Braheim duduk di kursi rias sembari menggoyangkan sebelah kakinya yang bertumpu di atas sebelah kakinya yang lain. Braheim tak henti mengedarkan pandangannya ke kamar tidur minim perabotan itu. Tidak ada tanda-tanda penyusup, tetapi jelas ada sesuatu yang tidak beres. Namun si pemilik kamar, Haala, enggan membuka mulut dan memilih melanjutkan tidurnya.
Enam jam lalu, para penjaga yang tengah berpatroli malam mendengar suara sangat gaduh dari dalam kamar Haala. Awalnya para penjaga berpikir jika komandan perang Kumari Kandam itu sedang berlatih, tetapi sangat tidak mungkin mengingat penerangan kamar yang padam. Keganjilan itulah yang akhirnya membuat para penjaga mantap memeriksa kamar Haala.
Braheim yang kebetulan tengah berjalan-jalan karena kesulitan tidur, ikut bergabung dengan para penjaga yang berlari terburu menuju kamar Haala. Haala ditemukan dalam keadaan sangat terkejut, seolah baru saja beradu tatap dengan makhluk tak kasat mata. Braheim yang khawatir lantas memaksa Haala untuk memilih antara mengizinkannya menemaninya sampai pagi, atau bermalam di istana raja.
Haala terkejut dengan kesungguhan ucapan Braheim, dan terutama dengan ketidakpedulian Braheim pada saksi-saksi yang mendengar langsung ucapannya. Haala pun memilih mengizinkan Braheim untuk menemaninya, dengan syarat pintu kamarnya yang harus tetap terbuka, dan Braheim yang hanya boleh duduk di kursi rias. Braheim diam cukup lama sebelum akhirnya menyetujui syarat dari Haala.
Masih tersisa satu jam sebelum para binatang pagi berceloteh. Braheim beranjak dari kursi rias Haala, hendak melanggar salah satu syarat yang telah disepakatinya atas nama Tuhan. Namun langkah Braheim terhenti, karena sudut matanya samar-samar menangkap siluet seorang pria yang berdiri di balkon kamar Haala. Braheim pun menoleh, tetapi tidak mendapati siapa pun di sana.
"Yang Mulia?"
Spontan Braheim menoleh pada Haala. "Anda masih di sini?" tanya Haala lagi.
"Aku melihat seorang pria di balkon kamarmu."
Haala melirik ke balkon kamarnya. "Apa pria itu memakai serban?"
"Entahlah. Yang kutahu tubuhnya sangat tinggi dan besar."
"Ah, jadi dia datang lagi," gumam Haala.
"Siapa? Kekasihmu?"
Haala turun dari ranjang. "Bukan, Yang Mulia. Hanya seseorang yang hamba kenal."
"Apa dia juga yang kemarin malam masuk ke sini?"
"Benar, Yang Mulia," jawab Haala.
"Untuk apa dia mengunjungimu selarut itu? Lalu apa yang kalian lakukan di tengah penerangan yang padam? Dan jika benar bukan kekasih, kenapa kau mengizinkannya masuk?"
Haala diam sesaat. "Ceritanya sangat panjang, Yang Mulia."
"Buat menjadi singkat."
Haala kembali diam. "Dia memiliki masalah, dan ingin menyelesaikannya saat itu juga."
"Tapi kenapa harus masuk diam-diam hingga memadamkan penerangan kamarmu?"
"Hamba rasa dia sangat terdesak sehingga ti--"
"Terdesak? Jadi masalah yang kau maksud adalah perihal berahi? Pantas saja kau sengaja membiarkannya menyusup, memadamkan penerangan, dan tak mau mengatakan apapun padaku," sela Braheim.
"Tidak seperti itu, Ya--"
"Sepertinya akan lebih baik mengirimmu ke medan perang agar kau tidak memiliki waktu untuk hal-hal menjengkelkan seperti itu," sela Braheim lagi, seraya berjalan cepat keluar dari kamar Haala.
...¤○●¤○●¤○●¤...
Tampak anak buah Haala sedang sibuk menggunjingkan Braheim di tengah istirahat latihan siang. Braheim yang dikenal tenang meski diserbu beragam situasi pelik mendadak menjadi sangat pemarah. Merupakan hal yang wajar jika Braheim menunjukkan kemarahannya pada penasihat atau para menteri yang tidak becus dalam mengurus kerajaan. Namun kemarahan Braheim akhir-akhir ini jauh dari kata wajar.
