Rencana busuk tabib kerajaan, Sanjeev Rajak, sukses menggemparkan ruang rapat darurat Kumari Kandam. Antara makhluk sinting yang bersembunyi di balik jubah kebesaran tabib genius, atau makhluk biadab yang telah kecanduan menggagahi tubuh molek Ratu Kumari Kandam sampai pagi, Sanjeev begitu percaya diri memasukkan Chhota* dalam rencananya.
Chhota* atau Faot adalah makhluk berwujud setengah manusia setengah peri dan setengah banteng.
Sekelompok Chhota yang ada di Kumari Kandam bukanlah yang asli. Karena Chhota yang asli merupakan pelindung, bukan penjahat. Chhota yang asli diketahui berada di sebuah benua bernama Chamakadaar, namun tidak seorang pun tahu di mana tepatnya, bahkan Raja Chamakadaar sekali pun. Konon Chhota hanya akan lari terbirit jika beradu tatap dengan tuannya yang entah siapa.
Dengan iming-iming ramuan kekebalan, Sanjeev mendatangi tempat persembunyian Chhota. Sanjeev berniat menukar ramuan kekebalan dengan kesediaan Chhota menghabisi Haala. Tak lupa Sanjeev menambahkan jika ramuan kekebalan buatannya juga akan membuat Chhota kebal terhadap tatapan tuannya. Mendengar itu, barulah Chhota berebut menenggak ramuan kekebalan.
"Ditemukan banyak petunjuk tentang Chhota di ruang kerja tabib kerajaan. Besar kemungkinan tabib kerajaan sedang mencari Chhota. Kita harus segera bertindak sebelum terjadi sesuatu yang buruk, Yang Mulia," ujar menteri hukum.
"Benar, Yang Mulia. Mengingat tabib kerajaan telah banyak berjasa untuk Kumari Kandam, mohon segera turunkan perintah Anda," timpal menteri pertahanan.
Braheim melirik pada Haala yang sedari tadi sibuk mengukir kerut di dahinya. "Mohon izin berbicara, Yang Mulia."
"Katakanlah," balas Braheim pada Haala.
"Hamba rasa tabib kerajaan memiliki niat terselubung. Beliau seperti sengaja memberitahu apa yang sedang beliau cari."
"Lancang! Beraninya kau menuduh tabib kerajaan yang suci berbuat kotor seperti itu!" Menteri hukum beranjak dari kursinya sambil menunjuk wajah Haala.
"Mohon izin berbicara, Yang Mulia."
Braheim mengangguk menanggapi Murat. "Hamba sependapat dengan Komandan Haala. Jika memang tabib kerajaan tidak memiliki niat terselubung, untuk apa beliau meninggalkan petunjuk? Beliau jelas menargetkan Komandan Haala dan pasukannya," imbuh Murat.
Braheim mengangguk menyetujui Murat. "Komandan, apa kau pernah terlibat masalah dengan tabib kerajaan?"
"Tidak, Yang Mulia."
"Bagaimana dengan wakilmu? Atau mungkin anggotamu yang lain?" tanya Braheim lagi.
"Yang Mulia, tidak ada waktu lagi untuk melakukan tanya jawab tidak penting seperti ini. Anda harus mengutamakan nyawa tabib kerajaan."
Braheim menoleh pada menteri pertahanan. "Jadi menurutmu nyawa komandan perangku dan pasukannya tidak perlu diutamakan, begitu?"
"Bukan begitu maksud hamba, Yang Mu--"
"Bagiku tak masalah mengorbankan satu nyawa daripada ratusan nyawa. Dan untuk apa menyelamatkan orang dengan niat terselubung yang bisa membahayakan pelindung Kumari Kandam?" sela Braheim pada menteri pertahanan.
Semua orang yang ada di ruang pertemuan itu terdiam. Tidak ada yang salah dari perkataan Braheim. Karena jika harus memilih antara tabib kerajaan atau pasukan tempur Haala, siapa pun itu pasti akan menjatuhkan pilihannya pada yang kedua. Ada ratusan tabib yang tak kalah genius dari Sanjeev Rajak, tapi hanya ada satu pasukan tempur yang sesetia dan setangguh pasukan tempur Haala.
Merasa telah berhasil membuat lidah para menterinya kelu, Braheim pun berniat mengakhiri rapat darurat tersebut. Namun apa yang dikatakan Haala dengan nada suara tenang itu seketika meluruhkan niat Braheim. Ruang rapat darurat kembali gaduh, membuat Braheim mau tak mau juga kembali duduk di kursinya, bersandar enggan sembari meluaskan sabarnya.
"Apa katamu?" tanya Braheim pada Haala.
"Jika masih mungkin untuk menyelamatkan semua nyawa, kenapa harus mengorbankan satu nyawa?"
