Jihan tidak kuasa berkata-kata, melihat pemandangan terlampau mustahil yang kini tersuguh tepat di depan matanya. Tampak seekor singa raksasa tengah berdiri gagah di tengah padang pasir, menatap Jihan dengan air liur yang sesekali menetes. Lalu tak berselang lama, muncul seorang pria berperawakan tinggi besar dari belakang singa menyeramkan itu.
Kemunculan pria beserban hitam tersebut membuat singa raksasa langsung bersimpuh di kakinya. Meski sulit dicerna akal sehat, namun nyatanya aura yang disebarkan pria itu sejuta kali lipat lebih membuat bulu kuduk berdiri. Si pria beserban mulai melangkah mendekati kereta kuda Jihan, diekori oleh singa raksasa. Spontan Jihan berteriak pada kusir, memintanya untuk segera memutar arah.
Tetapi lagi-lagi tidak ada jawaban dari si kusir. Bahkan kedua pelayan Jihan sudah pingsan entah sejak kapan. Jihan pun keluar dari kereta kuda, dan mendapati kondisi yang sama pada kusir serta para pengawalnya. Kecuali Haala yang masih duduk tegak di atas kuda dengan tatapan kosong. Jihan yang teramat takut pun akhirnya berlari tunggang langgang dengan kaki telanjang. Namun.
"Kenapa kau malah berlari?"
Spontan Jihan jatuh terduduk karena si pria beserban yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Kau seharusnya tertidur dan melupakan semua yang baru saja kau lihat," imbuh pria itu.
"Si-siapa ka-kau?"
"Kau tidak mengenali siapa yang sedang kau cari?" Si pria beserban balik bertanya pada Jihan.
"Pe-pe-mimpin su-su-suku pe-pe-pengembara?"
"Ya," jawab si pria beserban, Daxraj.
Jihan masih terbata. "Mu-mu-mustahil."
"Ya, memang mustahil. Seharusnya kau ikut tertidur seperti yang lain dan bangun tanpa mengingat apa-apa. Tapi kenapa malah sebaliknya?"
Jihan tak menjawab, karena ketakutan yang mendekapnya kian erat. Singa raksasa yang terus berada di dekat Daxraj mulai bergerak mengitari Jihan, pergerakan khas dari binatang buas yang tengah siap memangsa. Lalu Daxraj pun mulai melakukan sesuatu yang dianggap Jihan aneh. Tiba-tiba saja Daxraj menyentuh dahi Jihan, dan merapalkan mantra berbahasa asing.
Daxraj lalu berniat kembali, karena yakin jika Jihan dan para kaki tangannya tidak akan mengingat apapun saat terbangun nanti. Daxraj berhenti di samping Haala, memandangi wanita berpeluh itu dari ujung kepala sampai kaki. Tak ada yang perlu dilakukan Daxraj pada Haala, karena tugasnya mencampuri urusan manusia hanya sebatas memberi ramuan penyembuh dan menghapus ingatan.
Namun kedua tangan Daxraj bergerak dengan sendirinya, meraih pinggang Haala, dan memindahkannya ke atas punggung singa raksasa. Keduanya pun hilang bersamaan dengan auman singa raksasa yang menggelegar. Daxraj membawa Haala ke tempat tinggalnya yang misterius, mengobatinya secara pribadi, dan melakukan penjagaan langsung hingga Haala tersadar.
"Di mana ini?"
"Di kamarku," jawab Daxraj seraya berbalik menghadap Haala.
Haala diam sesaat. "Sepertinya Yang Mulia Ratu menaruh racun pada makananku."
"Benar. Dan aku sudah mengeluarkannya."
Haala kembali diam. "Terima kasih."
"Tidak kulakukan secara cuma-cuma."
"Lalu apa yang kau inginkan sebagai balasan?" tanya Haala.
"Kau."
Daxraj berbalik menghadap ke luar jendela. "Kau harus bersedia mencoba semua ramuan buatanku sampai ingatanmu hilang sepenuhnya," imbuh Daxraj.
