Semilir angin musim semi berhembus lembut menerbangkan rambut emas Haala yang tidak tersentuh pita, ujung jubah biru Daxraj yang menjuntai, serta daun-daun apel ringkih ke atas kain kusut yang terhampar. Tampak dari kejauhan, tepatnya di bawah salah satu pohon apel paling subur, Haala dan Daxraj tengah menyantap makan siang bersama.
Pandangan Haala masih enggan beralih dari Daxraj, sejak kali pertama pertemuan mereka di masa lalunya yang kacau balau. Tak peduli mau diamati berapa kali pun, pria terlewat rupawan yang sedang asyik menggigiti Tandoori* di depan Haala saat ini, benar-benar tidak pantas menyandang status sebagai pemimpin suku pengembara.
*Tandoori* merupakan masakan ayam yang berasal dari daerah Punjab. Tandoori telah ada sejak zaman kesultanan Mughal di Asia Selatan dan bahkan menyebar hingga di Asia Tengah dan Asia Tenggara. Tandoori dibuat dari daging ayam yang direndam adonan susu asam kental dengan garam masala, bumbu, dan lada khas India*.
Tidak terlihat semburat kepura-puraan di wajah pria yang pekan depan akan mengikat janji sehidup semati dengan Haala, pun tidak ada sinyal bahaya yang seharusnya berbunyi memperingatkannya. Dan sungguh, tidak ada yang perlu dipastikan lagi, karena pria dengan ketampanan terlampau kurang ajar itu jelas tidak tengah bersandiwara.
"Apa wanita gila itu mengganggumu lagi?"
Haala tidak menjawab. "Kupikir jika sikap anehmu hari ini tidak disebabkan oleh buku yang sering kau baca, pastilah disebabkan olehnya," imbuh Daxraj.
"Aku hanya mengenal satu wanita gila di dunia ini."
"Maka pastilah itu dia," sahut Daxraj.
"Yang Mulia Ratu?"
Spontan Daxraj menatap Haala, bingung. "Yang Mulia Ratu?"
"Satu-satunya wanita gila yang kukenal adalah Ratu Kumari Kandam."
Daxraj diam cukup lama menatap Haala, menatap semakin bingung. "Kumari Kandam belum memiliki ratu, Haala."
"Apa? Jadi kau juga menghilangkan Ratu Jihan? Sebenarnya berapa banyak orang yang kau hilangkan? Dan apa tujuanmu menghilangkan mereka?" tanya Haala dengan nada suara sedikit tinggi.
"Aku tidak percaya kau menyebut wanita gila itu ratu. Jika dia mendengarnya langsung, aku khawatir dia akan benar-benar berkeinginan untuk menjadi ratu."
Semilir angin musim semi perlahan berhembus kencang, seolah mewakili keterkejutan Haala. Tidak hanya keluarga Haala yang dihidupkan kembali serta keberadaan Murat Iskender yang masih menjadi misteri. Bahkan singgasana Ratu Kumari Kandam ternyata masih kosong. Dan Haala pun baru menyadari, jika suasana di dalam kerajaan begitu sepi.
"Di mana para selir?"
"Selir?" Daxraj balik bertanya pada Haala.
"Jangan katakan padaku kau juga menghilangkan para selir."
Daxraj mengangguk ragu menanggapi Haala. "Mungkin bisa dikatakan begitu."
"Kenapa kau melakukannya?" Haala kembali bertanya dengan nada suara tinggi.
"Bukankah itu usulan darimu? Demi menghindari perebutan mahkota ratu, penyakit hina, serta memberikan contoh kesetiaan khususnya pada para pria, kau berkata akan lebih baik jika seorang pria hanya memiliki seorang wanita. Aku menyampaikan usulanmu pada Yang Mulia Raja dan Beliau langsung menyetujuinya."
Haala semakin terkejut. "Kurasa jika Beliau tahu kaulah yang memberikan usulan itu, kau tidak perlu menunggu hari pernikahan kita untuk mendapatkan kuda impianmu," tambah Daxraj seraya tertawa.
DEG! DEG! DEG!
Jantung Haala mendadak berdebar, meski belum jelas maksud dari debaran itu. Entah karena fakta baru perihal mahkota Ratu Kumari Kandam yang belum bertengger di kepala wanita mana pun, atau harem yang disirnakan, atau tawa Daxraj yang baru pertama kali dilihatnya, Haala hanya merasakan jantungnya yang terus berdebar tak terkendali.
DEG! DEG! DEG! DEG!
