"Di mana siluman itu?" tanya Braheim seraya memeriksa setiap sudut kamar mandi dengan teliti.
Haala hanya diam. "Sebenarnya sepenting apa pembicaraan kalian berdua sampai harus membahasnya di sini?"
Haala masih diam, karena sibuk menjadi penengah untuk hati dan logikanya yang kini sedang bercek-cok sengit. Perkataan Daxraj, Jihan, Murat, dan Laasya yang mulai terngiang di telinga Haala seakan kembali menyeretnya pada kenyataan pedih. Tidak ada yang salah dari apa yang mereka katakan mengingat dirinya memang sempat melupakan posisi, sebab tanpa sadar telah terlena pada perlakuan istimewa Braheim.
Haala menoleh ke sisi kirinya, di mana terdapat cermin berukuran sedang yang memantulkan wajah memesona Braheim. Entah petaka sedahsyat apa yang akan menghampiri jika Haala terlena lebih dalam oleh pesona itu. Kini tiba waktunya logika Haala memegang kendali, setelah sekian lama diperbudak hatinya yang lemah. Tidak boleh ada lagi debaran cinta, pun fantasi romantis dengan pria yang mustahil dimilikinya itu.
"Tidak perlu seserius itu memikirkan jawabannya. Lagipula jawaban apapun yang kau berikan tetap akan membuatku jengkel."
Haala berbalik, lalu membungkuk hormat pada Braheim. "Ampuni hamba, Yang Mulia."
Braheim menghela napasnya. "Tidak ada siapa pun di sini, jadi berhenti membuatku semakin jengkel dengan sikap seperti itu."
"Seorang bawahan sudah seharusnya bersikap sopan, Yang Mulia."
Braheim diam sesaat. "Kurasa ada maksud tersembunyi dibalik perkataanmu. Aku bukan orang yang sabar jadi jangan bermain teka-teki."
"Hamba hanya seorang bawahan, dan hamba tidak berniat untuk menjadi selir."
Braheim kembali diam. "Lalu, kau ingin menjadi ratu?"
"Tidak, Yang Mulia. Hamba hanya ingin menjadi perisai untuk Anda dan tanah Kumari Kandam," balas Haala.
"Seharusnya kau katakan itu dua belas tahun yang lalu."
Braheim menghampiri Haala dengan langkah sangat cepat, hingga dalam sekejap sudah berdiri tepat di hadapan Haala. Haala buru-buru menunduk, ketika Braheim menangkap gerak kedua bola matanya. Namun Haala kembali mendongak, karena tangan halus Braheim yang tiba-tiba menyentuh sebelah pipinya. Jantung Haala mulai berdebar tak karuan, sebab ini kali pertama dirinya berada sangat dekat dengan Braheim.
"Aku akan menutup harem, mengosongkan singgasana ratu, dan memercayakan penerus tahta di sini," ujar Braheim sembari menyentuh perut Haala.
Jantung Haala kian berdebar tak karuan, bahkan pijakan mantap kakinya perlahan melemah karena sulit memercayai apa yang baru saja dikatakan Braheim dengan suara bergetar itu. Haala sama sekali tidak pernah menyangka jika perlakuan istimewa Braheim padanya bukan sekadar apresiasi atasan pada bawahannya yang sangat berjasa, melainkan cinta diam-diamnya selama dua belas tahun yang ternyata bersambut.
"Ada banyak rahasia yang ingin kuberitahukan padamu, tapi terlalu banyak pasang mata dan telinga di sini. Bersediakah kau memercayaiku dan bertahan sedikit lagi?" imbuh Braheim dengan suara yang masih bergetar.
Tanpa sadar Haala mengangguk, dan menutup mata ketika Braheim mengecup bibirnya. Ada sesuatu yang panas yang seolah melesat sampai ubun-ubun saat kecupan sekian detik itu berubah menjadi ciuman menggebu. Dan andai saja gerak bersemangat Braheim tidak mengganggu pedang Yusef Bahadir yang lolos dari tangan Haala, rahim yang sangat diincar Ratu Kumari Kandam itu benar-benar akan tertanam benih penerus tahta.
"Beritahu hamba satu rahasia Anda, Yang Mulia."
Braheim mendecak menanggapi Haala. "Kau memang keras kepala."
Haala tak menjawab. "Dan sangat kaku," imbuh Braheim.
"Hamba tidak bisa berbicara tidak sopan. Akan berbahaya jika hamba menjadi terbiasa di depan umum nantinya."
Braheim mengangguk. "Ya, kau ada benarnya. Aku memang selalu menjadi bodoh saat berada di dekatmu."
"Jadi apa rahasia Anda?"
"Itu ciuman pertamaku," jawab Braheim.