"Semua ingatanku?"
"Ya," balas Daxraj.
"Apa tidak mungkin menyisakan satu ingatan?"
Daxraj kembali berbalik menghadap Haala. "Ingatan apa yang ingin kau pertahankan? Ingatan tentang keluargamu?"
"Bukan. Tapi ingatan tentang pria yang sudah dua belas tahun kucintai."
...¤○●¤○●¤○●¤...
Braheim melihat bergantian ke arah Jihan, dua orang pelayan pribadinya, seorang kusir, serta enam orang pengawal Jihan. Setelah tersiar kabar tentang Jihan yang belum juga kembali ke istananya sejak siang lalu, Braheim dengan geram keluar dari istana timur, dan mencari tahu langsung masalah apalagi yang kali ini diperbuat Jihan demi mendapatkan perhatiannya.
Jihan dan yang lain ditemukan di tengah padang pasir dengan kondisi tidak sadarkan diri. Ketika sadar, Braheim langsung memberondongi Jihan dengan beragam pertanyaan yang anehnya tidak Jihan mengerti. Jihan tidak mengingat apapun, begitu juga dengan yang lain. Mereka malah balik bertanya tentang kesalahan apa yang telah mereka perbuat hingga dikumpulkan di ruang pengadilan.
Braheim tidak menangkap ada kebohongan di mata Jihan dan yang lain. Meski terasa ganjil, kali ini mereka semua benar-benar tidak sedang bersekongkol menipunya. Braheim mulai kehilangan kesabarannya. Bukan karena tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaannya, tetapi karena Haala yang diketahui pergi bersama Jihan dan yang lain belum juga ditemukan keberadaannya.
Braheim beranjak. "Penjarakan mereka semua sampai ada yang membuka mulut. Tanpa terkecuali, Ratu Kumari Kandam."
Spontan Jihan ikut beranjak. "Braheim!"
Braheim tidak menghiraukan seruan Jihan dan terus berjalan. "Aku bersumpah tidak mengerti apa yang sedang terjadi sekarang," imbuh Jihan.
"Aku tidak akan mengeluarkannu dari penjara bawah tanah jika hanya itu yang terus kau katakan."
"Braheim!" seru Jihan lagi.
"Mohon izin berbicara, Yang Mulia. Sepertinya hamba tahu apa yang sedang terjadi."
Braheim menghentikan langkahnya, dan menoleh pada Murat. "Beberapa waktu lalu Yang Mulia Ratu membicarakan tentang suku pengembara. Mungkin ada kaitannya," tambah Murat.
"Suku pengembara? Kau pikir aku anak-anak? Omong kosong macam apa itu, Murat Iskender?"
"Anda menanyakan tentang suku pengembara pada hamba beberapa hari yang lalu, Yang Mulia," balas Murat pada Jihan.
"Apa katamu? Jika kau terus me--"
"Cukup, Ratu. Aku tahu siapa yang harus kupercaya. Murat, buat mereka semua membuka mulut sebelum esok tiba."
"Sesuai perintah Anda, Yang Mulia." Murat membungkuk pada Braheim yang kembali melanjutkan langkahnya.
Awalnya Jihan menolak ketika para petugas penjara mendekatinya untuk mengawalnya ke penjara bawah tanah sesuai perintah Braheim. Namun Murat memelototi Jihan sembari berbisik geram jika Jihan tidak segera menutup mulutnya yang gemar mengumpat dan tidak bersikap kooperatif, dirinya akan membiarkan Jihan terkurung di dalam penjara bawah tanah selamanya.
Jihan meloloskan umpatan terakhirnya tepat di wajah Murat, sebelum akhirnya hilang dari balik pintu penjara bawah tanah yang sesak dan gelap. Kini Murat mulai memutar keras otaknya, memikirkan bagaimana cara meluruhkan amarah Braheim dengan skenarionya yang memukau dan kemampuan beraktingnya yang tak kalah dari lakon senior papan atas. Namun.