Braheim akan langsung marah hanya karena hal-hal sangat sepele seperti semilir angin yang membuat tengkuk lehernya kedinginan, suara gaduh ayam dan serigala yang rutin berceloteh di pagi dan malam hari, selendangnya yang tersampir tidak seimbang di bahu, dan hal lainnya yang jauh lebih sepele. Dalam dua pekan ini Braheim resmi dilabeli belahan hati Jihan karena kegemaran merepotkannya yang sangat mirip.
Dan yang lebih parah dari perubahan sikap tidak wajar Braheim adalah, pasukan tempur Haala yang biasa dikirim hanya ke medan pertempuran berbahaya, kini dikirim ke desa-desa untuk mengamankan kejahatan kecil. Semua orang mengira jika perubahan sikap Braheim disebabkan oleh para menterinya yang mulai tertangkap basah berkorupsi. Padahal sebab sebenarnya adalah hati Braheim yang tengah dilahap kobaran api cemburu.
"Di mana aku bisa bertemu Komandan Haala?" tanya kepala pengurus harem, Leyla.
"Komandan baru saja pergi ke Desa Upajaoo untuk menangkap pencuri gandum," jawab salah seorang anak buah Haala.
"Begitu rupanya. Lalu di mana Laasya? Ah, maksudku adik perempuan Komandan Haala. Apa kalian melihatnya?"
Anak buah Haala saling menatap bingung satu sama lain. "Kalian tidak melihat gadis kisaran empat belas tahun yang lewat di sekitar sini?" tanya Leyla lagi.
"Kami hanya melihat anak-anak kepala pengurus kebun bermain di sana." Anak buah Haala menunjuk ke arah taman bunga teratai.
"Sepertinya aku salah mengira. Kalau begitu aku permisi." Leyla berlalu sambil sesekali menoleh ke arah taman bunga teratai.
Sebenarnya Leyla tidak salah mengira. Gadis yang Leyla lihat masuk ke kerajaan dengan dikawal oleh dua orang penjaga memang Laasya. Namun Laasya tidak hendak menemui sang kakak di tempat latihannya, melainkan hendak menemui Braheim untuk menyerahkan buku harian Haala. Kini Laasya sudah duduk di depan Braheim, menikmati kudapan manis sembari menanti Braheim mengajukan pertanyaan lain seputar Haala.
"Sepertinya kakakmu berbohong tentang ciri-ciri pria yang disukainya. Yang kutahu pria itu bertubuh tinggi dan besar, tapi dia menulis sebaliknya di sini."
"Hamba berani menjamin jika kakak belum pernah berbohong selama hidupnya, Yang Mulia," jawab Laasya pada Braheim.
"Benarkah? Tapi aku pernah menangkapnya berbohong."
Laasya menghentikan kunyahannya. "Kalau begitu usia kakak sudah berkurang satu tahun."
Spontan Braheim menutup buku harian Haala. "Apa maksudmu?"
"Penerus sumpah leluhur di keluarga kami diwajibkan menjaga lisannya jika tidak ingin usianya dikurangi satu tahun sebagai ganti sikap tidak jujurnya."
Braheim tak menjawab, hanya mendengarkan Laasya dengan mimik wajah serius. "Sepertinya hamba harus pulang. Hamba harus segera memberitahukan ini pada ibu agar kami bisa bersiap untuk Pavitr*," imbuh Laasya.
*Pavitr* merupakan puasa penghapusan dosa yang dilakukan mulai dari matahari terbenam sampai matahari berada tepat di puncak kepala*.
"Apa dengan Pavitr bisa mengembalikan usianya?"
"Benar, Yang Mulia. Sebanyak kami melakukan Pavitr, sebanyak itu pula usia kakak akan dikembalikan. Kalau begitu hamba pamit undur diri. Terima kasih untuk jamuannya, Yang Mulia."
Braheim beranjak. "Ya, pulanglah. Pengawalku akan mengantarmu."
Laasya ikut beranjak seraya membungkuk hormat pada Braheim. "Panjang umur, dan terbekatilah selalu, matahari Kumari Kandam."
Braheim kembali menjatuhkan tubuhnya di kursi, sambil memandangi sampul buku harian lusuh yang tergeletak di depannya. Terlihat dari kerutan di dahinya yang kian bertambah, pria tampan berbalut pakaian putih gading itu tengah memikirkan sesuatu dengan sangat keras. Hingga tanpa terasa matahari sudah terbenam, dan suara orang-orang yang mencarinya pun terdengar semakin jelas berkumpul di depan pintu.
"Pelayan."