Dan sentuhan mesra ibu jari Daxraj yang mengusap sisa makanan di sudut bibirnya, membuat jantung Haala kian liar berdebar. Sosok Daxraj yang seperti manusia biasa mulai menggetarkan suatu ruang di hati Haala. Entah ruang apa itu, namun satu yang pasti, debaran ambigu tersebut memiliki peluang yang cukup untuk menggeser posisi Braheim.
"Ah, aku ingat ingin memberitahu sesuatu padamu."
Haala membuang pandangannya. "Tentang apa?"
"Ayahmu. Awalnya kupikir hanya perasaanku, tapi terlalu banyak bukti."
Haala kembali memandang Daxraj. "Apa maksudmu?"
"Penyakit Laasya, aku yakin penyebabnya adalah ayahmu."
"Bagaimana mungkin? Ceritakan lebih jelas," sahut Haala antusias.
Daxraj hanya tersenyum menanggapi keantusiasan Haala, sembari beranjak dan mengatakan jika orang yang sedang mereka perbincangkan datang di waktu yang tidak tepat. Terlihat dari kejauhan, seorang pria berseragam merah darah dengan lilitan pedang berwarna senada di pinggangnya tengah menunggangi kuda menuju taman apel.
"Apa masih tersisa Tandoori untukku?" tanya ayah Haala seraya melompat dari atas kuda.
...¤○●¤○●¤○●¤...
Sudah empat hari Haala menjalani hari-harinya di masa lalu yang terasa seperti masa depan. Terlalu banyak yang berubah sampai tak cukup dicatat hanya dalam satu dua buah buku. Terutama perubahan Daxraj. Pria berparas tampan bukan main yang kini aktif menjadikan wajahnya sebagai tontonan itu benar-benar seperti pria yang terlahir kembali.
Tak terasa sedikit pun aura mengancam, menelanjangi, pun menyudutkan dari Daxraj yang adalah pemimpin suku pengembara. Malah sebaliknya, Haala hanya merasakan aura manusia yang lemah. Daxraj Natesh di masa lalu Haala yang baru, jelas bukan Daxraj Natesh yang memiliki kekuatan untuk menaklukan Ghinauna*, Chhota*, pun singa raksasa.
*Ghinauna* ikan raksasa penjaga Danau Baadal*.
*Chhota* atau Faot adalah makhluk berwujud setengah manusia setengah peri dan setengah banteng*.
Sejujurnya kebingungan Haala tidak diperlukan di sini, karena nasib dunia yang sudah pasti selamat hanya tinggal menghitung hari. Ya, sebab kurang dari satu pekan lagi Haala dan Daxraj akan melangsungkan pernikahan. Namun entah kenapa Haala gelisah. Karena bagi Haala, perubahan besar pasti akan menimbulkan dampak yang tak kalah besar.
Misteri ayah, kakek, serta neneknya yang bangkit dari kubur, nasib Murat Iskender, dan Jihan yang malah menjadi anak perempuan peternak susu, benar-benar sukses mencampur aduk isi kepala Haala. Belum lagi ucapan Daxraj yang selalu terngiang, perihal sang ayah yang sepertinya memang menjadi penyebab penyakit aneh yang diderita Laasya.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"
Seperti biasa, Laasya membisu, dan hanya tertarik memandang kosong ke depan. "Sebelum kau hilang, sehari sebelumnya temanmu juga menghilang. Mungkinkah saat itu kau berniat untuk mencari temanmu?" tanya Haala lagi.
Laasya masih membisu. "Bicaralah, adikku. Sebenarnya apa yang terjadi saat itu? Kenapa kau bisa berada sangat jauh di dalam hutan? Kenapa kau tidak memakai sehelai pakaian pun? Apa semua itu berkaitan dengan Ayah?" Haala terus bertanya.
Spontan Laasya menoleh pada Haala, dengan wajah menahan tangis. "Maafkan aku karena terlalu ingin tahu. Sungguh, kali ini tidak ada ramuan penyembuh dari suku pengembara. Jadi satu-satunya cara agar kau sembuh adalah dengan menguak apa yang terjadi padamu saat itu," ujar Haala seraya memeluk Laasya.
Laasya menangis di pelukan Haala. Itu adalah tangis terhebat pertama Laasya yang pernah dilihat Haala. Sebab meski seluruh penduduk desa mengatainya tidak waras, gadis kotor, bisu pembawa sial, Laasya tidak pernah sekali pun menangis. Tangis hebat Laasya pun memberi Haala keyakinan tentang keterlibatan sang ayah dalam insiden yang menimpa Laasya.
"Seperti janjiku di masa depan, kau akan sembuh dan mendapatkan hidupmu kembali, adikku." Haala memeluk Laasya semakin erat.
