan abi.
"Jangan terlalu beri dia harapan, sekalipun kita punya uang, dia gak akan mungkin bisa kuliah, otak dia gak mampu, cukuplah selama ini dia sudah buat malu kita!" abi sedikit tegas mengatakan hal itu pada umi secara langsung kalimat itu juga ia tujukan padaku, aku tak berani melihat wajah abi, mendengar suaranya saja hati ini sudah terlalu sakit apatah lagi dengan melihat wajah kekecewaannya itu.
Semenjak kak Hilwa koma kami sudah tidak lagi mendirikan sholat secara berjama'ah, usai sholat isa segera saja kurebahkan tubuh diatas tempat tidur, kudengar suara pintu kamarku yang terbuka terlihat umi dengan mukenahnya masuk dan menghampiriku.
"Tidak usah terlalu dipikirkan ucapan abi tadi yah?" umi mencoba menghiburku.
"Iya umi" jawabku singkat, umi yang saat ini tengah duduk disampingku terus saja mengelus ubun-ubunku.
"Kalau nanti umi dan abi punya uang yang cukup Salwa harus tetap melanjutkan kuliah ya Nak?" seperti yang sudah dikatakan abi, lagi-lagi umi memberiku harapan yang aku sendiri juga belum tahu apakah harapan ini akan terwujud ataukah hanya sekedar angan-angan.
"Umi, apa yang dikatakan abi itu benar umi, Salwa ini anak yang bodoh, sangat bodoh umi, salwa gak pantas untuk kuliah" ujarku tak tahan, air mataku seketika menitih.
"Salwa gak boleh ngomong seperti itu, sebenarnya abi gak bermaksud berbicara seperti itu, saat ini Salwa harus paham dengan kondisi abi, salwa tau kan sampai saat ini abi masih belum menerima kenyataan dengan kondisi kakak kamu nak!" ujar umi dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, tak ingin umi berlarut dalam kesedihan seketika itu aku segera memeluknya dengan erat.
*****
Tepat pukul 07.15 pagi, sudah terdengar bunyi bel, pertanda kami segera diminta untuk berbaris didepan kantor seraya menerima beberapa arahan dari para guru, yang bisa didengar hanya beberapa potongan kata saja ya sudah pasti kali ini aku tidak menyimak lagi arahan yang disampaikan oleh pak guru, dengan senyuman yang mulai merekah lebar bak bunga Raflesia Arnoldi ini, aku terus saja mencuri-curi pandang pada kak Qiyas yang saat ini juga sedang berdiri didepan sana, dari caranya berpakaian sangat kelihatan kalau dia orang yang cukup stylish.
Usai apel pagi, kami langsung bergegas masuk kedalam kelas, untuk mengikuti pelajaran pertama yaitu tentang materi geografi, suasana didalam kelas cukup hening, didepan sana kak Qiyas terus menuliskan beberapa poin-poin penting dipapan sambil sesekali ia berbalik badan untuk menjelaskan hal tersebut, kami yang ada dihadapannya ikut menulis dibuku sambil mendengarkan dengan serius penjelasannya tersebut.
“Bumi terbagi menjadi kawasan daratan dan perairan, wilayah daratan dari bumi dikelompokkan menjadi enam benua, yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika Eropa dan benua Antartika, coba sebutkan siapa saja penemu dari enam benua tersebut?”
“Ada yang bisa jawab?” Tanya kak Qiyas, sontak aku langsung garuk garuk kepala, karena tak tahu sama sekali dengan jawabannya, namun tak lama terdengar suara siswa perempuan dibelakang sana sambil mengancungkan tangan, aku yang penasaran langsung menengok kearah sumber suara.
“Saya pak!”
“Iya, siapa nama kamu?”
”Gafin pak!”
“Baik Gafin silahkan…”
“Penemu benua Asia adalah Kristofer Olimpic, Vasco da Gama dan Marco Polo, penemu benua Amerika yaitu Colombus, penemu benua Afrika yaitu Bartholomeus Diaz, penemu benua Australia yaitu James Cook” Gafin berhenti sejenak untuk menghela nafas, tak lama ia kembali melanjutkan.
