"Kau tahu aku bisa menjatuhkan hukuman penggal pada siapa pun sesuka hatiku, bukan?"
"Ya, Yang Mulia," jawab kepala pengurus harem, Leyla Rahsheda, pada Jihan.
"Maka jawab pertanyaanku dengan benar, dasar rendahan!" Jihan berseru seraya melempar kipas kayunya ke arah Leyla.
"Ampuni hamba, Yang Mulia. Tetapi semua yang hamba katakan sudah merupakan kebenaran ya--"
Jihan tiba-tiba beranjak, membuat Leyla seketika mengunci rapat mulutnya. Suara gelang kaki Jihan semakin nyaring terdengar mendekati Leyla juga Laasya, adik perempuan Haala. Sejak kedatangannya di istana ratu beberapa jam lalu, Laasya terus bersembunyi di belakang Leyla. Gadis belia itu tidak menyukai Jihan yang dianggapnya lebih menyeramkan dari mimpi buruk.
Jihan lalu mengulurkan sebelah tangannya pada Laasya, namun Laasya malah kian membenamkan wajahnya di punggung Leyla. Sambil tersenyum lembut, Leyla berbisik pada Laasya jika semuanya akan baik-baik saja selama dirinya mematuhi perintah Ratu Kumari Kandam. Merasa tidak ada kebohongan yang tersirat di wajah Leyla, Laasya pun perlahan menerima uluran tangan Jihan.
"Aku akan mengizinkanmu bertemu Haala jika kau menjawab pertanyaanku dengan benar. Bagaimana?"
Laasya mengangguk pada Jihan. "Gadis pintar. Jadi, apa benar kau diberi ramuan penyembuh oleh suku pengembara?"
Laasya kembali mengangguk. "Mereka memberikannya langsung padamu?" tanya Jihan lagi.
"Mereka meninggalkannya di depan pintu."
Jihan tertawa. "Kalau begitu, tidak ada yang benar-benar bertemu dengan suku pengembara."
"Kakak bertemu mereka," sahut Laasya.
"Apa?"
"Kakak mengejar pengirim ramuan itu ke dalam hutan, dan menemukan tempat yang memiliki waktu berbeda. Di sanalah Kakak bertemu dengan suku pengembara," imbuh Laasya.
Jihan kembali tertawa. "Dan kau memercayainya be--"
"Penerus sumpah leluhur di keluarga kami tidak akan berani berbohong. Jika mereka melakukannya, umur mereka akan berkurang satu tahun," sela Laasya pada Jihan.
"Menarik. Lalu apalagi yang kau ketahui?"
Laasya diam sesaat. "Ingatan Kakak tidak terhapus."
Jihan, Leyla, dan semua orang yang ada di ruangan itu kompak membulatkan matanya. Rasa ingin menampik semua yang dikatakan Laasya memang sangat besar, namun rasa ragu untuk menolak memercayai sorot mata polos gadis belia itu jauh lebih besar. Bahkan untuk pertama kalinya, Ratu Kumari Kandam yang tersohor sangat rasional dibuat menyangsikan kerasionalannya sendiri.
Di satu sisi Jihan senang karena secara tidak langsung bisa kembali mengantongi kelemahan Haala, tetapi di sisi lain Jihan tidak tenang karena merasa yakin ada sesuatu yang istimewa pada Haala sehingga ingatannya tidak terhapus. Jihan pun mulai menyusun rencana, setelah sebelumnya mengizinkan Laasya dan Leyla pergi dengan senyum pura-pura sekelas lakon papan atas.
Setelah memantapkan rencana liciknya, Jihan memanggil kaki tangannya. Wanita bak bidadari berkedok makhluk tak berhati itu memerintahkan sebagian kaki tangannya untuk mengikuti Haala ke mana pun, dan sebagian yang lain untuk mengawasi gerak-gerik Laasya dan keluarga Haala. Jihan juga meminta para kaki tangannya untuk waspada pada Murat yang tak kalah licik darinya.
"Jika benar suku pengembara memang ada, tangkap salah satu dari mereka dan bawa ke hadapanku detik itu juga dalam keaadan hidup, sekarat, atau pun mati."
"Sesuai perintah Anda, Yang Mulia Ratu," jawab para kaki tangan Jihan bersamaan.
...¤○●¤○●¤○●¤...
Akhirnya Laasya bisa kembali bernapas lega setelah keluar dari istana Jihan. Meski terdapat segalanya di istana sederhana itu, entah kenapa Laasya merasa sesak. Untungnya ada kepala pengurus harem, Leyla, yang selalu berada di samping Laasya. Di sepanjang perjalanan menuju istana ratu, Leyla tak bosan menenangkan Laasya yang takut. Bahkan saat ini pun Leyla dengan senang hati mengantar Laasya ke tempat latihan Haala.