"Apa kepala hamba masih akan ada di tempatnya meski hamba tidak memercayai ucapan Anda?"
Braheim tertawa. "Belum saatnya untuk menjelaskan apapun padamu, jadi bersabarlah dan percaya saja padaku. Aku harus pergi."
Haala mengangguk. "Ah, satu lagi. Tidak perlu khawatir pada makanan, minuman, atau pun air di bak mandimu. Kau aman karena aku berusaha semampuku untuk melindungimu," tambah Braheim.
"Yang Mulia."
Braheim menoleh pada Haala. "Sejujurnya yang tadi itu bukan ciuman pertama hamba," imbuh Haala.
"Apa? Jangan katakan padaku jika si siluman itulah yang pertama ka--"
"Itu ciuman kesekian hamba jika dihitung dengan ciuman hamba dengan Anda di dalam mimpi selama dua belas tahun," sela Haala.
"Apa kau sedang menggodaku? Jika iya jangan coba-coba melakukannya pada selain aku. Mengerti? Aku pergi. Jangan memanggilku lagi karena aku tidak akan menahan diri untuk panggilan yang kedua."
"Yang Mulia."
Braheim mendecak, seraya berjalan menghampiri Haala. "Hah, Kumari Kandam bisa dalam bahaya jika memiliki ratu yang mahir menggoda seperti ini."
...¤○●¤○●¤○●¤...
PRANG!
"Keluar kalian semua dari sini dasar tidak becus!" seru Jihan sambil melemparkan sebuah gelas.
Belasan pelayan pribadi Jihan yang teramat ketakutan itu pun langsung berlari saling mendahului demi segera keluar dari kamar tidur Jihan, terutama demi menghindari nasib nahas seperti seorang pelayan yang beberapa hari lalu mati di tempat setelah mengalami pendaharan hebat di kepalanya akibat tabiat buruk Jihan yang gemar melempar barang-barang berbahaya ke sembarang tempat.
Jihan yang sudah tak sabar menanti kabar baik dari dua orang pelayan setianya terpaksa harus kembali menggigit jari. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada dua pelayan tersebut. Ketika dihadapkan pada Jihan, keduanya malah berubah menjadi seperti orang tolol. Jangankan mengingat tugas yang tengah diemban, keduanya bahkan bertanya-tanya kenapa saat ini mereka mengenakan pakaian pelayan.
Jihan yakin jika Murat kembali mencampuri urusannya, sebab tidak ada lagi orang yang akan tertarik pada rencana busuknya selain Murat. Murat yang mengetahui rencana Jihan berniat melindungi wanita yang dicintainya, Haala, dengan segala cara hingga berani membungkam mulut kedua pelayannya. Jihan terus bergelut dengan keyakinannya itu tanpa menyadari jika pembungkam yang sebenarnya adalah, Daxraj Natesh.
"Sebenarnya penasihat sialan itu ada di pihak siapa? Dia terus menolongku, bukankah itu artinya dia menyukaiku? Tapi kenapa dia selalu mengacau? Dia juga tidak tertarik dengan koin emas maupun tubuhku. Lalu apa tujuannya?" tanya Jihan dalam hati.
Jihan pun berniat menemui Murat detik itu juga. Dengan seruan menggelegar Jihan memanggil para pelayannya, meminta mereka untuk mempersiapkan keberangkatan ke istana timur. Namun di tengah persiapannya, Jihan tak sengaja menemukan sebotol ramuan di pojok laci meja rias. Jihan menghentikan gerak sibuk para pelayan yang tengah menghias rambutnya, karena tertarik dengan ramuan beraroma menenangkan itu.
"Apa ini?"
"Hamba kurang yakin karena baru pertama kali melihatnya, Yang Mulia," jawab salah seorang pelayan pada Jihan.
Jihan memutar dan memandangi isi botol yang kini digenggamnya. "Aku juga baru pertama kali melihatnya."
"Mohon izin berbicara, Yang Mulia."
Jihan mengangguk menanggapi pelayannya yang lain. "Mungkin tabib kerajaan bisa memberikan jawaban yang Anda inginkan, Yang Mulia."
"Kau benar. Kalau begitu tunda keberangkatan ke istana timur. Aku ingin menemui tabib kerajaan terlebih dahulu."
"Sesuai perintah Anda, Yang Mulia." Semua pelayan Jihan membungkuk hormat.
Setelah melewati beberapa koridor istana utara*, Jihan dan dua orang pelayan pribadinya pun tiba di ruang kerja tabib kerajaan. Si tabib Kerajaan, Sanjeev Rajak, langsung beranjak bersemangat dari kursinya dan menyambut Jihan dengan senyum merekah. Jihan merasa risih, karena Sanjeev yang tampak begitu alami saat berbicara dengannya, seolah dirinya pernah menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama Sanjeev.
