Tampak Laasya begitu antusias menuntun Haala ke suatu tempat rahasia, hingga langkah mengendapnya terhenti di belakang kebun labu rumah mereka. Haala menyelisik sekitar, mengira jika Laasya ingin menunjukkan betapa suburnya kebun labu milik sang ibu, tetapi salah. Laasya tiba-tiba saja berjongkok, mencari sesuatu di tanah, dan kemudian menggeser sebuah pintu misterius.
"Aku menemukannya kemarin malam. Kau pasti akan menyukainya, Kak. Ayo."
"Laasya tu--"
"Tidak perlu khawatir. Hanya ada harta karun di dalam sana," sela Laasya pada Haala seraya hilang dari balik pintu misterius.
Ya, benar. Memang hanya terdapat harta karun di dalam ruang bawah tanah berukuran cukup luas itu. Selain koin emas yang menyelimuti hampir seluruh lantai, ada beragam perhiasan di dalam tumpukan peti kayu, juga zirah bertabur batu zamrud langka. Namun yang paling membuat silau kedua mata Haala adalah, lukisan tua yang tergantung tak seimbang di dinding.
Sementara Laasya sibuk menggeledah peti kayu, Haala sibuk memandangi lukisan di hadapannya. Terlihat dalam lukisan, sepasang pria dan wanita tengah berdiri menantang terik matahari. Tak ada yang istimewa dari lukisan yang sedari tadi dipandanginya tanpa berkedip, namun entah kenapa Haala merasa ada banyak makna tersembunyi dalam lukisan yang hanya dihiasi hitam itu.
"Kakak, mungkinkah ayah atau kakek meninggalkan ini semua untuk kita?"
"Entahlah. Sebaiknya jangan mengambil apapun. Karena kita belum tahu siapa pemilik sebenarnya," jawab Haala pada Laasya.
"Sudah pasti ini semua milik kita. Buktinya saja ada tepat di belakang rumah kita."
Haala membersihkan debu pada lukisan dengan ujung bajunya. "Banyak orang berdosa di masa lalu yang dikubur Tuhan hidup-hidup. Bisa jadi merekalah pemilik yang sebenarnya."
Laasya menunjuk lukisan. "Kupikir pasangan itulah pemilik sebenarnya."
Haala kembali memandangi lukisan yang ada tepat di hadapannya. "Entah kenapa pria di lukisan itu tampak tidak asing. Aku seperti pernah melihatnya di suatu tempat," imbuh Laasya.
"Jika kau pernah melihat pria ini, berarti aku harus memanggilmu leluhur. Ayo kembali." Haala membenahi posisi lukisan itu, lalu menggandeng Laasya menaiki tangga.
"Tunggu, itu seperti buku harian kakak."
Spontan Laasya melepas gandengan tangannya dari Haala dan berlari menuruni anak tangga. Laasya lalu menarik laci sepenuhnya, dan mengambil buku itu dari dalam sana. Laasya terbatuk berulang kali setelah tanpa sadar meniup tumpukan debu tebal pada buku tersebut. Keasyikan Laasya mengintip isi buku itu tersudahi saat Haala mendekatinya dan melontarkan sebuah pertanyaan.
"Dari mana kau tahu jika buku harianku mirip dengan buku itu?"
"Hm? Aku hanya asal menebak saja," jawab Laasya pada Haala.
"Lalu dari mana kau tahu jika aku memiliki buku harian?"
Laasya terdiam cukup lama. "Baiklah-baiklah aku tidak asal menebak. Buku harian kakak memang mirip seperti ini karena aku pernah melihatnya di gudang."
"Dan membacanya."
Laasya mengangguk menanggapi Haala sembari tersenyum paksa. "Sedikit."
"Kau tahu itu tidak sopan, bukan? Sekarang kembalikan buku itu padaku."
"Mmm maaf, tapi sepertinya itu cukup sulit," balas Laasya.
"Kenapa?"
Laasya kembali terdiam, namun tatapan Haala yang menusuk membuatnya tak memiliki pilihan selain mengatakan yang sejujurnya pada sang kakak. Dengan terbata Laasya mengaku jika buku harian itu sudah sejak lama ada pada Braheim. Saat itu Laasya dengan senang hati memberikannya karena Braheim berkata jika buku harian Haala akan membantunya dalam hal penyelidikan.
Seketika Haala kehilangan keseimbangannya dan hampir saja jatuh terguling dari tangga sesaat setelah mengetahui buku hariannya kini berada di tangan orang yang sangat salah. Wajah Haala memerah sejadi-jadinya karena tak kuasa lagi membendung rasa malu. Haala sama sekali tidak pernah menyangka jika akan ada hari di mana buku hariannya dibaca oleh pria yang dicintainya.