Enam orang pelayan wanita langsung berlari memenuhi panggilan Braheim. "Beri kami perintah, Yang Mulia."
"Panggilkan Murat."
"Sesuai perintah Anda, Yang Mulia," jawab para pelayan wanita itu bersamaan.
Beberapa detik kemudian..
"Panjang umur, dan terbekatilah selalu, ma--"
"Aku akan pindah ke istana timur*," sela Braheim pada Murat.
Istana timur* adalah istana khusus prajurit laki-laki yang sedang mengikuti pelatihan untuk bergabung di pasukan tempur Haala.
"Izinkan hamba mengetahui alasannya, Yang Mulia."
Braheim diam sesaat. "Aku akan melakukan Pavitr selama satu tahun untuk alasan yang tidak bisa kuberitahukan selain pada Tuhan."
...¤○●¤○●¤○●¤...
"Pelayan! Siapkan kereta kuda sekarang juga!"
Murat menggeleng menanggapi Jihan. "Kau hanya akan berakhir diusir seperti pengemis."
"Tutup mulutmu!"
"Ya ya, baiklah. Lakukan saja sesukamu," sahut Murat sembari menerima suapan buah anggur dari seorang pelayan wanita.
Kemurkaan Jihan bermula dari kabar buruk yang dibawa Murat beberapa menit lalu tentang Braheim yang secara mendadak memutuskan untuk melakukan Pavitr dengan alasan yang bersifat rahasia. Padahal terhitung sudah delapan bulan mereka tidak melakukan hubungan suami istri. Dan kemurkaan Jihan kian tak terbendung ketika mendengar kabar buruk yang lain.
Para kaki tangannya yang ditugasi untuk mengawasi Haala tiba-tiba menghilang. Mereka kemudian ditemukan dalam kondisi tak masuk akal. Jangankan mengingat jika Jihan adalah tuannya, mereka bahkan tidak mengenali diri mereka sendiri. Begitu pun Murat. Penasihat sekaligus orang terdekat Braheim itu malah tertawa geli ketika Jihan menanyainya perihal suku pengembara.
Selain ingin melayangkan protes langsung pada Braheim perihal Pavitr, Jihan juga berencana untuk menemui Laasya serta Leyla demi memastikan keduanya tidak ikut serta menjadi orang bodoh seperti Murat dan kaki tangannya. Meski terus digelitik keyakinan, entah kenapa Jihan enggan menerima jika kondisi Murat dan kaki tangannya berkaitan erat dengan suku pengembara.
"Sepertinya suku pengembara memang benar-benar ada. Karena hanya itu yang bisa menjelaskan kondisimu dan para kaki tanganku sekarang."
Murat menghela napas menanggapi Jihan. "Memang ada apa dengan kondisiku? Aku merasa baik-baik saja."
"Lupakan. Daripada itu, apa Braheim benar-benar tidak mengatakan alasannya melakukan Pavitr?"
Murat mengangguk. "Lalu menurutmu apa alasannya?" tanya Jihan lagi.
"Entahlah. Braheim adalah orang yang sulit dibaca. Dia terlihat seperti mudah teperdaya, tapi nyatanya sudah menyiapkan jebakan mematikan. Dia terlihat seperti sangat berputus asa, tapi nyatanya memiliki mental sekuat baja. Dia terlihat seperti mudah ditebak, tapi nyatanya membuat tebakan semua orang meleset."
Jihan tidak menjawab, karena apa yang dikatakan Murat mendadak mengundang perasaan terancam. "Dia seperti labirin. Semakin kau ingin tahu tentangnya, semakin kau dibuat tersesat," imbuh Murat.
"Kau sama sekali tidak membantu." Jihan melangkah keluar dari kamarnya.
"Ah, ada kabar lain tapi aku tidak yakin kau mau mendengarnya."
Spontan Jihan menghentikan langkahnya. "Berhenti mengatakan omong kosong, Murat Iskender! Atau aku akan memotong lidahmu! Katakan!"
Murat mendecak, "Kejam sekali. Ya ya, baiklah, tapi dari mana aku harus memulainya?"
"Aku bersumpah akan memotong li--"
"Braheim bermalam di kamar Haala sejak insiden penyusup tempo hari," sela Murat pada Jihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Nindira
Dirangkum aja ceritanya Haala jangan dibikin panjang ya🤣
2022-11-01
0
Ichi
lanjut baca lagi 🛵🛵🛵
2022-10-19
0
Ichi
makin jadi dah gilanye si ratu 😌
2022-10-19
0