"Putriku juga seusiamu."
Laasya menoleh pada Leyla. "Benarkah? Di mana dia belajar membaca dan menulis?"
"Mungkin sama dengan tempatmu belajar saat ini."
"Mungkin? Kenapa mungkin?" tanya Laasya lagi.
Leyla diam sesaat. "Karena dia sudah tidak ada lagi di dunia ini."
"Aku turut berduka."
Leyla tersenyum. "Dia sangat mirip denganmu, selalu bersembunyi di belakangku ketika melihat Yang Mulia Ratu. Dia mengatakan jika Yang Mulia Ratu seperti **N**ishir Dak*."
Nishir Dak* adalah salah satu hantu yang ada di India. Tidak banyak yang tahu tentang wujud asli hantu ini, karena siapa pun yang melihat wujud aslinya tidak akan selamat. Hantu ini menarik perhatian korban dengan cara memanggil korban dengan suara yang serupa dengan orang terdekat korban.
"Aku sependapat," balas Laasya.
Leyla tertawa menanggapi Laasya. "Kau harus lebih berhati-hati di hadapan Yang Mulia Ratu. Terus tundukkan pandangan, jangan lupa memberi hormat, dan jangan pernah lagi menyela ucapannya."
Laasya masih asyik membincangkan banyak hal dengan Leyla, hingga di tengah perjalanan keduanya diekori oleh Braheim. Braheim yang baru saja keluar dari ruang rapat seketika melambatkan langkah kakinya saat mendapati punggung Laasya dari kejauhan. Braheim mengira jika Laasya adalah Haala mengingat rambut emasnya yang langka dan selalu sukses mengalihkan setiap pasang mata.
Braheim meminta Murat untuk mengistirahatkan mulutnya yang sangat aktif mengoceh itu sejenak, sementara dirinya beralasan ingin mencari udara segar. Murat membungkuk hormat, dan berjalan berlawanan arah dengan Braheim menuju ruang kerjanya. Langkah semangat Braheim melambat, ketika mendapati dirinya salah orang. Namun Braheim yakin jika gadis berambut emas di depannya pastilah keluarga Haala.
Braheim berdeham, membuat Laasya serta Leyla berbalik dan langsung membungkuk hormat padanya. Leyla yang tanggap dengan sorot mata ingin tahu Braheim, dengan cepat menjelaskan siapa Laasya dan alasannya datang ke kerajaan. Braheim mengangguk paham pada Leyla, lalu secara tidak terduga meminta Leyla untuk kembali bekerja, karena dirinya sendiri yang akan mengantar Laasya menemui Haala.
"Jadi kau datang ke sini karena sangat merindukan kakakmu?"
"Benar, Yang Mulia," jawab Laasya pada Braheim.
"Kakak dan adik sama payahnya saat berbohong," ujar Braheim dalam hati. "Ada yang ingin kutanyakan."
"Silakan, Yang Mulia."
"Apa keluargamu masih gemar melakukan perjodohan? Lalu apa kakakmu memiliki kekasih atau semacamnya? Dan pria seperti apa yang disukai kakakmu?"
Laasya diam sesaat. "Keluarga kami sudah tidak melakukan perjodohan, Yang Mulia. Dan ya, sepertinya kakak memiliki kekasih."
Spontan Braheim menghentikan langkahnya. "Siapa? Murat?"
"Bukan, Yang Mulia. Sebenarnya hamba tidak yakin siapa. Tapi kakak jelas sedang menyukai seseorang. Meski sepertinya hanya cinta sepihak."
"Cinta sepihak?" tanya Braheim lagi.
"Hamba juga tidak yakin. Itu hanya dugaan hamba, Yang Mulia."
Braheim kembali melanjutkan langkahnya. "Kakakmu bercerita padamu atau kau pernah melihat pria yang disukainya itu secara langsung?"
"Tidak keduanya, Yang Mulia. Hamba tidak sengaja menemukan buku harian kakak di gudang dan membacanya."
Braheim menghentikan langkahnya lagi. "Berikan padaku."
"Ya?"
"Buku harian kakakmu, aku ingin membacanya demi kepentingan kerajaan," jawab Braheim.
...¤○●¤○●¤○●¤...
DUG!