"Lalu? Kau ingin pergi menyelamatkan orang yang kemungkinan memiliki niat terselubung padamu, begitu?" tanya Braheim lagi.
Menteri keamanan berdeham, "Yang Mulia, hamba rasa masih terlalu dini untuk menuduh tabib kerajaan memiliki niat terselubung pada Komandan Haala."
"Benar, Yang Mulia. Bagaimana bisa ada niat terselubung jika hubungan Komandan Haala dan tabib kerajaan baik-baik saja? Tolong ampuni nyawa tabib kerajaan, Yang Mulia." Menteri sosial menimpali.
"Apa aku mengizinkan kalian berbicara?"
Spontan Menteri keamanan dan menteri sosial menunduk kompak. "Ampuni kelancangan kami, Yang Mulia."
Braheim menghela napasnya seraya beranjak. "Rapat selesai."
...¤○●¤○●¤○●¤...
Ya, rapat itu benar-benar selesai, bersamaan dengan guyuran hujan lebat berikut kilatan petir yang datang tanpa petunjuk. Tak ada yang menaruh curiga jika fenomena alam itu merupakan pertanda akan terjadinya sesuatu, mengingat di bulan ini Kumari Kandam memang tengah berada pada musim penghujan.
Semua orang terlelap damai dalam selimut masing-masing. Kecuali Braheim, Haala, dan kepala pengurus kuda. Ketiganya kompak terjaga, menelisik sekitar, bersiap kalau-kalau kekhawatirannya bukan sekadar kekhawatiran biasa. Dan benar saja, dari kejauhan tampak bencana tengah mendekat.
Saat ini, Chhota yang tak terhitung jumlahnya sedang berlari saling mendahului menuju Kerajaan Kumari Kandam. Entah apa maksud kedatangan makhluk berwujud mengerikan itu, namun satu yang pasti, jika mereka datang dengan maksud mencari makanan, mereka datang ke tempat yang tepat.
Lonceng darurat pun digemakan, membuat para penghuni Kumari Kandam seketika riuh. Alih-alih segera bersembunyi di ruang bawah tanah, mereka malah sibuk mengekori Braheim dan Murat ke menara, untuk bergabung bersama Haala dan pasukannya yang tengah dipusingkan dengan strategi pertahanan.
Haala dan pasukannya membungkuk hormat seraya kompak berkata, "Panjang umur, dan terbekatilah selalu, matahari Kumari Kandam."
"Bagaimana situasinya, komandan?"
"Untuk saat ini tergantung pada kokoh tidaknya tembok Kumari Kandam, Yang Mulia," jawab Haala pada Braheim.
"Dan jika tidak kokoh?" tanya Braheim lagi.
"Kita harus bersembunyi. Karena mustahil melakukan pertempuran jarak dekat dengan Chhota."
Braheim diam sesaat. "Lalu apa rencanamu?"
Haala menggeleng. "Mereka kebal dengan senjata apapun."
"Apa?"
"Kami sudah mencoba melumpuhkan mereka dengan semua senjata, tapi tidak berhasil. Tubuh mereka seakan dilapisi baja," balas Haala.
"Lalu? Kau akan membiarkan Kumari Kandam runtuh begitu saja? Bukankah masih ada pedang Yusef Bahadir? Siapa tahu pedang itulah yang bisa menembus kulit Chhota," ujar Jihan sembari berjalan membelah kerumunan.
Saran bunuh diri dari Jihan langsung mendapat sambutan suka cita. Selain Braheim dan Murat, semua mendesak Haala untuk setidaknya mencoba membunuh Chhota dengan pedang leluhurnya. Spontan Braheim berseru, untuk pertama kali, membuat keriuhan yang memekakkan telinga itu bak disapu habis oleh angin.
"Aku yakin tembok ini kokoh. Jadi tunggu saja sampai mereka menyerah."
"Tetap saja kita harus memiliki rencana cadangan," sahut Jihan pada Braheim.
Braheim diam, karena tak bisa menampik kebenaran ucapan Jihan. "Andai saja tabib kerajaan ada di sini, sudah pasti dia memiliki ramuan untuk melumpuhkan Chhota," imbuh Jihan.
Haala membungkuk pada Braheim. "Izinkan hamba mencobanya, Yang Mulia."
"Tidak akan pernah."
"Maka ampuni ketidakpatuhan hamba, Yang Mulia. Bagi perisai hidup, tidak ada yang lebih penting dari melindungi apa yang ada di belakangnya."
"Beraninya kau mem--"
Ucapan berikut langkah Braheim terjeda, karena para selir yang kompak memeganginya. Sejujurnya Braheim memiliki banyak tenaga untuk lepas dari pegangan tak nyaman itu, namun melihat punggung Haala yang semakin mengecil membuatnya mendadak tak bertenaga, bahkan tak mampu bersuara.