“Penemu benua Eropa adalah Vasco da Gama juga, dan penemu benua Antartika adalah…” Gafin berhenti lagi sambil mengingat-ingat nama penemu benua tersebut, melihat Gafin yang terus ditatap oleh kak Qiyas aku sedikit dibuat cemburu olehnya, sementara aku hanya bisa berlagak sok berfikir keras padahal aku benar benar tak tahu apa jawabannya, kalau aku terus membungkam seperti ini maka selamanya dia gak akan pernah tau tentang aku.
“Iya, siapa penemu benua Antartika?”
“Ehm…” sepertinya Gafin sudah tidak tahu lagi harus menjawab apa, hingga terpaksa kak Qiyas harus melimpahkan pertanyaan tersebut ke siswa yang lain.
“Ada yang tahu? Sisa satu lagi ayo siapa nama penemu benua Antartika?”
“Edward Bransfield?” Tiba-tiba siswa yang lain ikut nyeletuk dengan nada sedikit tak yakin.
“Ya benar sekali, siapa namanya?”
“Saya Andre pak!”
“Baik, Andre sama Gafin hebat yah, kasih aplause dong” seisi ruangan langsung memberikan tepuk tangan, termasuk aku, bukan main bagaimana rasanya menjadi Gafin saat mendapatkan pujian tersebut, Gafin tak jauh berbeda denganku yang juga sama-sama mengidolakan kak Qiyas sejak dulu, tak beberapa lama sebelum kelas berakhir, kak Qiyas sempat mengabsen daftar hadir kami.
“Gafin Prita Lestari?”
“Hadir pak!” Gafin tersenyum kecil sambil mengangkat tangan, pun Qiyas menatapnya dengan senyuman, nama Gafin seperti sudah membekas diingatannya.
“Owh yang tadi yah?”
“Iya pak…”
Aku menatap iri ke arah Gafin, dan sangat berharap saat kaka Qiyas memanggil namaku saat itu juga pandangannya akan tertuju padaku, namun lagi dan lagi, mungkin karena urutan namaku paling bawah dan dia juga sudah terlihat sangat lelah dia hanya memanggil namaku tanpa sedikitpun pandangannya terarah kepadaku.
Sebelum kembali kerumah, dengan sigap aku berlarian menuju ruang perpustakaan, cukup lama aku berkeliling mencari beberapa buah buku paketan yang aku butuhkan, bahkan urutan batas-batas pemisah buku paketan antara kelas IPA dan IPS pun aku tidak tahu, sedikit bingung harus memulai dari mana, karena nyatanya ini adalah kali pertama aku menapaki ruangan perpustakaan kedengarannya sedikit creepy.
"Aaam! bu aku mau minjam semua buku-buku ini" sambil kusedorkan tiga buah buku paketan tersebut pada petugas perpustakaan, lalu tak lupa kuserahkan juga kartu perpustakaan ku.
"Salwa Jannatun Adwiyah bener ini nama kamu?" tanyanya hanya sekedar memastikan, akupun dengan segera mengiyakan pertanyaannya itu, namun kali ini aku sedikit cemas saat staf itu selalu saja mengamati kartu perpustakaanku.
"Apa mungkin ada yang salah dengan kartu perpustakaanku?" gumamku dalam hati, dengan perasaan sedikit risih saat melihat ada beberapa siswa lainnya yang mulai mengantri di belakangku.
"Ini pertama kalinya kamu ke ruangan perpustakaan?" staf itu mulai berbicara tegas dihadapanku, tak mengurangi rasa hormat, lagi-lagi aku mengiyakan pertanyaannya.
"Of course this is first time for you! gak ada absensi finger kamu yang terdeteksi disini, gak ada daftar peminjaman buku sebelumnya, apasih sulitnya untuk baca buku? huum pantas saja Negara Indonesia menduduki peringkat ke dua dari terakhir sebagai Negara dengan minat baca yang kurang, ternyata negara ini dipenuhi dengan orang-orang yang seperti kamu" cetusnya, aku lumayan tersindir dengan sya'irnya yang bernada tinggi kali ini, namun dengan segera ku ambil semua buku-buku yang sudah terdaftar itu lalu keluar dari ruangan perpustakaan.
Eeeiiiittts..🙋Kasih Like👍 dan Komentar🤬 dulu sebelum next ke episode berikutnya😊🧐
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!