Sejak hari itu Haala lebih bersemangat mengawasi gerak-gerik sang ayah daripada mempersiapkan pesta pernikahannya. Haala juga bersikeras membuka topeng sandiwara Daxraj meski sadar jika calon suaminya itu tidak sedang mengenakan topeng. Haala sibuk menerima perubahan baru, sekaligus menggali fakta-fakta terpendam.
"Semalam kami bercinta di ladang jagung. Lihat. Ini buktinya." Jihan menunjukkan tanda merah buatan di sekujur tubuhnya.
Haala terdiam. Masih tak memercayai sosok elegan Jihan yang kini hanya berbalut Saree* sederhana. "Kenapa kau diam saja? Cepat batalkan pernikahanmu karena akulah yang seharusnya menikah dengan Daxraj," imbuh Jihan.
*Saree* atau shari adalah jenis kain yang dipakai wanita di negara India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka. saree atau shari terdiri dari helaian kain yang tidak dijahit, variasinya beragam dengan panjang 4-9 meter yang dipakaikan di badan dengan bermacam-macam gaya*.
"Senang melihat sorot mata Anda yang masih murni."
Jihan mendecak, "Kenapa kau tiba-tiba berbicara sopan? Tapi memang sudah semestinya karena aku lebih tua darimu. Maka dari itu dengarkan baik-baik perkataan orang tua ini. Cepat batalkan pernikahanmu. Mengerti?"
Haala tersenyum menanggapi Jihan. "Andai hamba bisa melakukannya."
"Berhenti berbicara sopan kau membuatku frustasi. Tapi apa maksud perkataanmu tadi? Mungkinkah kau dipaksa menikah oleh orangtuamu?"
"Entahlah ini disebut paksaan atau kewajiban," balas Haala sembari berlalu.
"Hei, tunggu. Aku bersungguh-sungguh memintamu untuk membatalkan pernikahan. Berikan Daxraj padaku, lalu sambutlah cinta Yang Mulia Raja yang malang itu."
Spontan Haala menghentikan langkahnya. "Aku sudah ingin mengatakan ini sejak lama, tapi aku tahu kau yang sangat keras kepala tidak akan memercayainya begitu saja. Ketahuilah, Yang Mulia Raja setiap malam datang mengunjungimu," tambah Jihan.
"Apa?"
Jihan menunjuk kamar Haala. "Beliau selalu berdiri di sana, dan kembali satu jam sebelum fajar."
"Apa Anda yakin itu Yang Mulia Raja?"
"Tentu saja. Meski Beliau membungkus seluruh tubuhnya dengan kain, aura seorang raja tetap akan terpancar," balas Jihan.
Haala menahan kedua kakinya yang seakan sudah siap untuk berlari menuju Braheim. Namun untuk apa. Haala mantap kembali ke masa lalu dengan meninggalkan kenangan manisnya bersama Braheim. Jadi tak penting apapun alasan kunjungan malam Braheim, karena saat ini tugasnya hanya satu, yakni berusaha mencintai Daxraj.
Jihan masih melanjutkan. "Dan bagaimana aku mengatakan ini? Bagian inilah yang paling sulit dipercaya bahkan untuk diriku sendiri. Terserah kau akan memercayai ini atau tidak, tapi Yang Mulia Raja selalu menangis sesaat sebelum pergi."
DEG! DEG! DEG!
...¤○●¤○●¤○●¤...
Sejak perbincangannya dengan Jihan kemarin sore, jantung Haala masih berdetak sesukanya. Isi kepala Haala pun kian campur aduk, sebab tak sanggup menerima perubahan-perubahan baru yang semakin hari semakin pelik. Belum tuntas Haala menguak kebenaran perihal insiden yang menimpa Laasya, kini malah muncul perubahan baru yang lain.
Perubahan baru perihal Braheim yang kemungkinan besar masih mengingat semua kejadian di masa depan. Sebab tak ada alasan lain yang bisa menjelaskan maksud kunjungan diam-diam Braheim selain ingatannya yang masih melekat erat. Pun tak ada alasan lain yang bisa menjelaskan mengapa Braheim menangis selain kesakitan karena cinta.
Meski hatinya sangat ingin memastikan, Haala enggan menuruti, demi menyelamatkan dunia dari kebinasaan, dan demi menghindari kembali ke panggung megah Tamaasha*. Setiap berkunjung ke kerajaan untuk mengantar makan siang Daxraj dan sang ayah, Haala sebisa mungkin menghindari berpapasan dengan Braheim. Namun.
*Tamaasha* merupakan alat penggal raksasa yang sering digunakan untuk menghukum para penjahat*.