"Hamba pikir Yang Mulia Ratu cemburu dengan kedekatan Anda dan Komandan Haala. Lalu Yang Mulia Ratu menggunakan suku pengembara untuk mengerjai Komandan Haala. Kemungkinan besar Komandan Haala teperdaya karena yang hamba dengar adik perempuannya memiliki penyakit menahun, " terang Murat pada Braheim.
"Jika dia mudah teperdaya, dia sudah menjadi selirku sejak dua belas tahun lalu."
"Mohon ampuni kekurangan hamba, Yang Mulia."
Braheim menggeleng. "Tidak, Murat. Kau adalah penasihatku yang sangat sempurna."
"Pujian Anda terlalu berlebihan, Yang Mu--"
"Tapi, sampai kapan kau akan menggunakan kesempurnaanmu itu untuk menutupi kejahatannya?" sela Braheim seraya menoleh pada Murat.
DEG!
"Aku berdiam diri karena mencoba memahami perasaanmu, Murat."
DEG! DEG!
"Perasaan seorang kakak yang mati-matian melindungi adik perempuannya," imbuh Braheim.
DEG! DEG! DEG!
...¤○●¤○●¤○●¤...
Haala terkejut mendapati Braheim yang kini tengah berdiri membelakangi jendela kamarnya. Tidak ada yang bisa Haala lakukan selain buru-buru membungkuk memberi salam. Braheim tak kunjung bersuara, menandakan jika salamnya belum diterima. Haala pun tidak memiliki pilihan lain selain terus membungkuk, hingga akhirnya Braheim berbalik, menyudahi kegiatannya menerawang entah apa di luar sana.
Hampir setiap hari Braheim mengunjungi Haala, dan menantinya di tempat-tempat yang tidak terduga. Haala paham betul jika pengakuannya tentang suku pengembara tidak dipercayai sedikit pun oleh Braheim. Apalagi saat Haala mengaku jika hari di mana Jihan dan dirinya pergi ke gurun pasir adalah hari di mana mereka bertemu dengan singa raksasa.
Sejujurnya siapa pun tidak akan ada yang memercayai pengakuan Haala, tetapi orang tolol mana yang akan lebih memilih umurnya secara otomatis dikurangi satu tahun daripada mengatakan kejujuran. Sejak itulah Braheim mulai membuka kembali buku dongeng tentang suku pengembara. Tetapi tetap saja, Braheim kesulitan memercayai apapun yang tertulis di dalam buku dongeng tersebut.
"Aku memiliki kuasa besar yang membuatku bisa dengan mudah mengetahui apapun yang dilakukan semua orang di dalam Kumari Kandam, tapi kuasaku tidak berguna untuk hal-hal di luar nalar."
"Hamba sudah mengatakan yang sebenarnya, Yang Mulia," balas Haala pada Braheim.
Braheim menghela napasnya. "Bagaimana rupa pemimpin suku itu?"
"Hanya matanya yang terlihat, jadi hamba tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tapi, dia memiliki mata yang indah."
Spontan Braheim berbalik menghadap Haala. "Apa katamu?"
"Ampuni kelancangan hamba, Yang Mu--."
"Matanya indah? Jadi kau menatap matanya?" sela Braheim.
"Kami sering berbicara jadi tentu saja kami sa--"
"Sering berbicara? Lalu apa lagi yang sering kalian lakukan? Tidak, jangan katakan apapun. Aku tidak ingin mendengarnya." Braheim kembali menyela seraya keluar dengan langkah penuh emosi dari kamar Haala.
"Panjang umur, dan terbekatilah se--"
"Apa kau tidur dengannya?" sela Braheim lagi.
"Ya? Hamba rasa itu te--"
Braheim masih menyela. "Kubilang jangan katakan apapun. Hah, menjengkelkan sekali."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
auliasiamatir
hahahha dia cemburu 😛😃
2022-10-26
0
Ichi
kuy lanjut eps berikut 💃💃
2022-10-19
0
Ichi
hahahahahaa🤣🤣🤣
2022-10-19
0