"Tidak apa-apa. Karena Yang Mulia Raja tidak akan membacanya."
"Sayangnya Yang Mulia Raja membacanya. Bahkan di depanku," sahut Laasya pada Haala.
Spontan Haala menoleh. "Apa?"
"Kupikir Yang Mulia Raja membutuhkan buku harian kakak untuk penyelidikan dalam arti sebenarnya, tapi ternyata dalam arti lain."
Kini berganti Haala yang terdiam. "Apa kakak bersedia menjadi selir? Karena aku sangat yakin jika buku harian kakak digunakan Yang Mulia Raja untuk keperluan ini," imbuh Laasya sambil menyentuh jantungnya.
Haala menggeleng. "Itu tidak mungkin. Pernah ada insiden pembunuhan di dalam harem. Mungkin saja Yang Mulia Raja memang sedang melakukan penyelidikan lewat buku harianku karena masih mencurigaiku sebagai pembunuhnya."
"Kuharap juga demikian. Jujur saja aku tidak rela jika kakak harus hidup sebagai selir. Sekali pun bukan sebagai selir, aku tetap tidak rela karena kakak harus berbagi pria dengan wanita lain. Hiduplah dengan pria biasa yang jiwa dan raganya hanya bisa kakak miliki seorang."
...¤○●¤○●¤○●¤...
Setelah bersusah payah merayu hatinya agar bersedia untuk bekerja sama, akhirnya Haala beranjak dari ranjang, dan langsung bergegas menemui Braheim demi mendapatkan buku hariannya kembali. Namun, lautan manusia di depan istana timur membuat semangat berkobar Haala dan kuda putihnya perlahan meredup.
Wajar jika istana timur disesaki para prajurit, karena hari ini merupakan hari di mana mereka akan menerima upah dan izin resmi pembebasan tugas langsung dari Braheim. Tetapi bagaimana mungkin para selir juga ikut menyesaki istana timur. Haala yang sangat penasaran pun langsung turun dari kudanya, dan bergabung ke dalam lautan manusia.
Terlihat Jihan tengah menampar kepala pengurus harem, Leyla, berulang kali. Jihan juga tidak ragu mendaratkan tamparan murkanya pada selir-selir yang berdiri tak jauh darinya. Dengan suara melengking yang sangat memekakkan telinga, Jihan terus memaki Leyla serta para selir yang dianggapnya telah bersikap terlewat lancang.
PLAK!
"Beraninya kau datang menghadap suamiku dengan membawa serta wanita-wanita rendahan ini!"
"Ampuni hamba, Yang Mulia Ratu. Hamba tidak tahu jika para selir mengikuti hamba sampai ke istana timur," balas Leyla pada Jihan.
PLAK!
"Tutup mulutmu, Leyla Rahsheda! Enyahlah sebelum aku menyeretmu dan para rendahan ini ke alun-alun kota!"
Leyla membungkuk hormat pada Jihan. "Belas kasih Anda tiada tara, Yang Mulia Ratu."
"Tunggu. Dengarkan baik-baik kalian semua. Jiwa dan raga Yang Mulia Raja telah diberikan sepenuhnya padaku, karena saat ini aku sedang mengandung anaknya. Jadi ingat posisi kalian dasar rendahan."
Suara gaduh semakin tak terkendali saat Jihan hilang dari balik gerbang megah istana timur. Sebagian dari mereka bersuka cita menyambut penerus tahta yang telah lama dinanti, sementara sebagian yang lain menangis dengan emosi beragam. Berbeda dengan Haala yang malah tersenyum malu. Ya, malu. Malu akan ketepatan ucapan sang adik.
"Hiduplah dengan pria biasa yang jiwa dan raganya hanya bisa kumiliki seorang. Ya, dengan pria biasa, yang jiwa dan raganya hanya untukku," gumam Haala seraya berjalan keluar dari lautan manusia.
Haala menuntun kudanya menuju istana prajurit dengan langkah berat. Kedua tangan Haala bergemetar hebat, karena ucapan terakhir Jihan yang semakin nyaring terngiang di telinganya. Butir demi butir air matanya menetes tanpa izin, membuat semilir angin kewalahan mencari cara mengeringkan basah di kedua pipi tanpa riasan itu.
Haala kian terhanyut dalam kenyataan pedih, hingga seseorang menghentikan langkah beratnya. Haala masih menunduk, memandangi ujung alas kaki orang tersebut juga ujung alas kakinya yang kini dihujani air mata. Usapan lembut yang tiba-tiba mendarat di sebelah bahunya spontan membuat Haala mendongak karena terkejut.
"Jangan percaya pada apapun yang wanita gila itu katakan padamu."
Haala tak menjawab. "Aku tidak akan membiarkan penerus tahta lahir dari rahim wanita yang masih haus akan urusan duniawi. Yang Mulia Raja pernah mengatakan itu padaku," imbuh Murat.