*Istana utara* atau yang lebih dikenal dengan istana gaduh, merupakan istana yang paling banyak dikunjungi. Karena ada rumah sakit, akademi meramu obat, juga kebun tanaman herbal langka. Tabib Kerajaan juga tinggal di sini sebab selain bertanggung jawab pada para pasien selama dua puluh empat jam, dia juga mengajar di akademi*.
"Ada yang bisa hamba bantu, Yang Mulia Ratu?"
Jihan memberikan sebotol ramuan pada Sanjeev. "Ramuan apa ini?"
"Ah, ini adalah ramuan kejujuran. Satu tetes untuk tiga buah pertanyaan."
"Apa kau yang memberikannya padaku?" tanya Jihan lagi.
"Benar, Yang Mulia. Karena Anda yang memintanya."
Jihan menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Kapan aku memintanya? Dan lagi, untuk apa aku memintanya?"
"Sulit untuk menjelaskannya, Yang Mulia. Hamba ragu Anda akan memercayainya."
"Jangan membuang waktuku, Sanjeev Rajak."
"Andai ingatan Anda tidak dihapus, Yang Mulia."
"Apa maksudmu?"
Sanjeev beranjak dari kursi, dan berdiri di samping Jihan yang tengah duduk elegan sembari menggoyangkan gelas berisi Goan Feni*. Tetapi tak lama Jihan beranjak, dan melayangkan sebuah tamparan pada Sanjeev yang tiba-tiba membelai rambutnya. Reaksi Sanjeev yang malah tertawa geli membuat Jihan tak kuasa menahan tamparan keduanya. Namun Sanjeev menghindar, dan mendudukkan Jihan kembali ke tempat semula.
*Goan Feni* adalah minuman beralkohol yang hanya diproduksi di Goa, India. Goan Feni dibuat dari getah kelapa atau apel mete dan kandungan alkohol di tiap botolnya mencapai 43-45*%.
"Lancang ka--"
"Sssttt, bibir indahmu ini akan lebih baik jika digunakan untuk mengerang," sela Sanjeev seraya menjelajahkan jarinya di bibir Jihan.
"Singkirkan tangan kotormu itu dasar tua bangka kurang ajar!"
Sanjeev kembali tertawa geli. "Ya, aku memang tua bangka. Tua bangka yang beruntung karena pernah menggagahi Ratu Kumari Kandam sampai pagi."
DEG!
"Kau pasti berpikir itu tidak mungkin, bukan? Tapi begitulah kenyataannya. Kau mendatangiku persis seperti hari ini. Meminta ramuan penakluk dan ramuan kejujuran dengan bayaran tubuhmu," imbuh Sanjeev.
DEG! DEG!
"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi satu yang pasti, semua orang kehilangan ingatannya kecuali aku. Mungkin ingatan tua bangka ini bisa memudahkan rencanamu untuk menyingkirkan kekasih gelap Yang Mulia Raja. Bagaimana?"
DEG! DEG! DEG!
...¤○●¤○●¤○●¤...
Tampak Laasya sedang sibuk menerjemahkan tulisan dalam buku kuno di ruang bawah tanah di belakang kebun labu milik sang ibu. Awalnya Laasya hanya berniat menggeledah peti perhiasan, tetapi buku bersampul kulit hewan di atas lemari seolah berteriak memanggilnya. Laasya pun menyudahi kesibukannya mengubrak-abrik peti perhiasan, dan bersusah payah meraih buku dari atas lemari tersebut.
"Binasa pada salah dunia karena setia Yusef memberikan akan orang Bahadir sumpah hatinya yang penerus. Hah, aku menyerah. Aku tidak mengerti. Aku tidak peduli lagi." Laasya menutup buku yang sedari tadi dipelototinya.
Ketika Laasya hendak kembali bergelut dengan peti-peti perhiasan, buku kuno itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Spontan Laasya langsung berlari karena menyadari keganjilan yang baru saja terjadi tepat di depan matanya. Sebelum hilang dari balik pintu, Laasya sempat melirik pada buku kuno tersebut. Buku berbahasa Videsh* itu terbuka di halaman terakhir yang baru saja diterjemahkannya.
*Videsh* merupakan bahasa kumari kandam yang digunakan para leluhur terdahulu. Sudah tidak digunakan lagi di masa sekarang karena terlalu rumit*.
"Sebenarnya yang tadi itu apa? Aku harus segera memberitahukannya pada kakak," ujar Laasya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Nindira
Kamu malah kabur sih jadi gak tahu yang barusan itu apa
2022-11-28
0
Nindira
Hoby bener sih kamu marah2 Jihan
2022-11-28
0
Nindira
Hoby bener sih kamu marah2 Jihan
2022-11-28
0