"Panjang umur, dan terbekatilah selalu, matahari Kumari Kandam," pungkas Haala sembari membungkuk hormat pada Braheim.
"Aku melewati jalan ini jika sedang terburu-buru."
Haala diam, mencoba mencerna ucapan Braheim. "Kupikir kau perlu tahu mengingat akhir-akhir ini kau sedang menghindariku," tambah Braheim.
"Ampuni hamba, Yang Mulia."
"Tidak masalah. Aku memahamimu yang mungkin membenciku," sahut Braheim.
"Hamba tidak memiliki alasan untuk membenci Anda, Yang Mulia."
"Begitukah? Aku memberi Daxraj banyak pekerjaan meski di hari menjelang pernikahannya. Hal itu sudah tentu membuat kalian tidak memiliki waktu bersama, dan membuatmu membenciku. Tidakkah itu cukup untuk menjadi alasan?" tanya Braheim.
"Bukan seperti itu, Yang Mulia."
Braheim tertawa seraya melanjutkan langkahnya. "Kau kaku sekali."
"Yang Mulia, ada yang ingin hamba tanyakan."
Spontan Braheim menoleh. "Mengejutkan sekali kau memiliki pertanyaan untukku. Katakanlah."
Haala tidak langsung bertanya, karena keragu-raguan yang mendadak mendekapnya erat. Waktu pun terasa bergulir sangat lambat, meski jelas jika itu hanya perasaan Haala saja. Hati Haala terus menyemangati, namun logikanya terus mengingatkan tentang hukuman mati. Keduanya berperang sengit merayu lidah Haala yang kelu.
Sialnya, Braheim pun terlihat setia menanti Haala walau sebelumnya berkata tengah terburu-buru. Haala tidak sekali pun mengangkat kepalanya, tetapi dirinya tahu jika sedari tadi Braheim tidak melepaskan tatapan tajam darinya. Tatapan tajam yang seolah mampu mendengar peperangan sengit antara logika dan hatinya saat ini.
"Ampuni hamba karena telah membuang waktu Anda yang berharga, Yang Mulia. Sepertinya yang akan hamba tanyakan tidak penting."
"Apapun yang menyangkut orang-orang terdekat penasihatku pastilah penting," balas Braheim.
"Sungguh hanya pertanyaan tidak penting, Yang Mulia. Kalau begitu hamba undur diri, silakan lanjutkan perjalanan Anda." Haala kembali membungkuk hormat.
"Sepertinya kau ingin bertanya alasan kenapa aku mengunjungimu setiap malam."
Spontan Haala menghentikan langkahnya. "Entahlah. Tak ada alasan pasti. Aku hanya berjalan-jalan karena kesulitan tidur, dan saat itulah aku menemukan sesuatu yang menenangkan, yaitu cahaya di salah satu ruangan di kediamanmu. Aneh bukan?" imbuh Braheim.
"Lalu kenapa Anda menangis?"
Braheim diam sesaat. "Cahaya itu terkadang terasa menenangkan, tetapi terkadang terasa meremas hatiku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Nindira
Kurasa haala mulai suka sama dakraj
Apakah Haala akan oleng dari braheim
2022-12-11
0
Ria Diana Santi
😂😂🙃🙃 kalo kurang ajar, di hajar aja, Kak Seul!!!🤣🤣
Biar doi kagak tampan maning!
Iya bener!🙄🙄 Aku juga berasa aneh nih! Masa dalam waktu sekilas doang nih. Semuanyaaaaa udah berubah!!! 🤦🏻♀️🤦🏻♀️ Duh, apa nggak keder tuh otaknya di Haala???
Daxraj lebih parah buat aku susah nebak ketimbang Morgan Tan, Kak Seul! 🤧💆🏻♀️
2022-01-12
1
ZasNov
Semua kejadian di masa lalu bener2 serba terbalik ya.. 😣
Kursi Ratu Kumari Kandam kosong, tidak ada selir, bahkan Jihan malah suka sama Daxraj bukannya Braheim 😅
Tapi Daxraj emang mempesona 🤩
Ada misteri apa ya, dibalik sakitnya Laasya, jadi penasaran banget soal Ayahnya Haala itu..🤔
Hmm, kasian sama Braheim.. Ternyata dia bukannya ingat kejadian di masa depan, cuma hatinya seolah masih mengenali Haala..
Sampai2 setiap malam, Braheim mengunjungi Haala, bahkan sampai menangis. Ah sedih.. 😩
Ditunggu kelanjutannya ya Kakak 🤗
Sehat, bahagia & sukses selalu ya 🥰
Semangat ⭐🌹⭐🌹⭐🌹⭐🌹⭐
2022-01-10
0