Setelah memakai zirah lengkap, Haala pun bersiap mencicipi maut. Bersama dengan kuda putihnya yang setia, Haala keluar dari pintu belakang. Kesibukan Chhota meruntuhkan tembok Kumari Kandam pun terhenti, ketika melihat kemunculan Haala. Chhota mengganti targetnya, dan mulai memasang ancang-ancang.
Chhota berlari mendekati Haala bersamaan dengan Haala yang mengangkat pedang. Namun saat pertempuran jarak dekat itu tidak terelakkan lagi, kilatan petir kembali datang tanpa aba, membelah tanah, mempertontonkan jurang neraka. Dan di saat yang bersamaan, muncul singa raksasa dari belakang Chhota.
Semua mata terpana melihat kegagahan singa raksasa. Kecuali Chhota yang malah meringik ngeri. Ternyata si singa raksasalah tuan Chhota. Singa raksasa mulai berlari, membuat Chhota mau tak mau menerjunkan diri ke dalam jurang neraka. Chhota pun menghilang, bersamaan dengan lebatnya hujan.
Semua orang bersorak kegirangan, sambil memuja singa raksasa. Hingga sorakan itu berganti keheningan, ketika sosok lain muncul dari belakang singa raksasa. Sosok pria beserban hitam dengan kuda berwarna senada itu tak kalah membuat mata semua orang terpana, kecuali Braheim dan Haala.
"Terima kasih untuk pertolonganmu."
"Aku tidak akan menolong jika saja di dalam tembok ini tidak ada yang harus kulindungi," jawab Daxraj pada Braheim.
Braheim melirik Haala. "Kuharap orang yang harus kau lindungi itu bukan komandan perangku."
"Sayangnya iya."
Braheim menggeleng. "Tidak perlu repot. Biar aku yang adalah tuannya yang akan melindunginya."
"Melindungi itu tidak cukup dengan mulutmu saja, Braheim Bhaavesh. Dan lagi, kau yang tidak perlu repot melindungi wanitaku."
...¤○●¤○●¤○●¤...
Malam di mana singa raksasa dan pria beserban hitam muncul menyelamatkan tanah Kumari Kandam dari amukan Chhota, dihapuskan. Kini yang semua orang ingat hanya hilangnya tabib kerajaan karena mencari keberadaan Chhota. Berbeda dengan Braheim dan Haala yang masih mengingat semua rentetan peristiwa malam itu, juga semua kata yang dilontarkan Daxraj.
"Murat."
Spontan Murat beranjak dan membungkuk pada Braheim. "Beri hamba perintah, Yang Mulia."
"Jika kau menyebut seorang wanita sebagai wanitamu, apa ada arti lain selain kekasih?"
"Bisa juga berarti istri. Yang pasti hamba sangat mencintainya," jawab Murat.
"Tutup mulutmu."
Murat kembali membungkuk. "Ampuni kekurangan hamba, Yang Mulia."
Braheim menghela napas. "Murat."
Murat mengurungkan niatnya untuk duduk. "Beri hamba perintah, Yang Mulia."
Braheim diam cukup lama. "Menurutmu apa alasan seorang wanita menghindari kita?" tanya Braheim akhirnya.
"Besar kemungkinan karena dia sudah melakukan kesalahan yang fatal."
Braheim mengangguk-angguk menanggapi Murat. "Kau benar. Dia memang bersalah. Beraninya dia memilih siluman itu setelah menggodaku."
"Jadi Komandan Haala mencampakkan Anda dengan siluman?"
"Apa terlihat jelas jika aku sedang membicarakannya?" Braheim balik bertanya.
"Bahkan terlihat sangat jelas jika Anda menyukai Komandan Haala."
Braheim terdiam, menyoraki ketololannya yang lupa akan kejelian penasihat setianya. Tak jarang Braheim juga lupa jika penasihatnya itu adalah saudara sedarah Ratu Kumari Kandam. Tak berlebihan jika jatuh cinta disebut-sebut bisa mendatangkan ketololan bertubi. Seperti Braheim yang mendadak diserang penyakit lupa, juga seperti Jihan yang rela menyingkirkan saingan hati dengan tubuhnya.
"Kau tahu aku tidak bisa memberikan hatiku padanya, bukan?"
"Ya, Yang Mulia. Sudah cukup dengan dia yang tidak hidup kekurangan seperti saat hamba meninggalkannya dulu," jawab Murat pada Braheim.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
AngHa02
mndingan haala sma pada kpla suku
2024-06-13
0
Nindira
Braheim kamu harus percaya sama Haala, tabib itu memang punya rencana jahat, bahkan dia berani menggagahi ratumu
2022-12-02
0
Ichi
wkwkwkwkwkwkkkkk🤣🤣🤣
nice Murat 😎
2022-10-23
0