Suara kepala seseorang terdengar keras membentur dinding kamar Haala. Seseorang yang diyakini Haala berjenis laki-laki itu masuk diam-diam ke kamarnya dengan langkah kaki seringan bulu. Jika saja bukan karena penerangan di kamar Haala yang tiba-tiba mati, sampai sang surya menyapa pun Haala tidak akan pernah menyadari ada penyusup yang bersembunyi di kamarnya.
Merasa kesal karena lagi-lagi ada sepasang mata yang melihatnya mengenakan gaun tidur, Haala pun langsung menarik pedang. Meski dalam suasana gelap gulita, pertarungan jarak dekat itu tidak terhindarkan lagi. Tak ada perlawanan dari si penyusup yang tidak terdengar suara napasnya itu, dia hanya berusaha menghindari serangan Haala dengan kegesitan yang seimbang.
Sambil terus mengayunkan pedang, Haala berpikir keras tentang siapa penyusup tersebut. Jelas bukan Murat mengingat tempo hari kepalanya hampir tertebas karena kelambanannya dalam menghindari serangan. Pun bukan Braheim yang hanya memiliki stamina kuat saat bergelut di atas ranjang. Haala terus berpikir, hingga cahaya rembulan malam memberinya petunjuk.
"Kau?"
"Jadi benar ingatanmu tidak terhapus," balas pemimpin suku pengembara, Daxraj Natesh.
Haala menurunkan pedangnya. "Kau datang hanya untuk memastikan itu?"
"Dan untuk menghapus ingatanmu lagi."
"Baiklah, lakukan dengan cepat, lalu segera pergi dari sini," balas Haala pada Daxraj sembari menghela napas.
Daxraj tidak menjawab, hanya menyentuh dahi Haala dengan telapak tangannya, dan mulai melakukan ritual penghapusan ingatan. Ritual yang memakan waktu tak lebih dari tiga detik itu seharusnya bisa menghapus ingatan semua makhluk hidup, apalagi jika dilakukan langsung oleh pemimpin suku pengembara. Semua ingatan buruk pun indah akan seketika terhapus.
Namun anehnya itu tidak bereaksi pada Haala. Hal tersebutlah yang membuat Daxraj tidak tenang berdiam diri, hingga akhirnya memutuskan untuk menemui Haala dan memastikannya secara langsung. Ritual penghapusan ingatan belum pernah gagal selama beberapa ratus tahun digunakan pada makhluk hidup. Haala adalah yang pertama, dan itu membuat suku pengembara dikabuti kekhawatiran.
Haala membuka mata, ketika perlahan dahinya mulai terasa dingin. "Aku masih mengingat semuanya."
"Sulit dipercaya," sahut Daxraj pada Haala.
Haala berbalik, hendak menyalakan lilin di kamarnya. "Jangan khawatir. Aku tidak akan memberitahukan perihal sukumu pada siapa pun lagi. Jadi sekarang pergilah."
"Lagi?"
"Aku memberitahu ibu dan adikku, juga Penasihat Murat. Sungguh hanya mereka," jawab Haala.
Daxraj ikut berbalik. "Kau membuatku tidak memiliki pilihan lain selain menghapus ingatan mereka."
"Hanya ingatan tentang sukumu, bukan?"
Daxraj melangkah menuju jendela. "Entahlah."
TOK... TOK... TOK...
"Komandan, apa terjadi sesuatu? Para penjaga mendengar ada keributan yang berasal dari dalam kamarmu. Kau baik-baik saja?" Suara napas Braheim terdengar tersengal.
Spontan Haala menoleh pada Daxraj yang juga tengah menoleh padanya. Melihat Daxraj yang bergeming, menandakan jika tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Suara pintu masuk kamarnya yang mulai dibuka paksa pun membuat Haala untuk pertama kalinya merasa berdebar meski tidak sedang berada di tengah medan pertempuran. Dan ketika pintu kamarnya berhasil dibuka, Daxraj menghilang.
BRUK!
"Komandan?" Braheim berlari menghampiri Haala yang jatuh terduduk di lantai.
"Hamba baik-baik saja, Yang Mulia."
"Itu terdengar sebaliknya di telingaku," sahut Braheim pada Haala.
"Tolong jangan kotori pakaian Anda ha--"
"Bermalam di istanaku, atau biarkan aku menemanimu sampai fajar. Pilihlah," sela Braheim.
DEG! DEG! DEG!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
bunda syifa
bahkan orang bodoh pun tau kalau kau sedang berdusta yg mulia raja🤦🏻♀️🤦🏻♀️
2023-02-09
0
Nindira
Ya ampun Jihan kenapa sih otakmu selalu dipenuhi rencana jahat😤
2022-11-01
0
Nindira
Jihan jahat sih makannya terlihat menyeramkan
2022-11-01
0