"Kurasa kau tidak boleh memberitahukannya pada sembarang orang, penasihat."
Murat mengangguk-angguk menanggapi Haala. "Ya, kau benar. Seharusnya aku memberitahukannya pada Yang Mulia Ratu. Mungkin dengan begitu kegilaannya bisa berkurang. Tapi entahlah. Terkadang aku suka bertindak tanpa berpikir."
"Aku harus pergi."
"Komandan, tetap berhati-hati dengan makanan dan minumanmu."
"Terima kasih, penasihat."
"Komandan."
Haala kembali menghentikan langkahnya. "Wanita gila itu adalah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Aku ingin dia hidup berkecukupan bersama pria yang dicintainya. Jadi, bisakah kau juga mengingat posisimu?" tambah Murat.
"Akan kuingat, penasihat."
...¤○●¤○●¤○●¤...
Tampak dua orang pelayan perempuan tengah sibuk bertugas. Keduanya kompak mengawasi gerak-gerik Haala dari balik lubang kecil di dinding. Dua kamar prajurit di sisi kanan dan kiri kamar Haala sengaja dikosongkan tanpa sepengetahuan Haala demi memudahkan tugas mereka. Lalu lubang-lubang kecil itu digunakan untuk menjadi bukti kuat laporan yang akan mereka berikan pada sang tuan, Jihan.
Berbeda dengan para selir yang bisa dengan mudah mereka kelabui untuk mengonsumsi racun, Haala yang memiliki kewaspadaan tinggi cukup sulit dipancing perhatiannya. Hingga akhirnya mereka menaburkan racun Shaant* ke dalam bak mandi Haala. Racun mematikan itu memang akan lebih ampuh jika bercampur dengan air liur, namun tetap bisa bekerja selama masuk ke dalam tubuh.
*Shaant* adalah madu dari bunga langka yang dipercaya bisa membuat wanita menjadi mandul*.
Air hangat yang berfungsi membuka pori-pori kulit, akan menjadi jalan mulus bagi racun Shaant untuk menggerogoti kesehatan rahim Haala. Kedua pelayan Jihan menahan teriakan kemenangannya ketika jari kaki Haala hampir menyentuh permukaan air. Namun seorang pria yang muncul entah dari mana menggagalkan semuanya. Spontan Haala meraih kain penutup, dan mengangkat pedangnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menyelamatkan dunia," jawab Daxraj pada Haala.
"Apa maksudmu?"
Daxraj menunjuk bak mandi. "Ada racun di dalam sana."
"Apa?"
"Mungkinkah kau kehilangan siagamu karena air mata patah hati?" Daxraj berbalik menanyai Haala.
"Keluar dari sini sekarang."
Daxraj berjalan mendekati Haala. "Air matamu terlalu berharga untuk menangisi hal yang sia-sia."
"Berhenti di sana. Atau aku tidak akan segan melukaimu."
Daxraj menghentikan langkahnya. "Kau sudah melukaiku, Haala."
TOK.. TOK.. TOK..
"Kau di dalam?"
Spontan Haala berlari menuju pintu. "Yang Mulia? Ada perlu apa Anda sampai datang ke sini?"
"Dengan siapa kau berbicara?" tanya Braheim lagi.
Haala menoleh pada Daxraj, menyuruhnya untuk segera pergi. "Buka pintunya," imbuh Braheim.
"Hamba baru saja akan mandi, Yang Mulia."
"Bersama pemimpin suku berwajah seperti siluman itu? Buka pintunya. Ini perintah," balas Braheim.
TOK.. TOK.. TOK..
Haala terlonjak kaget, karena Braheim yang kembali mengetuk pintu dengan kasar. Daxraj masih berdiri di tempatnya, menatap Haala dengan mimik wajah menyayat hati. Tidak terpikirkan cara apapun di kepala Haala untuk keluar dari situasi saat ini. Di satu sisi Braheim tak henti menggedor pintu kamar mandinya, sementara di sisi lain, Daxraj juga tak henti menyuguhinya tatapan duka.
Daxraj melanjutkan langkahnya mendekati Haala. "Ketahuilah satu hal. Sejak dulu keturunan Yusef Bahadir ada di sisi Raja Kumari Kandam bukan untuk menjadi kekasih, melainkan untuk menjadi perisai hidup. Jangan lupakan itu dan, ingat posisimu."
BRAK!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
auliasiamatir
aku lebih suka haala sama daxraj yah
2023-01-05
0
auliasiamatir
benar itu lasya
2023-01-05
0
Nindira
Nah loh ketahuan Haala nulis tentang Braheim yaᕦ😌ᕤ 𓆩🥰𓆪
2022-11-08
0